Berbicara masalah karakter atau watak siswa ada kaitannya
dengan asas-asas pokok pendidikan, khususnya yang berkembang di Indonesia.
Ada tiga asas
pendidikan yang di kembangkan oleh pelopor pendidikan kita yaitu Ki Hajar
Dewantara. Ketiga asas tersebut adalah Ing Ngarso Sung Tulada, Ing Madya
Mangun Karsa dan Tut Wuri
Handayani. (Tirtaraharja, 2000:118). Pada dasarnya
pendidikan watak atau pendidikan humaniora seyogyanya mengutamakan metode “Tut
Wuri Handayani”, mengantarkan sang anak didik melalui berbagai kegiatannya
sendiri. Namun demikian hendaknya sesuai dengan tingkatan-tingkatan umur
seorang anak, dan sesuai pula dengan perkembangan situasi.
Seiring dengan perkembangan
jaman, lebih-lebih pada jaman globalisasi ini,
peradaban manusia semakin modern dan perubahan orientasi terhadap
nilai-nilai hidup sudah mengarah pada pertimbangan ekonomi. Hal ini juga sangat
berpengaruh terhadap sikap guru. guru yang dulunya sosok yang penuh kesabaran,
arif, bijaksana, tanpa pamrih, pengambilan keputusannya lebih didasarkan pada
hati nurani dan bersifat sosial, kini telah berubah. Nilai hakiki seorang guru
terkontaminasi berbagai persoalan duniawi seperti guru menuntut gajih dan
tunjangan yang layak, guru juga harus mencari nafkah tambahan, karena beban
hidup semakin tidak seimbang antara pendapatan dan pengeluaran. Harga diri
seorang guru pun tidak dimuliakan lagi,
ada sikap acuh tak cauh terhadap
tanggung jawab, tugas dan wewenang yang diembannya, seakan-akan tugas hanyalah
sebuah kewajiban seorang guru. Artinya, asal kewajiban telah dilaksanakan
berarti tugas telah terpenuhi dan tak ada orang yang bisa menuntut. Padahal
peran guru dalam berbagai tingkatan sekolah sangat diharapkan dan merupakan
keharusan sebagai agen perubahan.
Pada
jenjang pendidikan SMA/SMK, kondisi siswa sangat labil, disatu sisi dituntut
berperilaku mengikuti tata tertib sekolah, menyelesaikan pendidikan dengan
prestasi dengan baik, sedangkan disisi lain para siswa lebih banyak berperilaku
dan bertatakrama sesuai dengan kecendrungan lingkungannya. Selama masa remaja
banyak masalah yang dihadapi siswa, karena masa remaja ini mereka berupaya
menemukan jati dirinya. Beberapa masalah yang dihadapi siswa SMA/SMK
sebagai masa remaja antara lain: (1) Upaya untuk mengubah sikap dan perilaku
kekanak-kanakan menjadi perilaku dewasa
tidak semuanya dapat dengan mudah dicapai oleh remaja. Hal ini berakibat pada
remaja menjadi keras, agresif, bersikap tidak percaya diri, pendiam atau harga
diri kurang; (2) Remaja mengalami kesulitan untuk menerima perubahan fisiknya;
(3) Perkembangan fungsi seks pada masa
ini dapat menimbulkan kebingungan
untuk memahaminya, sehingga sering terjadi salah tingkah dan perilaku yang
menentang norma; (4) Dalam kehidupan bermasyarakat ketidakselarasan antara pola
hidup masyarakat dan pola perilaku remaja sering terjadi, remaja merasa selalu
“disalahkan” dan akibatnya mereka frustasi dengan tingkah lakunya sendiri; (5)
Harapan untuk berdiri sendiri secara sosial, ekonomis akan berkaitan dengan
berbagai masalah untuk menetapkan jenis pekerjaan dan jenis pendidikan; (6)
Norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat merupakan masalah tersendiri bagi
remaja, sedang dipihak lain remaja merasa memiliki nilai dan norma kehidupannya
yang dirasa lebih sesuai (Sunarto, 1994:57).
Masalah tersebut di atas
merupakan tantangan besar bagi seorang guru, guru dihadapkan pada sebuah dilema
yang kontradiksi. Sebagai manusia biasa, seorang guru butuh hidup dan kehidupan
yang layak, di sisi lain dituntut melaksanakan satu kesatuan materi
pembelajaran yang utuh dengan satuan waktu yang terbatas hanya beberapa jam. Dalam
konteks membangun moral bangsa, pemerintah telah berbuat banyak dan
berusaha, namun usaha tersebut dilakukan
secara bersamaan dengan program perluasan dan peningkatan kualitas mutu belajar
sehingga spesifikasi pencapaian target perbaikan moral peserta anak didik sulit
diukur. Sebenarnya guru dapat memberikan efek positif terhadap peningkatan
prestasi belajar siswa, hanya saja karena situasi dilematis guru sulit
mengimplementasikan harapan tersebut.
Peningkatan mutu
belajar akan dapat dilakukan melalui perluasan program pembelajaran dengan
melakukan perbaikan dan penambahan kurikulum dengan standar berbasis
kompetensi. Mengingat dimensi pendidikan ke depan adalah menekankan pada bobot
pendidikan moral bangsa, maka satuan mata pelajaran Pendidikan Budi Pekerti menjadi
hal yang sangat penting. Pendidikan Budi Pekerti bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup. Hal ini sejalan ajaran Veda, yang memberikan tuntunan kepada
umat manusia untuk mencapai tujuan hidup yaitu moksartham jagadhita ya ca
itih dharma (sejahtra di dunia dan bahagia di akhirat). Nilai-nilai budhi
pekerti yang terkandung di dalam Veda sangat relevan sepanjang jaman. Nilai-nilai
pendidikan budi pekerti yang terdapat dalam Veda kemudian dikembangkan dan
dijelaskan contoh-contoh implementasinya dalam berbagai Kitab Susastra Hindu,
seperti Itihasa Ramayana dan Mahabharata. (Titib, 2003:28).
Materi pelajaran
Budi Pekerti diberikan sebagai mata pelajaran “Mulok”. Penerapan pelaksanaan
materi Budi Pekerti berdasarkan surat keputusan Dinas Pendidikan Provinsi Bali,
kemudian ditindak lanjuti dengan Surat Edaran Dinas Pendidikan Provinsi Bali
Nomor: 423.5/2672/Dispendik, menyatakan bahwa pelaksanaan kurikulum 2004 secara
serentak di Kelas I sampai VI SD/MI, Kelas I SMP/MA dan Kelas I SMA/SMK,
dipandang perlu menerbitkan petunjuk pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal Daerah
Bali dan Petunjuk tentang Laporan
Penilaian Hasil Belajar Siswa sebagai acuan pelaksanaan pembelajaran Muatan
Lokal Daerah Bali dan Laporan Penilaian Hasil Belajar Siswa.
Pada
tahap awal agar semua sekolah jenjang Pendidikan Menengah setingkat SMP dan
SMA/SMK untuk menerapkan satuan acara pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti.
Agar pembelajaran Budi Pekerti dapat berjalan sebagaimana mestinya maka seorang
guru harus memiliki sikap dan pengetahuan dalam pembelajaran Pendidikian Budi
Pekerti, sehingga dapat meningkatkan kedisiplinan dan prestasi siswa.
Seorang guru yang memiliki sikap dan
pengetahuan dalam pembelajaran pendidikan Budi Pekerti harus menyadari bahwa
dirinya adalah figur yang diteladani oleh semua pihak terutama oleh anak
didiknya. Seperti dijelaskan dalan Veda, guru memberikan pendidikan dan
pengetahuan kepada yang bodoh, memajukan pengetahuan dan ketrampilan, memiliki
pengetahuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi anak
didiknya. Seorang guru hendaknya menjadi contoh dalam kemuliaaan moralitas,
keras dan adil seperti Dewa Yama dan Dewa Waruna (Titib,
1998:429). Dengan karakteristik tersebut maka seorang guru akan dijadikan model
untuk dicontoh dan dijadikan teladan. Oleh karena itu maka seorang guru harus
betul-betul memiliki kelebihan, baik pengetahuan, keterampilan, maupun
kepribadian. Kelebihan ini nampak dalam disiplin pribadi yang tinggi dalam
bidang intelektual, emosional, kebiasaan-kebiasaan yang sehat, sikap yang demokratis,
terbaik dan sebagainya (Sobry, 2007:130).
Pentingnya
pembelajaran Budhi Pekerti tak lepas dari kekhawatiran masyarakat akan
kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan adanya krisis
multidimensi yang berkepanjangan dan memperihatinkan. Hal ini pada dasarnya
sudah menurunkan dan bertentangan terhadap citra masyarakat yang selama in
dikenal oleh dunia internasional sebagai masyarakat yang berbudaya, santun dan
memiliki kehalusan budhi. Selama ini Pendidikan Budhi Pekerti terkesan
diabaikan atau kurang diperhatikan, padahal sesungguhnya Pendidikan Budhi
Pekerti merupakan landasan atau pedoman bagi siswa berpikir, berkata dan
berperilaku yang baik dan benar. Dunia pendidikan tidak hanya dituntut untuk
melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam keilmuan, tetapi juga
berkualitas dalam hal akhlak.
Fenomena yang terjadi dewasa
ini perilaku menyimpang atau perilaku
negatif sangat banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Jika diperhatikan
tayangan televisi, atau membaca di media cetak seperti surat kabar dan majalah,
banyak sekali terjadi peristiwa kriminalitas dan amoral. Semakin terlihat
fenomena tingkah laku kekerasan dari para remaja dan pemuda, ketidakjujuran,
menurunnya etos kerja dan tanggung jawab, meningkatnya egoisme. Para remaja
cendrung kepada tingkah laku yang self destructive dan kebutaan etika (ethical
iliteracy). Kecendrungan penyalahgunaan obat-obatan terlarang (narkoba),
penyelewengan seksual para remaja dan pemuda di sekitar kita sangat
mengkhawatirkan dan diambang kritis sangat meresahkan kalangan pendidik dan
orang tua (Zuriah, 2007:11).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar