Alam
material manusia dapat dikenali lewat pengalaman hidup sehari-hari, sejak
manusia lahir sampai saat kematiannya. Alam material ini juga dapat dipahami
dan di mengerti secara lebih mendalam lewat lembaga ilmu yang mempelajarinya
(Sumardjo, 2000:7). Ketika manusia dalam mengembangkan usaha untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, tuntutan terhadap alat penunjang kehidupan juga mengalami
perkembangan untuk memenuhi perlengkapan kebutuhan tersebut.
Seiring
kepercayaan, keyakinan, dan pola kehidupan yang dianutnya, fungsi alat tersebut
tidak lagi sebagai pelengkap untuk berburu atau mengolah tanah pertanian. Akan tetapi, untuk
keperluan-keperluan yang bersifat keagamaan (religius). Bahkan pada masa berikutnya pembuatan benda-benda
perlengkapan hidup sudah mulai menampakan aspek-aspek seni yang sangat indah
untuk pemujaan terhadap segala sesuatu yang bersifat mistis (Effendhie, 1999:29). Keindahan dalam kehidupan manusia
telah menjadi bagian yang pertama dan utama, keindahan pun telah menjadi
kesadaran yang menyertai pernyataan-pernyataan tentang terciptanya kosmos dan
perenungan mengenai yang Maha Kuasa (Sachari, 2002:vii).
Teknologi
pembuatan alat-alat perlengkapan manusia mengalami kemajuan pesat apalagi
ketika ditemukannya teknik peleburan, pencampuran, penempaan, dan pencetakan
logam. Semula jenis-jenis logam seperti besi, tembaga, timah, dan emas dibuat
dengan teknik peleburan sederhana, kemudian dengan teknik pencampuran
menghasilkan perunggu yang lebih kuat (Effendhie, 1999:31).
Indonesia
dari abad ke-5 sampai abad ke-18 telah dipengaruhi oleh kebudayaan yang besar yaitu kebudayaan
Hindu-Budha dan Islam yang memberikan warna serta corak tersendiri bagi
perkembangan bangsa ini. Masa pengaruh India di Indonesia oleh para ahli sering
disebut dengan istilah masa Indonesia
kuna. Masa Indonesia kuna
ini ditandai dengan masuknya pengaruh budaya India
yang kemudian bertemu dengan kebudayaan asli Indonesia (Ibid, 1999:53).
Van
Peursen (dalam Sutrisno, 2009:31) menyatakan bahwa proses transformasi
kebudayaan manusia melalui tiga tahap peradaban yaitu tahap mitis, tahap
pengetahuan ontologis, dan tahap fungsional. Dalam tahap fase mitis pengaruh
kebudayaan mempunyai ciri wataknya yang sekaligus menentukan perilaku manusia
dan mampu merubahnya dalam transformasi pola prilaku kebudayaan yang
berkembang. Kebudayaan baik pada tingkat jenis, aktivitas, komplek, serta unsur
maupun bagian-bagian yang lebih kecil dan sederhana secara keseluruhan
mensyaratkan suatu integrasi yang bersifat totalitas (Ratna, 2010:158).
Pengaruh
agama dan budaya India telah
menyumbangkan penyuburan kebudayaan Indonesia yang kemudian berkembang
pesat terutama di Jawa. Pengaruh itu memberi corak tersendiri pada beberapa
aspek budaya di Indonesia
maupun bagi Agama Hindu itu sendiri. Misalnya, hasil-hasil kesenian serta
arsitektur bangunan yang menjadi bagian kebudayaan Indonesia yang berkembang sampai
saat ini.
Kebudayaan
sering dikatakan sebagai suatu ketegangan antara imanensi dan transendensi yang
dipandang sebagai ciri khas dari kehidupan manusia seluruhnya. Hidup manusia
berlangsung di tengah-tengah arus proses kehidupan (imanensi), tetapi selalu juga muncul dari arus alam raya itu untuk
menilai alamnya sendiri serta mengubahnya (Peursen, 199515).
Agama
dan kebudayaan merupakan ritus yang
tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia, hal ini dikarenakan kebudayaan
tumbuh dan berkembang melalui cipta,
rasa, dan karsa manusia.
Sehingga, proses keyakinan masyarakat yang bermuara pada sebuah agama dapat
diakulturasikan dengan kebudayaan masyarakat setempat. Para
antropolog telah melakukan gerakan intelektual penting dengan menjauhkan studi
tentang agama dari perdebatan skolastik abstrak dan teologi mengenai
kepercayaan dan ketuhanan (Turner, 2012:691). Hal ini karena adanya ketimpangan
masalah yang tidak dapat disatukan. Secara internal setiap pemeluk agama harus
meyakini dengan sungguh-sungguh akan kebenaran agamanya yang paling benar.
Sementara itu secara eksternal, terbentuk juga sikap menghargai bahwa pemeluk
agama yang berbeda juga mempunyai hak yang sama (Kuswanjono, 2006:4).
Manusia
memiliki kemampuan untuk memberikan ekspresi dan mengadakan obyektivasi dengan
lingkungan, artinya ia memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan
manusia yang tersedia baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain (Berger dan
Luckmann, 2009:49). Kehidupan manusia tidak terlepas dengan keyakinan
yang dianutnya. Keyakinan itu umumnya berbentuk agama (organized religion) (Titib, 2007b:48). Menurut Ngurah (1999:14)
agama adalah kepercayaan kepada Tuhan serta segala sesuatu yang bersangkut paut
dengan hal tersebut. Dengan definisi tersebut, maka sembahyang, beryajña,
melakukan kebajikan kepada sesama manusia adalah simbol pelaksanaan ajaran
agama. Ajaran tersebut akan
memberikan pencerahan dan tuntunan hidup kepada semua penganutnya (Titib,
2007b:48). Sudah diakui secara umum oleh para ilmuwan bahwa semua masyarakat
yang dikenal didunia ini, sampai batas tertentu bersifat relijius (Scharf,
2004:32)
Agama Hindu yang ada di Bali adalah
akulturasi dan tradisi dengan Agama
Hindu yang datang dari India. Ketika kedua kebudayaan itu bertemu terjadi
semacam peluluhan antara keduanya (Watra, 2005:32). Kehidupan beragama di Bali
tidak bisa dipisahkan dengan kebudayaan setempat, hal ini tampak bersinergi dan
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam sebuah ritus keagamaan. Kedatangan Agama Hindu
di Bali disambut dengan adaptasi budaya yang memunculkan kearifan lokal atau
populer dikenal dengan local genius (Titib,
2007a:45).
Penelitian para ilmuan menyatakan; orang
Bali merupakan keturunan Austronesia yang telah menyebar ke seluruh Bali.
Mereka masih hidup berkelompok di bawah pimpinan kepala kelompoknya
masing-masing. Kelompok-kelompok inilah menjadi cikal bakal desa yang ada di
Bali sekaliligus disebut Bali Mula.
Pada masa itu orang-orang Bali masih belum beragama, namun sudah menyembah roh
leluhur yang mereka sebut Hyang. Jika
dikaji dari pandangan spiritual, mereka masih hampa. Keadaan demikian
berlangsung sampai pada abad ke-14 sesudah masehi, hal ini tertuang dalam
berbagai Purana yang tersebar di
seluruh Bali (Soebandi, 1981:14). Pengaruh Majapahit melalui Patih Gajah Mada
sesudah abad ke-14 dengan agama Siwa
Buda-nya yang berkepentingan memasukan agama tersebut berhasil mempengaruhi
penduduk Bali dataran rendah. Namun, beberapa penduduk yang berkeyakinan
berbeda melarikan diri ke daerah pegunungan yang kemudian mendirikan permukiman
yang tidak terpengaruh oleh pengaruh Majapahit (Dwijendra, 2009:8).
Secara umum, konsep Tri Krangka Dasar
Agama Hindu yang telah memberikan pedoman terhadap aspek beragama dalam Agama
Hindu seperti konsep; Tattwa, Etika,
dan Acara merupakan satu-kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan di Bali, penekanan upacara pada aspek acara
dalam konsep tersebut sangat dominan seperti pada pelaksanaan upacara yajña (Budhawati, 2008:21).
Upacara merupakan aspek yang paling
dominan dalam kehidupan beragama di Bali (Goris, 2012:25). Dalam merealisasi
pelaksanaan upacara tersebut selalu diiringi oleh panca gita. Panca Gita adalah lima jenis suara yang mengiringi
pelaksanaan upacara yajña di antaranya: suara kekidungan (nyanyian suci), suara
genta (lonceng pendeta), suara kul-kul (kentongan), puja mantra (doa) dari pandita yang
memimpin (muput) upacara, dan suara gamelan (Donder, 2005:139).
Umat Hindu khususnya yang berada di Bali,
dalam pelaksanaan upacara keagamaan tidak pernah terlepas dengan penggunaan
bunyi gamelan sebagai sarana untuk mengiringi upacara tersebut (Donder,
2005:3). Gamelan di samping sebagai suatu kesenian tradisional, juga merupakan
sarana pelengkap dalam berbagai aspek kegiatan yang bersifat ceremonial. Setiap kegiatan yang telah
mengakar dalam masyarakat tertentu, pementasan seni dilaksanakan secara
rutinitas sampai membentuk suatu keyakinan yang bersifat radikal dalam setiap
pelaksanaan upacara keagamaan (Yudabakti dan Watra, 2007:37).
Desa Pakraman Selat Pandaan Banten yang
berada di Desa Dinas Selat, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng memiliki
seperangkat gamelan yang diberi nama
“Gong Raja Due”. Gamelan tersebut
terdiri dari: Gangsa 2 buah, Barangan
1 buah, dan kecek mini. Gamelan tersebut merupakan hasil penemuan masyarakat sekitar 200 tahun yang lalu. Gamelan tersebut diperoleh melalui hasil
penggalian oleh masyarakat setempat. Gamelan
tersebut dipercaya sebagai hasil kebudayaan nenek moyang mereka pada jaman
dahulu kala.
Seiring perjalanan waktu keyakinan
masyarat mengalami konversi keyakinan ke tahap mistis, hal ini dapat dilihat dalam beberapa aspek pelaksanaan ritus keagamaan. “Gong Raja Due” yang memiliki nilai estetika dalam pementasan
tersebut yang menghasilkan suatu bunyi/getaran nada yang menggugah kalbu
pendengarnya. Hal ini terjadi karena keyakinan dan kepercayaan masyarakat
terhadap benda tersebut, bahkan oleh masyarakat setempat diyakini tanpa
melakukan pementasan gemelan dalam suatu upacara yajña maka pelaksanaan upacara
tersebut tidaklah jangkep (lengkap).
Pada umumnya umat Hindu di Bali, dalam pelaksanaan upacara yajña yang sifatnya madya (menengah) dan utama (utama),
pada akhir acara selalu diakhiri
dengan pementasan Topeng Sidha Karya sebagai
salah satu sarana pelengkap dan sahnya pelaksanaan upacara yajña (Kantun dan
Yajña, 2003:21)
Nama : Ni Made Tripas Wulandari
BalasHapusNim : 13.1.5.1.6.079
Jurusan Penerangan Agama
Semester :II
Menurut saya tulisan tulisan yang bapak buat sangat memberikan inspirasi kepada saya bahkan bukan hanya saya saja begitupula kepada orang lain. Dan memang hal tersebut terjadi di dunia nyata.