Senin, 09 September 2013

pendidikan budi pekerti

Berbicara masalah karakter atau watak siswa ada kaitannya dengan asas-asas pokok pendidikan, khususnya yang berkembang di Indonesia. Ada tiga asas pendidikan yang di kembangkan oleh pelopor pendidikan kita yaitu Ki Hajar Dewantara. Ketiga asas tersebut adalah Ing Ngarso Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut  Wuri Handayani. (Tirtaraharja, 2000:118). Pada dasarnya pendidikan watak atau pendidikan humaniora seyogyanya mengutamakan metode “Tut Wuri Handayani”, mengantarkan sang anak didik melalui berbagai kegiatannya sendiri. Namun demikian hendaknya sesuai dengan tingkatan-tingkatan umur seorang anak, dan sesuai pula dengan perkembangan situasi.
Seiring dengan perkembangan jaman, lebih-lebih pada jaman globalisasi ini,  peradaban manusia semakin modern dan perubahan orientasi terhadap nilai-nilai hidup sudah mengarah pada pertimbangan ekonomi. Hal ini juga sangat berpengaruh terhadap sikap guru. guru yang dulunya sosok yang penuh kesabaran, arif, bijaksana, tanpa pamrih, pengambilan keputusannya lebih didasarkan pada hati nurani dan bersifat sosial, kini telah berubah. Nilai hakiki seorang guru terkontaminasi berbagai persoalan duniawi seperti guru menuntut gajih dan tunjangan yang layak, guru juga harus mencari nafkah tambahan, karena beban hidup semakin tidak seimbang antara pendapatan dan pengeluaran. Harga diri seorang guru pun tidak  dimuliakan lagi, ada sikap acuh tak cauh  terhadap tanggung jawab, tugas dan wewenang yang diembannya, seakan-akan tugas hanyalah sebuah kewajiban seorang guru. Artinya, asal kewajiban telah dilaksanakan berarti tugas telah terpenuhi dan tak ada orang yang bisa menuntut. Padahal peran guru dalam berbagai tingkatan sekolah sangat diharapkan dan merupakan keharusan sebagai agen perubahan.
            Pada jenjang pendidikan SMA/SMK, kondisi siswa sangat labil, disatu sisi dituntut berperilaku mengikuti tata tertib sekolah, menyelesaikan pendidikan dengan prestasi dengan baik, sedangkan disisi lain para siswa lebih banyak berperilaku dan bertatakrama sesuai dengan kecendrungan lingkungannya. Selama masa remaja banyak masalah yang dihadapi siswa, karena masa remaja ini mereka berupaya menemukan jati dirinya. Beberapa masalah yang dihadapi siswa SMA/SMK sebagai masa remaja antara lain: (1) Upaya untuk mengubah sikap dan perilaku kekanak-kanakan menjadi perilaku  dewasa tidak semuanya dapat dengan mudah dicapai oleh remaja. Hal ini berakibat pada remaja menjadi keras, agresif, bersikap tidak percaya diri, pendiam atau harga diri kurang; (2) Remaja mengalami kesulitan untuk menerima perubahan fisiknya; (3) Perkembangan fungsi seks  pada  masa  ini dapat menimbulkan  kebingungan untuk memahaminya, sehingga sering terjadi salah tingkah dan perilaku yang menentang norma; (4) Dalam kehidupan bermasyarakat ketidakselarasan antara pola hidup masyarakat dan pola perilaku remaja sering terjadi, remaja merasa selalu “disalahkan” dan akibatnya mereka frustasi dengan tingkah lakunya sendiri; (5) Harapan untuk berdiri sendiri secara sosial, ekonomis akan berkaitan dengan berbagai masalah untuk menetapkan jenis pekerjaan dan jenis pendidikan; (6) Norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat merupakan masalah tersendiri bagi remaja, sedang dipihak lain remaja merasa memiliki nilai dan norma kehidupannya yang dirasa lebih sesuai (Sunarto, 1994:57).
Masalah tersebut di atas merupakan tantangan besar bagi seorang guru, guru dihadapkan pada sebuah dilema yang kontradiksi. Sebagai manusia biasa, seorang guru butuh hidup dan kehidupan yang layak, di sisi lain dituntut melaksanakan satu kesatuan materi pembelajaran yang utuh dengan satuan waktu yang terbatas hanya beberapa jam. Dalam konteks membangun moral bangsa, pemerintah telah berbuat banyak dan berusaha,  namun usaha tersebut dilakukan secara bersamaan dengan program perluasan dan peningkatan kualitas mutu belajar sehingga spesifikasi pencapaian target perbaikan moral peserta anak didik sulit diukur. Sebenarnya guru dapat memberikan efek positif terhadap peningkatan prestasi belajar siswa, hanya saja karena situasi dilematis guru sulit mengimplementasikan harapan tersebut.
Peningkatan mutu belajar akan dapat dilakukan melalui perluasan program pembelajaran dengan melakukan perbaikan dan penambahan kurikulum dengan standar berbasis kompetensi. Mengingat dimensi pendidikan ke depan adalah menekankan pada bobot pendidikan moral bangsa, maka satuan mata pelajaran Pendidikan Budi Pekerti menjadi hal yang sangat penting. Pendidikan Budi Pekerti bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup. Hal ini sejalan ajaran Veda, yang memberikan tuntunan kepada umat manusia untuk mencapai tujuan hidup yaitu moksartham jagadhita ya ca itih dharma (sejahtra di dunia dan bahagia di akhirat). Nilai-nilai budhi pekerti yang terkandung di dalam Veda sangat relevan sepanjang jaman. Nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang terdapat dalam Veda kemudian dikembangkan dan dijelaskan contoh-contoh implementasinya dalam berbagai Kitab Susastra Hindu, seperti Itihasa Ramayana dan Mahabharata. (Titib, 2003:28).
Materi pelajaran Budi Pekerti diberikan sebagai mata pelajaran “Mulok”. Penerapan pelaksanaan materi Budi Pekerti berdasarkan surat keputusan Dinas Pendidikan Provinsi Bali, kemudian ditindak lanjuti dengan Surat Edaran Dinas Pendidikan Provinsi Bali Nomor: 423.5/2672/Dispendik, menyatakan bahwa pelaksanaan kurikulum 2004 secara serentak di Kelas I sampai VI SD/MI, Kelas I SMP/MA dan Kelas I SMA/SMK, dipandang perlu menerbitkan petunjuk pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal Daerah Bali dan  Petunjuk tentang Laporan Penilaian Hasil Belajar Siswa sebagai acuan pelaksanaan pembelajaran Muatan Lokal Daerah Bali dan Laporan Penilaian Hasil Belajar Siswa.
    Pada tahap awal agar semua sekolah jenjang Pendidikan Menengah setingkat SMP dan SMA/SMK untuk menerapkan satuan acara pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti. Agar pembelajaran Budi Pekerti dapat berjalan sebagaimana mestinya maka seorang guru harus memiliki sikap dan pengetahuan dalam pembelajaran Pendidikian Budi Pekerti, sehingga dapat meningkatkan kedisiplinan dan prestasi siswa.
   Seorang guru yang memiliki sikap dan pengetahuan dalam pembelajaran pendidikan Budi Pekerti harus menyadari bahwa dirinya adalah figur yang diteladani oleh semua pihak terutama oleh anak didiknya. Seperti dijelaskan dalan Veda, guru memberikan pendidikan dan pengetahuan kepada yang bodoh, memajukan pengetahuan dan ketrampilan, memiliki pengetahuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi anak didiknya. Seorang guru hendaknya menjadi contoh dalam kemuliaaan moralitas, keras dan adil seperti Dewa Yama dan Dewa Waruna (Titib, 1998:429). Dengan karakteristik tersebut maka seorang guru akan dijadikan model untuk dicontoh dan dijadikan teladan. Oleh karena itu maka seorang guru harus betul-betul memiliki kelebihan, baik pengetahuan, keterampilan, maupun kepribadian. Kelebihan ini nampak dalam disiplin pribadi yang tinggi dalam bidang intelektual, emosional, kebiasaan-kebiasaan yang sehat, sikap yang demokratis, terbaik dan sebagainya (Sobry, 2007:130).
Pentingnya pembelajaran Budhi Pekerti tak lepas dari kekhawatiran masyarakat akan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan adanya krisis multidimensi yang berkepanjangan dan memperihatinkan. Hal ini pada dasarnya sudah menurunkan dan bertentangan terhadap citra masyarakat yang selama in dikenal oleh dunia internasional sebagai masyarakat yang berbudaya, santun dan memiliki kehalusan budhi. Selama ini Pendidikan Budhi Pekerti terkesan diabaikan atau kurang diperhatikan, padahal sesungguhnya Pendidikan Budhi Pekerti merupakan landasan atau pedoman bagi siswa berpikir, berkata dan berperilaku yang baik dan benar. Dunia pendidikan tidak hanya dituntut untuk melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam keilmuan, tetapi juga berkualitas dalam hal akhlak.
Fenomena yang terjadi dewasa ini  perilaku menyimpang atau perilaku negatif sangat banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Jika diperhatikan tayangan televisi, atau membaca di media cetak seperti surat kabar dan majalah, banyak sekali terjadi peristiwa kriminalitas dan amoral. Semakin terlihat fenomena tingkah laku kekerasan dari para remaja dan pemuda, ketidakjujuran, menurunnya etos kerja dan tanggung jawab, meningkatnya egoisme. Para remaja cendrung kepada tingkah laku yang self destructive dan kebutaan etika (ethical iliteracy). Kecendrungan penyalahgunaan obat-obatan terlarang (narkoba), penyelewengan seksual para remaja dan pemuda di sekitar kita sangat mengkhawatirkan dan diambang kritis sangat meresahkan kalangan pendidik dan orang tua (Zuriah, 2007:11).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar