Selasa, 10 September 2013

FILSAFAT NAWA DARSANA AJARAN PANCA SRADHA MENEMUKAN KEBENARAN


PENGERTIAN FILSAFAT

Manusia dalam perjalanan hidupnya sering menemukan sesuatu yang membuatnya kagum atau heran, heran terhadap lingkungan hidup dan dirinya sendiri. Rasa kagum dan heran (Wonder) kemudian mulai mempertanyakannya, merupakan titik awal dari timbulnya filsafat. Pertanyaan ke filsafatan ini berusaha mengetahui hakikat atau esensi yang ditanyakannya itu, dengan jawaban-jawaban yang lebih mengutamakan logika berpikir. Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang sangat luas cakupannya. Istilah ‘filsafat’ dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata ‘falsafah’ (Arab), ‘philosophy’ (Inggris), ‘philosophia’ (Latin), philosophie (Jerman, Belanda, Perancis). Pada dasarnya semua istilah yang digunakan dalam setiap bahasa tersebut bersumber pada istilah Yunani yaitu ‘philosophia’. Secara etimologi kata ‘philosophia’ asal katanya dapat dibagi menjadi dua, yaitu ‘philein’ yang artinya mencintai, dan ‘sophos’ berarti bijaksana, sehingga filsafat berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana. Sedangkan yang kedua, filsafat berasal dari kata ‘philos’ yang berarti teman, dan ‘sophia’ berarti kebijaksanaan, jadi filsafat berarti teman kebijaksanaan. Dalam sejarah, orang yang pertama kali menggunakan istilah philosophia adalah Pythagoras, dengan menyebut dirinya sebagai philosophos, yakni pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom). (Bakhtiar, 2004:22).
Kata filsafat berasal dari kata “philosophia” (bahasa Yunani), diartikan dengan “mencintai kebijaksanaan”. Sedangkan dalam bahasa Inggris filsafat disebut dengan istilah “philosophy” dan dalam bahasa Arab disebut dengan istilah “falsafah”, yang biasa diterjemahkan dengan “cinta kearifan”. (Susanto, 2011:14).  Istilah philosopia memiliki akar kata philien yang berarti mencintai atau shopos yang berarti bijaksana. Jadi, istilah philosopia berarti mencintai akan hal-hal yang bersifat bijaksana. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan, sedangkan orang yang berusaha mencari kebijaksanaan atau pencinta pengetahuan disebut dengan filsuf atau filosofis.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik. Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin, 2001).
Berikut adalah definisi filsafat menurut para ahli, yaitu sebagai berikut:
1.     Aristoteles (384-332 SM), menurutnya filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. (Bakhtiar, 2004:7).
2.     Socrates (469-399 SM), bahwa filsafat adalah suatu peninjauan diri yang bersifat reflektife atau perenungan terhadap azas-azas dari kehidupan yang adil dan bahagia.
3.     Rene Descartes (1596-1650), filsafat sebagai kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan. (Bakhtiar, 2004:151).
4.     Immanuel Kant (1724-1804). Menurutnya filsafat adalah ilmu yang menjadi pokok dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup masalah epistemologi, etika dan masalah ketuhanan. (Bakhtiar, 2004:8).
Isi filsafat ditentukan oleh objek yang dipikirkan. Objek adalah suatu yang  menjadi bahan kajian suatu penelitian tentang pengetahuan. Objek yang diselidiki dalam filsafat ini adalah objek materiil dan objek formal. Objek materiil dari filsafat ini adalah suatu kajian pembentukan pengetahuan itu, yaitu segala sesuatu yang ada dan mungkin ada. Sedangkan objek formal adalah penyelidikan yang mendalam.
Filsafat sebagai pengetahuan mengajak manusia untuk berfikir kritis, mendasar dan menyeluruh serta sistemik terhadap fenomena manusia dan di luar manusia. Filsafat itu semula tumbuh dari kekaguman kemudian berpikir mendasar, spekulatif dengan penalaran kritis. Dalam genetiknya filsafat bermakna cinta kebijaksanaan dan kearifan. Selanjutnya menurut penulis filsafat iku sejatine paugeran ati lan sesanggemaning urip kang sih samasta buwana, yang artinya filsafat itu sejatinya haruslah dijadikan sebagai dasar hati dan pedoman hidup yang selalu menyayangi dunia sesuai dengan falsafah hidup bahwa segala yang ada di dunia ini hanyalah bersifat sementara (Wibowo, 2011:2).
Sebagian ahli mengelompokkan metode yang dipergunakan dalam mempelajari filsafat ini menjadi 3 macam, yaitu metode sistematis, metode historis dan metode kritis. Dengan metode sistematis para pelajar akan menghadapi karya-karya filsafat misalnya mempelajari tentang teori-teori pengetahuan yang terdiri atas berbagai cabang filsafat. Sedangkan metode historis bila pelajar mengkaji filsafat dengan mengikuti sejarahnya. Adapun metode kritis digunakan oleh mereka yang mempelajari filsafat tingkat intensif. Dimana pelajar haruslah telah memiliki bekal pengetahuan tentang filsafat secara memadai. (Suriasumantri, 1990:115).
Sejalan dengan definisi filsafat di atas, adapun ciri-ciri dari unsur di dalamnya yaitu:
1.     Filsafat sebagai ilmu, yaitu bahwa filsafat berusaha untuk mencari hakekat atau inti dari suatu hal. Hakekat ini sifatnya sangat dalam dan hanya dapat dimengerti oleh akal.
2.     Filsafat sebagai cara berpikir, yaitu cara berpikir yang sangat mendalam (radikal) sehingga akan sampai pada hakekat sesuatu.
3.     Filsafat sebagai pandangan hidup, yaitu bahwa filsafat pada hakekatnya bersumber pada hakekat kodrat diri manusia, yang berperan sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk Tuhan.

Dengan mempelajari filsafat, ada tiga hal yang dapat diperoleh yaitu:
1.     Filsafat telah mengajarkan kita untuk mengenal diri sendiri secara totalitas, sehingga dengan pemahaman tersebut dapat dicapai hakkat manusia itu sendiri dan bagaimana sikap manusia itu sebenarnya.
2.     Filsafat mengajarkan tentang hakekat alam semesta. Pada dasarnya berpikir filsafat ialah bersedia menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional dalam rangka memahami segala sesuatu, termasuk diri manusia itu sendiri.
3.     Filsafat mengajarkan tentang hakekat Tuhan. Studi tentang filsafat seyogyanya dapat membantu manusia untuk membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matang secara intelektual. (Bakhtiar, 2004:20).

Penggolongan lapangan-lapangan filsafat menurut Kattsoff menjadi cabang-cabang filsafat sebagai berikut :
1.     Logika, adalah ilmu yang mempelajari teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu.
2.     Metodologi, ialah sebagaimana yang ditunjukkan oleh pernyataan, yakni ilmu pengetahuan atau mata pelajaran tentang metode dan khususnya metode ilmiah.
3.     Metafisika, yaitu hal-hal yang terdapat sesudah fisika, hal-hal yang terdapat di balik yang tampak.
4.     Ontologi dan kosmologi, ontologi membicarakan azas-azas rasional dari yang ada, sedangkan kosmologi membicarakan azas-azas rasional dari yang ada yang teratur.
5.     Epistemologi, yaitu cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan.
6.     Biologi kefilsafatan, membicarakan mengenai persoalan-persoalan biologi.
7.     Psikologi kefilsafatan, memberikan pernyataan-pernyataan psikologi yang meliputi apakah itu jiwa, ide, ego, akal, perasaan dan kehendak.
8.     Sosiologi kefilsafatan, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat masyarakat dan hakekat negara.
9.     Antropologi kefilsafatan, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang manusia.
10. Etika, adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang baik dan buruk.
11. Estetika, adalah cabang filsafat yang membicarakan definisi, susunan dan peranan seni.
12. Filsafat agama adalah cabang-cabang filsafat yang membicarakan jenis-jenis pertanyaan yang berbeda mengenai agama.

Ruang lingkup kajian filsafat meliputi bidang-bidang sebagai berikut:
1.     Kosmologi yaitu suatu pemikiran dalam permasalahan yang berhubungan dengan alam semesta, ruang dan waktu, kenyataan hidup manusia sebagai ciptaan Tuhan.
2.     Ontologi yaitu suatu pemikiran tentang asal-usul kejadian alam semesta.
3.     Phylosophy of mind yaitu pemikiran tentang jiwa dan bagimana hubungannya dengan jasmani dan kebiasaan kehendak manusia.
4.     Efistemologi yaitu pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh.
5.     Aksiologi, yaitu suatu pemikiran tentang masalah-masalah nilai.  (Bakhtiar, 2004:24).
Pengertian istilah filsafat secara etimologis tentunya belum cukup untuk mewakili pengertian filsafat, namun pemahaman secara etimologi merupakan pondasi dasar untuk memahami kata filsafat. Dalam proses perkembangannya, filsafat banyak mendapat isi dan sekaligus pengertian-pengertian baru, antara lain:
1.     Filsafat sebagai suatu sikap: filsafat sebagai suatu sikap terhadap kehidupan dan alam semesta.
2.     Filsafat sebagai suatu metode: filsafat sebagai cara berpikir secara reflektif (mendalam), penyelidikan yang menggunakan alasan, berpikir secara hati-hati dan teliti.
3.     Filsafat sebagai kelompok persoalan: berarti banyak persoalan atau permasalahan-permasalahan abadi dan para filsuf berusaha untuk mencari jawabannya, antara lain: apakah kebenaran itu?, mengapa manusia ada di dunia ? apa makna kehadiran manusia di dunia?, apakah manusia mempunyai kehendak bebas untuk menentukan nasib di dunia, atau sudah ditentukan oleh Tuhan ?.
4.     Filsafat sebagai sekelompok teori atau sistem pemikiran: sejarah filsafat ditandai dengan pemunculan teori-teori dan sistem-sistem pemikiran yang terlekat pada nama-nama filsuf besar.
5.     Filsafat sebagai analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah: kebanyakan para filsuf menggunakan analisis untuk menjelaskan suatu istilah dan pemakaian bahasa. Menganalisis berarti menetapkan arti secara tepat dan memahami saling hubungan diantara arti-arti tersebut.
6.     Filsafat sebagai usaha untuk memperoleh pandangan yang menyeluruh: filsafat sebagai ilmu yang mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai ilmu dan pengalaman manusia menjadi suatu pandangan dunia yang konsisten. (Bakhtiar, 2004:5-6).
Persoalan filsafat tentunya sangat berbeda dengan permasalahan non filsafat, perbedaan yang mendasar terletak pada materi dan ruang lingkupnya. Adapun cirri-ciri permasalahan filsafat antara lain:
1.     Bersifat sangat umum: objek kefilsafatan tidak menyangkut objek-objek khusus, dalam artian masalah kefilsafatan berkaitan dengan idea-idea besar
2.     Bersifat spekulatif: persoalan yang dihadapi melampaui batas-batas pengetahuan ilmiah (empiris)
3.     Bersangkutan dengan nilai-nilai (values): persoalan kefilsafatan bertalian dengan keputusan tentang pernilaian moral, estetis, agama, dan sosial.
4.     Bersifat kritis: filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsep-konsep dan arti-arti yang biasanya diterima dengan begitu saja oleh ilmuwan tanpa pemeriksaan secara kritis.
5.     Bersifat sinoptik : pandangan sinoptik berarti meninjau hal-hal atau benda-benda secara menyeluruh.
6.     Bersifat implikatif : apabila persoalan kefilsafatan sudah dijawab, maka dari jawaban tersebut muncul permasalahan baru yang saling berhubungan.


















FILSAFAT DARSANA
 

A. Pengertian
Mempelajari dan mengetahui filsafat Darsana merupakan hal yang sangat penting bagi umat Hindu, karena filsafat Darsana banyak memberikan pengetahuan mengenai pandangan-pandangan tentang kebenaran yang pada dasarnya kebenaran memiliki tiga sifat yaitu kebenaran absolut, kebenaran ilmu dan kebenaran relatif. Seorang dapat mengetahui kebenaran yang ada terutama kebenaran dari sebuah pandangan seseorang, kelompok atau sebuah klen, sehingga dapat menginterpretasikan atau menempatkan pengertian kita pada tempat baik.  Berbicara mengenai kebenaran tidak lepas dari suatu pandangan-pandangan, maka kebenaran itu terlihat berbeda-beda dari pandangan satu dengan pandangan yang lainnya, bilamana tidak memiliki dan mengerti arti kebenaran yang sesungguhnya tentunya akan terjadi pertentangan di dalam batin tentang pandangan yang dipercaya antara emosi dan pengetahuan pembaca sampai pada batas pandangan yang dapat dipahami, sementara pandangan yang belum mampu dipahami tentunya terasa janggal dan bahkan terasa tidak bisa diterima.
Filsafat Darsana merupakan suatu pandangan tentang kebenaran yang di dalamnya terdiri dari berbagai pandangan yang setiap pandangan memiliki definisi dan pembenarannya masing-masing. Di sini, jika seorang tidak memahami arti dari sebuah pandangan maka akan timbul keraguan dan kebingungan dalam memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada dirinya sendiri dan orang lain. Keraguan-keraguan seperti ini tentunya juga akan terjadi pada setiap umat Hindu yang mengetahui dan membaca ajaran agama Hindu.
Filsafat Darsana merupakan filsafat yang memperkaya pengetahuan kita sebagai umat Hindu dalam memandang suatu kebenaran tentang keyakinan, kepercayaan dan ilmu pengetahun tentang agama Hindu. Hal tersebut tentunya mengenai tentang percaya atau keyakinan adanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam Panca Sradha, cerita-cerita dalam purana, wiracarita, kosmologi Hindu, metafisika, Weda, yang kesemuanya disebut sebagai ilmu yang dapat dipelajari dan dikembangkan merupakan salah satu langkah memperkaya diri sekaligus menghindarkan diri dari patiktisme yang berlebihan dan dogmanisme yang tidak kontemporer serta kekakuan yang sebenarnya tidak berlaku umum dan bermanfaat untuk orang banyak dan kebaikan bagi diri sendiri.
Mempelajari filsafat Darsana tentu lebih baiknya dipelajari dari awal sampai pada inti pembincangan dari filsafat Darsana, sehingga kesimpulan yang nantinya ditarik setelah mempelajari filsafat Darsana tidak lepas dari harapan agama Hindu yaitu lahirnya seorang yang bijaksana, bermoral dan berbhakti pada Tuhan. Hal tersebut yang dimaksud adalah mengetahui filsafat Darsama mulai dari asal kata filsafat Darsana, pokok pembahasan dan beberapa aliran dari filsafat Darsana yang masing-masing memperbincangkan kebenaran yang berbeda-beda, keterkaitan filsafat Darsana dengan agama Hindu atau kontribusinya dalam agama Hindu dan kehidupan sehari-hari manusia yaitu dalam mengetahui kebenaran-kebenaran apa saja yang disampaikan serta yang terpenting adalah dapat membandingkan dan memperdebatkan masing-masing kebenaran tersebut untuk dapat secara bersama-sama ditarik suatu kesimpulan yang hasilnya dapat dipahami dan diterima oleh banyak orang dengan baik dan mudah.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya untuk mendisiplinkan pengaturan file dalam otak memori pengetahuan dan menstrukturkan pengetahuan secara wajar maka terlebih dahulu dijelaskan mengetahhui pengertian Darsana. Berikut didefisikan pengertian Darsana dari beberapa ahli yaitu kata darsana berasal dari bahasa sansekerta yaitu dari urut kata ”drs” yang berarti melihat atau memandang. Dalam hubungan ini kata Darsana berarti pandangan tentang kebenaran, berupa suatu pandangan yang benar terhadap apa yang harus dilakukan oleh seseorang baik moral maupun material untuk mencapai kebenaran atau kebahagiaan yang tertinggi dan abadi dalam situasi kehidupan yang tertentu (Sumawa, 1996:2). Hal yang disampaian Sumawa sebelumnya senada dan sekaligus dipertegas kembali oleh pendapat berikut yang menyatakan bahwa kata Darsana berasal dari urat kata "drs" yang artinya melihat atau memandang. Dalam hubungan ini kata Darsana artinya adalah sesuatu pandangan yang benar terhadap apa yang harus dilakukan oleh seseorang baik moral maupun material untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan abadi dalam kehidupan tertentu (Suardeyasa, 2007:7). 
Berdasarkan kedua pendapat di atas dinyatakan bahwa Darsana adalah filsafat yang berisikan beberapa pandangan atau cara menyebutkan, memuja, menyimpulkan kebenaran ajaran agama Hindu, memandang suatu pembenaran dari masing-masing sudut dengan gaya pembenaran masing-masing untuk mencapai kebahagiaan abadi yang disebut moksa.
Perlu juga diketahui nama atau istilah lain yang memiliki arti mendekati dengan Darsana yaitu yang terdiri dari: Tattwa, kata ini berasal dari kata ”tat” dalam bahasa sansekerta artinya itu. Kata itu juga berarti jiwa yang tertinggi atau Tuhan. Dengan demikian tattwa berarti hakekat atau kebenaran. Mananasastra, kata ini berarti pemikiran, perencanaan, pertimbangan dan renungan yang dimaksud adalah pemikiran atau renungan fisafati, sedangkan Wicarasastra, kata ini berarti pertimbangan, renungan, penyelidikan dan keragu-raguaan yang dimaksud adalah penyidikan tentang kebenaran atau filsafat (Sumawa,1996:2). Pendapat Sumawa kembali dipertegas yang dinyatakan bahwa nama lain atau istilah lain dari Darsana yaitu terdiri dari Tattwa; kata ini berasal dari kata "tat" yang artinya itu. Dalam bahasa sehari-hari kata tattwa berarti uraian tentang Ke-Tuhanan; b. Mananasastra: kata. ini berarti pemikiran, perencanaan. Pertimbangan atau renungan. Yang dimaksud adalah pemikiran atau renungan filsafat; c. Wicarasastra; kata ini berarti pertimbangan, renungan. Penyelidikan dan keragu-raguan. yang dimaksud adalah penyelidikan tentang kebenaran; d.Tarka; kata ini berarti spikulasi yang dimaksud adalah penyelidikan tentang kebenaran (Suatama, 2007:25).
Filsafat Darsana merupakan proses rasionalisasi dari agama dan merupakan bagian integral dari agama Hindu yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Agama memberikan aspek praktis ritual dan Darsana memberikan aspek filsafat, metafisika, dan epistemologi sehingga antara agama dan Darsana sifatnya saling melengkapi. Darsana muncul dari usaha manusia untuk mencari jawaban-jawaban dari permasalahan yang sifatnya transenden, dan yang menjadi titik awalnya adalah kelahiran dan kematian. Mengapa manusia itu lahir, apa yang menjadi tujuan kelahiran manusia, dan apa yang hilang ketika manusia mati, pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi titik awal dari Darsana. Filsafat Darsana sering kali dianggap Atman sentris, artinya semuanya dimulai dari Atman dan akhirnya berakhir pada Atman. Dalam proses pembelajarannya selalu mengarahkan pada tujuan hidup tertinggi yaitu Moksa, semua proses pikiran dan perasaan selalu diarahkan menuju tujuan tersebut. Sehingga filsafat Hindu bukanlah proses pemikiran yang kering dan tanpa tujuan. Realisasi Atman menjadi tujuan setiap Darsana walaupun dalam berbagai kapasitas yang berbeda, (Atman agar direalisasikan) atau kembalinya kedudukan asli Atman sebagai pelayan abadi Tuhan. Atman merupakan asas inti dari setiap kehidupan sehingga harus dipahami keberadaannya.
Pada intinya secara esensial, dalam konteks agama maupun Darsana, terdapat sebuah landasan bahwasannya di dalam diri manusia terdapat asas yang sifatnya abadi dalam diri manusia, yaitu Atman. Atman sebagai asas roh dan badan sebagai asas materi, Atman sebagai entitas yang independent dan kekal selalu bersifat murni terbebas dari berbagai mala (kekotoran). Mengembalikan Atman yang sifatnya abadi menuju sumber keabadian inilah yang menjadi tujuan bersama antara Darsana dan agama. Atman di dalam Bhagavadgita digambarkan sebagai berikut :

Acchedya artinya tidak terlukai oleh senjata.
Adahya artinya tidak dapat terbakar.
Akledya artinya tak terkeringkan.
Acesyah tak terbasahkan.
Nitya artinya abadi.
Sarwagatah artinya ada dimana mana.
Sthanu artinya tidak berpindah pindah
Acala artinya tidak bergerak.
Sanatama artinya selalu sama.
Awyakta artinya tidak terlahirkan.
Achintya artinya tidak terpikirkan.
Awikara artinya tidak berubah.

Karena sifat Darsana sebagai pandangan yang merupakan akibat dari aktifitas ‘melihat’, maka dapat disadari bahwa ada beberapa pandangan (Darsana) dalam tradisi intelektual India, secara umum filsafat India (Veda) dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: Pandangan yang orthodox, disebut juga Astika, kelompok ini secara langsung maupun tidak langsung mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari 6 aliran filsafat (Sad Darsana) yang pada akhirnya disebut sebagai filsafat Hindu, terdiri dari: Nyaya, Vaisesika, Samkhya, Yoga, Purwa Mimamsa, Wedanta (Uttara Mimamsa). Pandangan yang heterodox , disebut juga Nastika, kelompok ini tidak mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari Carwaka, Jaina, dan Buddha (Sumawa, 1996:3). Lebih jelasnya digambarkan dalam bagan struktur filsafat Darsana yaitu:




































                                                                                      Sumber: Sumawa, 1996:4)

Kebenaran yang dikemukakan oleh Weda pada dasarnya melingkupi lima aspek besar yaitu percaya kebenaran Brahman, kebenaran Atman, kebenaran karma, kebenaran Punarbawa dan kebenaran Moksa. Lima dasar inilah yang saat ini dikenal dan disebut degan nama atau ajaran Panca Sradha yang memiliki arti lima dasar keyakinan agama Hindu. Filsafat Darsana yang disebut juga dengan filsafat India pada garis pokoknya memiliki dua kelompok besar yang tentunya berbeda arah pandangannya atau pembenarannya yaitu terdiri dari kelompok Nastika yang tidak mengakui kewenangan Weda diantaranya Budha, Jaina dan kecuali Carwaka yang sepenuhnya kelima ajaran weda (Panca Sradha) ditolak. Misalnya Jaina yang mengakui adanya Atman, Karma, Punarbawa dan Moksa tetapi tidak mengakui adanya Brahman (Tuhan) tetapi mengakui adanya jiwa-jiwa yang bebas disebut dengan Sidhas yang ajarannya sangat menekankan pada Ahimsa dan Karma. Sedangkan Budha mengakui tiga aspek yaitu kebenaran Karma, Punarbawa dan Moksa tetapi tidak mengakui kebenaran Brahman dan Atman. (Sumawa, 1996:4).
Selanjutnya menuju pada kelompok besar yang kedua yaitu kelompok yang disebut dengan Astika yaitu kelompok yang mengakui kewenangan Weda yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang langsung bersumber dari weda dan kelompok yang tidak langsung bersumber dari ajaran Weda. Kelompok yang langsung bersumber dari Weda terbagi kembali menjadi 2 bagian yaitu bagian yang menitikberatkan pada pelaksanaan upacara dari ajaran Weda yaitu ajaran Mimamsa. Sedangkan bagian yang kedua yaitu bagian yang menitikberatkan pada pemikiran filsafat dari weda disebut dengan ajaran Vedanta. Ajaran Vedanta terbagi kembali menjadi ajaran Advaita, Visistadvaita dan Dvaita. Kembali pada kelompok kedua dari Astika yaitu kelompok yang tidak bersumber dari ajaran Weda terbagi menjadi ajaran Samkya, Yoga, Nyaya dan Vaisasika.
Dalam kelompok Astika sebenarnya tidak semuanya mengikuti inti ajaran Weda walaupun mereka mengakui kewenangan Weda misalnya seperti Samkhya dan Mimamsa yang hanya mengikuti empat aspek kebenaran dari lima hakekat yang dikemukakan Weda, sedangkan Nyaya, Waisasika, Yoga dan Vedanta sepenuhnya mengakui lima hakektai dari Weda. Kecuali carwaka semua filsafat India menganggap kehidupan di Dunia tidak langeng dan penuh pederitaan. Lahir berulang-ulang kali atau punarbawa itu sesungguhnya penderitaan. Moksa atau kelepasan merupakan paramartha yaitu tujuan hidup tertinggi maka selain carwaka disebut filsafat yang pesimis oleh orang-orang Barat maksudnya bahwa menganggap di Dunia ini penuh dengan penderitaan.
Setiap aliran filsafat Darsana di atas yang termasuk dalam kelompok Astika maupun Nastika memiliki tokoh-tokoh pendiri dan penekanan ajaran yang berbeda, lebih jelasnya dipaparkan berikut ini:
1.     Nyaya, pendirinya adalah Gotama dan penekanan ajarannya pada aspek logika.
2.   Vaisasika, pendirinya adalah Kanada dan penekanannya ajarannya pada pengetahuan yang dapat menuntun seseorang untuk merealisasikan sang diri.
3.     Samkhya, menurut tradisi pendirinya adalah Kapila dan penekanan ajarannya tentang proses perkembangan dan terjadinya alam semesta.
4.     Yoga, pendirinya adalah Patanjali dan penekanan ajarannya adalah pada pengendalian jasmani dan pikiran untuk mencapai samadhi.
5.     Mimamsa, pendirinya adalah Jaimini dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual dan susila menurut konsep Weda.
6.     Vedanta, kata ini berarti akhir Weda. Vedanta merupakan puncak dari filsafat India. Pendirinya adalah Sankara, Ramanuja dan madhawa, penekanan ajarannya yaitu pada hubungan Atman dengan Brahman dan tentang kelepasan.
7.     Carwaka, pendirinya ialah Bhagawan Wrhaspati dengan penekanan ajarannya pada aspek material sebagai tujuan hidup tertinggi dan tidak percaya terhadap kehidupan akhirat.
8.     Jaina, pendirinya adalah Mahawira, penekanan ajarannya aialah pada aspek ahimsa dan karma.
9.     Budha, pendirinya ialah Sidharta Gautama dengan penekanan ajarannya  pada ahimsa dan ketidakterikatan. (Sumawa, 1996:5-6).

B. Kedudukan Filsafat Darsana
Menurut Rabindranath Tagore filsafat India berpangkal pada keyakinan bahwa ada kesatuan fundamental antara manusia dan alam, harmoni antara individu dan kosmos, jadi orang India bukan belajar untuk menguasai India, tetapi berteman dengan dunia. Sedangkan menurut Harun Hadiwijono, pertumbuhan filsafat India keluar dari agama itu meliputi suatu proses yang sangat pelan-pelan. Jikalau zaman Upanishad pada umumnya dipandang sebagai saat kelahiran sang bayi filsafat India maka bayi sudah ada di dalam kandungan ibu “Agama Hindu” selama lebih dari sepuluh abad. Di dalam waktuyang sekian lamanya itu “embrio filsafat India” berkembang sehingga lahir sebagai filsafat India, sekalipun setelah kelahirannya filsafat India tidak pernah melepaskan diri dari pelukan sang ibu “Agama Hindu” (Surajiyo, 2009:167).
            Dalam konteks keilmuan bahasa Sanskerta filsafat India ini dikenal dengan istilah Sad Darshana. Darshana berasal dari urat kata drish yang artinya melihat atau memandang (Vreede, 1993:26). Dalam hubungan ini kata darshanam berarti pandangan tentang kebenaran. Sedangkan pengertian yang tersimpul dalam kata darshanam sendiri merupakan suatu pandangan yang benar terhadap apa yang harus dilakukan oleh seseorang baik moral maupun material untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan yang tertinggi dan abadi (moksa).
Pertumbuhan filsafat dimulai Sejak zaman Upanisad yang bibitnya sudah ada pada zaman Weda, maka dari itu dalam perkembangannya tidak lepas dari Weda sebagai induknya. Perkembangan filsafat dimulai pada tahun 2000 SM sampai tahun 1000 M (Sumawa, 1996:11). dari zaman yang sangat panjang tersebut dibagi menjadi empat zaman yaitu zaman Weda, Zaman Wiracarita, Zaman Sutra dan Zaman Skholastik diantaranya yaitu:
a.       Zaman Weda
Zaman Weda diperkirakan berlangsung tahun 1500 SM sampai dengan 600 SM, pada zaman ini tumbuhlah sumber-sumber keagamaan dari kitab-kitab yang isinya diwahyukan yaitu diantaranya kitab Weda Samhita, Kitab Brahmana dan Kitab Upanisad dinantaranya yang pertama yaitu zaman Weda Samhita yang pada intinya terpusat pada pemujaan kepada para dewa-dewa yang jumlahnya cukup banyak. Para Dewa dipandang sebagai kekuatan-kekuatan yang nyata dan berpribadi, maka dipuja dengan sesajen yang dilakukan dengan cara berpariasi baik sehari-hari maupun sewaktu-waktu tertentu yang disertai dengan mantra-mantra pujian. (Sumawa, 1996:12). 
Hubungan manusia dengan para Dewa sangat erat sekali sebagai hubungan yang bersifat kekeluargaan, para Dewa dianggap bapak atau saudara yang dimohon berkah dan perlindungan. Keterangan tentang asal mula alam semesta dijelaskan berasal dan diciptakan oleh para Dewa dari air. Dijelaskan dalam sloka-sloka Weda yang berisi pujian kepada Wiswakarman disebutkan bahwa air samudra yang pertama mengandung benih Dunia yang terapung di atas air dan dalam keadaan kacau. Dari benih atau telor itulah dilahirkan Wiswakarman yaitu anak sulung alam semesta yang menciptakan Dunia ini.
Mengenai susunan dunia dikatakan terdiri dari bumi, langit dan surga yang masing-masing ada Dewa sebagai pemimpinannya. Selain dari itu terdapat doa-doa bersifat duniawi seperti banyak anak, kekayaan, keselamatan, perjalanan dan sebagainya, selanjutanya jika dianggap sesuatu yang abadi dan yang hidup sekarang harus mengikuti hukum Rta dan setelah mati akan kembali pada asalnya. Begitulah awal filsafat atau suatu pandangan mengenai kebenaran dari dasar Weda tentang keyakinan atau Srdha pada zaman Weda Samhita.
Kedua yaitu pada zaman Brahmana yang ditandai dengan bagian Weda yang berisi peraturan-peraturan keagamaan yang disusun dalam bentuk prosa. Pokok pembicaraan kitab Brahmana adalah tentang upacara yajna yang meliputi arti, persyaratan dan kekuatan gaib yang ada dalam upacara tersebut. Kehidupan didominasi dengan upacara yang kedudukannya sangat penting. Yajna yang kecil dilakukan oleh kepala keluarga sedangkan yajna besar dilakukan oleh raja. Pada zaman Brahmana kehidupan masyarakat  terbagi atas empat tingkatan yang disebut dengan Catur Asrama diantaranya Brahmacari, Grahasta, Wanaprashata dan Sanyasin. Pada masa Brahmacari dai usia 8-12 tahun anak diserahkan kepada guru untuk dididik dan dilakukan upacara dengan mengikuti praturan. Setelah dewasa memasuki masa Grahasta dengan dinikahkan membentuk keluarga, setelah mempunyai cucu yang pertama maka mulai meninggalkan kehidupan duniawi dan mendalami makna hidup dengan tapa dan samadhi dan yang terakhir masuk masa Sanyasin yaitu melakukan dharmayatra untuk pembinaan umat dan mencapai kelepasan. Dilihat dari segi filsafat zaman Brahman ini menjadi zaman pendahuluan pemikiran yang bersifat metafísika, pikiran lebih diperluas dan bentuk yang lebih abstrak dan sistematis.
Ketiga yaitu zaman Upanisad ditandai dengan adanya kitab Upanisad sebagai sumber pokok pada zaman ini yang memiliki arti duduk di bawah kaki guru, ini berarti dekat mendengarkan ajaran sang guru yang bersifat rahasya. Kitab upanisad berjumlah 108 yaitu 12 buah dipandang penting yaitu Isa, Kena, Katha, Prasana, Mundana, Manduknya, Aitareya, Taittiya, Chandogya, Brhadaranyaka, Kausitaki dan Swetaswatara. Kitab tersebut digunakan dalam menganalisis dan membahas kitab Brahma Sutra. Pokok ajaran dalam kitab Upanisad garis mesarnya membahas berbagai aspek yang diuraikan secara filosofis yang bersifat ilmiah spekulatif dari pada praktis. Hampir semua kitab Upanisad membahas hakikat Brahman, Atman, hubungan Brahman dengan Atman, hakekat maya, hakekat widya dan awidya serta kelepasan. Ajaran yang menonjol yaitu ajaran yang monistis dan absolutistas artinya mengajarkan bahwa segala sesuatu yang bermacam-macam ini dialirkan dari satu asas atau realitas tertinggi, yang tidak dapat dilihat, tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat ditangkap oleh akal manusia tetapi melingkupi segalanya yang disebut Brahman.
Selain dari pada itu ajaran yang menonjul bahwa Brahman bersifat transenden yang berada di luar alam semesta, di luar batas pikiran manusia dan bersifat imanen yang berada di alam semesta, di dalam diri manusia dan yang hanya berada dalam batas pikir manusia. Brahman yang berada dalam diri manusia disebut dengan Atman yang dibungkus Panca Maha Bhuta, Panca Maya Kosa yang memiliki sepuluh indriya (pancabudhidriya dan pancakramanidriya) dan semua lapisan akan berubah-ubah setiap saat.
Pada zaman ini dikenal dengan ajaran karma atau perbuatan yang berakar dari dari pada ajaran Rta atau hukum alam. Ajaran ini berlaku pada kehiduan yang sekarang tetapi juga pada kehidupan yang akan datang, ajaran tentang kelahiran kembali dipandang sebagai suatu kaitan dengan kehidupan sebelumnya dan berdampak pada kehidupan yang akan datang.
b.      Zaman Wiracarita
Zaman ini penuh dengan kejadian-kejadian penting yang mengoyangkan pemikiran orang India karena krisis politik.  Pada zaman ini adanya kitab Ramayana dan Mahabharata di mana aliran filsafat bersifat atheistis yaitu carwaka, jaina dan budha. Carwaka dinamakan Lokayatika tidak mengakui adanya Tuhan, Atman, Karma, Punarbawa dan moksa dan tujuan tertingginya adalah terpenuhnya kepuasan indriyanya tetapi aliran ini mengakui adanya kehidupan di akhirat. Ajaran filsafat Jaina menekankan pada ahimsa dan karma yang mengajurkan pengikutnya bila berjalan menutup mulut dan membawa sapu, sedangkan kelompok Budha yang menekankan pada ahimsa dan karma.
Ramayana dikarang oleh maha Rsi Walmiki permulaan tahun Masehi terdiri dari 7 kanda (jilid) dalam bentuk syair sebanyak 24.000 sloka, isinya menekankan tentang keagamaan atau kesusilaan yang mendalam yang dapat dipergunakan sebagai pedoman oleh Amat Hindu. Sedangkan kitab Mahabhrata yang dihimpun oleh Rsi Wyasa Krisna Dwaipayana yang berisikan bermacam-macam yang terdiri dari 18 Parwa dalam bentuk syair sebanyak 100.000 sloka, cerita pokok meliputi 24.000 sloka menceritakan peperangan dahsyat selama 18 hari antara Pandawa dan Kaurawa yang selengkapnya disebut “Mahabharatayudha” yang artinya perang besar anatara keluarga Bhatara.
Ajaran filsafat dalam zaman ini diambil dari wejangan Krisna kepada Arjuna di Medan perang yaitu keragu-raguan Arjuna dalam mendan perang, perbincangan itu dibukukan ke dalam 18 bab atau adyaya yang terdiri dari 700 sloka yang disebut Bhagawadgita. Ajaran ini berpangkal pada tiga prinsip yaitu Iswara, Purusa dan prakerti, Iswara aspek Brahman dalam wujud imanen yang memiliki daya dan intensitas yang ditangkap oleh perasaan dan pikiran disebut dengan Apara Brahman yang sama artinya dengan Saguna Brahman. Wujud kedua yaitu Para Brahman wujud transenden yang tidak dapat ditangkap oleh perasaan dan pikiran sama juga dengan Ninguna Brahman atau Parama Siwa. Alam semesta berasal dan berakhir pada Brahman dan terdapat tiga jalan mencapai kelepasan menyatu dengan Brahman yaitu Bhakti, karma dan Jnana ketiga ajaran ini bersifat monisme. (Sumawa, 1996:22-24).

c.       Zaman Sutra
Setelah zaman Wiracarita muncul zaman Sutra yang ditandai dengan adanya susunan kitab-kitab Sutra sekitar tahun 500 SM sampai dengan 500 M. Kitab-kitab Sutra pada umumnya berisi uraian prosa yang disusun secara singkat dengan maksud agar mudah dihapal dan mudah dipergunakan sebagai buku pegangan. Kitab Sutra inilah yang menjadi sumber sistem-sistem filsafat yang tinggal pada masa ini, seperti Brama Sutra oleh Badarayana, Yogasutra oleh Patanjali, Samkhya Sutra oleh Kapila, Nyayasutra oleh Gautama, Waisasikasutra oleh Kanda dan Mimamsasutra oleh Jaimini.
d.      Zaman Skholastik
Zaman ini sekitar tahun 200 M yang disebut zaman kemajuan dengan munculnya tokoh-tokoh besar seperti Sankaracarya, Ramanuja dan Madhwa. Zaman ini  tidak dapat dipisahkan dengan zaman Sutra karena tokoh-tokoh besar yang berhasil menyusun kembali ajaran-ajaran kuna berhasil memberi angin baru dalam perkembangan pemikiran India.

C. Tujuan Mempelajari Filsafat Darsana
Pada garis besarnya pengertahuan filsafat Darsana dapat memberikan keterangan yang seluas-luasnya terhadap hal-hal yang bersifat keduniawian dan kerohanian yang menjadi tujuan hidup manusia, sehingga akan terwujud kebijaksanaan dan cara berpikir. Inti filsafat Darsana yaitu berusaha untuk mengungkapkan berbagai gejala-gejala duniwai sampai pada kesimpulan yaitu tercapainya kebenaran dan tercapai juga kebahagiaan, karena manusia dihadapkan pada dualisme yang berbeda yang dapat membingungkan dan menyesatkan, yaitu tepatnya tercapainya tujuan hidup tentang Dharma, artha, kama dan moksa.
Filsafat Darsana akan mencoba memahami secara lebih umum tentang dirinya sendiri, alam semesta, tentang Tuhan yang tertuang dalam filsafat Darsana. Jika dilihat dari Weda maka Filsafat Darsana termasuk dalam kitab Sruti yang sama artinya dengan wahyu yang mana filsafat Darsana mengandung  hal-hal penting menjadi tujuan pembelajarannya  yaitu:
1.     Ajaran yang mencakup aspek filsafati atau keilmuan yang menjelaskan hakekat mengenai ketuhanan, Atman, Karma, Punarbawa dan moksa atau kelepasan.
2.     Ajarannya mencakup aspek ritual atau yajna yang dibahas secara luas, mengadung ajaran etika atau susila.
3.     Untuk menemukan kebenaran tentang hakekat Tuhan, manusia dan alam semesta.
4.     Untuk mengembangkan kebijaksanaan pada diri sediri pribadi dan persepsi seorang terhadap berbagai masalah yang sedang dan yang akan dihadapi.
5.     Untuk memberikan atau memudahkan jalan bagi setiap orang dalam usaha mereka mencapai kesempurnaan hidup sesuai dengan konsep ajaran Agama Hindu.
Dari apa yang diuraikan di atas kita dapat mengetahui betapa pentingnya peranan filsafat Darsana dalam kehidupan manusia yang berguna untuk mengenal bagaimana pandangan agama Hindu terhadap Tuhan, manusia dan alam semesta.
filsafat India yaitu filsafat Darsana dapat dibagi dua golongan besar, yaitu (1) astika yang berpaham ortodoks; dan (2) nastika yang berpaham heterodoks. Disebut astika, golongan ini secara langsung maupun tidak langsung mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya yang terdiri dari enam filsafat yaitu: Nyaya, Vaisesika, Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Vedanta. Disebut juga Nastika, golongan ini tidak mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajaranya terdiri dari Carwaka, Buddha dan Jaina.




MIMAMSA DARSANA






A. Pemahaman Filsafat Mimamsa
Sistem filsafat mimamsa terbagi menjadi dua jenis yaitu: Purwa Mimamsa dan Uttara Mimamsa. Mimamsa sering juga disebut Purwa Mimaniba yang artinya penyelidikan sistimatis yang pertama, yang dimaksud bahwa sistem ini membicarakan bagian Weda yang pertama yaitu kitab Brahmana. Sedangkan Utara Mimamsa disebut juga Wedanta yang artinya penyelidikan sistematis yang kedua, yang dimaksud adalah sistem ini membicarakan bagian Weda yang kedua yang disebut kitab Upanisad. (Sumawa, 1996:105). Sifat ajaran filsafat adalah pluralistis dan realistis, disebut pluralistis karena mengakui adanya banyak jiwa dan penggandaan asas badani yang membenahi alam semesta. sedangkan disebut realistis karena mengakui bahwa obyek-obyek pengamatan adalah nyata. Definisi tentang pembagian mimamsa tersebut dipertegas kembali bahwa aliran mimamsa juga disebut Purwa Mimamsa karena membahas hasil-hasil dari segi-segi ritual kebudayaan zaman Weda sedangkan Uttara Mimamsa yang juga disebut Wedanta merupakan perkembangan dari segi pemikirannya (Pendit, 2007:129).
Sistem Mimamsa menerima dua jenis pengetahuan yaitu: immediate  dan  mediate. Immediate  ialah pengetahuan yang terjadi dengan tiba-tiba, langsung dan tak terpisahkan dan objek pengetahuannya haruslah sesuatu yang ada atau zat, sedangkan mediate ialah pengetahuan yang diperoleh melalui prantara atau media. Pengetahuan yang berdasar apa yang tidak dapat ditentukan terlebih dahulu serta datangnya secara tiba-tiba disebut dengan Nirwikalpa Pratyaksa atau Alocana Jnana. Dan bila pada tingkatan berikutnya kita menginterpretasikan arti dari objek itu berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang kita miliki sebelumnya, sampai kita mengerti benar mengenai benda itu itulah persepsi yang sudah kita tentukan yang dinyatakan dalam pertimbangan-pertimbangan dinamakan Sawikalpa pratyaksa. (Sumawa, 1996:115). Pendapat Sumawa tersebut kembali ditambahkan bahwa Mimamsa mengakui adanya dua macam pengetahuan yaitu pengetahuan yang langsung pertama diterima oleh indriya dan mengetahui benda tersebut namun belum dapat dipaparkan disebut dengan Nirwikalpa pratyaksa dan pengetahuan tak langsung merupakan pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran dikaitan dengan objek yang baru masuk ke dalam pikiran dan dinterpretasikan dan dapat mempunyai persepsi yang dapat dipastikan  dengan berbagai pertimbangan sehingga dapat memutuskan benda tersebut seperti apa yang disebut dengan Sawikalpa prat  (Pendit, 2007:131).
Yang menjadi sumber pokok ajaran Mimamsa adalah Mimam Sutra sebuah karya Maha Rsi Jaimini. Dalam perkembangan selajutnya timbulah kitab komentar terhadap Mimamsa Sutra ditulis oleh Sabarawamin Komentar ini diterangkan dengan cara yang berbeda oleh Kumarila Bhatta dan Prabhakara. oleh karena itu timbullah dua aliran yaitu pengikut Kumarila Bhatta dan pengikut Prabhakara Pokok-pokok ajaran kedua ini pada prinsipnya sama. Aliran dari filsafat Mimamsa yang dipimpin oleh Maha Rsi Prabhakara mengemukakan adanya empat sumber atau alat pengetahuan (pramana) antara lain: 1) Upamana atau perbandingan, 2) Sabda yaitu pernyataan seseorang tentang sesuatu, 3) Arthapati yaitu perkiraan tanpa bukti, 4) Anupalabdhi yaitu tanpa persepsi. (Sumawa, 1996:119-120). Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya ditambahkan kembali oleh Pendit bahwa sumber alat atau sumber untuk memperoleh pengetahuan terbagi menjadi 4 macam yang termasuk sumber pengetahun tak langsung atau non persepsional yaitu 1) perbandingan (upamana), 2) wewenang atau kesaksian (sabda), 3) hipotesis (arthapati, dan 4) Non persepsi (anupalabdhi). (Pendit, 2007:133-143).
Berdasarkan kedua pendapat ahli di atas dapat dilihat dan dipahami bahwa cara atau alat memperoleh pengetahuan menurut filsafat Mimamsa pada dasarnya terdapat lima cara atau alat memperoleh pengetahuan tetapi pengetahuan langsung tidak termasuk alat melainkan suatu bentuk interaksi indriya yang tidak dapat dihindari pada pendahuluan persepsi pengetahuan yang datang. Tetapi yang dikatakan alat yang aktif terdapat empat macam yaitu dengan perbandingan, kesaksian, penafsiran sementara dan tanpa persepsi. Lebih jelasnya dipaparkan berikut ini yaitu:

1.      Perbandingan atau Upamana
Pandangan Mimamsa tentang Upamana bahwa perbandingan pengetahuan berdiri sendiri yang dikaibatkan oleh perasaan akibat adanya perbedaan. Menurut mimamsa pengetahuan muncul  dari perbandingan, bila kita tahu bahwa objek yang diingat adalah persis seperti yang diterima (Sumawa, 1996:116). Hal tersebut dipertegas kembali bahwa pengetahuan perbandingan tersebut muncul dari perbandingan tatkala pada saat kita melihat objek yang sekarang tampak sama seperti objek yang diketahui di masa lampau maka kita jadi dapat mengetahui objek yang dilihat (Pendit, 2007:133). Dengan demikian Upamana atau perbandingan ini terjadi apabila adanya pengetahuan awal di dalam pengetahuan diri kita sehingga jika melihat objek atau benda dapat diperbandingkan dengan pengetahuan sebelumnya maka dapat dengan benar mengetahui benda atau objek yang telah dilihatnya melalui indiriya baik di dengar, dirasakan atau dengan perasaan.
Sebagai contoh akan dipaparkan suatu ilustriasi, sewaktu anda kecil pernah melihat bahkan bermain layang-layang yang biasanya terbuat dari beberapa pilah bambu yang sudah dibersihkan dan dirapikan dibentuk berbentuk limas dan diberikan kertas atau plastik kemudian diberikan benang dan seterusnya mencari lapang yang luas dan menerbangkan layangan dengan benang yang panjang, semakin panjang benang diulurkan semakin tinggi dan jauhlah layangan tersebut. Setelah anda besar pergi pantai kuta Bali dan melihat beberapa toris sedang diikat dengan tali yang panjang dan menarik layangan yang besar dan toris itu diterbangkan dan semakin panjang tali diulurkan oleh penjaga pantai semakin jauh dan kecillah kelihatan layang-layang dan toris tersebut. Dengan demikian anda akan dapat mengatakan itu adalah sebuah layang-layang yang besar karena anda sudah mengetahui layang-layang itu bentuknya dan sifatnya serta ciri-cirinya demikian yaitu terdapat tali, plastik atau kertas, ada orang yang menerbangkan di lapang yang luas yang terdapat banyak angin. Sehingga anda langsung dapat mengatakan itu adalah sebuah layang-layang besar, tetapi apabila anda tidak memiliki pengetahuan tentang layang-layang maka anda tidak akan bisa langsung mengetahui benda tersebut sebelum bertanya kepada orang yang sedang mengetahui hal tersebut.
Sebagai contoh yang kedua yaitu jika seorang anak yang tinggal di desa bersama-sama dengan kakak dan orang tuanya selalu mengerjakan pekerjaan setiap pagi mengarit rumput dan memberi makan rumput pada sapi, memandikan sapi dan dipakai membajak sawah. Setelah anak tersebut pergi kekebun binatang melihat kambing dan onta maka anak tersebut akan berbicara bahwa itu adalah sapi karena bentuk ciri-cirinya sama memiliki empat kaki, memakan rumput dan bentuk kepalanya sama maka anak itu mengangap kambing tersebut adalah sapi seperti yang dilihatnya di rumah.
Pengertahuan yang seperti ini tidak dapat diklasipikasikan ke dalam persepsi, karena objek yang dikenal tidak diterima dengan waktu yang bersamaan maksudnya datangnya tidak melalui  analisis berpikir karena benda atau objeknya sudah dikenal sebelumnya sehingga mengunakan ingatan dasar atau ingatan karena ketertarikan objek yang dilihatnya. Bentuk ingatan seperti ini tidak dapat dikatakan kesimpulan karena perbandingan yang dilakukan sekedar ingatan pemenuhan keinginan dari penarikan objek atau benda yang menurutnya menarik dan ada di dalam ingatan yang telah dikenalnya.
Kesamaan dari suatu perbandingan sebagai suatu kategori kenyataan yang terpisah bahwa kesaman tidak dapat disebut kualitas yang lain, karena suatu kualitas tidak dapat dimiliki oleh suatu kualitas yang lain. Tetapi kesamaan dimiliki oleh kualitas-kualitas pula, ia tidak dapat diperlakukan sebagai suatu yang universal karena universal berarti sesuatu yang benar-benar identik dalam banyak individu (Pendit, 2007:136). Hal yang disampikan di atas dapat dipahami bahwa Mimamsa memandang dalam mengamati dengan perbandingan hanya sebuah awal dari suatu analisis untuk mendapat kebenaran yang sejati, karena dengan membandingkan terlebih dahulu maka akan terpancing pikiran untuk lebih semangat menganalisis dan mencari tahu pembenaran. Akan lebih bagus hasil analisis bila hasil perbandingan ternyata dari kesamaan berangsur-angsur terlihat perbedaan. Tetapi hasil analisis tersebut tentunya tidak memiliki kesamaan seperti penafsiran awal bahwa kambing sama dengan sapi di rumahnya tetapi setelah dianalisis ternyata yang seperti sapi adalah kambing yang lebih kecil tubuhnya dari sapi dan namanya kambing serta makanannya tidak sama persis seperti sapi dan kambing tidak mempunyai tanduk seperti tanduk sapi begitu seterusnya. Dengan demikian bahwa perbandingan dari kesaman tidak berlaku pada Upamana Mimamsa yang sebenarnya hal ini dinyatakan bahwa semua yang dapat diperbandingkan memiliki kualitas atau perbedaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh kualitas lainnya atau objek lainnya.
Jika dikaitkan dalam memperoleh kebenaran dalam konsep agama Hindu bahwa konsep tersebut merupakan konsep yang langsung bersumber dari ajaran weda yang menekankan kepada pribadi setiap individu, benda, tumbuhan, hewan atau yang lainnya memiliki kualitas yang berbeda-beda. Kualitas yang dimaksud adalah karma akibat dari punarbawa dan kualitas Sang atman atau jiwa di dalamnya. Tetapi dalam hal ini untuk memudahkan dan mempersonifikasikan Tuhan yang tidak terpikirkan untuk dapat dikomunikaskan menjadi hal yang dapat dipikirkan Tuhan dapat diperbandingkan dengan bentuk seperti manusia, setengah manusia, seperti binatang, tumbuhan atau benda mati, tetapi persaman itu bukan berarti kualitasnya sama melainkan hanya sebuah perbandingan untuk mencapai komunikasi dengan hal yang tidak terpikirkan atau Nirguna Brahman.
Dengan demikian bahwa Upamana atau perbandingan dalam filsafat mimamsa digunakan dalam kehidupan beragama Hindu yaitu dengan mempersamakan kekuatan Tuhan dalam bentuk tertentu yang telah dikenal terlebih dahulu oleh manusia, agar dalam mengkomukiasikan atau berhubungan diri dengan Tuhan lebih mudah seperti bentuk patung Dewa seperti manusia, pratima di Bali, banten, dan lain sebagainya. Telah sangat jelas Upamana bersumber dari ajaran Weda sebab mengakui lima dasar agama Hindu yaitu percaya bahwa setiap benada, hewan, tumbuhan,  manusia dan benda lainnya memiliki kualitas yang berbeda yang disebut dengan karma, dan segala yang diketahui untuk diperbandingkan adalah hasil karma terdahulu dalam jalur renkarnasi dan tujuan perbandingan mencari kesamaan dalam kualitas yang berbeda-beda dan hanya kualitas yang sama di dalam perbedaan kualitas yaitu disebut dengan jiwa atau Atman yang kualitas kesamaan adalah dengan Tuhan atau Brahman. Dengan mengetahui awal kesamaan yang memiliki perbedaan kualitas dan dalam perbedaan kualitas ternyata tersimpan kesamaan itu disebut dengan mencapai tujuan agama Hindu atau tujuan hidup disebut Moksa atau kelepasan kehidupan yang abadi.



2.      Pernyataan Sesorang Tentang Sesuatu atau Sabda
Melangkah pada cara memperoleh pengetahuan yang selanjutnya yaitu disebut Sabda atau pernyataan seseorang tentang sesuatu dan juga dapat dikatakan wewenang atau kesaksian. Bagi Mimamsa alat pengetahuan ini yang terpenting karena berkaitan dengan sabda kitab Suci Weda, karena Weda dipandang bukan sebagai hasil karya manusia tetapi juga juga hasil karya yang muncul dari kehendak Tuhan yang kekal abadi. Dengan demikian mimamsa membagi Sabda menjadi 2 sumber yaitu sumber dari seseorang atau pribadi yang dapat dipercaya (anapta-wakya) merupakan kesaksian atau pernyataan seseorang yang dapat dipercaya berupa lisan dimana dibagi juga menjadi dua jenis yaitu yang bersifat manusia atau personal (pauruseya) dan yang bukan manusia atau impersonal (apauruseya). Dan kembali pada yang kedua dari bagian pertama yaitu bersumber dari yang tidak langsung yaitu bersumber dari kitab Suci Weda. Lebih jauh tentang infromasi objek (siddhartha wakya) selanjutnya memberikan petunjuk-petunjuk tentang pelaksanan suatu tindakan (vidhayaka vakya) (Sumawa, 1996:118), Pendit (2007:136).
Mimamsa berpandangan dari kedua sumber pengetahuan lebih diperhatikan pada sumber yang berasal dari kitab suci Weda sebab kitab suci weda sudah mewakili seluruh sumber baik secara pribadi maupun dari bukan manusia dan juga kitab suci laninya. Memilihnya kitab suci sebagi sumber sabda karena kitab Weda telah merangkum segala sumber pengetahuan yaitu sabda lisan yang diterima para Maha Rsi dari Brahman, terdapat petunjuk-petunjuk, terdapat berbagai informasi tentang segalanya, diturunkan dari orang-orang yang dapat dipercaya dan tentunya orang yang dapat dipercaya menerima dari objek yang bukan orang yaitu Tuhan atau Brahman. Argumentasi panjang diajukan untuk menguatkan pandangan di atas yaitu:
a.      Seandainya kitab suci Weda ada pengarangnya, namanya pasti disebutkan, dikenal dan diingat, karena ajaran-ajaran bijak dari Weda telah diturunkan dari generasi-kegenarasi guru, cendikiawan dan mereka yang belajar, terus menerus tanpa keputusan, sejak zaman dahulu kala yang tidak diketahui permulaanya. Namun tak satu namapun dari pengarangnya yang dikenal dan diingat. Bahkan mereka yang percaya pada kitab suci Weda tidak sepakat tentang asal mulanya. Beberapa diantara mereka mengatakan Tuhan Hirayangarbha, ada prajapati sebagai penciptanya. Kenyataan mereka berpikir samar-samar berdasarkan analogi buku-buku biasa, bahwa kitab suci Weda seharusnya ada pengarangnya, tetapi mereka tidak mengetahui secara pasti siapa pengarang tersebut. Memang ada nama tertentu tercantum tetapi nama Rsi-rsi, yang dalam hal ini  pelopornya dari berbagai sampradaya menjadi kitab suci Weda belum diketahui sehingga kitab Weda bukan karangan siapapun atau dapat disebutkan beberapa nama melainkan disusun dengan banyak orang dan dalam waktu yang sangat lama.
b.     Mimamsa mengajukan teori bahwa kata-kata (sabda) adalah sebetulnya bukan bunyi yang didengar tetapi sebuah pengungkapan dari kata-kata yang dirinya (kata-kata itu) sendiri tidak diciptakan. Sesungunguhnya kata-kata adalah huruf-huruf yang terbagi-bagi dan tidak mempunyai sebab. Sebuah huruf diucapkan oleh orang yang berbeda-beda ditempat yang berbeda-beda, pada waktu yang berbeda dan dengan cara yang berbeda pula. Walaupun bunyi huruf ini berbeda-beda, kita mengetahui bahwa huruf yang sama diucapkan oleh mereka semua. Identitas huruf ini menunjukkan bahwa ia (huruf itu) tidak dibuat pada suatu waktu di suatu tempat melainkan suatu eksistensi keabadian tanpa awal, ruang, waktu dan sebab dimensi. Karena itu kata-kata seperti halnya huruf-huruf dapat dipandang sebagai kekal abadi yaitu memiliki eksistensi tetapi tidak memiliki sebab atau tidak ada yang menyebabkan.
c.      Suatu argumentasi mendukung bahwa kitab suci Weda bukan buatan manusia karena kitab tersebut menjelaskan tugas-tugas ritual yang menyatakan hasilnya (seperti mencapai moksa dll). Hubungan antara pelaksanan tugas-tugas tersebut dan hasilnya yang demikian tidak dapat dikatakan sama yang seperti dialami seseorang. Jadi tak seorangpun dapat dikatakan pengarang kitab suci Weda dan juga tidak masuk akal untuk mengatakan bahwa pengarangnya adalah seorang penipu yang cerdik, karena jika demikian tak seorangpun mempelajari ajarannya sejak purbakala.
d.     Ketidak salahan (kebenaran) wewenang kitab suci Weda terletak pada kenyataan bahwa ia tidak dinodai oleh suatu kesalahan apapun yang bisa terjadi pada karangan buatan manusia.
e.      Kitab suci Weda bukan buatan manusia, karena pengetahuan yang diperoleh adalah tugas kewajiban yang bebas dan berdiri sendiri. Terdapat nilai khusus yaitu mengandung wahyu Tuhan yang tidak dapat ditemukan pada kitab lainnya. Tidak seperti manusia dimana penggetahuan yang baru ada karena pengetahuan sebelumnya tetapi berbeda dengan kitab suci Weda tidak demikian terlahir tanpa adanya pengetahuan sebelumnya itu menandakan kitab Weda adalah kekal abadi.
f.      Pengetahuan yang kekal abadi adalah pengetahuan yang dijamin oleh kondisi-kondisi yang memungkinkan pengetahuan dapat diterima dalam waktu, tempat dan situasi manapun dan menjamin kepada siapa yang mengunakan pengetahuan tersebut tidak seperti pengetahuan lainnya hanya menjamin kebenaran pada dirinya sendiri. (Pendit, 2007:138-140).
Pernyataan Mimamsa seperti tertuliskan di atas dalam dunia pendidikan ilmiahpun sepertinya sependapat dan sepakat seperti apa yang disampaikan Mimamsa yaitu dalam memperoleh pengetahuan hendaknya berdasarkan sumber tertulis yang kebenarannya yang telah teruji dan telah diterima oleh lembaga penjamin resmi milik pemerintah. Sebagai contoh pembuatan karya tulis, seorang penulis dalam berpendapat harus didukung oleh sumber yang baku dari hasil penelitian, penulisan, jurnal terdahulu yang kebenarannya telah terbukti. Dalam hal ini buku yang memiliki ijin yang terlebih dahulu dikoreksi dan diamati oleh tim ahli begitu juga dengan hasil penelitian yang sudah diujiakan dan memiliki hasil yang baik. Jika tidak demikian maka tentunya hasil yang penulis tawarkan kurang valid atau kurang sahih atau kurang ada dukungan pendapat dari berbagai sumber sehingga akan mudah mencari kesalahan atau kesalahan akan mudah terjadi, karena dengan banyaknya sumber maka akan meminimalisir kesalahan karena setiap gerak dan prilaku dikontrol oleh sumber-sumber yang digunakan.
Begitu halnya dengan pengetahuan agama Hindu dalam menganalisis persoalan yang terjadi baik menyangkut filsafat, ritual, etika maupun kehidupan sehari-hari selalu berdasarkan ajaran Weda agar sedapat mungkin menghilangkan kesalahan atau kekeliruan serta dosa. Selain dari pada itu ajaran Weda menyangkut segala aspek kehidupan itu terbukti seperti teori Mimamsa bahwa kata-kata yang terdiri dari huruf-huruf dalam Weda telah tersusun oleh manusia sejak mansuia itu belum mengetahui kata-kata atau huruf-huruf tersebut sehingga sudah memastikan ajaran Weda benar adanya dari Tuhan.
Dalam konsep Mimamsa menekankan lebih dalam mengenai segala perbuatan didasarkan pada kebenaran yang mutlak yang bersumber dari kitab suci Weda. Tindakan adalah sebuah kerja, kerja adalah sebuah perbuatan, perbuatan adalah sebuat ritual, ritual yang menghasilkan suatu hasil yang sama dengan tindakan tersebut. Setiap tindakan adalah doa atau permintaan dari orang yang bertindak untuk mewujudkan sesuatu yang diinginkan dari tindakan tersebut. Setiap doa dalam tindakan akan selalu dikabulkan atau diberkati oleh Tuhan, maka dalam berbuat selalulah berdasarkan kitab Suci Weda atau kebenaran Tuhan agar hasil dari doa itu tekendali dan sadar dilakukan untuk mencapai kebahagiaan tanpa sebab dan akibat. Tentunya Mimamsa lebih menekankan pada tindakan sebagai suatu ritual dan doa mencapai Brahman. Dengan demikian manusia dianjurkan untuk bertindak dan melaksanakan ritual yang diperintahkan dalam Weda untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagian di Dunia dan diakhirat.


3.      Perkiraan Tanpa Bukti (Hipotesa atau Arthapatti)
Arthapatti adalah suatu bentuk perkiraan yang sangat diperlukan terhadap sesuatu yang sulit dipahami melalui beberapa penjelasan yang  berlawan  satu dengan  yang lain. Penjelasan ini memerlukan  beberapa fakta untuk  menerangkan   suatu   bentuk   yang   sebenarnya. Bila   memberikan penjelasan tentang suatu benda yang belum pernah dilihat wujudnya kepada seseorang hendaknya menjelaskan benda yang dimaksud itu dengan benda lain yang sudah dikenalnya, sehingga orang tersebut mudah mengenalinya.
Arthapatti adalah hipotesis penting dari fakta yang tak dapat dilihat yang ia sendiri tidak dapat menjelaskan dan membutuhkan penjelasan. Proses menjelaskan suatu gejala yang tidak mungkin tanpa penjelasan ini dengan penekanan pada penjelasan fakta tersebut (Pendit, 2007:141). Seperti halnya melihat seseorang yang badanya gemuk, padahal ia tidak pernah kita lihat makan pada siang hari, dalam hal ini terdapat suatu kenyataan yang bertentangan dengan badannya. Dalam pandangan sepintas orang tersebut seperti puasa atau jarang makan sehingga sangat sukar menafsirkan mengapa orang tersebut tetap gemuk, maka hal yang diperkirakan bahwa orang tersebut kuat makan pada malam hari dikarenakan karena kesempatan dan hobi makan pada malam hari.
Contoh di atas merupakan penafsiran yang sederhana karena masih terdapat pilihan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan dalam diri. Hal inilah yang disebut dengan Arthapatti. Kemudian pengetahuan seperti itu belum tepat dikatakan kesimpulan sebab jika dikatakan kesimpulan harus sudah dapat dilihat orang tersebut hobi dan hanya ada kesempatan makan pada malam hari. Jadi hal tersebut merupakan penarikan sementara jawaban sebagai bentuk analisis selanjutnya mencari kesimpulan yang sebenarnya yang disebut dengan hipotesa atau hipotesis.
Sekiranya perlu diperhatikan bahwa Arthapatti mirip dengan hipotesis seperti diartikan dalam logika barat. Tetapi bedanya ia kekurangan watak sementara atau yang provisional dari suatu hipotesis. Apa yang diketahui dengan jalan Arthapatti bukan hanya diandalkan secara hipoteis semata-mata, melainkan diyakinkan sebagai satu-satunya penjelasan yang mungkin benar. Karena Arthapatti timbul dari suatu kebutuhan akan penjelasan maka ia adalah berbeda dari suatu kesimpulan yang silogistik, dengan kata lain Arthapatti  adalah suatu usaha untuk mencari alasan-alasan, sedangkan suatu hipotesis adalah untuk mencari konsekuensi-konsekuensinya (Pendit, 2007:143).
Definisi hipotesis seperti yang dijelaskan di atas jika dikaitkan dengan hipotesis pendekatan ilmiah maka dapat didefiniskan bahwa hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat yang berdasarkan atas teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh  melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis adalah ”jawaban teoretis terhadap rumusan masalah penelitian” (Sugiyono, 2010:96).
Berdasarkan beberapa penjelasan sebelumnya dapat dipahami bahwa pandangan mimamsa terhadap jawaban sementara dipandang sangat penting sebagai usaha memberikan jawaban atas kebutuhan suatu jawaban. Penafsiran sementara sangat dibutuhkan didalam hidup manusia dalam menafsirkan sesuatu yang tidak dapat dipikirkan oleh manusia itu seperti Tuhan. Sehingga dalam beragama manusia selalu menafsirkan Tuhanya dalam bentuk, nama dan sifatnya yang beraneka ragam. Mimamsa mengatakan bahwa penafsiran ini dibutuhkan untuk mencapai moksa yang berawal dari pengetahun suci weda yaitu dengan membentukkan Tuhan ke dalam bentuk manusia, manusia setengah binatang, dan binatang, yang memiliki sifat, kekuatan, dan kelebihan tersendiri yang di Bali dibentuk ke dalam bentuk patung, pura, sanggah, banten dan bentuk lainya yang berpedoman pada kitab suci Weda. Penafsiran ini dibutuhkan agar manusia dalam berhubungan dengan Tuhan lebih mudah dan dengan menafsirkan Tuhan dalam bentuk duniwai akan dapat menafsirkan tindakan yang benar.
4.      Tanpa Persepsi atau Anupalabdhi
Anupalabdhi termasuk cara yang diajarkan oleh Kumarila Bhakta yang menyatakan  bahwa ketidak adaan objek bila dijelaskan atau bila ingin dapat diterangkan dengan suatu contoh, misalnya seseorang masuk ke dalam kamar dan melihat-lihat kesana-kemari dan ia berpikir tidak ada meja karena dirungan itu tidak ada meja. Karena ketidak adalan meja membuat pengetahuan itu muncul (Adiputra, 1990:38). Senada dengan pendapat sebelumnya dipertegas kembali bahwa Anupalabdhi adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan mengenai tidak adanya pengamatan terhadap sesuatu objek dikarenakan memang bendanya tidak ada (Sumawa, 1996:120). Berdasarkan kedua pendapat di atas tentu dapat dipahami bahwa pengetahuan yang muncul akibat tiadanya objek tetapi pengetahuan itu muncul justru karena ketiadaan objek tersebut sesungguhnya memberikan maksud bahwa akibat ketidak sesuaian yang pernah dirasakan atau dilakukan terhadap kenyataan yang baru sehingga ketidak sesuai atau kejangalan menimbulkan suatu pertanyaan dalam diri dan terlahir suatu jawaban dan menjadi pengetahuan.
Seperti sebuah ruang kelas bila seseorang masuk ingin mengajar dengan menulis menggunakan sepidol dipapan tulis dan dihapus secara manual tetapi karena kelas itu berbanyak maka seseorang itu akan berpikir untuk mengefesiensikan waktu dan lebih mengefektifkan proses belajar mengajar maka seorang guru itu berpikir dari ketiadaan sarana dan guru tersebut mendapat jawabannya bahwa kelas tersebut memerlukan proyektor untuk lebih memperjelas materi dan lebih efektif dalam penyampaian materi serta siswa lebih mudah menangkap materi yang dijelaskan.
Pengetahuan tersebut bukanlah suatu kesimpulan sebab apa yang sudah didapatkan di dalam pikirannya belumlah kenyataan adanya dan belum terbukti apakah demikian harapannya. Seperti pendapatnya Pendit menjelaskan bahwa Anupalabdhi adalah sumber pengertian kita yang langsung dari non-eksistensi suatu objek. Seperti seseorang yang sedang duduk di atas meja yang lebar dan seseorang akan meraba-raba meja dan berpikir jika sebuah pot bunga atau perhiasan yang berada di atas meja tentu lebih indah. Demikian pengetahuan atau pengertian yang muncul dari non-eksistensi suatu objek atau ketidak adanya benda (Pendit, 2007:143).
Demikianlah pengetahuan yang muncul dari ketiadaan seperti ajaran dalam agama Hindu Tuhan yang bersifat Nirguna Brahman yaitu dari ketiadaan mejadi hal yang Saguna Brahma dipersonifikasikan ke dalam berbagai bentuk agar mudah  menghubungkan dan  berkomunikasi dengan kekuatan yang tidak terpikirkan. Filosofis inilah yang paling berjalan sejak agama Hindu berkembang seperti  misalnya pembuatan pratima adalah dari ketiadaan pusat pemujaan atau konsentrasi umat Hindu maka dibuatkan pratima, karena sederhananya sarana yajna dan ketidak adanya sarana yang lengkap maka umat Hindu di Bali membuat sarana banten yang terbuat dari daun kelapa atau ental, buah-buahan, bunga, air, dupa dan sebagainya sehinnga semua saat ini yang ada merupakan berasal dari pengetahuan yang berawal dari ketiadaan itu sendiri. Maka memehami penjelasan tersebut dalam dunia ilmiahpun demikian manusia selain berfikir dari ketidak adaan menuju keadaan objek yang baru dan diminati oleh banyak orang baik itu perubahan kendaraan, alat komunikasi, bentuk rumah dan sebagainya yang kesemuannya berasal dari ketiadaan. Hal ini seperti alam semesta yang berasal dari ketidak adaan menuju yang ada karena pengetahuan yang berasal dari ketiadaan.

B. Metafiska Mimamsa
Metafisika Mimamsa menyatakan percaya adanya kenyataan Dunia dengan segala keanekaragaman objeknya, karenanya Mimamsa menolak teori penganut Budha yang menyatakan tentang kehampaan dan kesementaraan. Mimamsa juga percaya melalui sumber-sumber pengetahuan lain, akan adanya jiwa, sorga, neraka dan para dewata, kepada siapa upacara dipersembahkan atau ditunjukkan, seperti petunjuk kitab suci Weda.  Jiwa adalah substansi yang kekal abadi, demikianlah unsur-unsur materi yang dengan kombinasinya membuat dunia ini. Hukum karma sudah dipandang cukup untuk menuntun pormasi objek-objek tersebut, maka Dunia ini diciptakan atas:
a)     Jasmani-jasmani yang hidup di dalamnya, jiwa-jiwa memetik buah hasil dari perbuatan mereka di masa lampau (bhugayatama).
b)     Alat-alat pengerak dan indria yang merupakan instrumen untuk menderita atau menikmati semua hasil buah tersebut (bhogasadhana)
c)     Objek-objek yang merupakan buah hasil yang harus diderita atau dinikmati (bhogavisaya) (Pendit, 2007:150-151).
Hukum karma yang berotonomi secara bebas mengatur atom-atom tersebut, yang menyangkut bukan tentang proses penciptaan dan pemushaan melainkan Dunia ini sudah ada secara kekal. Metafisika Mimamsa karenannya bersifat pluralis dan realitis, ia bukan empirisme karena ia percaya akan sumber-sumber pengetahuan kitab suci Weda yang non-empiris, yang dianggap lebih dapat diandalkan dari pada pengalaman-pengalaman indria dan juga karena percaya pada banyak kenyataan seperi energi potensial,  prinsip moral yang abstrak, sorga neraka, dan  sebagainya  yang tidak dapat dikenal dalam pengalaman-pengalaman indriya. Hal tersebut ditambahkan kembali oleh Adiputa bahwa Mimamsa tidak mengajarkan hakekat hukum karma seperti halnya dalam agama Hindu namun Mimamsa yakin akan adanya sebab-akibat atau phala dari suatu perbuatan. Mimamsa mengajarkan bahwa hukum karma merapkan hukum moral yang mengatur Dunia beserta isinya (Adiputra, 1990:41).
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa metafisika Mimamsa bergelut atau berkisar pada objek relistis dan non reslistis terutama pada kebendaan dan kerohaniaan. Kebendaan dinyatakan bahwa indria-indria merupakan alat pengerak dalam menikmati karma dan juga menciptakan karma yang baru maka perlu adanya memperhatikan alat-alat tersebut untuk mencapai tujuan, selain itu juga secara ketiadaan atau rohani Mimamsa percaya adanya sorga, neraka, prinsip moral dan lain sebagainya sehingga Mimamsa dapat dikatakan berada dikedua kosep Rwa Bhineda atau berjalan sesuai dengan hukum Rta. Berikut akan dijelaskan tentang teori energi potensial dan konsepsi Mimamsa tentang jiwa yaitu antara lain:

1. Teori Energi Potensial (Sakti dan Apurva)
Dalam hubungan dengan masalah hukum sebab-akibat Mimamsa merumuskan teori energi potensial. Suatu benih memiliki pada dirinya  sendiri kekuatan yang tidak dapat dilihat (sakti) dan dengan kekuatan itu benih melahirkan kecambah, apabila kekuatan ini dihalangi atau dihancurkan maka ia gagal menghasilkan efeknya. Sama halnya di dalam api ada kekuatan membakar, kekuatan menyatakan arti dan mengurangi kegiatan dalam sebuah kata, kekuatan menerangi dalam cahaya dan sebagainya. Pentingnya mengakui potensi yang tidak dapat dilihat demikian itu dalam suatu sebab adalah menjelaskan mengapa dalam beberapa hal walaupun sebab itu (umpamanya benih, api dan sebagainya) ada, namun efeknya (kecambah, membakar dan sebagainya) tidak muncul. Penjelasannya adalah bahwa dalam hal-hal demikian, walaupun substansi sebab itu ada, potensi kausalitasnya atau sebabnhya telah dihancurkan atau dikalahkan sementara, umpamanya oleh kondisi-kondisi yang menghalanginya yang terdapat di situ. (Pendit, 2007:152).
Suatu aplikasi penting teori potensi yang dibuat oleh Mimamsa adalah untuk memecahkan problema bagaimana suatu perbuatan seperti upacara persembahan yang dilakukan sekarang dapat membawa hasil setelah jangka waktu yang sangat lama (misalnya setelah hidup ini atau di surga), setelah perbuatan itu lama berlalu. Mimamsa berpendapat bahwa upacara persembahan yang dilakukan di sini menurunkan dalam jiwa orang yang melaksanakan upacara tersebut suatu potensi yang tidak dapat dilihat (yaitu kekuatan mendatangkan buah hasil ritual tersebut) yang disebut apurva yang tinggal  dalam  jiwa  dan  mendatangkan  buah  hasil  apabila  keadaan telah matang untuk itu (Pendit, 2007:153). Sesungguhnya dapat dimengerti bahwa teori ini adalah suatu hipotesis terbatas yang mencoba menjelaskan sebagian dari masalah umum penyimpanan buah hasil semua perbuatan, ritual maupun non ritual, yang berhak dicoba dijelaskan oleh hukum karma yang lebih universal.
Teori ini hampir sama dengan penjelasan teori karma phala tetapi sesungguhnya teori karma phala yang selama ini kita kenal adalah salah satunya berasal dari teori Mimamsa ini. Hanya saja teori yang ditawarkan dalam Mimamsa dalam bentuk hipotesis yang merupakan menjadi jawaban sebenarnya dari sebuah masalah. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa persembahan  yang dilakukan dalam menurunkan atau menabung perbuatan di dalam jiwa yang suatu saat dapat dipetik hasilnya tetapi Mimamsa lebih rinci menjelaskan tentang karma phala bahwa hasil perbuatan yang dahulu baik dari persembahan ritual, perbuatan baik dan lain sebagainya akan dinikmati dalam waktu cepat sedang, lama atau bahkan di surga atau dikehidupan yang akan datang apabila kita benar-benar membutuhkannya dan kita matang serta siap menerimanya. Inilah yang disebut hukum Rta yang perjalanan semuanya baik-baik saja walapun kita yang melihat tidak baik-baik saja, sehingga penulis dapat mengatakan dalam teori ini bahwa semua permasalahan, kesenagan, kebahagiaan pasti berlalu adanya dan apapun yang sudah terjadi sebelumnya, yang sedang terjadi sekarang dan yang akan terjadi nanti adalah sudah yang terbaik buat kita dan sudah sesuai dengan kemampuan serta kebutuhan kita.
Sehingga seharusnya bila memahami teori ini, kita hendaknya mengurangi harapan kebaikan, keberuntungan serta rejeki kepada Tuhan, leluhur dan sebagainya bila saat ini kita tidak melakukan perbuatan yang membuat atau menimbulkan kebaikkan, keberuntungan, rejeki atau lain sebagainya, sebab keberuntugan, kebaikan dan rejeki serta lain sebagainya yang saat ini kita harapkan juga berasal dari perbuatan dahulu yang kita lakukan jika datang harapan itu berarti dahulu kita telah banyak menabung perbuatan baik tersebut jika tidak muncul juga berarti perbuatan kita dahulu belum sebaik yang kita harapkan sekarang. Maka seburuk apapun kehidupan saat ini jangan diputuskan berbuat baik dan kejujuran sebab itu merupakan usaha memutus hasil yang kurang baik untuk kita.
Sebagai contoh sederhana, jika anda seorang yang dari kecil rajin bekerja dan rajin sembahyang dan anda mempunyai seorang teman yang sejak kecil sudah malas bekerja, malas sembahyang dan apalagi untuk menghargai orang lain. Setelah sama-sama dewasa kalian berdua tamat dari perguruan tinggi dan sama-sama mengajukan pekerjaan justru teman anda yang malas dan tidak pernah sembahyang itu mendapatkan perkejaan itu dan setelah lama-lama justru teman anda itu menjadi kaya sementara anda yang sudah giat belajar, bekerja dan sembahyang masih demikian adanya.
Hal demikian sebenarnya adalah sama-sama menikmati hasil perbuatan di masa lalu. Maka hendaknya anda yang menemukan permasalah demikian hendaknya tidak berhenti bekerja dengan jujur, rajian belajar dan sembahyang dalam kehidupan sekarang sebab anda sedang menghabiskan hasil perbuatan yang kurang baik dan sedang memperbanyak hasil perbuatan yang baik untuk dikehidupan yang akan datang.
Sebagai contoh kedua yang lebih gampang kita cerna dan sudah kita alami sehari-hari, misalnya jika anda seorang mahasiswa yang berteman 30 orang dalam satau kelas, dan anda termasuk orang yang rajin, aktif dalam kelas dan juga aktif di kampus dalam setiap kegiatan dan anda punya teman yang sebaliknya tidak pernah ikut dalam kegiatan kampus, tidak aktif di kelas dan  tidak rajin. Anda tentu berpikiran orang tersebut seharusnya jika menilai dari ketiga ranah seperti kognitif, efektif dan psikomotor teman anda sudah mendapat nilai B atau bahkan nilai C dan anda tentunya mendapat nilai A dan minimal nilainya B. Namun kenyataannya berbeda saat nilai akhir keluar anda justru mendapatkan nilai B atau nilai C sementara teman anda yang disebutkan sebelumnya yang malas tersebut mendapatkan nilai A atau amat baik. Maka dalam hati anda akan memberontak, maka anda akan berpikiran bahwa dosen yang memberi nilai tersebut pilih kasih atau bagaimana, setelah ditanyakan dan dijelaskan dengan dosennya tentu jika dosennya sudah mengumpul nilai maka nilainya tidak bisa diubah maka anda nilainya kecil. Setelah kalian sama-sama tamat dari kuliah anda dan teman anda sama-sama mencari pekerjaan sebagai guru di sekolah maka kalian berdua bersama-sama mengajar walau dalam sekolah yang berlainan dan anda saat itu mendapat kesibukan karena di Desa dipilih menjadi ketua muda-mudi dan teman anda yang malas itu di sekolah tempat mengajar dipilih menjadi pembina lomba cerdas-cermat bahasa inggris dan lomba lainnya karena ainggap pintar dan cerdas dilihat dari nilai ijasahnya, maka ia harus setiap hari hadir di sekolah dan mengajar siswa yang akan ikut lomba. Teman anda tersebut mampu melakukannya dan bahkan mendapatkan juara setelah lomba. Maka jika anda menjadi diposisinya  dan anda dituntut menjadi ketua muda-mudi dan menjadi guru dituntut negajar dan harus memenangkan lomba tersebut tentu anda akan tidak mampu karena kesimbukan anda lebih banyak dari pada tenaga dan kemampuan yang dimiliki.
Contoh di atas menerangkan bahwa sebenarnya anda yang seharusnya mendapatkan nilai yang besar justru mendapatkan nilai yang kecil merupakan pembagian yang sudah adil dan disesuaikan dengan dampak dari hasil yang diberikan. Maksudnya, saat ini anda belum siap menerima hasil tersebut karena kemampuan anda tidak siap. Inilah yang disebut phala baik yang diinginkan tidak datang karena tidak sesuai dengan kemampuan anda.
Seperti orang yang tiba-tiba kaya karena mencari kekuatan gaib atau mencuri, maka sebenarnya orang tersebut memaksakan phala yang tidak menjadi miliknya maka apa yang terjadi, orang tersebut terhanyud dalam kekayaanya seperti menjadi orang yang sombong, semua diukur dengan harta, menggunakan narkoba, minum-minuman keras atau main selingkuh. Setelah orang tersebut miskin maka semua orang tidak akan peduli kepada orang tersebut. Demikianlah contoh sederhana dari teori mimamsa yang sangat jelas menjelaskan tentang karma Phala yang pasti anda miliki hanya saja kedatangan phala itu tidak selalu bersamaan dengan karma yang anda lakukan karena seperti konsep karma phala yang sekarang kita kenal bahwa karma yang kita lakukan dapat dinikmati sekarang, besok, atau lain hari, setelah anda tua atau setelah kehidupan yang akan datang, dan perbuatan saat ini dipengaruhi oleh perbuatan di masa lalu.

2. Konsepsi Mimamsa Tentang Jiwa
Konsepsi jiwa dalam Mimamsa kurang lebih sama dengan yang ada dalam aliran-aliran yang realitas dan pluralistis seperti aliran Nyaya dan Vaisesika. Jiwa adalah substansi kekal seperti tak berbentuk yang dihubungkan dengan suatu badan jasmani nyata dalam suatu dunia nyata dan ia tinggal hidup melampui kematian untuk bisa memetik buah hasil perbuatannya dalam hidup ini. Kesadaran bukanlah intisari jiwa, melainkan suatu kualitas permulaan yang akan muncul bila ada beberapa kondisi. Dalam keadaan tidur  tanpa mimpi dan dalam keadaan kelepasan, jiwa tidak memiliki kesadaran, sebab kondisi-kondisinya, seperti hubungan indria dengan objeknya tidak ada. Banyaknya jiwa adalah sama dengan jumlah individu, jiwa-jiwa ini mengalami belenggu tetapi juga mengalami kelepasan. Dalam semua hal ini alasan yang dikemukakan oleh Mimamsa adalah sama dengan aliran filsafat Nyaya dan Vaisesika. (Pendit, 2007:154).
Mengenai pengetahuan tentang jiwa Bhatta berpendapat bahwa jiwa tidak diketahui apabila sesuatu objek tidak diketahui. Jiwa dikenal hanya sewaktu-waktu, tatkala kita merefleksikan jiwa, kita akan ketahui ia sebagai objek kesadaran sendiri memiliki kesadaran. Konsep kesadaran  ini menyatakan bahwa pengetahuan akan kesadaran muncul secara tidak langsung dengan jalan kesimpulan atas dasar familiaritas atau pengenalannya yang terlihat pada objek tersebut (Pendit, 2007:155).
Konsep jiwa menurut Mimamsa sebenarnya sesuai dengan pemikiran ilmiah bahwa sesuatu sifat tidak akan pernah diketahui bila bendanya belum diketahui secara pasti bentuknya bagaimana, beratnya berapa, usianya dan lain sebagainya. Demikianlah konsep jiwa menurut Mimamsa bahwa untuk mengetahui subjek atau jiwa itu sendiri hendaknya terlebih dahulu mengetahui objeknya atau rumah tempat jiwa itu berdiam.
Dapat juga dikatakan bahwa subjek akan menjadi objek, maksudnya adalah subjek dapat menjadi subjek apabila objek yang sesungguhnya telah tiada atau jiwa akan menjadi budak badan atau bersifat seperti badan menikmati karma perbuatan badanya selama hidup setelah badan tempat jiwa tersebut mati atau meninggal. Tetapi maksud konsep jiwa menurut Mimamsa ini bahwa bukan berarti sifat pribadi jiwa berubah menjadi sifat dari pada objek hanya dipengaruhi oleh sifat objeknya karena terbelenggu oleh hukum sebab akibat atau energi potensial seperti dijelaskan sebelumnya, atau disebut hukum Rta bahwa setiap perbuatan harus dinikmati. Dengan demikian jiwa akan sepenuhnya terlihat bersifat seperti objek dan akan terbawa oleh sifat tersebut sehingga jiwa mengalami proses renenkarnasi atau punarbwa lahir kembali. Dengan demikian jiwa kembali dipengaruhi oleh objek yang baru juga dipengaruhi oleh  objek sebelumnya.
Hal demikian menyebabkan subjek atau jiwa sifat semakin tidak terlihat karena terbelenggu oleh kegiatan-kegiatan objeknya atau badanya. Disinilah konsep Mimamsa memberikan petunjuk bagaimana mengetahui subjek di dalam objek-objek pengaruhnya atau badan ini yang terikat oleh ribuan karma dari pada objeknya. Mimamsa mengatakan untuk mengetahui jiwa dalam lapisan objek kehidupan badaniah adalah dengan merefleksikan diri atau menggunakan pengenalan diri kita dalam artian bahwa seseorang tidak akan bisa melihat giginya sendiri atau telingganya atau matanya sendiri tetapi hanya bisa dilihat dengan menggunakan kaca atau ditanyakan dengan orang lain. Begitulah konsep jiwa Mimamsa bahwa untuk mengetahui jiwa dalam diri adalah dengan bantuan penuntunan orang lain atau keadaan alam semesta. Maksudnya bahwa akan lebih cepat orang tersebut menyadari dirinya bila ada arahan dari orang lain dan juga orang akan lebih terarah pikirannya dengan mengikuti arah alam seperti suara air, suara agin, sinar matahari, sinar api, suara-suara lainnya dan sebagainya.
Lebih jelasnya bahwa jika manusia itu terus mengetahui objeknya saja atau mengikuti kehendak badanya maka akan sangat jauhlah jiwa berada dalam kesadarannya, atau semakin jauh manusia itu melayani badanya atau keinginannya maka semakin jauh jiwa dapat mempengaruhi dirinya maka orang tersebut akan semakin bingung dan akan sulit menemukan jawaban dan penenagan diri bila nanti terkena suatu masalah dengan badannya seperti sakit, mati dan sebagainya. Inilah kenyataan yang yang pasti dialami bahwa bila manusia mengenal obkejnya akan lupa pada subjeknya, seperti orang yang sedang ditanya siapakah anda, maka orang tersebut menjawab saya adalah PNS, saya tinggal di kota hidup bahagian, punya uang banyak, dan usia saya masih muda.
Demikian  orang itu menjawa bagi orang yang hanya mengenal objeknya saja tetapi bila mengenal subjeknya bahwa ia akan menjawab bahwa saya adalah manusia yang pasti makan, pasti akan sakit, pasti mengalami suka dan duka, yang pernah balita, anak-anak, dewasa, tua dan nanti pasti mati serta akan lahir kembali. Itulah jawaban bagi orang yang sadar akan jiwanya, kenapa menjawab demikian agar semua perbuatannya terkontrol karena objek tidak abadi ia akan berubah-ubah terus dari kecil tua sampai mati, akan mengalami suka duka, sakit dan mati maka objek akan melemahkan diri dan berangsur-angsur kesadaran subjek atau jiwa akan kembali dan akan  bisa mengontrol objeknya. Dengan demikian apabila objek atau badan ini mendapatkan masalah subjek atau jiwa akan bisa menasehati dan memberikan jalan keluar lewat perasaan atau kata hati atau mungkin lewat mimpi atau langkah kaki. Demikianlah konsep jiwa menurut Mimamsa.


C. Agama dan Etika Mimamsa
1. Konsepsi Tentang Tugas dan Kewajiban
Konsep tugas dan kewajiban secara umum dalam agama Hindu tidaklah berbeda dalam konsep dalam filsafat Mimamsa. Hanya saja konsep Mimamsa lebih menekankan kepada sifat panatisme sebagai pengangum kitab suci Weda. Karena Mimamsa mengagap bahwa Weda adalah otoritas atau kebenaran tertinggi yang harus dilaksanakan dan ditaati ajarannya bukan sekedar realitas semata di dunia. Seperti dijelaskan dalam bukunya Pendit (2007:156) menyatakan bahwa upacara-upacara dipersembahkan di zaman kitab suci Weda dimaksudkan untuk menyenangkan berbagai Dewa seperti Dewa api, matahari, hujan dan lain sebagainya dengan menggunakan sesajen dan mantra-mantra, dengan tujuan memperoleh anugrah atau untuk menolak penyakit.
Walaupun Mimamsa merupakan kelajutan pemujaan Weda, namun rincian seremoni dari ritual-ritual memenuhi perhatiannya dibandingkan kepada para dewata itu sendiri yang lambat laun menjadi kabur menjadi hanya bersifat grametikal belaka. Suatu Dewa dilukiskan bukan atas dasar kualitas moral atau intelektualnya, tetapi sebagai ”itu” yang artinya melakukan suatu persembahan bukan untuk sembahyang, bukan untuk menyenangkan suatu Dewa, bukan juga untuk mensucikan jiwa atau perbaikan moral. Tetapi suatu ritual dilaksanakan karena karena kitab-kitab suci Weda memerintahkan kita untuk demikian atau untuk melakukannya (Sumawa, 1996:126).
Seperti yang dipaparkan di atas bahwa Mimamsa melaksanakan persembahan semata-mata karena perintah kitab suci Weda, hal ini disebabkan kenyatakan sejak zaman dahulu persembahan memiliki motif tertentu baik untuk mendapatkan kekuatan dari para Dewa, rejeki, sampai pada masuk surga. Persembahan  seperti  itu  berhubungan erat dengan sifat yang tidak iklas dalam berbuat, sementara Weda mengajarkan bahwa segala sesuatu hendaknya dilakukan dengan tulus iklas seperti konsep yajna adalah korban suci yang dilakukan dengan tulus iklas, sebab di dalam kerja tersebut sudah terdapat hasil yang tidak akan kemana-mana. Di sinilah etika ajaran Mimamsa bahwa persembahan dilakukan dengan hati yang kosong seperti seseorang yang ingin meminta susu dari sang gembala maka hendaknya seseorang itu membawa gelas yang tidak terisi air atau kosong, tetapi apabila seseorang itu meminta susu dengan gelas yang sudah berisi air atau cairan lainnya tentunya susu yang diinginkan tidak bisa terpenuhi sebab tempat tidak menyediakan. Begitu halnya dengan konsep persembahan atau ritual, yang merupakan kewajiban dan tugas sebagai manusia yang hidup di Bumi memberikan persembahan kepada Tuhan  dengan tanpa ikatan permohonan tetapi hati yang kosong sebab di dalam persembahan atau ritual telah ada maksud atau makna tersebut yang nantinya persembahan tersebut berphala sesuai dengan kebutuhan manusia dan datang pada waktu yang tepat.
Hal tersebut seperti yang dijelaskan Adiputra (1990:42) menegaskan bahwa Mimamsa memberikan ajaran untuk menemukan jalan kelepasan yaitu mengajarkan manusia dalam hidupnya senantiasa melakukan dharma yaitu upacara keagamaan dengan benar, yang dilandasi oleh ketentuan Weda dan sedapat mungkin menghindarkan diri dari segala tindakan yang bertentangan dengan Weda. Begitu juga menurut pandangan Pendit (2007:157) menjelaskan bahwa konsepsi tugas hanya untuk tugas itu sendiri, dan suatu tindakan wajib harus dilaksanakan bukan karena menguntungkan si pelaku tetapi karena kita harus melaksanakanya.
Demikianlah konsep tugas bahwasanya upacara persembahan adalah tugas yang memeng harus dilaksanakan bukan karena melaksanakan persembahan dilandasi sesuatu seperti karena ingin kaya, karena sakit, memohon kekuatan dan sebagainya, sementara upacara ritual adalah kewajiban yang dilaksanakan setiap saat tanpa maksud tertentu. Lain halnya bila upacara persembahan berfungsi untuk memohon kekuatan memang berbeda dengan persembahan kepada Tuhan. Maksudnya bila persembahan kepada Bhuta kalla atau leluhur itu dibenarkan menaruh permohonan agar terjadi keseimbangan, tetapi jika diperuntukkan kepada Tuhan hendaknya mengosongkan diri sebab Tuhan telah mengetahui apa yang dibutuhkan manusia, namun apabila manusia tersebut masih penuh dengan keinginan maka segala harapan belum bisa terpenuhi.
Hal di atas senada dengan pendapatnya Pendit (2007:157) menyatakan bahwa Mimamsa percaya walaupun tugas yang diwajibkan tidak harus dilakukan berdasarkan motif, namun alam semesta ini sudah sedemikian bentuknya sehingga seseorang yang melakukan kewajiban tidak akan  sama  sekali tidak beri  phala. Mimamsa  menegaskan bahwa  di alam semesta ini terdapat hukum moral dari karma, tetapi bila kepada yang lebih tinggi yaitu Tuhan harus dilakukan dengan apa yang baik. Hukum moral ini yaitu melakukan ritual untuk keseimbangan alam semesta, ada hukum sebab akibat, siapa yang berbuat dia yang menikmati, jika alam dirusak maka akan terjadi bencana seperti kejadian belakangan ini alam semakin menyeramkan. Alam terlihat menakutkan karena memperlihatkan raut muka yang ganas, menakutkan dan menyedihkan seperti tanah lonsor, banjir, kebakaran, gempa, sampai-sampai isue ada badai matahari bahkan kiamat tahun 2912 tetapi sebanarnya alam tidak demikian.
Hal demikian sebenarnya hukum moral sebab akibat telah berjalan seperti banyak munculnya ulat bulu, munculnya tomket, binatang buas mulai menyerang manusia, kegagalan panen dan sebagainya itu karena ulah manusia yang tidak menghormati alam. Kejadian lapindo dan kejadian lainnya sebenarnya alam diperbudak dan diperas tanpa dipelihara dan diberikakan penghormatan dengan upacara ritual sebagai bentuk terimakasih dan pengembalian kekuatan alam. Maka ritual untuk keseimbangan alam sangat dibutuhkan memohon keseimbangan agar manusia yang tinggal di atasnya bisa melaksanakan swadharma dan kewajiban dengan baik, dengan ritual dipersembahkan kepada bumi, lautan, gunung, matahari, planet-planet, dan alam semesta yang dilaksanakan dari setiap hari sampai pada setiap 1000 tahun sekali. Itu bertujuan agar hukum moral berjalan dengan baik agar sistem yang mengatur alam semesta tetap seimbang dan manusia juga mendapatkan kedamaian.

2. Kebajikan Tertinggi
Kebajikan tertinggi seperti yang dipaparkan sebelumnya adalah melaksankan tugas dan kewajiban dengan tuntunan kitab suci Weda, tetapi di dalam kewajiban dan tugas tersebut telah terdapat makna pencapaian tujuan tertinggi yang disebut dengan kebajikan, sebab dilakukan bukan atas dasar motif atau keinginan melainkan dilakukan dengan tulus iklas. Dalam konsep awal Mimamsa kebajikan tertinggi adalah pencapain sorga atau suatu keadaan di mana terdapat kebahagiaan tiada tara. Sorga dipandang sebagai tujuan yang diharapkan dalam setiap upacara persembahan. Tetapi lambat laun Mimamsa menyadari pelaksanan tindakan, baik dan buruk apabila dipengaruhi oleh keinginan menikmati objek maka akan mengakibakan kelahiran berulang kali.
Apabila seseorang memahami bahwa kesenangan duniawi bercampur dengan kesedihan, dan menyebabkan rasa muak dengan kehidupan di Dunia, maka ia akan mencoba mengontrol nafsunya, menolak perbuatan-perbuatan terlarang maupun perbuatan bermotif mendapat kesenangan dikemudian hari. Dengan demikian kemungkinan untuk lahir kembali di masa depan menjadi terhapus. Dengan melakukan kewajiban secara tanpa pambrih dan dengan pengetahuan tentang jiwa, karma yang terakumulasi di masa lampau akan perlahan-lahan terhapus dalam phala di kehidupan ini, dan setelah hidup ini akan bebas dari ikatan segala macam karma dan tidak akan pernah lahir kembali. (Pendit, 2007:158).
Dengan demikian seperti apa dijelaskan di atas sangat jelas mejelaskan bahwa dengan melakukan segala perbuatan yang menyadari jiwa dan ketidak abadian dunia ini serta setiap perbuatan dilakukan dengan tulus iklas maka akan mencapai keabadian bukan kesenagan sesaat. Secara pasti kebajikan tertinggi menurut Mimamsa adalah perbuatan tanpa keterikatan, penarikan atau pengontrolan segala perbuatan yang dilakukan oleh indria dan raja indria untuk mencapai kelepasan seperti definisi Sumawa (1996:127) menjelaskan bahwa dengan melakukan kewajiban yang diperintahkan Weda seseorang akan terbebas dari kelahiran, dan merupakan jalan untuk mencapai kelepasan seperti melaksanakan upacara keagamaan yang diperintahkan dalam Weda, tindakan-tindakan agar dijauhkan dari perbuatan bermotif dan terlarang. Kebebasan yang dimaksud adalah keadaan yang tidak disadari, bebas dari kesenangan dan rasa sakit, dimana keadaan metal dan kesadaran tidak ada pada jiwa yang juga berarti lenyapnya hubungan jiwa dengan tubuh dan kembali pada keadaan semula yang bersifat kekal berada dimana-mana dan meliputi segala sesuatu.
Kebajikan yang dimaksud di atas merupakan kebajikan tertinggi untuk mencapai suatu yang abadi yaitu hidup tanpa adanya keterikatan dengan melakukan ritual tanpa adanya motif atau keinginan, melakukan kewajiban menjalankan moral alam dan keseimbangan maka akan mencapai Brahman. Kebajikan tertinggi ini dilakukan semasa hidup manusia dan bila dilakukan manusia akan akan dapat menemukan kebebasan, kelepasan dan kesempurnaan yang merupakan unsur inti yang disebut dengan moksa. Dengan melakukan kebajikan tertinggi ini dari dalam diri dan diaplikasikan setiap waktu, tempat dan situasi dengan penuh kesadara akan mendapatkan mosa di dalam hidup ini. Karena di dalam agama Hindu di kenal dengan Moksartam Jagat hita ya ca iti dharma yaitu dengan jalan dharma (kebajikan tertinggi) mendapatkan moksa (keabadian) di dunia dan di akhirat.






























VEDANTA DARSANA
 

A. Pendalaman Vedanta Darsana
Kata Vedanta berarti akhir Weda dan juga disebut dengan Uttara Mimamsa, yang mula-mula berarti Upanisad karena Upanisad dianggap akhir dari Weda, sebutan ini muncul karena adanya pandangan terhadap Upanisad bahwa Upanisad merupakan karya terakhir dari zaman Weda, pelajaran terakhir adalah Upanisad, dan merupakan kumpulan syair-syair Weda yang diuraikan secara filosofis (Adiputra, 1990:67), (Sumawa, (1996:207). Uttara Mimamsa atau filsafat Vedanta dari Badarayana atau Vyasa ditempatkan sebagai yang terakhir dari enam sistem filsafat orthodox, tetapi sesungguhnya ia seharusnya menempati urutan yang pertama dalam kepustakaan Hindu. Istilah Vedanta artinya secara harifah adalah intisari kitab-kitab Upanisad yang merupakan Jnana Kanda atau bagian akhir dari weda setelah mantra, brahmana dan aranyaka (Maswinara, 1999:175).
Hal yang dijelaskan oleh Maswinara ditegaskan kembali bahwa Vedanta Sutra disusun oleh Badarayana yang menurut tradisi didahului oleh Vyasa. Para pengikut Sankara seperti Govindananda, Vacaspati, Anandagiri menyatakan Vyasa tiada lain adalah Badarayana sendiri. Namun Ramanuja, Madhava dan Baladewa menyatakan Vedanta Sutra adalah susunan Vyasa (Pendit, 2007:163).
Kitab Vedanta terbagi atas empat bagian yang membuat hal-hal seperti: (1) Brahman adalah realitas yang tertinggi dan semua syair Weda mengadung Brahman di dalamnya, (2) Semua ajaran yang tidak sesuai dengan Weda tidak akan bisa dipertahankan, (3) Membicarakan syarat-syarat untuk menyatukan diri dengan Brahman atau syarat-syarat untuk mencapai Brahaman, dan (4) Membicarakan phala dari seseorang yang telah mendapatkan pengetahuan tentang Brahman atau Brahma Widya (Sumawa, 1996:207). 
Hal tersebut ditambahkan oleh pendapat berikut menyatakan bahwa Vedanta Sutra mengajarkan tentang Brahman yang dikenal dengan nama Sariraka sutra karena ia mengandung pengejawantahan dari Nirguna Brahman tertinggi dan juga merupakan salah satu dari tiga buah buku yang berwenang tentang Hindu yang menyatakan bahwa (1) Brahman yang mutlak yang selalu murni, sat-cit-ananda, esa tiada duanya yang tidak terbatas, tidak terkondisikan, yang bersemayam dalam hati manusia dan segala sesuatu, (2) Brahman penyebab material dan instrumen dari alam yang menyatakan alam semesta ini adalah guna atau lilanya, (3) Brahman tanpa bagian-bagian, sifat, kegiatan dan gerak, tanpa awal tanpa akhir, abadi dan sata-satunya realitas tertinggi, (4) Brahman adalah paramarthika satta (realitas mutlak) dan alam semesta adalah realitas relatif (Vyavaharika satta dan objek mimpi adalah realitas nyata (Maswinara, 1999:177).
Vedanta menyatakan bahwa manusia itu ilahi, di mana semua yang kita lihat disekitar kita adalah hasil dari kesadaran  ilahi. Segala hal yang baik, kuat, ampuh dalam sifat manusia berasal dari keilahian itu, dan walaupun berpotensi dalam banyak hal, pada dasarnya tidak ada bedanya antara manusia satu dengan manusia lainnya, di mana esensialnya semua mahkluk hidup adalah ilahi. Vedanta menijinkan keberagamaan tidak terbatas dalam pemikiran religius dan tidak berusaha untuk membawa seseoang pada pendapat yang sama, dengan tujuannya yang sama. Vedanta menyatakan bahwa kehidupan dibangun atas dasar masa lalu dan bila kita dapat melihat kembali keseluruhan kehidupan masa lalu, sebab manusia (roh) tidak dilahirkan ataupun mati dan juga tidak pergi ke surga dan akan membawa renkarnasi yang merupakaan evolusi dan manifestasi dalam dirinya (Oka, 2001:23).
Vedanta juga menyatakan bahwa maya adalah kekuatan dari Tuhan yang merupakan karana sarira (badan penyebab) yang menyembunyikan yang nyata dan membuat yang tidak nyata tampak menjadi nyata. Maya memiliki 2 kekuatan yaitu daya menyelubungi atau avarana sakti dan daya pemantulan atau viksepa sakti dan manusia melupakan sifat ilahinya yang disebabkan oleh avarana sakti dan alam semesta ini diselimuti oleh maya pemantulan atau viksepa sakti. Jiwa atau roh pribadi diselubungi oleh 5 lapisan (kosa) seperti lapisan bawang yaitu anamaya kosa atau lapisan makanan, pranamaya kosa atau lapisan vital, manomaya kosa atau lapisan mental, vijnanamaya kosa atau lapisan kecerdasan, anandamaya kosa atau lapisan kebahagiaan (Maswinara, 1999:177).  Selain seperti yang dijelaskan di atas  Vedanta kembali menyatakan bahwa manusia sebenarnya murni dan sempurna bila dirinya menyadari keilahiannya, maka dengan melakukan yoga yang merupakan salah satu menemukan keilahian diri.
Hal ini perlu dilakukan sebagai realisasi kebebasan di dalam diri dan segala sesuatunya akan memberinya jalan sebab dengan demikian moralitas etika akan mengatur dengan sendirinya pada tempat yang semestinya. Ditekankan lagi bahwa Vedanta mengajarkan bahwa nirvana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini, tidak perlu menunggu mati untuk mencapainya, sebab nirvana adalah kesadaran terhadap diri sejati dengan dua tahapan yaitu manusia mengetahui diri sejatinya tidak akan dipengaruhi oleh hal apapun, bahwa hanya dirinyalah yang dapat melakukan kebaikan pada dunia dan manusia mengetahui dirinya dengan dorongan atau tuntunan kitab suci Wedan dan orang-orang suci (Oka, 2001:27).
Vedanta kembali menegaskan bahwa dunia ini bukanlah kebaikan ataupun kejahatan tetapi campuran dari keduanya dan semua kesalahan akan berada pada pundak kita sendiri. Dinyatakan bahwa di dunia ini dimanapun kebaikan berada maka kejahatan akan selalu mengikuti dengan demikian Vedanta berkata maka untuk mencapai kesempurnaan tinggalkan apa yang baik dan apa yang buruk maka menemukan dirimu yang sejati yaitu dengan  melampui batas keburukan dan kebaikan kesenangan dan penderitaan itulah kesejatian dirimu (Maswinara, 2001:44). Hal tersebut menekakan bahwa setiap ada kebaikan tentu ada kejahatan yang merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan seperti halnya kelahiran dan kematian, siang dan malam, laki-laki dan perempuan, sedih dan senang yang merupakan konsep Rwa Bhineda yaitu keseimbangan alam semesta.
Tetapi bila dikaji lebih dalam keseimbangan alam semesta adalah alam kekuatan maya Tuhan yang disebut maya pematulan atau Viksepa sakti, jadi bila tetap berada dalam maya atau ketidak nyataan ikutilah keseimbangan alam tersebut tetapi bila ingin mencapai kesempurnaan tertinggi yaitu kenyataan tertinggi maka hendaknya melampui batas yang ada seperti berbuat tanpa motif kebaikan dan keburukan, motif suka dan duka, senang dan tidak senang, suka dan tidak suka tetapi berbuatan tanpa harapan atau keinginan dengan kata lain berpikir dan berbuat dalam kekosongan. Sebab konsep nyata dalam Vedanta adalah di dalam kekosongan sebenarnya berisi dan sebaliknya di dalam berisi sebenarnya kosong. Hal tersebut adalah alam semesta yang kita pandang nyata sebenarnya palsu dan yang kita anggap mitos atau palsu sebenarnya nyata.
Nirvana yang dapat dicapai di alam ini yaitu semasa manusia hidup adalah sebuah alam tanpa adanya tempat atau situasi, tiada kondisi, tiada keterikatan yang sama dengan artian Nirguna yaitu tanpa sifat sedangkan nirvana adalah tiada tempat yang artinya kebebasan. Manusia yang terbebas dari segala ikatan perbuatan untung dan rugi, sakit dan sehat, suka dan duka, gembira dan sedih, berhasil dan gagal, jelek dan bagus, indah dan buruh, siang dan malam, hidup dan mati dan sebagainya adalah orang yang mencapai Nirvana atau moksa. Moksa adalah keabadian yang tidak bertempat, tanpa sifat, tak terpikirkan yang didalamnya terdapat unsur kebebasan, kelepasan dan kesempurnaan. Sementara selama masih hidup manusia hanya bisa mencapai kebebasan dan kelepasan yaitu manusia terbebas dari ikatan duniawi, manusia terlepas dari ikatan duniawi tetapi manusia tidak lepas dari ikatan Panca Maha Bhuta karena manusia masih hidup. Maka dengan demikian manusia dapat mencapai moksa selama hidupnya tetapi tidak sempurna. Maka kesempurnaan itu didapatkan bila kebebasan di dunia didapatkan dan manusia terlepa dari ikatan Panca Maha Bhuta atau kematian dan barulah mencapai kesempurnaan menyatu dengan Brahman atau keabadian yang kekal.

B. Manusia dalam Vedanta
Dikatakan sebagai manusia yaitu yang memiliki sifat yang beraneka ragam, di dalam manusia pastinya terdapat dua kekuatan yang selalu saling bertentangan yang tidak dapat dipisahkan. Manusia mempunyai ciri sebagai laki-laki dan sebagai perempuan serta juga berada di antara kedua sifat laki-laki dan perempuan. Di dalam ketiga sifat utama manusia terdapat sifat-sifat  khususnya  yang  menyelimuti manusia tersebut seperti rasa suka  dan duka, senang dan susah, haus dan lapar, lahir, hidup dan mati, sehat dan sakit dan yang lebih halus yaitu sifat pilihan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang utama dan mana yang tidak utama. Pertentangan ini dikarenakan manusia memiliki perdebatan di dalam badanya antara jiwa yang murni dengan jiwa yang sudah terselimuti oleh maya yaitu penarikan indria dari objeknya yang tidak terkendali oleh raja indria yaitu pikirannya, sehingga semakin kuatlah  objek itu mempengaruhi jiwa sehingga semakin lemah jiwa itu mempengaruhi kekuatan hidupnya maka perdebatan semakin besar justru akan mengakibatkan perbuatan tanpa kesadaran dan tanpa menyadari keilahian diri.
Manusia dalam Vedanta memiliki jiwa yang disebut Atman yang memberikan energi pada badan kasar ini. Badan tersusun oleh panca maya kosa dan panca maha bhuta dan dihiasi dengan indria di dalamnya sehingga manusia semakin indah. Kesatuan manusia terdapat 3 elemen besar yang menyusunya yaitu (1) Kesadaran murni yang disebut dengan Atman, (2) Kesadaran disebut dengan Budhi dan (3) Pikiran atau disebut manas. Perlu dikatahui bahwa hurup Atman dengan atman awal kata kecil dan besar sebenarnya bermakna berbada bahwa hurif awal besar atau Atman adalah kesadaran murni tanpa ikatan dan jika huruf awal kecil atau atman yaitu kesadaran yang sudah bercampur dengan budhi dan manas yang sering disebut dengan jiwa, lebih jelasnya pada gambar berikut:

Kesadaran murni
(atman)

Kecerdasan                 menyatu          Roh
(budhi)                         menjadi           (atman, guha, jiwa)
Pikiran
(manas)                                   (Sumber: Oka, 2001:xix)

Oval: BudhiJadi jiwa/roh adalah gabungan dari Atman, Buddhi dan Manas yang disebut kesadaran roh yang menjadi sebutan jiwa. Roh adalah kesadaran yang memiliki kepribadian akibat pengaruh maya sedangkan Atman adalah kesadaran murni yaitu unsur sadar maka untuk menyadari diri hendaknya berpikir bahwa aku bukanlah pikiran ini, aku bukanlah fisik ini melainkan aku adalah Atman yaitu kesadaran tanpa kecerdasan, tanap pribadi, tanpa pikiran dan tanpa segala keinginan yang merupakan kesadan murni.
Kesadaran tertingi penyusun manusia adalah Atman, Atman yang berasal dari Paramatman merupakan badan dari Brahman. Atman yang sudah mengambil tempat atau belenggu bercampur dengan budhi dan manas disebut atman maka kesadarannya sudah dipengaruhi oleh kepentingan budhi dan manas, sehingga kemurnian Atman sudah semakin kabur. Atman yang sudah menyatu dengan budhi dan manas disebut dengan atman, atman yang sudah menghidupi material atau badan ini yang sekarang ada dalam diri manusia disebut dengan jiwa. Jiwa inilah  yang kadang menjadi kata hati atau perasaan halus yang kadang kala muncul kesadaran atmanya jika tampat tinggal atman sedang berada dalam permasalahan atau kebingungan. Hal itulah yang menyebabkan perdebatan di dalam diri manusia, yang mana atman akan muncul melalui sifat jiwanya bila jiwa dan badanya telah disadari.
Manusia yang menyadari memiliki atman yang terbelenggu akan berusaha mempersatuakan jiwa dan badannya disadari secara bersama-sama membangkitkan kesadaran atman tetapi tidak menjadi kesadaran Atman hanya kesadaran ataman yaitu setegah kesadaran Atman, sehingga manusia dapat membedakan yang utama dan yang kurang utama. Usaha itu tentu dilakukan dengan petunjuk kitab suci Weda dan dengan tuntunan orang yang dapat dipercaya atau orang suci, dengan isyarat alam, belajar pada alam dan juga belajar dari masalah hidup. Orang yang demikian setelah ia mati maka jiwa akan berubah menjadi roh, roh yang keluar dari badan manusia akan berjalan sesuai perbuatan selama hidup di dunia.
Jika selama hidupnya melaksanakan kebajikan tertinggi maka setelah ia mati akan menuju alam kesempurnaan, tetapi jika selama hidupnya melupakan kebajikan maka roh tersebut akan menuju siklus renkarnasi atau bahkan menjadi budak perbuatannya terdahulu. Seperti contoh sewaktu hidup di dunia manusia meminta pertolongan kepada benda-beda sakti, seperti keris, cincin sakti, susuk, kesaktian lainnya maka setelah ia mati roh tersebut akan mengabdi menjadi benda seperti apa yang dia gunakan selama hidupnya di dunia. Kehidupan roh di alam pengabdian itu sebebanrnya belumlah mati secara keseluruhan sebab masih merasakan rasa suka, duka, sakit, lapar dan sebagainya karena belum waktunya ia mati tetapi manusia itu harus mati karena sisa usianya untuk mengabdi kepada benda-benda yang sudah mengabdi kepada dirinya.
Masa pengabdian inilah roh tersebut berubah menjadi energi alam yang sering disebut dengan Bhuta Kalla, setan, dedemit, bererong, hantu, penguasan karang dan sebagainya. Perubahan roh menjadi energi alam melainkan tidaklah sama dengan energi alam yang disebut dengan hukum moral ai atas.

C. Konsep Kesempurnaan Vedanta Darsana
            Brahma Sutra atau Vedanta sutra karya Vyasa merupakan kitab yang paling populer dan banyak diulas oleh para maharsi setelahnya, ia bagaikan sumber air yang terus mengalir dari generasi ke generasi. Ulasan-ulasan terhadap Brahma Sutra oleh para maharsi seperti Sri Sankaracarya, Sri Ramanujacarya, dan Sri Madhawacarya membentuk filsafat Advaita, Visistadwaita, dan Dvaita. Vedanta Darsana yang tumbuh dari landasan kitab Upanisad, Brahma Sutra, dan Bhagawadgita. Ketiga kitab tersebut sering pula disebut prasthana traya grantha (naskah suci yang dapat dipercaya). Ketiga aliran pemikiran yang mengalir dari Vedanta Darsana tetap berpegang pada otoritas Weda dalam kerangka pembahasan yang berbicara tentang Tuhan, Alam, dan roh. Namun dalam konteks ajaran Hindu ketiganya tidaklah dianggap sebagai aliran pemikiran yang terpisah dan bertentangan, tetapi bagaikan tangga spiritual yang dimulai dari Advaita, Visistadvaita dan berakhir pada Dvaita dan sekarang akan penulis bahas mengenai konsep moksa/kesempurnaan dll. Dalam ajaran filsafat Vedanta Darsana.
            Vedanta menyatakan bahwa manusia sebenarnya murni dan sempurna bila dirinya menyadari keilahiaannya, maka dengan melakukan yoga yang merupakan salah satu menemukan keahlian diri. Hal ini perlu dilakukan sebagai realisasi di dalam diri dan segala sesuatunya akan memberinya jalan sebab dengan pemikiran moralitas etika akan mengatur dengan sendirinya pada tempat yang semestinya.
            Ditekankan lagi bahwa Vedanta mengajarkan bahwa Nirvana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini, tidak perlu menunggu mati untuk mencapainya. Sebab Nirvana adalah kesadaran terhadap diri sejati dengan 2 tahapan yaitu manusia mengetahui diri sejatinya tidak akan dipengaruhi oleh apapun. Bahwa hanya dirinyalah yang dapat melakukan kebaikan pada dunia.
            Vedanta kembali menegaskan bahwa dunia ini bukanlah kebaikan ataupun kejahatan tetapi campuran dari keduanya dan semua kesalahan akan berada pada pundak kita sendiri. Dinyatakan bahwa di dunia ini dimanapun kebaikan berada maka kejahatan akan selalu mengikuti dengan demikian Vedanta berkata maka untuk mencapai kesempurnaan maka tinggalkan apa yang baik dan apa yang buruk maka menemukan dirimu yang sejati yaitu dengan melampaui batas keburukan dan kebaikan, kesenangan dan penderitaan itulah kesejatian dirimu. Hal tersebut menekankan bahwa  setiap ada kebaikan tentu ada kejahatan yang merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan seperti halnya kelahiran dan kematian, siang dan malam, laki-laki dan perempuan, sedih dan senang yang  merupakan konsep Rwa Bhineda yaitu keseimbangan alam semesta.
            Tetapi apabila dikaji lebih mendalam keseimbangan alam semesta adalah alam kekuatan maya Tuhan yang disebut maya pemantulan atau viksepa sakti, jadi bila tetap berada dalam maya atau ketidaknyataan ikutilah keseimbangan alam tersebut tetapi bila ingin mencapai kesempurnan tertinggi yaitu kenyataan tertinggi maka hendaknya melampaui batas yang ada seperti berbuat tanpa motif kebaikan dan keburukan, motif suka dan duka tetapi perbuatan tanpa harapan atau keinginan dengan kata, berpikir dan berbuat dalam kekosongan. Sebab konsep nyata dalam Vedanta adalah kekosongan sebenarnya berisi dan sebaliknya di dalam berisi sebenarnya kosong. Hal tersebut adalah alam semesta yang kita pandang nyata sebenarnya palsu dan yang kita anggap mitos atau palsu sebenarnya nyata.
Kesempurnaan dalam Vedanta adalah lepasnya sifat roh dan atman menjadi sifat Ataman yang kembali pada asalnya yaitu Paramatman yang merupakan badan dari Brahman. Menyatunya Atman yang dahulu lepas adalah kesempurnaan yang disebut dengan moksa. Mencapai kesempurnaan tidak saja didapatkan setelah manusia itu mendapatkan kematian tetapi semasih manusia itu hidup bisa mendapatkan moksa yaitu mencapai kebebasan dan kelepasan. Moksa di dunia yaitu manusia dapat bebas dari keterikatan dua hal yang menyusun kehidupan menjadi manusia dan berada ditengah-tengahnya itulah kebebasan. Kebebasan yang didapatkan manusia itu berawal dari kelepasan atau lepasnya manusia dari segala ikatan duniawi atau tidak terikat melainkan melaksanakan sesuai dengan ajaran Weda. Dan setelah itu manusia akan melepaskan ikatan dasarnya yaitu badannya barulah mencapai kesempurnaan yaitu moksa yang sempurna.












ADVAITA VEDANTA

A. Pemahaman Advaita Vedanta
Sistem Vedanta yang terbesar dan terkenal adalah Advaita yang artinya tidak dualisme yaitu bahwa Advaita menyangkal kenyataan ini lebih dari satu (brahman), namun aliran ini bukan monoisme yaitu mengajarkan bahwa segala sesuatu dialirkan dari satu azas saja melainkan mengakui adanya aliran kesadaran Atman yang merupakan sumber kekuatan (Adiputra, 1990:68).
Advaita menyatakan bahwa dalam ajarannya hanya brahman yang ada, yang tunggal sedangkan jiwa perseorangan adalah brahman seutuhnya yang menempatkan diri dengan sarana tambahan (upadhi). Alam semesta atau dunia dipandang sebagai suatu penampakan khyal dari brahman. Proses terjadinya alam semesta yaitu dari pertemuan Purusa dan Prakerti kemudian akibat dari pertemuan ini muncullah secara berturut-turut buddhi, ahamkara, manas, sepuluh indria, panca tanmatra, panca maha bhuta dan gabungan dari panca maha bhuta maka munculla alam semesta beserta isinya (Sumawa, 1996:209).
Purusa dalam hal ini disamakan dengan Brahman dan prakerti di samakan dengan maya dan hanyalah brahman yang disebut sat yaitu keberadaan yang sesungguhnya dan di luar itu adalah di luar brahman, seperti seuntas tali yang membentang tetapi beberapa orang melihatnya adalah ular demikianlah alam semesta ini semu sebenarnya. Kekuatan maya Tuhan dapat menipu diri manusia yaitu membuat mamusia tertipu mengenai dunia yang kita lihat dan tertipu tentang apa yang sebenarnya Tuhan itu. Menurut Ramanuja prakerti merupakan bagian dari Tuhan yang benar-benar mengalami perubahan seperti perubahan Wiwarta yaitu perubahan pandangan terhadap kenyataan, sesungguhnya tidak berubah tetapi kelihatannya saja berubah. Kedua yaitu penerima adalah perubahan dari bentuk aslinya menjadi bentuk yang lain seperti perubahan kelapa menjadi minyak, beras menjadi jajan dan sebaginya (Adiputra, 1990:70).
Brahman dikenal dengan neti-neti yaitu arti dari bukan ini dan bukan itu, yang bersifat tidak terbatas, sumber dari segala sesuatu yang mempunyai wujud yaitu sebagai para brahman dan apara brahman. Para brahman adalah perwujudan brahman yang absolut tanpa sifat, tanpa bentuk, tanpa perbedaan dan tanpa pembatasan (nirupadhi) dalam wujud ini Tuhan disebut Nirgunam brahman yang disamkaan dengan sunya, niskala, paramasiwa yaitu suatu istilah hakekat Tuhan yang semula. Dalam istilah filsafat dikatakan sebagai alam transendental yaitu alam di luar batas jangkauan pikiran manusia yang tidak disertai dengan maya, tanpa sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur serta tidak dipandang dari alam, manusia tetapi pribadi tertinggi.
Sedangkan apara brahman adalah perwujudan brahman yang relatif dalam artian brahman memiliki sifat dan pembatasan, dalam wujud ini Tuhan dipandang sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta beserta isinya. Dalam istilah ini Tuhan dinamakan dengan saguna brahman atau iswara yang dipuja oleh manusia


B. Epistemologi Advaita Vedanta
Dalam ajaran Advaita dinyatakan bahwa ada enam jenis pramana yaitu pratyaksa dengan pengamatan, anumana dengan penyimpulan, upamana dengan perbandingan, sabda dengan kesaksian, arthapati dengan perkiraan, dan anupalabdhi yaitu dengan tanpa pengamatan.
Pratyaksa atau pengamatan terdapat dua jenis yaitu nirwikapa dan sawikalpa. Nirwikalpa adalah pengamatan terhadap suatu objek tanpa asosiasi, tanpa penilaian, tanpa sebutan apapun umpamanya. Sedangkan sawikalpa adalah pengamatan terhadap suatu objek  dengan ciri-cirinya, sifat-sifatnya, namanya dan dengan penlaian tertentu.
Anumana atau penyimpulan  yaitu dimana objek yang diketahui dapat disimpulkan dengan pengetahuan yang sudah pernah ada di dalam ingatan tetapi ingatan tersebut hanya sekedar ingatan biasa tanpa analisa seperti contoh jika ada asap tentu ada api dan jika basah tentu ada air dan sebagainya. Keseimpulan seperti ini umumnya menunjukkan adanya hubungan erat dengan objek yang dilihat atau sedang dialami dengan pengalaman yang yang sudah ada atau kekeluargaan objek tersebut seperti keluarga asap dengan api sangat dekat dan tidak bisa dipisahkan dan air dengan basah atau dingin begitu seterusnya.
Upamana atau perbandingan yaitu alat pengetahuan yang menjadikan  orang tahu adanya kesaman antara dua hal. Perbandingan menurut upamana dalam Advaita adalah tidak sama dengan perbadingan dalam Mimamsa yaitu kita dapat mengetahui objek tersebut bila pengetahuan tentang objek tersebut memang benar-benar yaitu objek yang dilihat sama persis dengan objek yang diingat. Seperti  sapi  dalam  ingat  dan melihat sapi  maka  kita  akan berkata bahwa itu sapi jika dibandingkan dengan kambing tentu tidak sama begitulah proses perbandingan dengan kenyataan ingatan yang persis.
Sabda atau kesaksian merupakan pengetahuan yang mengandung kebenaran mutlak seperti yang dinyatakan oleh Weda. Pramana ini bertentangan dengan pramana yang lainnya sebab pramana yang lainnya berhubungan dengan dunia yang dapat diamati sedangkan sabda ini adalah berhubungan pada dunia yang tidak dapat diamati.
Arthapati atau perkiraan yang juga bisa disebut dugaan sementara dengan bahasa ilmiahnya disebut hipotesis yaitu bentuk pemikiran yang sangat diperlukan terhadap suatu yang sulit dipahami dengan melalui beberapa penjelasan. Penjelasan memerlukan fakta sedangkan yang akan dijelaskan tidak terdapat fakta atau bendanya tidak ada, tidak dapat diamati maka pramana ini sangat diperlukan untuk memenuhi keinginan akan penjelasan.
Pramana yang terakhir yaitu anupalabdhi yaitu pengamatan karena memang bendanya tidak ada, merupakan pengamatan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai tidak adanya pengamatan terhadap suatu objek tetapi mendapatkan objek yang tidak terpikirkan atau tidak ada menjadi ada disesuaikan dengan ketiadaan menjadi ada. Misalnya jika meminum air jika tempat lubang air kecil maka akan berpikir untuk menggunakan pipet untuk mendapatkan air sehingga pipet yang dulunya tidak ada menjadi ada dan contoh lainnya. (Sumawa, 1996:215-218).
Pada umumnya pengetahuan dalam Advaita dinyatakan dalam dua jenia yaitu para widya yaitu pengetahuan yang lebih tinggi yang di dalamnya terkadung segala macam kebenaran meliputi segala sesuatu dan wujudnya kesatuan yang universal yaitu brahman maka sering disebut dengan brahma widya atau atma widya yang juga diartikan sebagai pengetahuan tentang brahman atau atman. Sedangkan yang kedua yaitu Apara Widya yaitu pengetahuan yang lebih rendah yang bersifat keduniawian yang sebenarnya adalah ilusi dan masa hal ini sebenanya bentuk awidya.
Tujuan hidup tertinggi menurut Advaita adalah untuk mengetahui dan merealisaikan bahwa Atman adalah Brahman, di mana ataman dipandang sebagai brahman yang mana Atman diselimuti oleh buddhi, ahamkara, manas dan sepuluh indriya (panca budhidriya dan panca kramendriya) serta terdapat lapisan seperti panca maya kosa dan panca maha bhuta.

C. Advaita Sankara
Advaita yang diajarkan oleh Sri Sankara merupakan filsafat yang kaku dan mutlak, karena menurut Sankara apapun juga adalah Brahman yang merupakan  keserbasamaan  yang  mutlak. Ajaran-ajaran  dari  Sankara dapat disimpulkan dalam separuh sloka, yaitu ”brahma Satyam Jangan Mithya, Jivo brahmaiva na aparah”, yang artinya bahwa Brahman yang mutlak sajalah yang nyata, dunia ini tidak nyata dan jiva atau roh pribadi tidak berbeda dengan Brahman. Inilah merupakan sari pati dari filsafatnya.
Atman adalah sang diri yang nyata (svata-siddha), yang tidak di tetapkan oleh bukti-bukti yang tidak ada hubungannya. Atman merupakan dasar dari segala jenis pengetahuan, persangkaan dan pembuktian, sang diri ada di dalam, di luar, di muka, di belakang, di kanan, di kiri, di atas dan di bawah. Sedangkan Brahman bukanlah objek, karena ia bersifat Adrsta yang mengatasi pencapaian mata, yang berarti pula bahwa Brahman merupakan suatu konsep negatif atau abstaraksi metafisika atau sesuatau yang tidak sungguh-sungguh ada, atau merupakan ketiadaan. Ia memenuhi segalanya, tidak terbatas, tidak berubah, ada dengan sendirinya, kesenangan itu sendiri, pengetahuan dan Svarupa, ia adalah si pengamat (drstha), transenden (turiya) dan saksi bisu (saksi) (Maswinara, 1999:182).
Brahman tertinggi dari ajaran Sankara yaitu Brahman yang tidak berpribadi yaitu Nirguna (tanpa guna atau atribut), Nirakara (tanpa wujud), Nirvisesa (tanpa ciri-ciri tertentu), tidak berubah, abadi dan Akarta (bukan pelaku atau praktara). Sedangkan bentuk Saguna Brahman atau Tuhan yang berpribadi yaitu penyatuan Tuhan dengan maya. Dijelaskan kembali bahwa Nirguna Brahman yang lebih tinggi yang dipandang dari sudut transendental (paramarthika), sedang Saguna Brahman merupakan Brahman yang lebih rendah yang dipandang dari sudut relatif (Vyavaharika).
Setelah dipaparkan mengenai keadaan Brahman selanjutnya dijelaskan mengenai tentang Atman atau jiwa dimana Sankara berpendapat bahwa Atman yang sudah menjadi Jiwa atau roh adalah pribadi kenyataan yang relatif dan keperibadiannya berakhir hanya selama ia merupakan subjek terhadap Upandhi yang tidak nyata atau kondisi yang disebab kan Avidya. Jiwa mempersembahkan drinya dengan badan, pikiran dan indra-indra bila ia dikhayalkan oleh Avidya atau kegelapan serta kebodhohan tadi, ia berpikir, berbuat dan menikmati juga disebabkan oleh Avidya, dimana ia sesungguhnya tidak berbeda dengan Brahman yang mutlak.
Selain itu Sankara menjelaskan konsep kelepasan dari samsara yaitu merupakan pengabungan mutlak sang roh pribadi dalam Brahman, disebabkan pembebasan dari dugaan salah bahwa roh berbeda dengan Brahman. Menurut Sankara karma dan bhakti adalah cara menuju Jnana yang merupakan moksa. Sankara menganjurkan Vrvarta Veda atau teori penampakkan atau pelapisan (adhayasa) merupakan Mithya jnana atau pengetahuan palsu yang nantinya dilepaskan oleh pengetahuan yang sebenarnya tentang realitas kehidupan, manusia akan bersinar dalam kecemerlangan   dan   kemuliaan  ilahi  yang  sebenarnya dan  murni  (Oka,  2001:197). Selanjutnya dijelaskan lebih rinci isi dari pandangan Sankara terhadap Advaita Vedanta yaitu sebagai berikut:
1. Konsepsi Sankara Tentang Dunia
Selain dari pada penjelasan Brahman, Atman dan Jiwa dijelaskan lagi tentang kekuatan Tuhan untuk menciptakan yaitu maya. Maya sebagai kekuatan Tuhan yang dibendakan dari dia, ibarat kekuatan membakar api adalah api itu sendiri. Dengan kekuatan maya inilah Tuhan menjadi tukang sulap mahaagung, memperlihatkan dunia sandirwara dengan segala macam objeknya yang luar biasa. Tetapi kekuatan menciptakaan ini, bukanlah karakter pribadi permenen Tuhan seperti dipikirkan oleh Ramanuja, melainkan hanya suatu kemauan bebas yang karenannya dapat ditinggalkan setiap waktu. Sebab, maya bukanlah suatu kesatuan yang berbeda dalam Brahman, melainkan tidak terpisah dan tidak berbeda-bedakan daripadanya yaitu kemamuan dari manah yang menginginkannya.
Lebih rinci bahwa dari Atman atau Brahman terlahir lima unsur halus dengan urutan Akasa atau ether, Vayu atau udara, agni atau api, apah atau air, prakerti atau tanah. Kelima unsur ini kemudian bercampur bersama-sama melalui lima cara berlain-lainan untuk memungkinkan terlahirnya lima unsur besar dari kelima unsur halus tersebut dengan nama yang sama. (Pendit, 2007:196). Dengan demikian dunia dipandang sebagai ilusi sulap dari kekuatan Tuhan yang menyembunyikan kebenaran yang sebenarnya, Tuhan menciptakan lila atau permainan berupa sandiwara kehidupan yaitu dua sisi kehidupan yang selalu berdampingan seperti laki-laki dan perempuan jatuh cinta, suka dan duka kehidupan, rasa benci dan cinta dan sebagainya merupakan sandiwara kehidupan yang diciptakan oleh Tuhan untuk memperindah dunia. Sangkara tidak saja mengatakan dunia ini adalah maya dari saktinya Tuhan tetapi maya juga adalah Brahman itu sendiri hanya saja Brahman yang terbelengu oleh keinginan dalam sifatnya, dengan itu maya bukanlah tujuan yang tertinggi melainkan bersatu dengan Brahman yang tanpa pribadi.
Sesuatu yang tampak seperti sebenarnya ada adalah tidak nyata yang nyata adalah jiwa, atman dan Brahman yang berada di dalam diri manusia. Karena belengu maya atman yang telah menjadi jiwa hidup di dalam material akasa, eter, agni, apah dan prakerti maka jiwa harus mengikuti sifat maya seperti dari lahir akan menjadi anak-anak terus menjadi remeja, menjadi dewasa, menjadi tua dan mati. Merasakan rasa lapar, rasa mengantuk, dingin, panas, gelap dan terang, sakit dan sehat serta sebagainya merupakan kekuatan maya untuk menyeliputi sejati sang jiwa. Dunia memiliki kekuatan yang besar  dalam mempengaruhi jiwa atau atman dalam diri manusia untuk melupakan dirnya karena pengaruh dari badan materialnya. Dengan demikian badan dan jiwa harus disadari satu kesatuan yang tidak dipisahkan bukan hanya melayani badan saja melainkan jiwa dilayani oleh badan dan badan dilayani oleh jiwa itulah kesimbangan.

2. Teori Advaita Tentang Kesalahan
Sebagaimana Sankara mencoba menjelaskan tentang pemunculan dunia dengan jalan persepsi bersifat ilusi, ia dan para pengikutnya mendiskusikan sifat dan waktak persepsi secara lebar, karena penjelasan-penjelasan kesalahan serupa itu diajukan oleh aliran-aliran lain, menyebabkan pandangan Advaita tentang dunia tidak konklusif. Untuk membangun fakta-fakta tersebut menjadi teori yang konsisten, kaum Advaita berpendapat bahwa dalam ilusi ketidaktahuaan itu menutup bentuk objek yang bereksistensi dan sebaliknya membentuk wajah atau objek lain seperti tali menjadi ular. Objek yang kelihatan itu haruslah diterima sebagai ada seperti yang tampak di sini dan sekarang, lalu ia adalah ciptaan sementara (sristi) dari ketidaktahuaan. Suatu ciptaan tidak terlukiskan  (anirvacaniya sristi) dan teori ilusinya disebut teori terwujud yang tidak dapat dilukiskan (anirvacaniyakhyativeda) (Pendit, 2007:212).
Penjelasan tentang pemunculan dunia dari segi ilusi biasa, sebagai ciptaan suatu ketidaktahuaan dengan kekuatan menyembunyikan dan mengubah realitas adalah beralasan baik. Maksudnya adalah melalui ketidaktahuan kita menempatkan di atas insani murni (Brahman), objek-objek yang beraneka warna bentuk yang dialami di masa hidup yang lampau. Menempatkan diri di atas yang dimaksud adalah menempatkan pemikiran di atas pengetahuan normal yaitu berpikir lebih jauh dan luas tentang dunia dan kehidupan manusia. Pandangan ini beranggapan bahwa yang dipandang sebagai kesalahan yaitu maya sesungguhnya adalah kebenaran yang terlihat seperti tidak benar yang muncul tidak saja pada pandangan yang kita pandang saat ini melinkan telah terdapat sebelum kita pandang seperti saat ini yaitu telah ada tanpa adanya permulaan atau kelahiran
Seperti Brahman yang kita kenal tidaklah dilahirkan dan tidak akan berakhir begitu juga dengan alam semesta dan kehidupan ini yang sesungguhnya tidak ada permulaan dan akhir dari apa yang kita lihat saat ini melainkan adalah kelanjutan dari alam semesta sebelumnya dan kehidupan sebelumnya. Hal inilah yang menjadi dasar konsep punarbawa dan renkarnasi dalam agama Hindu yang menyatakan bahwa yang saat ini dialami dan dinikmati adalah hasil dari kehidupan dimasa lalu, begitu juga dunia yang kita pandang saat ini adalah hasil dari dunia di masa lalu dan semua yang dipandang pada masa kini tentang alam semesta dan kehidupan manusia tidak berakhir setelah kita selesai memandang semuanya melainkan akan terus berlanjut kepada alam semesta dan kehidupan selanjutnya yang tidak akan pernah berhenti. Dengan demikian kesalahan yang dipandang saat ini merupakan kebenaran dimasa lalu yang mungkin saat ini dipandnag tidak benar karena pengaruhnya berbeda dengan kebenaran saat ini, maka sebenarnya di dunia ini tidak ada kesalahan melainkan kesemuannya adalah kebenaran dari pada Brahman itu sendiri.

3. Konsepsi Sankara Tentang Tuhan
Menurut Sankara, Tuhan dapat direnungkan dari dua sudut pandangan yang berbeda-beda. Apabila kita lihat Tuhan dari sudut pandang bisa yang praktis (vyavaharikadristi) di mana dunia dipercaya sebagai riil, Tuhan bisa dipandang sebagai sebabnya, pencipta, pemelihara dan pemusnah dunia dan karenannya juga suatu mahkluk mahapotensial dan mahamengetahui. Pelukisan Tuhan sebagai pencipta dunia hanya benar dari sudut pandang praktis, selama dunia semua ini dianggap sebagai riil. Kepenciptaan dunia bukanlah intisari Tuhan (svarupa laksana) itu hanyalah pelukisan apa yang merupakan eksidental belaka (tatasitha laksana) dan tidak menyentuh instisarinya.
Demikian pulalah halnya dengan pelukisan Tuhan sebagai yang sadar, riil, tidak terbatas (styam, jnanam, anatam brahman) merupakan suatu upaya untuk melukiskan intisari-Nya (svarupa) sedangkan pelukisan-Nya sebagai pencipta, memelihara dan pelebur dunia, atau dengan karakteristik lain apapun yang dihubungkan dengan dunia adalah hanya pelukisan eksidental belaka dan hanya berlaku baik buat sudut pandang dunia. (Pendit, 2007:219). Pandangan ini menekankan bahwa kebenaran berbeda-beda jika dipandang dari sudut yang berbeda-beda pula, karena kesemuannya merupakan kebenaran juga. Jika dunia dipandang dari mujud saat ini adalah benar adanya karena dunia saat ini dapat memberikan kenyamanan, ketenangan dan segala kebutuhan secara riil, segala yang hidup terbawa dalam alur kehidupan yang sebenarnya saat ini dirasakan adalah benar. Sehingga dari sudut pandang sekarang Tuhan memiliki sifat sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur segala yang ada saat ini baik manusia dan segala ciptaanya akan mengikuti kebenaran tersebut, seolah-olah tidak dapat menghindarkan diri dari kebenaran tersebut seperti hidup dan mati, sakit dan sehat, susah dan senang maka itu juga dipandang sebagai kebenaran.
Sedangkan padangan selanjutnya yang melampaui batas kebenaran di atas menyatakan bahwa kebenaran tersebut tidaklah demikian adanya karena kebenaran saat ini adalah sandiwara atau pertunjukkan belaka dari kehidupan terdahulu yang sebenarnya dapat dihindari dan sadari. Inilah permulaan dari ajaran Karma phala yaitu segala sesuatu yang dirasakan dan dinikmati saat ini adalah hasil perbuatan di masa lalu yang tidak benar demikian adanya pada masa ini. Orang yang menyadari hal ini adalah orang yang menempatkan dirinya sebagai bagian dari Brahman yang terbebas dari kekuatannya sendiri yaitu maya yang tidak ternodai oleh keinginan dan Guna, dan yang lain menyatakan Tuhan yang bersifat adalah mewujudkan Tuhan sebagai pemilik maya itu sendiri sehingga seolah-olah Tuhan memiliki sifat dan ego yang sebenarnya itu adalah berada di dalam ruang lingkup maya.

4. Konsepsi Sankara Tentang Belenggu dan Kelepasan
Sankara percaya pada monisme yang tanpa kualifikasi, semua perbedaan antara objek dengan objek, atara subjek dengan objek, antara jiwa dengan Tuhan adalah ciptaan ilusi dari maya. Manusia tampak terdiri dari badan jasmani dan jiwa, tetapi badan yang kita lihat ini, seperti halnya tiap-tiap objek material lainnya adalah hanya penampilan ilusi belaka. Kalimat Tat Twam Asi (engkau adalah itu) berarti bahwa ada suatu identitas tanpa kualifikasi antara jiwa, yang melatarbelakangi secara kelihatan belaka manusia yang terbatas dengan Tuhan. Kata Twam (engkau) hanya dalam artian individual empiris terbatas dan tergantung pada kondisi bandanya belaka, serta kata Tat (itu) sebagai realitas di luar dunia, maka tidak akan ada identitas anatara Twam dan Tat (Pendit, 2007:231).
Jiwa yang dipandang terpisah dari kondisi-kondisi yang memisahkannya dari kesadaran murni adalah indentik dengan Tuhan yang dipandang terpisah dari atribut-atribut yang memisahkan-Nya dari kesadaran murni. Badan tidaklah hanya dibuat dari pada yang kita dapat saksikan melalui indria tetapi juga terdapat badan halus yang terdiri dari indria dan  alat pengerak, unsur vital (prana) dan mekanisme tentang pengetahuan dalam (antahkarana) atau juga batin. Kalau badan kasar hancur saat mati, maka badan halus tidak demikian tetapi bersama jiwa berpindah kebadan berikutnya karena badan itu produk maya yang nantinya menjadi karma phala manusia. Kesadaran jiwa juga menjadi terbatas oleh kondisi-kondisi beada.
Indria dan antahkarana (organ internal dari pengetahuan) menjadi instrumen untuk memperoleh kesadaran akan objek-objeknya. Kesadaran itu seperti tatkala manusia tidur pulas tanpa mimpi-mimpi sebenarnya manusia berhenti memiliki suatu ide tentang objek apapun. Tetapi sebenarnya kesadaran yang utama lebih dari sekedar tidur pulas tanpa mimpi-mimpi tetapi menyadari setiap gerak indria, emosi, kesabaran, keadaan dimana sedang berada, ucapan setiap langkah serta mngetahui diri sedang dalam keadaan bersedih atau berduka, bahagia atau damai serta mengetahui diri dalam keadaan bimbang itulah kesadaran jiwa yang mana badan atau maya ni mempengaruhi jiwa namun tidak megendalikan jiwa.
Konsep belenggu menurut sankara yaitu terbatasnya kondisi kesadaran jiwa akibat tertutupnya kesadaran oleh badan yang menyelimuti sang jiwa. Badan yang terdiri dari badan kasar dan badan halus yang memiliki sifat dan bentuk yang berbeda-beda, badan kasar yang tersusun oleh unsur material Panca maha bhuta akan kembali keasalnya dan tidak lagi mempengaruhi jiwa tetapi badan yang halus akan terus mempengaruhi sang jiwa setelah kematian badan kasar manusia. Badan halus inilah yang terus mengikuti sang jiwa dan mempengaruhi perjalanan sang jiwa. Belenggu yang disebabkan oleh badan kasar yaitu belenggu rasa sakit, rasa ngantuk, lapar, perubahan bentuk, mati dan sebagainya. Sedangkan belenggu oleh badan halus adalah keinginan, kebencian, rasa malu, keberanian, egois, emosi, keahlian, kecerdasan, rejeki, dan sebagainya yang bersifat sangat halus dan tidak diketahui dari mana asalnya. Belenggu-belenggu inilah yang menyebabkan sang jiwa susah merefleksikan diri atau menampakkan diri dalam diri manusia sehingga manusia terbawa dalam belenggu tersebut, manusia akan merasakan sakit bila dilukai, sedih bila disakiti, sedih bila meninggalkan atau ditinggalkan, jatuh cinta kepada lawan jenis, rasa persaudaraan, kebencian kepada musuh, dan sebagainya. Inilah yang memyebabkan perbedaan manusia satu dengan manusia lainnya yaitu disebabkan besar kecilnya belenggu yang disebabkan oleh perbuatannya di kehidupan terdahulu menggunakan badan kasar dan badan halusnya menikmati objeknya atas perintah dari keinginan badan kasar dan badan halusnya.
Keterikatan kesadaran kepada kedua badannya tersebut sehingga manusia tidak bisa menerima kematiannya dan selalu menginginkan umur panjang yang sebenarnya umur panjang adalah keinginan dari sifat sesungguhnya badan kasar itu sednagkan rasa sayang, cinta, sedih adalah sifat sesungguhnya badan halus manusia. Dengan demikian dapat diketahui belenggu sebenarnya manusia adalah sifat-sifat materialistik dari badanya. Dari badan inilah banyak bermunculan interpretasi terhadap kebenaran-kebenaran yang ada, kesalahan-kesalahan yang maksudnya adalah karena keinginan dari badan-badan tersebut sehingga jiwa membantu badan untuk mendapatkan segala keinginan badan dengan meninterpretasikan yang bersifat tidak nyata atau palsu menjadi nyata. Manusia akan secara sengaja mengkaburkan kesalahan menjadi benar, yang palsu menjadi nyata karena kebutuhan dari badan-badanya yang semakin diberikan akan semakin susah dihentikan dan justru akan semakin besar permintaannya. Hal inilah yang menyebabkan manusia susah menyadari sejatinya karena semakit tertutup jendela kesadaran diri di dalam badan manusia dengan itu manusia perlu membatasi keinginan badan tersebut sesuai dengan keutuhan mencapai kesadaran badan yaitu badan yang sehat, bersih, cerdas, berperasan dan sensitif dengan belajar dari pengalaman serta alam.
Belajar mempelajari kesadaran adalah bukan berarti memberikan keleluasan kepada badan untuk memrintah kesatuan badan untuk menikmati segala keinginannya tetapi kesatuan badan secara bersama-sama mencari kebutuhan badan untuk hidup bersahaja seimbang yaitu dengan menyadari apa yang dilakukan, di mana dilakukan, dengan siapa, bagaimana perasaan diri sendiri dan orang sekitar, bagaimana alam sekitar dan tidak menguraingi kebenaran dari kebutuhan atau egois badan itu. Inilah kelepasan yang dimaksud yaitu menyadari keberadaan jiwa dan badan serta kesatuan antara badan dan jiwa sedang beraktivitas di dunia, sedang melakukan apa, bagaimana, dengan siapa, serta menyadari sifat utama jiwa dan badan yang keduanya memiliki peranan yang penting dalam mencapai tujuan tertinggi. Dengan itu manusia akan dapat membedakan mana keinginan dan mana kebutuhan yang baik, melepaskan interpretasi yang berlebihan terhadap segala sesuatu dengan kedok kebutuhan badaniah.

5. Konsepsi Teori Sankara Tentang Jiwa
Jiwa dalam sifat dan waktaknya yang hakiki, terisolasikan dari semua objek seperti ia dalam tidur nyeyak tanpa mimpi, ternyata memiliki eksistensi berikmah atau penuh damai, demikian juga dapat dikatakan ikmah dalam kesadaran. Jiwa dapat dijelaskan sebagai sumber tertinggi dari semua kebahagiaan. Kebahagiaan ini biasanya terbatas dan tidak tahan lama karena jiwa membatasi dirinya dengan jalan menidentifikasikan dirinya dengan objek-objek yang terbatas dan terapung-apung mengambang. Kesedihan dihubungkan dengan kekurangan-kekurangan tetapi tatkala jiwa dapat  menyadari dirinya apa sebenarnya dia yaitu kesadaran murni yang tidak terbatas maka ia adalah satu dengan intisarinya atau jiwa universal. Maka ia lalu dapat mengatasi segala kekurangan dan mencapai hikmah yang tidak terbatas. (Pendit, 2007:238).
Jiwa tidak ubahnya seperti refleksi yang beraneka warna dan sifat dan watak air yang merefleksikannya, apakah kelihatannya bersih atau kotor,  bergerak atau diam sesuai dengan sifat dan waktak genagan air tersebut, demikian pulalah dengan jiwa manusia adanya refleksi yang tidak terbatas beraneka warna sesuai dengan sifat dan waktak ketidaktahuan masing-masing individu. Dengan demikian terdapat persiapan yang diperlukan untuk mempelajari Vedanta menurut sankara yanitu terdiri dari 4 macam yaitu:
a.      Orang harus mempu membedakan antara apa yang langeng dan tidak langeng (nityanitya-vastuviveka).
b.     Orang harus mampu memberhentikan semua keinginan untuk menikmati objek-objek dalam hidup ini maupun nanti setelah hidup ini (ihmutrartha-bhogaviraga).
c.      Manusia harus mengontrol manah dan indrianya serta menumbuhkan kualitas-kualitas seperti tanpa ikatan motif, kesabaran, kekuatan konsentrasi (samadamadisadhana-sampat).
d.     Manusia harus memiliki suatu kemauan kuat untuk kelepasan (mumuksutva). (Pendit, 2007:243).
Dengan persiapan intelak, emosi dan kemauan yang demikian, orang harus mulai belajar Vedanta pada seseorang guru yang telah merealisasikan Brahman yang terdiri dari: (1) Mendengarkan instruksi-instrusi guru (sravana), (2) Mengerti maksud instruksi tersebut agar semua keragu-raguan terhapus dan tumbuh keyakinan (manana), (3) Meditasi berulang-ulang tentang kebenaran-kebenaran yang diterima (nidihyyasana).  Selain itu jiwa yang memiliki karma dapat dibedakan karma tersebut menjadi tiga macam yang dapat dibeda-bedakan yaitu karma-karma yang membahwakan akibatnya (prarabdha karma) dan yang masih tinggal terakumulasi (sancita karma) dan karma yang terkumpul dalam hidup ini (sanciyamana).

6. Pandangan Sankara Terhadap Pengetahuan
Menurut Sankara ada enam macam alat-alat pengetahuan (pramana) yaitu pengamatan, penyimpulan, perbandingan, kesaksian, persangkaan dan tiada pengetahuan atau persepsi. Mengetahui pengetahuan diajarkan bahwa ada dua macam pengetahuan yaitu pengetahuan yang lebih tinggi (para widya) dan pengetahuan yang rendah (apara widya). (Adiputa, 1990:77).
Tujuan hidup manusia adalah untuk mengetahui dan menganalisis kebenaran atau kelepasan. Maka terdapat sarana untuk mencapai kelepasan atau menuggalnya dengan Brahman yaitu: (1) Melakukan disiplin yang praktis yang disebut dengan Wairagya yaitu sikap yang tidak tertatik pada duniwai. Hal tersebut akan mendapatkan kecakapan untuk dapat membedakan antara hal-hal yang bersifat sementara dan bersifat kekal. Dengan demikian hindari kesusahan tetapi kesederhanaan dan merindukan kesejatian diri dan (2) Berusaha mendapatkan pengetahuan tentang kebenaran yang tertinggi dan mengubah pengetahuan itu menjadi pengalaman yang langsung yaitu dengan belajar pada guru. Maka  pengetahuan yang utama adalah pengetahuan yang memiliki kebenaran yaitu tidak adanya ikatan untung dan rugi, atau bersifat pemenuhan badaniah semata melainkan pengetahuan yang dapat membuat jiwa dan badan merasa mendapat makanan seperti halnya rasa ingin tahun dengan ketenangan. Rasa ingin tahu merupakan laparnya pengetahuan duniawi yang harus segera dipenuhi karena jika tidak akan terjadi beban serta tidak konsentrasinya pikiran pada salah satu objek utama. Sedangkan kedamian dan ketenangan dari pengetahuan adalah rasa laparnya jiwa mengharapkan pengetahuan yang dapat menenangkan alur pikiran dan jiwa dapat merefleksikan diri atau mempengaruhi pikiran agar selalu tenang itulah makanan jiwa.
Berangkat dari pandangan tersebut sebenarnya pengetahuan menurut Sankara bukan hanya semata mengetahui apa yang belum diketahui, dapat menjawab pertanyaan, dapat mendeskripsikan suatu objek melainkan mendapatkan ketenangan dari pengetahuan itu. Dengan demikian pengetahuan itu berupa pengetahuan yang didapatkan dengan cara menjauhkan diri dari harapan duniawi dari hasil mendapatkan pengetahuan itu melainkan ketenagan, baik dari konsentrasi, meditasi, dan menyadari diri secara utuh.












VASISTADVAITA VEDANTA

A. Pemahaman Visistadevaita Vedanta
Filsafat ini disebut Visistadevaita karena ia menanamkan pengertian Advaita atau kesatuan dengan Tuhan, dengan Visesa atau atribut, sehingga ia merupakan filsafat monisme terbatas. Ia menyatakan hanya Tuhan saja yang ada sedangkan semua yang lainnya yang terlihat merupakan perwujudan atau atribut-nya. Tuhan atau Narayana dari Ramanuja merupakan satu keseluruhan dasar yang kompleks atau Visista, walaupun kenyataan satu sehingga dinamakan Visistadvaita.
Menurut Sankara segala sifat atau perwujudan itu tidak nyata atau sementara yang merupakan hasil avidya atau kegelapan, sedangkan menurut Ramanuja atribut tersebut nyata dan tetap, tetapi tergantung pada pengendalian diri satu Brahman. Tuhan dapat menjadi satu walaupun adanya atribut-atribut, karena mereka dapat terjadi dengan sendirinya dan mereka bukan merupakan kesatuan yang bebas yang benar-benar ada.
Filsafat ini merupakan Vaisnavisme yang mengakui kejamakan di mana Brahman atau Narayana dari Ramanuja hidup dalam kejamakan bentuk sebagai roh-roh (cit) dan materi (acit). Filsafat Ramanuja terlalu tinggi, halus dan abstrak bagi kebanyakan orang tetapi sangat sesaui dengan mereka yang unsur bhaktinya lebih berpengaruh. Dalam filsafat Ramanuja terdapat 2 prakara atau ragam yang terpisah yaitu alam dan Dunia yang dihubungkan dengan badan dan roh mereka terpisah tetapi menyatu.(Pendit, 2007:186).
Menurut Ramanuja apapun semuanya adalah Brahman tetapi Brahman di sini bukanlah sesuatu yang bersifat serba sama namun dalam diri-Nya terkandung unsur-unsur kejamakan yang menyebabkan-Nya benar-benar mewujudkan dirinya dalam alam yang beraneka warna ini. Brahman di sini adalah merupakan benar-benar Tuhan berpribadi, pengatur yang maha kuasa dan maha bijak dari alam yang nyata, diresapi dan dihidupi oleh jiwa-Nya.
Alam dengan berbagai wujud material dan roh-roh pribadi bukanlah maya atau tidak nyata, tetapi bagian nyata dari hakekat Brahman dan merupakan badan Tuhan. Materi itu nyata yang merupakan Cit atau substansi yang tanpa kesadarqan yang mengalami evolusi atau Parimana. Alam atau prakerti memiliki memiliki 3 guna yaitu Sttvam, rajas dan tamas, tetapi Suddha tattwa hanya memiliki sifat sattvam saja yang merupakan materi murni yaitu substansi penyusun badan Tuhan yang disebut dengan Nitya-vibhuti sedangkan yang berwujud merupakan Lila-vibhuti-Nya.
Roh adalah prakra Tuhan yang lebih tinggi dari pada meteri, karena ia merupakan kesatuan yang sadar, yang merupakan inti dari Tuhan. Menurut Ramanuja bahwa Tuhan, roh dan alam merupakan kesatuan-kesatuan yang abadi, yaitu roh adalah sadar sendiri, tidak berubah, tidak terbagi yang bersifat mutlak. Terdapat 3 golongan roh yaitu a) Nitya atau abadi, b) mukta atau bebas, c) baddha atau terbelenggu.selanjutnya ramanuja menjelaskan bahwa moksa adalah berlalunya roh dari kesulitan hidup duniwi menuju semacam surga (Vaikuntha) di mana ia akan tetap selamanya dalam kebahagiaan pribadi yang tenang bersama  Tuhan. (Pendit, 2007:189).
Tuhan menurut Ramanuja kembali ditegaskan bahwa Tuhan adalah asas yang immanen yang menjiwai cit dan acit menimbulkan tiga kualitas yaitu berubah, tumbuh dan mati. Pertemuan cit dengan acit menimbulkan secara berturut-turut dari yang halus sampai kepada yang kasar yaitu citta atau buddhi, manas, sepuluh indria, panca tanmatra, panca mahabhuta dan alam semesta beserta isinya. Pada sat pralaya semuanya kembali pada acit ke dalam Tuhan dan proses penciptaan alam semesta ini bukan suatu bentuk ilusi melainkan kenyataan yang benar-benar terjadi. (Sumawa, 1996:237).
Dengan demikian pemikiran Ramanuja berlainan dengan pemikiran Sankara tentang alam Brahman, jiwa dan alam semesta. Jika Sankara menyatakan Brahman adalah kesadaran tertinggi sedangkan jiwa atau roh adalah kesadaran yang sudah terbelenggu kepalsuan atau maya begitu juga dengan alam semesta tercipta dari ilusi Tuhan atau kekuatan maya tuhan yang terlihat adan tetapi sebenarnya tidak ada. Melainkan dengan pandangan Ramanuja bahwa segalanya adalah Brahman baik itu Atman atau kesadaran tertinggi maupun material penyusun alam semesta, sebab segalanya adalah Brahman tidak berbeda hanya pada fungsi yang berbeda. Ramanuja menyatakan penciptaan dan segala yang ada adalah nyata seperti nyatanya Tuhan dan yang intinya menyatakan Tuhan memiliki mahakuasa menciptakan alam semesta dari berbagai belenggu dan maya yang merupakan bagian dari Tuhan. Ilusi yang disampikan Sankara menurut Ramanuja adalah nyata demikian seperti Brahman hanya kesadarannya berbeda yaitu kesadaran murni dan kesadaran material tetapi keduan adalah sama sedang berada dalam keberbedaan sementara.  Dengan demikian bahwa Brahman, jiwa dan alam semesta memang berbeda tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan karena ketiganya sama-sama kekal yang dapat dikatakan bahwa berbeda tetapi berhubungan yang sangat erat. (Adiputra, 1990:79).
Filsafat ini mengenal tiga jenis pramana atau alat pengetahuan yaitu pratyaksa atau pengamatan, anumana atau penyimpulan dan sabda atau kesaksian. Pengamatan memiliki dua jenis yaitu Nirwikalpa atau pengamatan tanpa penilian dan sawikalllpa yaitu pengamatan dengan ciri-ciri atau penilaian. Anumana adalah penyimpulan tentang pengetahuan yang ada dengan pengetahuan yang baru ada dan semestinya ada tiga syarat yang dipenuhi yaitu Paksa atau suatu kesimpulan yang akan ditarik, sadhya atau objek yang akan ditarik kesimpulannya dan lingga atau tanda yang tidak terpisahkan dengan benda dan kesimpulannya.
Kesimpulan itu dapat diambil karena adanya dalil umum yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara api dengan asap yang didasarkan atas pengalaman yang telah ada degan demikian penyimpulan memerlukan prantara atau bantuan pengetahuan lain di mana penyimpulan ini dilakukan untuk menyakinkan orang lain dan diri sendiri. Sedangkan mengenai sabda atau kesaksian dinyatakan bahwa mengandung kebenaran yang mutlak seperti yang dinyatakan dalam kitab Suci Weda, dimana Weda dibagi atas Brahmana dan Upanisad yaitu kitab Brahmana berhubungan dengan upacara keagamaan dan cara memuja sedangkan Upanisad berhubungan dengan Brahman dengan sasaran pemujaan yang keduanya merupakan kesaksian yang mutlak. (Sumawa, 1996:243).
Dengan demikian sebenarnya segala pengetahuan adalah benar sekalipun ada tingkatan-tingkatan kebenaran yaitu kurang benar, cukup benar, sangat benar dan lain sebagainya. Semua pengetahuan menujuk kepada adanya objek pengetahuan yang kompleks yang tidak sederhana, suatu keruwetan yang telah diberi kuaifikasi, yang telah ditentukan sifat-sifatnya yang menjawab tersebut adalah pengalaman. Secara umum Vaisesika membicarakan soal dharma yaitu apa yang memberikan kesejahteraan di Dunia ini dan yang dapat memberikan kelepasan. Ajarannya yang terpenting ialah tentang katagori (unsur) yang menjadikan segala sesuatu yang ada di alam ini. Waisesika menyatakan bahwa ada tujuh unsur (katagori) yang menjadikan alam ini yaitu:
1. Substansi (drawya)
Substansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-unsur lain. Namun unsur lain tidak dapat apa tanpa substansi. Substansi (drawya) dapat menjadi sebab yang melekat pada apa yang dijadikannya. Atau drawya dapat menjadi tidak ada pada apa yang dihasilkannya. Ada Sembilan substansi yang dinyatakan oleh Waisesika:
1.      Bumi                                                         6.   Waktu (kala)
2.      Api (panas)                                                7.   Ruang (tempat)
3.      Air (zat cair)                                              8.   Akal (manas)
4.      Udara (hawa)                                            9.   Pribadi (jiwa / atma)
5.      Akasa (ether)
Semua substansi tersebut di atas, riel, tetap dan kekal, namun hanya hawa, waktu dan akasa bersifat tak terbatas. Kombinasi dari Sembilan substansi itulah membentuk alam semesta beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada di alam ini baik bersifat physik maupun yang bersifat rokhaniah.
Adapun yang termasuk substansi badani (physik) ialah: bumi, air, api, udara, ruang, waktu dan akasa. Sedang yang tergolong substansi rokhaniah terdiri dari akal (manas/pikiran) dan pribadi (jiwa/atam). Kedua substansi rokhaniah ini bersifat kekal dan pada setiap makhluk (manusia) hanya terdapat satu jiwa dan satu manas. Demikianlah pribadi (jiwa) itu bersifat individu dan menjadi sumber kesadaran setiap makhluk yang senantiasa berhubungan dengan kegiatan badani (physik). Setiap pribadi (atma) memiliki manas tersendiri yang dipakai sebagai alat untuk mengenal dan mengalami sesuatu melalui alat physik termasuk juga dipakai sebagai alat untuk mencapai kebebasan. Namun di lain pihak manas juga diakui dapat menyebabkan kelahiran kembali. Oleh karena setiap makhluk (manusia) dijiwai oleh pribadi (jiwa/atma) maka pandangan Waisesika terhadap jiwa tidak mungkin dipisahkan karena keduanya senantiasa mewujudkan satu kesatuan
2. Aktifitas (karma)
Tidak semua substansi (zat) dapat bergerak. Hanya substansi yang bersifat terbatas saja dapat bergerak atau mengubah tempatnya. Sedangkan substansi yang tak terbatas (atma, hawa dan akasa) tidak dapat bergerak karena telah memenuhi segala yanga ada. Karena Tuhan sebagai sumber gerakan alam ini maka Tuhan Maha mengetahui segala gerak dan perilaku benda-benda di alam ini termasuk mengetahui benda perilaku (karma) manusia. Atas dasar itu maka jelaslah Waisesika meyakini adanya Tuhan secara anumana. Diyakini Tuhan adalah maha tahu, menjadi sumber kesadaran tertinggi dan Waisesika meyakini bahwa Tuhan menciptakan alam ini dengan jalan mengatur komposisi atom-atom yang ada.
3. Samanya
Sifat umum (samanya) ialah sifat terdapat pada sekelompok atom yang sudah tentu berbeda-beda dnegan sifat atom yang lain, seperti sifat kelompok atom air akan berbeda dengan sifat kelompok atom bumi maupun dengan sifat kelompok atom manas, dan sebagainya
4. Wisesa
Sifat perorangan (individu) ada banyak dan beraneka ragam karena setiap benda atau orang memiliki sifat tersendiri dan benda antara yang satu dengan yang lain. Karena setiap benda (substansi) memiliki wisesa maka wisesa ini bersifat kekal, oleh Karen alam ini terjadi dari substansi yang kekal.
5. Samawaya
Pelekatan juga bersifat kekal dan hanya ada satu yang disebut Samawaya. Pelekatan dikatakan kekal karena pelekatan ini tentu terjadi pada benda-benda yakni pelekatan antara benda (zat) dengan kualitasnya seperti: api-panas, kapur-putih, tinta-hitam, es dingin dan sebagainya. Api, air, dan tanah terjadi dari substansi yang atomnya bersifat kekal, maka tentu kwalitasnya pun kekal termasuk hubungan yang tak terpisahkan (Samawaya/pelekatan) keadaanya kekal pula. Namun sifat kekekalan itu hanyalah satu walaupun terdapat pada bermacam-macam substansi.
6. Abhawa
Abhawa dikatakan katagori yang bersifat negatif karena menyatakan ketidak adaan dari seuatu. Jadi abhawa pun ternyata menyebabkan terjadinya sesuatu yakni ketidak adaan. Ketidak adaan disini bukanlah mutlak (absolut) melainkan ketidak adaan yang bersifat khusus dan berlaku pda ruang waktu tertentu dan terbatas.

B. Etika Vasistadvaita Vedanta
Jiwa manusia dibedakan menjadi jiwa yang tidak terbelenggu oleh benda, jiwa yang bebas dari belenggu, dan jiwa yang masih terbelenggu oleh benda sehingga masih mengalami punarbawa atau lahir berulang-ulang. (Sumawa, 1996:249). Jiwa yang masih terbelenggu tersebut dapat menderita dilahirkan kembali karena karma yang ada pada dirinya masih ada. Dengan demikian tujuan hidup manusia adalah mencapai Narayana yang bebas dari belenggu untuk menikmati kebahagiaan yang sempurna degan jalan prapatti dan bhakti.
Prapatti adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan sebagai satu-satunya tempat untuk berlindung. Penyerahan diri hendaknya disertai dengan kepercayaan yang sempurna bahwa Narayana bersifat maha kuasa, cinta kasih, maha pemurah. Sedangkan bhkati memiliki tiga tahap yaitu Karma yoga, jana yoga, bhakti yoga dan Raja yoga. Karmayoga dengan upacara kegamaan dilakukan menurut Weda yang terdiri dari upacara kepada para Dewa atau Dewa yajna, para Rsi (Rsi yajna)  atau orang suci, kepada leluhur atau pitra yajna, manusa yajan dengan menolong kepada mereka yang memerlukan dan bhuta yajna dengan memelihara lingkungan dan sebagainya.
Jnanayoga adalah usaha untuk merenungkan diri sendiri yang berhakekat rohani dan jasmani yang berasal dari Tuhan, hal ini untuk membantu merealisasikan keadaan yang sebenarnya dari sang diri yang sejati. Bhaktiyoga adalah dengan melakukan meditasi kepada Tuhan yang bertujuan untuk menguatkan ingatan bukan untuk menuju kepada pengamatan Tuhan. Ingatan di sini adalah ingatan yang teguh yang penuh kasih sayang dan cita kasih kepada objek yang direnungkan. Dengan menjalankan bhakti tersebut dengan penyerahan mencapai moksa di mana moksa adalah keadaan yang bebas bersatu dengan Brahman.

C. Konsep Kesempurnaan Menurut Ramanuja
Pendiri filsafat Visistadvaita adalah Rsi Ramanuja, disebut filsafat Visistadvaita karena penanaman pengertian Advaita atau kesatuan dengan Brahman, dengan wisesa atau atribut. Sehingga dianggap sebagai filsafat monisme terbatas. Hanya Brahman yang ada, sedangkan yang lainnya merupakan perwujudan atau atributnya, Beliau merupakan satu keseluruhan yang komplek walau kenyataannya satu. Apabila Sri Sankara menganggap bahwa segala bentuk perwujudan dianggap tidak nyata dan sementara, sifatnya hanyalah hasil dari awidya atau  kegelapan, maka menurut Sri Ramanuja atribut itu nyata dan tetap, namun bergantung pada pengendalian satu Brahman.
            Tujuan hidup manusia adalah mencapai Narayana yang bebas dari belenggu untuk menikmati kebahagiaan yang sempurna dengan jalan prapatti dan bhakti. Prapatti adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan sebagai satu-satunya tempat untuk berlindung. Penyerahan diri hendaknya disertai dengan kepercayaan yang sempurna bahwa Narayana bersifat mahakuasa, cinta kasih, maha pemurah. Sedangkan bhakti memiliki empat  tahap yaitu catur Marga Yoga. Karma yoga dengan upacara keagamaan dilakukan menurut Weda yang terdiri dari upacara kepada para Dewa, para rsi, leluhur, dan manusia. Dengan menolong kepada mereka yang memerlukan dan kepada bhuta dengan memelihara lingkungan (panca yadnya). Jnana yoga adalah usaha untuk merenungkan diri sendiri yang berhakikat rohani dan jasmani yang berasal dari tuhan, hal ini untuk membantu merealisasikan keadaan yang sebenarnya dari sang diri yang sejati. Bhakti yoga adalah dengan melakukan meditasi kepada tuhan yang bertujuan untuk menguatkan ingatan  bukan untuk menuju kepada pengamatan Tuhan. Ingatan di sini adalah ingatan yang teguh yang penuh kasih sayang dan cinta kasih kepada objek yang direnungkan. Dengan menjalankan bhakti tersebut dengan penyerahan mencapai moksa di mana moksa adalah keadaan yang bebas bersatu dengan Brahman.
            Moksa dalam konsep Visistadvaita  berarti berlalunya belenggu dari kesulitan hidup duniawi menuju semacam surga (Waikuntha), di situ ia akan ada selamanya dalam kebahagiaan pribadi bersama Tuhan, namun tetap tidak pernah menjadi identik dengan Tuhan. Pembebasan akhir ini dicapai hanya dengan bhakti, karunia Tuhan datang melalui kepatuhan (prapatti) atau penyerahan diri secara mutlak. Pembebasan diri melalui bhakti, berkembang dua konsep, yaitu (markata nyaya) atau teori kera, bahwa seorang bhakta harus seperti anak kera yang harus mengusahakan dirinya tetap bergantung pada induknya (roh pribadi – Narayana), dan yang kedua adalah (marjara nyaya) atau teori anak kucing, penyerahan diri ketika dibawa induknya tanpa usaha bagi dirinya sendiri.





































DVAITA VEDANTA
A. Pemahaman Dvaita Vedanta
Tokoh pendiri sistem Dvaita Vedanta adalah Maharsi Madhwa yang diperkirakan lahir pada akhir abad ke 12 antara tauhn 1199-1278 M yang lahir di Udipi Distrik Kenara Selatan (Adiputra, 1990:85) dan (Sumawa, 1996:261). Madhawa mengembangkan filsafat ini yang bersumber dari Prasthana Traya yaitu Upanisad Bhagavadgita dan Brahma Sutra yang merupakan sistem filsafat Dvaita atau dualis tidak terbatas (Maswinara, 1999:191).
Mula-mula Dvaita berpengaruh di bagian Barat India akan tetapi kemudian berpengaruh kebagian yang lebih luas. Di mana sistem Dvaita atau dualisme sebuah pokok ajaran  filsafatnya adalah perbedaan yang disebut realistis mengakui bahwa alam semesta ini adalah nyata, dan menerima adanya Tuhan yang berpribadi sebagai kenyataan yang tertinggi dalam Dvaita segala yang bersumber dari Tuhan disebut Wisnu. Madhva membuat perbedaan mutlak antara Tuhan, objek-objek yang bergerak maupun tidak bergerak dan hanya Tuhan saja yang merupakan realitas yang merdeka. Dalam ajaran Atyanta Bheda Darsana yang menegaskan 5 perbedaan besar (pancabheda) yaitu: a) Perbedaan antara Tuhan dengan roh pribadi, b) Perbedaan Tuhan dengan Materi, c) Perbedaan antara roh pribadi dan materi, d) Perbedaan antara roh degan roh lainnya dan e) Perbedaan antara materi satu dengan materi yang lain (Maswinara, 1999:191).
Realitas objektif ada dua jenis yaitu yang berdiri sendiri (svatantra) dan yang bergantung (paratantra), dan Tuhan adalah realitas yang berdiri sendiri sedangkan roh dan alam semesta merupakan realitas bergantung kepada Tuhan. Mahkluk yang bergantung terdapat dua jenis yaitu yang positif dan negatif, yang positif yaitu roh-roh sadar (cetana) dan kesatuan tidak sadar seperti waktu dan materi (acatana), sedangkan yang negatif yaitu kesatuan yang tidak sadar seperti hasil-hasil dari prakerti dan hasil dari ruang dan waktu.
Terdapat tingkatan jiwa yaitu: a) Jiwa-jiwa yang bekas atau yang tidak pernah terbelenggu (nitya) misalnya Dewi Laksmi yaitu saksi dari Wisnu, b) Jiwa-jiwa yang telah mencapai kelepasan dari penderitaan (murka) yaitu pada Dewata dan para roh nenek moyang dan c) Jiwa-jiwa yang terbelenggu (baddha) seperti jiwa jiwa-jiwa yang terikat putaran renkarnasi dan jiwa-jiwa yang dihukum di neraka. Jiwa juga dipengaruhi oleh tiga guna yaitu Sattva, rajas dan tamas (Sumawa, 1996:263).
Tuhan merupakan penyebab efesien dan bukan penyebab material dari alam semesta karena prakerti yang merupakan substansi berbeda dengan Tuhan dan penyebab material dari alam atau semua objek. Tiga aspek prakerti yaitu Laksmi, Bhu dan durga. Lima unsur modifkasi prakerti yaitu mahat, ahamkara (keakuan), budhi, pikiran, sepuluh indria. Prakerti yang merupakan asas kebendaan yang tidak memiliki kesadaran yang juga bergantung pada Tuhan, dengan prantara Laksmi atau sakti Tuhan bertindak dalam prakerti kemudian dari prakerti keluarlah segala isnya. Yang pertama dilahirkan yaitu guna terdiri dari sattwa, rajas dan tamas dari ketiganya muncul segala isisnya.
Kerja sama ketiga guna laksana minyak bersama sumbu dan api yang bersama-sama menyebabkan adanya nyala lampu walaupun masing-masing elemen itu berbeda-beda yang sifatnya bertentangan. Ketiga guna berubah terus menerus yaitu perubahan pada waktu pralaya disebut Swarupaparinama dan perubahan akibat adanya penguasaan guna yang satu dengan guna yang lain terjadilah suatu penciptaan disebut dengan wirupaparinama.
Dari segi kejiwaan  mahat adalah benih dunia ini yang disebut budhi yang memiliki sifat bijaksana, pengetahuan, tidak bernafas dan ketuhanan atau dharma, jnana, wairagya dan aiswarya.  Perbedaan mahat dengan bhudi adalah mahat asas kosmis dan budhi adalah asas kejiwaan, tetapi budhi bukanlah jiwa yang bersifat kebendaan tetapi bhudi adalah zat halus dari segala mental, kecakapan untuk membedakan segala hal yang menerima sesuatu seperti apa adanya yang memiliki fungsi mempertimbangkan serta memutuskan segala hal yang dianjurkan oleh alat-alat yang lebih rendah dari padanya.
Dari budhi muncullah ahamkara yaitu asas individualisme yang menimbulkan segala sesuatu dengan sendiri-sendiri yang juga memiliki kosmis dan bersifat kejiwaan yang nantinya menimbulkan subjek dan objek yang berdiri sendiri dari segi kejiwaan timbul rasa aku manusia. Setelah itu munculah manas atau alat pusat yang kerja sama dengan indria-indria untuk mengamati kenyatan-kenyataan di luar diri manusia yang sering disebut pikiran. Tugas manas adalah untuk megkoordinir perangsang-perangsang keindraan, mengatur sehingga menjadi petunjuk-petunjuk dan  meneruskannya  kepada ahamkara dan  budhi, dan setelah itu dikembalikan kembali pada indria-indria di bahwanya. Dan gabungan dari budhi, ahamkara dan manas disebut antahkarana atau alat batin.
Setelah itu berlanjut pada yang lebih rinci yaitu pelaksana atau pengerak dari manas yang disebut dengan panca budhendriya yaitu seperti pengelihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Selanjutnya muncul panca karmendriya yaitu seperti berbicara, daya memengang, daya untuk berjalan, daya membuang kotoran dan daya mengeluarkan seperma. Setelah itu berlanjut pada susunan di bawahnya yaitu panca tanmatra seperti sari suara, sari sentuhan, sari warna, sari rasa dan sari bau.
Dari susunan yang halus di atas maka timbul susunan yang kasar yang disebut dengan panca mahabhuta seperti akasa dari susunan suara, dari suara muncullah agni, dari suara,  sentuhan, warna dan rasa muncullah air atau apah, dari gabungan suara, warna, sentuhan, rasa dan bau muncullah pratiwi atau Bumi. Dengan demikian maksudnya adalah ruang memiliki sifat suara, hawa memiliki sifat raba, api memiliki sifat warna, air memiliki sifat rasa dan bumi memliki sifat bau.

B. Epistemologi Dvaita Vedanta
Dvaita Vedanta mengajarkan cara memperoleh pengetahuan yang benar yaitu dengan dua jalan diantaranya alat primer yang disebut dengan kewalapramana dan alat yang skunder yaitu anupramana. Kewalapramana adalah pengetahuan yang benar yang menunjuk langsung kepada suatu peristiwa bukan alat untuk mendapatkan pengetahuan. Sedangkan pengetahuan skunder yaitu anupramana yaitu alat-alat yang digunakan guna mendapatkan pengetahuan melalui prantara yang dibagi  menjadi pengamatan penyimpulan dan kesaksian yang dominan dengan kitab suci Weda dan Purana (Sumawa, 1996:271).
Pengamatan hanya terjadi melalui indria bukan dari luar pada itu, di mana indriya dibagi menjadi 7 indria yaitu lima indria yang ditambah dengan manas dan saksin yang dimaksud dengan saksin adalah pribadi manusia yang pada hakekatnya sama dengan jiwa. Saksin dipandang sebagai salah satu alat pengamatan karena mengenal segala sesuatu yang dihadapkan indria yang lain kepadanya dan mengadung secara langsung yang mengenal kesenangan, kebahagiaan, kesusahan, waktu dan ruang.
Proses terjadinya pengetahuan yaitu adanya perubahan bentuk dari manas sehingga pengetahuan itu memberikan sifat kepada manas bukan kepada pribadi manusia. Tetapi pribadi manusialah yang menjadi pengolahnya, sebab ia yang memperakarsai proses itu seningga ada hubungan yang erat antara pribadi manusia.
C. Eika Dvaita Vedanta
Tujuan tertinggi dari Dvaita adalah untuk mecapai kelepasan, kelepasan dalam hal ini adalah peniadaan awidya secara sempurna karena awidyalah munculnya samsara atau penderitaan dalam hidup ini. Penderitaan yang dimaksud adalah seperti kelahiran, umur tua, penyakit, ketidak harmonisan, keputusan dan sejenisnya yang merupakan belenggu bagi setiap orang untuk mencapai kelepasan. Awidya tersebut ada dikarenakan ketidak tahuan manusia terhadap hakiki Tuhan dan dirinya sendiri, maka hendaknya penderitaan dipandang sebagai suatu gejala dan penyakit seperti cacat rohani maupun rohani seperti kecenderungan berbuat jahat dan membuat penderitaan. (Maswinara, 1996:277).
Semua bentuk penderitaan dalam hidup ini kelihatannya selalu diimbagi oleh kesenangan tetapi kesenangan tersebut sebenarnya akar dari kesengsaraan. Sebab penderitaan lahir dari kelimpahan kesenangan seperti setelah bahagia tentunya setelah itu akan susah atau bersedih atau juga setelah tertawa maka akan menangis. Dari awidya tersebut muncul nafsu-nafsu yang serakah yang ingin dipusatkan di sana-sini, keinginan kepada kesukaan, kemewahan hidup dan keinginan kepada kekuasaan. Yang menyebabkan orang menderita adalah karena keinginan hidup yang dikaitkan dengan nafsu kepada hal-hal yang bersifat duniawi berupa kesukaan, kemewahan, kekuasaan, dan birahi.
Dengan demikian untuk mencapai kelepasan Dvaita mengajarkan beberapa jalan diantaranya dengan karma yoga, srawana, manana dan dhyana atau meditasi. Karma yoga mengajarkan bahwa orang harus melaksanakan tugasnya tanpa mengharapkan phalanya termasuk dalam segala kegiatan baik upacara keagamaan, srawana adalah mendengarkan petuah-petuah Guru tentang kitab suci Weda, Purana dan kitab suci lainnya. Mananam yaitu memahami, membahas dan menguji yang didengar itu sehingga muncul keyakinan yang mendalam mengenai kebenaran yang didukung oleh kitab suci  dan yang terakhir hendaknya dilakukan dhyana atau meditasi yaitu perenungan secara mendalam sehingga orang akan mendapatkan pengetahuan yang benar tentang hakekat Tuhan dan dirinya sendiri. Pengetahuan ini melahirkan cinta kasih kepada Tuhan, kepada sesama dan kepada semua mahkluk hidup dan hendaknya selalu dipelihara. Dengan demikian tujuan mencapai kelepasan akan tercapai bila disiplin dilakukan secara sungguh-sungguh dari dalam diri.

C. Konsep Kesempurnaan menurut Madvacarya
Tujuan tertinggi dari Dvaita adalah untuk mencapai pelepasan. Kelepasan dalam hal ini adalah peniadaan awidya secara sempurna karena awidyalah munculnya samsara atau penderitaan dalam hidup ini. Penderitaan yang dimaksud adalah seperti kelahiran, umur, penyakit, ketidak harmonisan, keputusan, dan sejenisnya yang merupakan belenggu bagi setiap orang untuk mencapai kelepasan. Semua bentuk penderitaan dalam hidup ini kelihatannya selalu diimbangi oleh kesenangan tetapi kesenangan tersebut sebenarnya akar dari kesengsaraan. Dengan demikian untuk mencapai kelepasan Dvaita mengajarkan beberapa jalan diantaranya dengan: Karma Yoga, Srawana, Manana, dan Meditasi. Karma yoga mengajarkan bahwa orang harus melaksanakan tugasnya tanpa mengharapkan pahala srawana adalah mendengarkan petuah-petuah guru tentang itab suci Weda, Purana dan lainnya. Manana yaitu memahami membahas dan menguji yang didengar itu sehingga muncul keyakinan yang mendalam mengenai kebenaran yang didukung oleh kitab suci. Dan meditasi yaitu perenungan secara mendalam sehingga orang akan mendapatkan pengetahuan yang benar tentang hakikat tuhan dan dirinya sendiri.
            Madhwacarya menerima klasifikasi roh menurut Ramanuja yang digolongkan menjadi 3, yaitu: Nitya (abadi), Mukta (bebas), dan Baddha (terbelenggu). Roh yang abadi, selamanya bebas dari belenggu hidup dengan Tuhan (Narayana) di Vaikuntha, roh yang terbebaskan sekali waktu mengalami samsara tetapi telah mencapai pembebasan, sedangkan roh terbelenggu terjerat samsara dan berjuang untuk mencapai pembebasan. Roh yang terbelenggu oleh samsara memperoleh badannya sesuai dengan karma masa lalu, yang berjalan dari kelahiran ke kelahiran berikutnya hingga mencapai pembebasan akhir atau Moksa. Roh yang terbelenggu juga dibagi menjadi 2, yaitu Mereka yang layak untuk moksa (mukti yoga) dan Mereka yang tidak layak untuk pembebasan. Mereka yang tidak layak untuk pembebasan dapat digolongkan menjadi 2, yaitu: mereka yang selamanya terikat siklus samsara (nitya-samsarin), dan mereka yang karena karmanya akhirnya harus ada di neraka, wilayah kegelapan yang membutakan (tamo-yogya).
            Sri Visnu, Krishna atau Narayana merupakan penyebab pertama yang berpribadi, penguasa atas kecerdasan alam semesta, Beliau tinggal di Alam Rohani yang disebut juga Vaikuntha bersama-sama dengan Laksmi dan roh-roh yang telah mencapai pembebasan. Beliau mewujudkan diri melalui berbagai wyuha dan melalui Awatara. Visnu merupakan antaryamin (pengendali batin dari semua roh), menjadi pencipta, pemelihara, dan pelebur alam semesta. Laksmi merupakan perwujudan dari daya energi penciptaan-Nya.






































NYAYA DARSANA








A. Pendahuluan
Sumber utama ajaran Nyaya adalah Nyayasutra buah karya Maha Rsi Gotama. Selain itu ada beberapa kitab komentar dan Nyayasutra diantaranya Nyayabhasya, hasil komentar Wastyayana (Adiputra, 1990:21). Pembuktian Theologi Pembuktian ini menyatakan bahwa di Dunia ini ada sesuatu tata tertib dan aturan tertentu sehingga Dunia ini menampakan sesuatu rencana yang berdasarkan pemikiran dan tujuan tertentu, tentu ada yang mengadakan rencana dan tujuan tersebut yang mengadakan itulah Tuhan. Tuhan menjadi sebab pertama adanya alam semesta dan pada akhirnya Tuhanlah akan melebur Dunia ini.
Dalam sistem Nyaya ada dua pemikiran tentang penyebarluasan cita-cita yang ada dalam kitab Nyaya-sutra yang berasal dari dua sekolah yang berbeda, yaitu sekolah kuno dan modern dari Nyaya. Sekolah kuno dari Nyaya mengajarkan tentang cara mengembangkan cita-cita yang ada dalam Nyaya sutra. Gotama itu melalui beberapa proses yaitu: menyerang, membalas serangan, dan bertahan disebut pula dengan nama Pracina-Nyaya. Sedangkan dalam sekolah modern dari Nyaya yang juga disebut dengan Nawya-Nyaya,menyebarkan cara penyebarluasan cita-cita yang ada dalam Nyaya-sutra itu melalui bentuk pemikiran yang logis yaitu perpaduan antara konsep, waktu dan cara pemecahannya. Dalam perkembangannya kedua ajaran dari sekolah Nyaya yang berbeda itu dipadukan menjadi satu sistem yang disebut Nyaya-Waisasika. (Sumawa, 1996:40).
Selanjutnya sistem Nyaya mengemukakan ada 16 pokok pembicaraan (padartha) yang perlu diamati dengan teliti, yaitu: pramana, prameya, samsaya, prayojana, drstanta, siddhanta, awayaya, tarka, nirnaya, wada, jalpa, witanda, hetwabhawa, chala, jati, dan nigrahastana. Penjelasan singkat dari setiap padartha ini adalah sebagai berikut :
1.         Pramana adalah suatu jalan untuk mengetahui sesuatu secara benar.
2.         Prameya adalah sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan yang benar atau obyek dari pengetahuan yang benar, yaitu kenyataan. Di dalamnya terdapat bagiannya yaitu Atman atau diri sendiri, sarira  atau badan, Artha atau objek, budhi atau pengertian dan pengamatan, manas atau pikiran, prewerti atau aktivitas, dosa atau kerusakan mental, pretyabhawa atau kelahiran kembali, phala atau hasil perbuatan, dukha atau kesedihan dan apawarga atau bebas dari penderitaan (Sumawa, 1996:41).
3.         Samsaya atau keragu-raguan terhadap suatu pernyataan yang tidak pasti. Keragu-raguan ini terjadi karena pandangan yang berbeda terhadap suatu obyek, sehingga pikiran tidak dapat memutuskan tentang wujud obyek itu dengan jelas.
4.         Prayojana yaitu akhir penglihatan seseorang terhadap suatu benda yang menyebabkan kegagalan aktivitasnya untuk mendapatkan benda tersebut.
5.         Drstanta atau suatu contoh yang berasal dari fakta yang berbeda sebagai gambaran yang umum. Hal ini biasa digunakan dan diperlukan dalam suatu diskusi untuk mendapatkan kesamaan pandangan.
6.         Siddhanta atau cara mengajarkan sesuatu melalui satu sistem pengetahuan yang benar. Sistem pengetahuan yang benar adalah sistem Nyaya yang mengajarkan bahwa Atman atau jiwa itu adalah substansi yang memiliki kesadaran yang berbeda dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.
7.         Awaya atau berfikir yang sistematis melalui metode-metode ilmu pengetahuan. Berfikir yang sistematis akan melahirkan suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh rasio dan mendekati kenyataan.
8.         Tarka atau alasan yang dikemukakan berdasarkan suatu hipotesa untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang benar. Ini adalah suatu perkiraan, sehingga kadang kala kesimpulan yang diperoleh bertentangan atau mendekati kenyataan yang sebenarnya.
9.         Nirnaya adalah pengetahuan yang pasti tentang sesuatu yang diperoleh melalui metode ilmiah pengetahuan yang sah.
10.     Wada adalah suatu diskusi yang didasari oleh perilaku yang baik dan garis pemikiran yang rasio untuk mendapatkan suatu kebenaran.
11.     Jalpa adalah suatu diskusi yang dilakukan oleh suatu kelompok yang hanya untuk mencapai kemenangan atas yang lain, tetapi tidak mencoba untuk mencari kebenaran.
12.     Witanda adalah sejenis perdebatan di mana lawan berdebat itu tidak mempertahankan posisi tetapi hanya melakukan penyangkalan atas apa yang dikatakan oleh lawan debatnya itu.
13.     Hetwabhasa adalah suatu alasan yang kelihatannya masuk akal tetapi sebenarnya tidak atau dapat diartikan sebagai suatu kesimpulan yang salah.
14.     Chala adalah suatu penjelasan yang tidak adil dalam suatu usaha untuk mempertentangkan suatu pernyataan antara maksud dan tujuan, jadi sesuatu yang perlu dipertanyakan.
15.     Jati adalah suatu jawaban yang tidak adil yang didasarkan pada analogi yang salah.
16.     Nigrahasthana adalah sesuatu kekalahan dalam berdebat. (Pendit, 2007:3-9).
Dalam usahanya untuk mengetahui Dunia ini, pikiran dibantu oleh indriya. Karena pendiriannya yang demikian, maka sistem Nyaya disebut sistem yang realistis. Menurut Nyaya tujuan hidup tertinggi adalah kelepasan yang akan dicapai melalui pengetahuan yang benar. Apakah pengetahuan itu benar atau tidak hal itu tergantung dari alat-alat yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan tadi.

B. Metafisika Nyaya
Dalam metafisika Nyaya membicarakan tentang terjadinya alam semesta dan ketuhanan dalam ajaran Nyaya. Alam semesta menurut Nyaya terjadi dari gabungan atom-atom catur bhuta yaitu tanah, air, udara, dan api serta ditambah dengan akasa, waktu dan ruang yang merupakan substansi yang abstrak (Sumawa, 1996:48). Tuhanlah yang menciptakan alam semesta beserta isinya dengan menggabungkan atom-atom catur bhuta dengan substansi yang abstrak itu. Tuhan bukan saja sebagai pencipta tetapi juga sebagai pemelihara dan pelabur alam semesta. Tujuan diciptakan alam semesta ini menurut Nyaya adalah untuk tempat sang jiwa menikmati karmawasananya yang berupa kedukaan dan kesenangan.
Keberadaan Tuhan oleh Naiyayikas disebutkan bahwa Tuhan bersifat pribadi atau imanen dalam artian wujud Tuhan dapat ditangkap oleh pikiran, perasaan dan dapat diberi atribut. Dengan adanya Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur semua ini termasuk sifat Tuhan yang berpribadi (Personal God). Untuk menyakinkan tentang keberadaan Tuhan itu Nyaya menunjuk beberapa bukti tentang hal tersebut yaitu; adanya sebab dan akibat, adanya adrsta, dan adanya pernyataan dari kitab suci Weda. Semua yang ada di Dunia ini merupakan akibat yang sebabnya adalah Tuhan. Adanya perbedaan nasib seseorang di Dunia ini disebabkan oleh pahala perbuatan dari suatu kehidupan ke kehidupan yang lain yang mesti mereka nikmati, semua ini merupakan adrsta, pernyataan kitab suci Weda yang dipandang sebagai wahyu Tuhan adalah sangat meyakinkan bahwa Tuhan itu benar-benar ada, walupun dajam wujud yang sangat rahasia. Semua yang ada di alam semesta ini dan sesudahnya tidaklah dapat dilepaskan dari Tuhan sebagai yang maha tahu, maha kuasa dan maha mulia.

C. Epistemologi Nyaya
Dalam sistem Nyaya ada empat alat untuk mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu, pratyaksa, anumana, upamana dan sabda (Adiputra, 1990:21). Pratyaksa atau pengamatan memberi pengetahuan kepada kita tentang sasaran yang diamati menurut ketentuan dari sasaran itu masing-masing. Umpamanya, pohon itu tinggi, bola itu bulat dan sebagainya. Pengetahuan semacam itu ada karena adanya hubungan indriya dengan sasaran yang diamati. Pengamatan dapat pula terjadi tanpa pertolongan indria, hal semacam ini disebut pengamatan yang bersifat transenden. Pengamatan transenden hanya dimiliki oleh yogi yang sempurna yoganya, dengan demikian ia memiliki kekuatan gaib yang memungkinkan ia dapat berhadapan dengan sasaran yang membatasi indriya. Pengamatan ada dua macam yaitu nirwikalpa dan sawikalpa. Nirwikalpa ialah pengamatan yang hanya sebagai sasaran tanpa penilaian, sedangkan sawikalpa ialah pengamatan yang disertai dengan penilaian. Sesuatu yang diamati bukan saja sifat-sifatnya, jenisnya, bahkan juga hal yang tidak berada (abhawa). (Sumawa, 1996:57).
Anumana adalah pengetahuan yang diperoleh dengan penyimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui anumana memerlukan sesuatu yang berada diantara yang mengamati dan sasaran yang diamati. Dengan kata lain pengetahuan dari anumana memerlukan bantuan pengetahuan lain, tanpa itu tidak mungkin ia dapat mengemukakan suatu kebenaran. Tujuan dari kesimpulan yang diambil adalah untuk meyakinkan orang lain atau diri sendiri (Maswinara, 1999:129).
Upamana adalah alat pengetahuan yang menyebabkan seseorang tahu adanya kesamaan antara dua hal. Perbandingan menghasilkan pengetahuan tentang adanya hubungan nama dengan sasaran yang diberi nama itu. Sabda atau kesaksian merupakan pramana keempat dari Nyaya. Kesaksian ada dua macam yaitu kesaksian manusia atau laudika dan kesaksian vaidika atau Weda. Diantara kedua kesaksian ini, kesaksian Weda dipandang sebagai yang paling sempurna dan tidak dapat salah.
Selain pramana ada pula yang disebut dengan apramana yaitu, smrti (ingatan), samsaya (keragu-raguan), bhrama atau wiparyaya (kesalahan), dan tarka (hipotesa). Yang menjadi obyek dari pengetahuan yang benar itu adalah jiwa atau Atman, badan, indriya, budhi, pikiran (manas), perasaan, dosa (perbuatan yang tidak baik), pratyabhawa (kelahiran kembali), phala (buah perbuatan), dukha (penderitaan) dan apawarga (bebas dari penderitaan). (Sumawa, 1996:59) dan (Maswinara, 1999:133-139).

D. Relevansi Etika Nyaya Dalam Kehidupan
Dalam etikanya Nyaya mengajarkan agar seseorang berbuat baik dalam hidupnya sehingga dengan demikian akan terwujud hidup yang harmonis. Mengenai ajaran ini telah diwujudkan melalui pelaksanaan Tri Hita Karana yang pembagiannya adalah parhyangan, pawongan dan palemahan. Parhyangan merupakan hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Hal ini diwujudkan dengan dibangunnya tempat suci untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan yang maha esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut dengan Pura. Hubungan yang harmonis juga dilakukan dengan pemujaan melalui upacara yang dilaksanakan.
Pawongan merupakan hubungan harmonis yang dilakukan antara manusia dengan manusia. Wujudnya adalah dengan pembentukan organisasi Desa Pekraman, Sekaa Teruna dan sekaa-sekaa yang lainnya yang merupakan wadah untuk melakukan interaksi antar manusia di Bali. Hal lain yang dilakukan sebagai wujud dari pawongan adalah adanya tradisi suka-dukha.
Palemahan merupakan hubungan harmonis yang dilakukan oleh manusia dengan lingkungan/alam. Wujudnya adalah dengan adanya penyelenggaraan tumpek wariga, di mana tumpek ini merupakan hari untuk melaksanakan upacara penghormatan terhadap tumbuh-tumbuhan (Jaman, 2006:20).
Nyaya mengakui adanya Atman atau jiwa perorangan yang jamak, dan suci, tetapi setelah mereka berhubungan dengan tubuh dan Dunia ini maka terjadilah karma wasana. Karmawasana ini akan dinikmati dalam hidup di Dunia ini yang berupa kesengsaraan dan kesenangan. Maka atas dasar itulah Dunia ini diciptakan dengan tujuan agar jiwa perorangan dapat menikmati pahala dari karma yang baik dan buruk sesuai dengan perbuatannya masing-masing.
Tujuan tertinggi dari ajaran Nyaya adalah untuk mencapai kebebasan atau kelepasan. Jalan yang ditempuh untuk sampai kepada hal tersebut adalah melalui upacara keagamaan yang sesuai dengan petunjuk kitab suci Weda, perilaku yang baik dan meditasi kepada Tuhan. Kebebasan dapat pula dicapai semasih manusia hidup di Dunia yang disebut dengan mukti, tetapi kebebasan yang mutlak akan dicapai setelah Atman atau jiwa meninggalkan badan jasmani. Hanya dengan perilaku yang baik, melakukan upacara keagamaan dan meditasi seseorang akan melepaskan diri dari Mithya Jnana yaitu kebodohan terhadap kebenaran, raga, dvesa, dan moha yang muncul dari pikiran. Maka dari itu pikiran harus selalu diawasi dan disucikan. Upacara keagamaan ini sangat relevan di Bali. Hal ini dapat dilihat dari cara-cara masyarakat Bali yang beragama Hindu dalam mendekatkan diri dengan Tuhan adalah melalui upacara yajna.
Upacara yajna yang dilaksanakan di Bali terbagi atas lima macam yajna yang disebut dengan panca yajna. Pembagian dari panca yajna ini yaitu; Dewa yajna, yaitu korban suci secara tulus iklas kehadapan Tuhan; Pitra yadnya, yaitu korban suci secara tulus iklas kepada para leluhur; Rsi yajna, yaitu korban suci secara tulus iklas yang ditujukan kepada guru spiritual; manusa yajna, yaitu korban suci secara tulus iklas yang ditujukan kepada sesama manusia; Bhuta yajna,yaitu korban suci secara tulus iklas kepada para bhuta (kekuatan alam, dan mahluk yang derajatnya di bawah manusia).
Nyaya Darsana merupakan merupakan dasar dan pengantar dari seluruh pengajaran filsafat Astika yang dianut oleh umat Hindu dewasa ini. Nyaya Sutra yang digunakan sebagai sumber dari filsafat Nyaya ditulis oleh Rsi Gautama atau sering pula dikenal dengan nama Aksapada atau Dirghatapas. Nyaya berarti ‘argumentasi’, sehingga sering pula disebut sebagai Tarka vada atau diskusi tentang suatu Darsana atau pandangan filsafat. Nyaya Darsana sendiri terkandung ilmu perdebatan (Tarka vidya) dan ilmu diskusi (vada vidya) yang berarti bersifat analitik dan logis (Pendit, 2007:12). Dari konsep ini maka dapat diketahui bahwasannya Nyaya menekankan pada aspek logika dan nalar dengan pendekatan ilmiah dan realisme.
Nyaya Darsana yang bertindak pada garis ilmu pengetahuan, menghubungkan Vaisesika pada tahapan di mana materi-materi spiritual (adhyatmika) seperti: jiwa (roh pribadi), jagat (alam semesta), Isvara (Tuhan), dan Moksa (pembebasan), yang disebut Apawarga oleh Vaisesika. Nyaya dan Vaisesika mempercayai Tuhan yang berpribadi, kejamakan dari roh dan alam semesta yang berupa atom-atom. Nyaya Darsana mendiskusikan kebenaran mendasar melalui bantuan 4 cara pengamatan (Catur Pramana) menurut Maswinara (1999:128-135) sebagai beriku:
 a. Pratyaksa Pramana
Pratyaksa Pramana atau pengamatan secara langsung melalui panca indriya dengan obyek yang diamati, sehingga memberi pengetahuan tentang obyek-obyek, sesuai dengan keadaannya. Pratyaksa pramana terdiri dari 2 tingkat pengamatan, yaitu: Nirwikalpa pratyaksa (pengamatan yang tidak menentukan) pengamatan terhadap suatu obyek tanpa penilaian, tanpa asosiasi dengan suatu subyek, Savikalpa pratyaksa (pengamatan yang menentukan) pengamatan terhadap suatu obyek dibarengi dengan pengenalan ciri-ciri, sifat-sifat dan juga subyeknya.
 b. Anumana Pramana
Anumana Pramana merupakan hasil yang diperoleh dengan adanya suatu perantara diantara subyek dan obyek, di mana pengamatan langsung dengan indra tidak dapat menyimpulkan hasil dari pengamatan. Perantara merupakan suatu yang sangat berkaitan dengan sifat dari obyek.
Proses penyimpulan melalui beberapa tahapan, yaitu: Pratijna: memperkenalkan obyek permasalahan tentang kebenaran pengamatan. Hetu: alasan penyimpulan Udaharana: menghubungkan dengan aturan umum itu dengan suatu masalah. Upanaya: pemakaian aturan umum pada kenyataan yang dilihat. Nigamana: penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya.
c. Upamana Pramana
Upamana pramana  merupakan cara pengamatan dengan membandingkan kesamaan-kesamaan yang munkin terjadi atau terdapat dalam suatu obyek yang di amati dengan obyek yang sudah ada atau pernah diketahui.
 d. Sabda Pramana
Sabda Pramana merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui kesaksian dari orang-orang yang dipercaya kata-katanya, ataupun dari naskah-naskah yang diakui kebenarannya. Kesaksian terdiri dari 2 jenis: Laukika sabda: kesaksian yang didapat dari orang-orang terpercaya dan kesaksiannya dapat diterima akal sehat, Vaidika sabda: kesaksian yang didasarkan pada naskah-naskah suci Veda Sruti.

E. Tuhan, Jiwa, Alam Semesta
Dalam konsep Nyaya, seluruh perbuatan manusia di Dunia menghasilkan buah dari perbuatan yaitu adrsta. Adrsta berada di bawah pengawasan langsung dari Tuhan, dan sekaligus berperan pada nasib setiap individu. Tuhan merupakan kepribadian yang terbebas dari pengetahuan palsu (mithya jnana), kesalahan (adharma), kelalaian (pramada). Beliau adalah esa memiliki pengetahuan abadi (nitya jnana), kehendak kegiatan (iccha kriya), beliau pula bersifat meresapi segala (wibhu). Jiwa merupakan keberadaan nyata yang keseluruhan dan kesatuannya abadi. Sifat-sifat jiwa adalah keengganan, kemauan, kesenangan, derita, kecerdasan, dan intuisi. Obyek yang menyatakan ‘aku’ adalah jiwa, dan ia bersifat abadi walau badannya telah hancur. Alam semesta merupakan gabungan atom-atom yang abadi (paramanu), yang terdiri dari unsur-unsur fisik, yaitu: tanah (prthiwi), air (apah), api (tejas), dan udara (vayu) (Maswinara, 1999:235).
Dunia tersusun atas kesalah pengertian (mithya jnana), kesalahan (dosa), kegiatan (prawrrti), kelahiran (janma), dan penderitaan (duhkha). Mithya jnana merupakan awal dari penderitaan yang menyebabkan kesalahan tentang suka dan tidak suka (raga-dwesa). Dari raga-dwesa muncullah perbuatan yang baik dan jahat, sehingga terus mengalami reinkarnasi, penghapusan raga-dwesa inilah yang menjadi pokok Nyaya darsana untuk mencapai pembebasan atau pelepasan (apawarga). Pelepasan (apawarga) dapat dicapai dengan mendapatkan pengetahuan yang sebenarnya,  melepaskan  berbagai  kesalahan  yaitu:  kasih  sayang  (raga), keengganan (dwesa) dan kebodohan (moha). Keengganan (dwesa) termasuk rasa kemarahan, kebencian, iri hati dan dendam. Kebodohan (moha) termasuk rasa curiga, kesombongan, kelalaian, dan pengertian salah. Pelepasan (apawarga) merupakan pembebasan mutlak dari penderitaan namun bukan penghilangan sang Diri, ia hanya bersifat penghancuran belenggu (Maswinara, 1999:137).
Menurut pemikir Nyaya, pemikiran intelektual dan logika yang dijalankan dengan sungguh-sungguh serta mendalam akan mampu membawa seseorang pada kesimpulan universal bahwa alam raya dan segala isinya ini pasti ada penciptanya. Sekalipun demikian mereka berpendapat bahwa pemahaman intelektual ada batasnya. Kalau ada persoalan yang tak dapat dipecahkan dengan logika, maka seseorang wajib berpaling kepada Veda Sruti. Kearah terakhir ini disebut Sabda Pramana (metode yang bersandar pada wahyu yang disabdakan melalui kitab suci). Filosof Nyaya berpendapat bahwa kenyataan hakiki di alam raya ini hanya satu, yaitu Siva atau Paramatman (Jiwa Tertinggi). Paramatman adalah kesadaran maha agung dan maha tinggi, kekal abadi dan hadir di mana-mana. Ia merupakan asas pertama terjadinya alam raya dan makhluk-makhluk di dalamnya. Dalam menciptakan alam raya dan seisinya, Dia memecah substansi dasar (dvarya) berupa zarrah atau atom (parama anu) ke dalam dua, tiga dan seterusnya. Setelah Dunia tercipta, Paramatman meresapi segala sesuatu yang ada dan menjadi penggerak utama Dunia ciptaan.
Jivatman (diri manusia) Yang Maha Tinggi menganugerahkan asas utama kegiatan hidupnya yang disebut adrsta, yaitu kemampuan terpendam berupa kecerdasan yang muncul dan berkembang apabila manusia mengusahakannya dengan baik dan benar. Walaupun Paramatman tidak mengubah adrsta seseorang, namun Dia memberi kemungkinan luas terhadapnya untuk berkembang. Tuhan akan memberikan pahala kepada setiap kegiatan yang didasarkan adrsta. Dalam hal ini adrsta harus dipahami sebagai kecerdasan yang didasarkan pada iman dan kesadaran bahwa kegiatannya bersumber dari perintah agama. Ringkas kata, adrsta adalah kecerdasan yang lahir karena ketaatan seseorang pada Penciptanya.
Nyaya berpendapat bahwa Tuhan adalah Jiwa Khusus, Wujud yang memiliki pribadi agung, bebas dari pengetahuan rekaan (mithya jnana), kesalahan (dosa) dan kelalaian. Sebagai Wujud Tertinggi yang memiliki pribadi, Tuhan memiliki daya yang mendorongnya turun ke Dunia penciptaan. Tiga daya itu ialah (1) Jnana (ilmu); (2) Iccha (kehendak, isadat) dan (3) Prayatna (kemauan, hasrat) (Maswinara, 1999:136).
Dalam upaya menerangkan Wujud Tertinggi dan hubungannya dengan  alam  raya,  filosof  Nyaya  menggunakan  bukti-bukti  ke alaman (kosmologis) dan asas kebertujuan segala sesuatu (teleologis). Alam raya ini merupakan akibat dari gerak Paramatman, yaitu Tuhan. Karena itu Tuhan disebut sebagai penyebab pertama (causa prima) terjadinya segala sesuatu. Bahwa alam dicipta dengan tujuan tertentu oleh Sang Pencipta, tampak dalam tatanan yang ada di dalamnya. Keteraturan yang ada dalam perputaran alam raya, jelas membuktikan adanya rancangan yang didasarkan atas pemikiran dan tujuan tertentu.
a. Penciptaan Dunia.
Mula-mula Paramatman menciptakan maya loka samastha (alam raya buatan) dengan segala tatanan dan aturannya. Setelah alam tercipta, Paramatman meresapi segala sesuatu dari ciptaannya. Setiap pribadi yang diresapi atau mendapat pancaran sinar-Nya, lantas sanggup berperan serta dalam perputaran kehidupan di alam raya ini. Pancaran sinar-Nya dalam diri manusia disebut jivatman (jiwa ruhani). Setiap jivatman memiliki 16 kala: (1) Prana atau daya hidup; (2) sraddha atau keyakinan; (3) kham atau angkasa, ether; (4) vayu atau udara; (5) jyotir atau cahaya, sinar; (6) apah atau air; (7) prthivi atau tanah; (8) indriya atau sarana pengamatan, panca indra; (9) manas atau pikirn; (10) annam atau makanan; (11) annadvirya atau kekuatan; (12) tapa atau pengendalian; (13) mantrah atau doa Veda; (14) karma atau perbuatan; (15) lokalokesu atau Dunia, alam planet; (16) nama atau nama bagi wujudnya (Maswinara, 1999:136).
Menurut Vatsyayana, dunia di luar manusia merupakan keberadaan yang terpisah dari pikiran, dibantu pengamatan dan penyerapan indria. Pengetahuan dapat disebut benar atau salah tergantung pada sarana yang digunakan dalam mendapat pengetahuan. Lima indria mampu pula mengindria lima sifat (guna) yaitu rupa (wujud, bentuk, warna), rasa (cecap), gandha (bau), sparsa (sentuhan, rabaan) dan sabda (suara, bunyi).
Ilmu Pengetahuan modern mula-mula mengangap bahwa angin dan udara Mampu menghasilkan suara. Tetapi setelah penemuan alat transmisi melalui kabel secara perlahan disadari bahwa suara sebenarnya merupakan sifat dari akasa atau ruang. Karena itu transmisi suara bisa dilakukan tanpa bergantung pada aliran udara atau angin. Empat dravya lain yaitu waktu (kala), ruang (dis), jiwa (atma) dan manas keterangannya sebagai berikut:
1. Waktu berkenaan dengan sekarang, kemarin, besok, tahun, hari dan jam.
2. Ruang berkenaan dengan atas, bawah, samping, sana, sini, dan sebagainya.
3. Atma menyebabkan pikiran dapat menggamarkan prinsip-prinsip kehidupan.
4. Manas adalah hasil dari atma yang bekerja membangun pikiran dan  gagasan menggunakan akal atau buddhi.
Dalam falsafah Nyaya, atma dibagi dua menjadi jivatma (roh atau jiwa  Perorangan) dan paramatma (Jiwa tertinggi atau roh semesta). Jiwa perorangan itu banyak, sedang roh semesta itu tunggal.  Para filosof Nyaya berpendapat bahwa manusia dapat memiliki kecerdasan (adrsta) dan dapat mengembangkannya dengan baik melalui bantuan dari petunjuk ilahi. Adrsta yang bertindak di bawah petunjuk Tuhan dapat mempengaruhi nasib manusia.
b. Jiwa dan Pengetahuan Palsu mencapai Pembebasan
Menurut para filosof keberadaan jivatman itu nyata dan abadi. Ia memiliki sifat-sifat utama seperti keinginan, keengganan, kemauan, kesenangan, penderitaan, kecerdasan dan prajna (intuisi). Segala sesuatu yang diamati oleh panca indria sebenarnya adalah pekerjaan jiwa, sedangkan panca indria adalah sarananya belaka. Demikian juga budhi atau akal pikiran hanyalah sarana dari jiwa. Jika seseorang dikatakan berpikir, maka yang berpikir sebenarnya adalah jiwanya. Bila tubuh hancur, jiwa tetap ada. Tetapi jiwa individual itu banyak.
Alam semesta disebut sebagai jagat raya yang khayali (mayaloka samastha). Ia tersusun dari pengetahuan palsu (mithya jnana), kesalahan (dosa), kegiatan (pravrti), kelahiran (janma) dan penderitaan (duhkha). Pengetahuan palsu timbul sebagai akibat dari adanya dosa. Dosa bersangkut paut dengan cinta, suka dan benci yang berlebihan terhadap sesuatu (raga-dvesa). Raga-dvesa melahirkan kegiatan yang baik dan buruk. Kegiatan menentukan bentuk-bentuk renkarnasi, pahala dan hukuman yang akan diterima oleh seseorang. Tujuan falsafah, menurut filosof Nyaya, alah untuk menghapuskan pengetahuan palsu (mithya jnana).
Bagamana cara melepaskan diri dari pengetahuan palsu. Caranya alah dengan mengetahui 16 substansi dasar segala sesuatu (dvarya) dan 16 tangga atau tahapan pengenalnya, masing-masing sebagai berikut:
(1) Pramana, menetapkan metode pengetahuan yang benar.
(2) Prameya, menetapkan obyek pengetahuan yang benar.
(3) Samsaya, mengajukan keraguan pada sesuatu yang dianggap benar.
(4) Dsrtanta, mengemukakan contoh yang benar
(5) Prayojana, menetapkan tujuan pengamatan secara benar.
(6) Tarka, menggunakan argumentasi/hujah yang benar.
(7) Siddhanta, menegakkan ajaran dan pengetahuan.
(8) Awayawa, menetapkan tahapan-tahapan pengetahuan
(9) Nimaya, membuat ketentuan yang seksama
(10) Vada, melakukan diskusi yang mendalam
(11) Jalpa, membantah yang tidak benar
(12) Vitanda melakukan kritik secara cerdas
(13) Hetva-bhasa. Mencela cacat dan kekurangan dari penalaran
(14) Cala, memuat argumentasi
(15) Jati, ketanpatujuan
(16) Nigraha-sthana, mengiritik secara tuntas pengetahuan yang diperoleh selama ini.
Dapat ditambahkan di sini bahwa bagi filosof Nyaya itu, jiwa merupakan pelaku utama dari perbuatan dan kegiatan, karena itu baik buruknya perbuatan mencerminkan baik buruknya jiwa. Tanpa jiwa, mata tidak dapat melihat benda-benda dan menentukan hakekat benda-benda. Selanjutnya filosof Nyaya berpendapat bahwa pikiran bukanlah jiwa. Ia hanya sarana bagi jiwa untuk berpikir. Kualitas pikiran ditentukan oleh sikap jiwa, bagaimana jiwa melatih, membimbing dan mengarahkan pikiran.
Manusia pada umumnya tidak memahami dan mengenal hakikat dirinya serta Tuhannya. Hal ini disebabkan karena ia berpegang pada mithya jnana (pengetahuan palsu). Pengetahuan palsu membuat manusia menderita, lalai, berbuat salah (dosa). Dosa atau kesalahan melahirkan raga dvesa, yaitu perbuatan yang semata-mata didasarkan kesenangan dan kebencian pribadi. Raga dvesa memunculkan karma, perbuatan baik dan buruk.
Untuk mencapai kebahagian manusia harus melakukan apa yang disebut apawarga (kelepasan). Apawarga dicapai setelah seseorang dapat menghilangkan mithya jnana (pengetahuan palsu) dan menggunakan pengetahuan yang benar. Salah seorang tokoh utama falsafah Nyaya ialah Vatsyayana. Menurut filosof ini, Dunia di luar manusia merupakan keberadaan yang terpisah dari pikiran. Pengetahuan tentang Dunia diperoleh melalui pikiran, dibantu oleh pengamatan dan pencerapan indria. Pengetahuan dapat disebut benar atau salah tergantung pada sarana yang dipergunakan dalam mendapat pengetahuan. Secara sistematis pengetahuan menyatakan empat keadaan: (1) Pramata atau si pengamat, yaitu keadaan jiwa, pikiran dan kesadarannya; (2) Prameya atau obyek yang diamati; (3) Pramiti atau hasil dari pengamatan, yang ditentukan oleh keadaan si pengamat dalam hubungannya dengan obyek yang diamati; (4) Pramana atau cara, kaedah, metode pengamatan atau model pendekatan yang digunakan.
Vatsyayana juga mengatakan setiap benda memiliki ciri khusus (visesha) yang membuatnya berbeda dari benda lain. Pembedaan merupakan dasar utama dari pengamatan. Karena itu kelanjutan dari sistem falsafah Nyaya disebut Vaishesika. Seperti Nyaya Darsana, Vaishesika Darsana menggunakan logika (tarka) dan pemikiran rasional (tattva) dalam mencapai kebenaran sehubungan obyek pengamatan dan hasil-hasilnya. Maka itu dapat dikatakan bahwa sebagai Darsana, Nyaya dinyatakan melalui proses logika dan penalaran diskusif.
Menurut Vatsyayana, dalam mencapai kebenaran rasional tentang sesuatu hal, diperlukan bantuan 4 atau empat kaedah pengamatan:
1. Pengamatan langsung (pratyaksa pramana).
2. Penyimpulan (anumana pramana).
3. Perbandingan (upamana pramana)
4. Penyaksian (sabda pramana).
Nyaya juga sering digambarkan sebagai sistem falsafah realisme majemuk (pluratistics realism). Mereka membagi obyek pengetahuan ke dalam kelas-kelas berperingkat yang disebut dravya (substansi; jawhar), yaitu: (1) Tanah, bumi (prathivi),(2) Air (apah), (3) Api, cahaya (teja), (4) Udara, angin (vayu), (5)  Langit, angkasa (akasa), (6) Waktu (kala), (7) Ruang (dik), (8) Diri, jiwa (atman) dan (9) Pikiran yang diekspresikan (manas). Bersama berbagai sarananya dan hubungan-hubungannya satu dengan yang lain, kesemua dravya tersebut dapat keberadaan, kenyataan dan hakikat alam semesta.
Filsafat Nyaya adalah suatu filsafat hidup yang mencari dan membimbing seseorang untuk menuju kepada kebenaran dan kebebasan. Pada dasarnya semua sistem filsafat India bertujuan untuk mencapai mukti atau kebebasan bagi setiap jiwa individu dari ikatan keduniawian. Untuk mencapai kebebasan itu  sistem Nyaya memberikan kepada kita suatu pengetahuan yang benar untuk merealisasikan tujuan yang tertinggi itu dalam hidup ini yang juga disebut dengan istilah summum bonum. Setiap sistem filsafat India untuk mencapai tujuan trtinggi itu bervariasi, yang semua itu memberikan keleluasaan kepada kita untuk memilih yang sesuai dengan kemampuan dan kepercayaan kita sendiri. Sistemnya berbeda tetapi tujuannya sama.
Kebebasan menurut Niyayikas tidaklah berarti kebebasan yang mutlak yang lepas sama sekali dari penderitaan dan kesengsaraan. Sehubungan dengan ini dalam ajaran Nyaya ada salah satu obyek pengetahuan yang benar yaitu obyek apawarga yang berarti terlepas dari penderitaan dan kesengsaraan. Sesungguhnya apawarga bukanlah kebahagiaan yang sejati, sebab tidak mungkinlah seseorang akan mengalami semua itu semasih jiwa dan badan ini bersatu. Niyayikas menyatakan tidak akan ada kesenangan tanpa kesusahan, seperti halnya tiada sinar tanpa bayang-bayang. Maka menurutnya apawarga adalah pembebasan orang dari penitaan (rasa sakit) dan kesengsaraan dalam hidup ini, bukan kebahagiaan.
Bila jiwa memisahkan diri dari badan jasmani maka ia akan membawa semua wasana dari perilaku yang dilaksanakan oleh seseorang dalam hidupnya. Wasana dari perbuatan baik dan buruk akan bersama dengan sang jiwa, yang kemudian semua ini akan menentukan jiwa seseorang untuk bersatu dengan Tuhan atau kembali menjelma ke Dunia ini. Menurut Nyaya Dunia ini diciptakan adalah semata-mata untuk sang jiwa menikmati wasananya.
Kebebasan yang mutlak tidak akan dicapai oleh jiwa individu selama ia berada badan jasmani atau dalam waktu yang singkat untuk mencapai kebebasan itu. Semua itu akan memerlukan waktu yang cukup lama serta perilaku yang luhur. Kebebasan sejati akan dicapai oleh jiwa setelah memisahkan diri dari badan jasmani. Sang jiwa setelah mencapai  kebebasan sejati ia bebas dari semua ikatan yang berwujud penderitaan dan kesengsaraan. Pada tingkat yang seperti inilah sang jiwa dilukiskan telah berada dalam keadaan abhayam (bebas dari segala bahaya), ajaram (bebas dari kehancuran), dan Amrtyupadam (bebas dari kematian). Yang semua ini berarti bebas dari hukum karma dan punarbhawa, dengan demikian sang jiwa mencapai kebahagiaan yang kekal dan abadi atau moksa. Inilah yang merupakan tujuan terakhir dan tertinggi dari ajaran Nyaya dan pula semua filsafat India, kecuali Carwaka.
Untuk mencapai kebebasan itu seseorang hendaknya mempergunakan pengetahuan yang benar atau tattwa jnana yaitu pengetahuan tentang atman atau jiwa dan pengetahuan tentang hidup ke duniawian yang luhur. Seseorang hendaknya merasakan adanya atman melaui badan jasmani dan pikirannya. Untuk sampai kepada hal ini hendaklah seseorang membaca kitab suci dan melakukan upacara, kemudian mewujudkan ajaran itu dalam kehidupan melalui pola pikir dan perilaku yang luhur, dan yang terakhir adalah melakukan meditasi yaitu menghubungkan diri melalui pemusatan pikiran dengan Tuhan. Ketiga cara ini diajarkan oleh Nyaya untuk tujuan mencapai kebebasan yang mutlak. Semua petunjuk-petunjuk ini akan membantu seseorang dalam merealisasikan sang diri dari ikatan-ikatan ke duniaan dan nafsu-nafsu rendah dengan terealisasinya sang diri sejati atau jiwa itu, maka Mithaya Jnana yaitu kebodohan terhadap kebenaran, raga dwesa dan moha yang muncul dari pikiran akan terhapus sama sekali. Setelah mencapai seseorang bebas dari karma, lahir kembali, penderitaan dan kesengsaraan kemudian ia mencapai kebebasan.








SAMKHYA DARSANA
A. Pemahanam Samkhya Darsana
Perkataan Samkhya terdiri dari dua kata yaitu "sam” yang artinya bersama-sama atau dengan dan "khya" yang artinya bilangan. Jadi Samkhya berarti susunan yang berukuran bilangan. Perkataan Samkhya juga berarti pengetahuan yang sempurna, yang dimaksud adalah filsafat tentang sesuatu yang memberi pelajaran untuk mengenal diri sendiri secara metafisik. Ajaran Samkhya disebut realistis, dualitis dan pluralitas, disebut realistis karena mengakui realitas Dunia ini yang bebas dari roh. Disebut dualistis karena prinsip ajarannya ada dua realitas yang berdiri sendiri saling bertentangan dan dapat dipadukan, yaitu purusa dan prakerti dan Samkhya disebut pluralisms karena mengajarkan bahwa purusa itu baranak sekali. Menurut Samkhya tentang kebenaran Tuhan tidak perlu dibuktikan lagi karena itu pula ajarannya disebut Nirisuara Samkhva.
Sumber pokok ajaran Samkhya adalah Samkhya Sutra atau disebut juga Samkhya Prawacana Sutra buah karya Maha Rsi Kapila. Ajaran pokok dari Samkhya adalah adanya dua realitas asasi yaitu Purusa dan Pekerti atau asas kejiwaan dan asas kebendaan yang merupakan asal mula dari segala sesuatu. Menurut ajaran Samkhya ada tiga sumber pengetahuan yang benar yaitu Pratyaksa. Anumana dan Sabda pramana. Sedangkan pengamatan ada dua yaitu nirwakalpa dan sawikalpa. Nirwikalpa adalah pengamatan yang tidak menentukan yang ada hanya pengenalan obyek sebagai sesuatu bukan sebagai benda yang jelas identitasnya, sedangkan sawikalpa adalah pengamatan yang menentukan ia merupakan hasil analisis sintesis dan interprestasi alam pikiran. Dalam ajaran samkhya kelepasan itu adalah penghentian yang sempurna dari semua penderitaan, inilah tujuan akhir dari hidup kita. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi memperingan hidup kita, namun tidak bisa melepaskan kita dari penderitaan yang sepenuhnya. (Sumawa, 1996:151).
Sri Kapila Muni merupakan pendiri dari sistem filsafat Samkhya, beliau sering pula disebut sebagai putra dari Brahma dan awatara dari Sri Visnu. Kata ‘Samkhya’ berarti jumlah, dan sistem dari filsafat Samkhya memberikan prinsip dari alam semesta yang berjumlah 25 prinsip (tattwas). Istilah Samkhya juga dipergunakan dalam pengertian ‘vicara’ yaitu perenungan filosofis. 25 prinsip (tattwas) yang diberikan oleh Samkhya Darsana apabila dibagankan adalah sebagai berikut:














http://narayanasmrti.com/Gallery/Pictures/filsafat_hindu/samkya%20darsana.png
                                                            Sumber, Pendit: 2007:88)

Dalam Samkhya Darsana menggunakan 3 sistem pembuktian yang disebut dengan tri pramana, yaitu: (1). Pratyaksa pramana (pengamatan), (2). Anumana pramana (penyimpulan), (3). Apta wakya (benar, sesuai dengan Weda dan guru yang mendapatkan wahyu). Samkhya Darsana bersifat dualistik dan pluralitas karena mengajarkan bahwasannya purusa sebagai asas roh yang jumlahnya banyak sekali. Prakrti dan purusa merupakan asas yang sifatnya tanpa awal (anadi), tanpa akhir dan tak terbatas (ananta). Ketidak berbedaan diantara purusa dan prakrti merupakan penyebab dari kelahiran dan kematian, dan pembedaan dari keduanya akan memberikan pembebasan (mukti). Purusa bersifat tidak terikat (asanga) dan merupakan kesadaran yang meresapi segalanya dan abadi, sedangkan Prakrti merupakan pelaku dan penikmat. Purusa bersifat abadi dan tidak berubah, purusa hanya menjadi saksi namun pernyataan kehadirannya seolah-olah terlibat dalam hukum reinkarnasi, hal ini tidak lain karena kemelekatannya dengan prakrti (Maswinara, 1999:156).
Prakrti berasal dari akar kata ‘pra’ (sebelum, ‘kr’ (membuat), jadi prakrti artinya ‘yang mula-mula’ prakrti sering pula disebut dengan pradhana (pokok) karena semua akibat ditemukan padanya dan merupakan sumber dari alam semesta. Prakrti merupakan ada yang tanpa penyebab, sedangkan hasil-hasilnya disebabkan dan bergantung padanya. Prakrti merupakan ketiadaan dari kecerdasan yang hanya bergantung pada unsur pokok gunanya sendiri, yang terdiri dari 3 guna yaitu: (1). Sattwa (kemurnian, sinar, selaras), (2). Rajas (nafsu, kegiatan, gerak), (3). Tamas (kegelapan, kemalasan, tanpa kegiatan). Kata guna sendiri berarti tali yang nantinya menjadi pembelenggu dari roh. Ketiga guna ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena sifatnya saling menunjang (Maswinara 1999:156).
Pertemuan antara purusa dan prakrti membuat prakrti berkembang di bawah pengaruh purusa, pertemuan ini mulai mengguncang guna yang ada dalam prakrti sehingga membuatnya beraktifitas. Dari prakrti muncullah benih besar alam semesta yang maha luas (Mahat). Kesadaran roh membuatnya sebagai sesuatu yang sadar, sebagai kebangkitan alam dari kandungan kosmis, dari penampakan pikiran pertama ini pula disebut dengan intelek (buddhi). Produk yang kedua adalah ahamkara, sebagai rasa aku dan milikku (abhimana). Dari ahamkara melalui ekses elemen satwa muncullah pikiran (Manas), lima organ pengetahuan (panca budhindriya) yang terletak di telinga, kulit, mata, lidah, hidung  (srotendriya, twagindriya, cakswindriya, jihwendriya, ghranendriya), lima organ tindakan (panca karmendriya) yaitu: mulut, tangan, kaki, dubur dan kelamin (wagindriya, panindriya, padendriya, paywindriya, upasthendriya), dan lima elemen halus (panca tan matra) yang merupakan potensi dari suara, sentuhan, warna, rasa, bau. dari elemen halus (panca tan matra) muncul lima elemen kasar (panca maha bhuta) yaitu akasa, udara, api, air dan tanah (Pendit, 2007:86). Akhirnya dari evolusi ini ada alam semesta beserta isinya. Seluruh unsur dari pertemuan purusa dan prakrti akan selalu ada sepanjang zaman, walau dalam bentuknya yang berbeda-beda. Seperti halnya manusia ketika mati terurai kembali jasadnya menjadi mahabhuta. Hingga diyakini pada akhir zaman terjadi peleburan alam semesta maka dari pergerakan evolusi, bergerak secara terbalik dan berlawanan dan pada akhirnya semua masuk kembali kedalam prakrti, inilah yang disebut dengan proses penyusutan atau penguncupan.

B. Etika dan Konsep Kesempurnaan
Dalam etikanya Samkhya tidak membedakan seseorang atas golongannya untuk mempelajari kitab suci Weda. Semua orang dapat mempelajari kitab suci Weda tanpa kecualinya karena pada hakekatnya Weda adalah untuk semua orang. Dalam hubungan seseorang dengan orang lain, Samkhya menganjurkan agar seseorang dapat mengendalikan pikiran yang jahat dan mengarahkan kepada pikiran-pikiran baik. Karena pada pikiran yang baik akan dapat membawa seseorang pada keseimbangan lingkungan dan dirinya sendiri. Kekuatan pikiran itu hendaklah di jaga agar dapat di arahkan kepada hal-hal yang baik.
Kesucian bagi seseorang adalah jika orang tersebut dapat melepaskan dirinya dari ikatan-ikatan yang berpangkal pada; awidya (ketidaktahuan), Astika (kelakuan yang buruk), raga (nafsu serakah), Dwesa (kebencian) dan Abhinewesa (ketakutan). Semua ini disebabkan oleh Asakti yang menguasai manas dan budhi, maka itu hendaknya seseorang memahami akan hal ini agar ia dapat melepaskan dirinya (purusa) dari ikatan Prakerti. 
Dalam ajaran Samkhya pribadi itu sebenarnya tidak ada. Perasaan adanya pribadi itu merupakan perpaduan dari beberapa faktor yang pada hakekatnya tidak lain dari suatu rangkaian proses yang tidak pantang berhenti yang disebut badan jasmani.  Badan jasmani itu adalah badan yang tidak kekal, oleh karena itu pada proses penghakhirannya ia akan lenyap. Semua yang ada di alam ini tidak ada yang kekal, Karena pada saatnya semua akan berakhir. Karena semua itu mempunyai masa kelahirannya, berkembangnya, dan masa pengakhirannya walaupun proses ini berlangsung pada waktu yang lama.
Samkhya juga mengajarkan bahwa pada hakekatnya tidak ada punyaku, semua ini adalah di luar punyaku biarlah ia pergi. Yang dalam hal ini adalah badan kita yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, tidak perlu dirisaukan jika mereka pada saatnya hancur karena jiwa tidak ikut hancur. Unsur Panca Maha Bhuta yang ada di dalam diri cara kerja dan keaadaannya sama dengan yang ada di luar, karena ia berasal dari sumber yang sama. Apabila seseorang paham akan hal ini, maka lepaskanlah purusa dari ikatan prakerti dan orang itu akan mencapai kelepasan. Hidup di Dunia ini adalah campuran antara senang dan susah. Banyak kesenangan yang dapat dinikmati, banyak pula kesusahan dan sakit yang diderita orang. Bila seseorang dapat menghindar dari kesusahan dan sakit, maka ia tidak dapat menghindarkan dirinya dari ketuaan dan kematian.
Ada 3 macam sakit dalam hidup ini yaitu; adhyatmika, adhibautika, dan adhidaiwika. Adhyatmika adalah sakit karena sebab-sebab dari badan sendiri seperti kerja alat-alat tubuh yang normal dan gangguan perasaan. Dengan demikian ia merupakan gangguan jasmani dan rohani seperti sakit kepala, takut, marah dan sebagainya. Dan adhidaiwika  adalah sakit karena tenaga gaib seperti setan, hantu, dan sejenisnya. Tiada seseorangpun yang ingin menderita sakit, semuanya ingin hidup bahagia lepas dari susah dan sakit. Sedangkan Adhibautika adalah sakit yang disebabkan oleh faktor luar tubuh, seperti terpukul, kena gigitan nyamuk, dan sebagainya.
Kebahagiaan yang diinginkan oleh seseorang di dunia ini adalah sangat sulit karena selalu diikuti oleh susah dan sakit. Selama orang masih berbadan lemah, selama itu pula suka dan duka, sakit dan sehat selalu berdampingan. Dengan demikian kiranya tidak perlu kita selalu bercita-cita hidup bersenang-senang, cukup hidup yang biasa-biasa saja dengan berusaha melepaskan penderitaan atas dasar pikiran yang sehat. Inilah tujuan terakhir dari hidup kita. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memperingan hidup kita, namun tidak dapat melepaskan kita dari penderitaan sepenuhnya. Samkhya mengajarkan bahwa cara mencapai kelepasan itu ialah melalui pengetahuan yang benar atas kenyataan Dunia ini. Tiadanya pengetahuan itulah yang menyebabkan kita menderita. Dalam banyak hal orang-orang yang tidak punya pengetahuan dengan hukum alam dan hukum kehidupan terbentur pada masalah yang membawanya pada kesedihan. Berbeda dengan halnya dengan orang-orang yang berpengetahuan akan menerima dan menikmati kenyataan hidup ini. Namun karena pengetahuan orang akan kenyataan itu tidak sempurna. Kelepasan itu akan hanya dicapai bila pengetahuan orang akan pengetahuan itu sudah sempurna.
Menurut ajaran Samkhya kenyataan itu adalah roh yang berjumlah banyak dan Dunia obyek yang hadir padanya. Roh itu adalah azas kesadaran yang bebas dari ruang, waktu dan sebab akibat. Ia mengetahui Dunia obyek, pikiran, perasaan dan rasa aku. Semua perubahan, aktivitas, perasaan, senang dan susah tergolong badan pikiran. Roh itu sendiri adalah berbeda dengan badan pikiran, ia berada di luar kesenangan dan kesusahan. Pikirkanlah yang dirasakan senang dan susah itu. Demikian pula tentang hal-hal itu yang berhubungan dengan moral adalah tergolong pada rasa aku yang menjadi pekerja dan pelaksanaan semua tindakan. Roh berbeda dari rasa aku atau pelaksanaan moral yang berbuat baik atau buruk dan dinikmati hasilnya.
Roh itu menjadi saksi perubahan mental dan badan. Ia kekal abadi, tidak mengalami kematian karena ia tidak dihasilkan oleh suatu sebab dan tidak dapat dihancurkan oleh apapun juga. Namun karena kebodohan ia gagal membedakan dirinya dari pikiran dan memandangnya sebagai bagian dari dirinya sendiri. Akibatnya ia menjadi sesuatu dengan suatu sebutan seperti pribadi yang sosial, pribadi yang lapar, pribadi yang ingin dan sebagainya. Menurut ajaran Samkhya semuanya ini bukanlah roh.
Menyamakan roh dengan badan pikiran inilah yang menimbulkan kekalutan hidup dalam hidup ini. Kita menderita sakit dan menikmati suatu kesenangan adalah karena subyek yang mengalaminya menyamakan dirinya dengan obyek yang dialaminya. Sebab penderitaan itu ialah suatu kebodohan yaitu ketidakmampuan membedakan antara roh dengan yang bukan roh. Kelepasan dari penderitaan, akan tercapai bila orang menyadari akan perbedaan dari keduanya itu.bila orang telah menyadari bahwa roh itu tidak hadir dan tidak mati ia bebas dari penderitaan.
Untuk menginsafi tentang hakekat roh itu memerlukan latihan kerohanian dan renungan kebhatinan terus menerus tentang kebenaran bahwa roh itu bukan badan ini dan bukan badan pikiran. Ajaran yang demikian itu hendaknya selalu dilakukan. Ada dua macam kelepasan yaitu jiwamukti dan widehamukti. Jiwamukti adalah kelepasan roh selama ia hidup dalam badan ini, sedangkan widehamukti adalah kelepasan roh dari badan kasar dan badan halus. Dari semua ini pada hakekatnya Samkhya memilih jalan wiweka atau kebijaksanaan mendalam untuk melepaskan purusa dari jebakan prakerti.






VAISESIKA DARSANA

A. Pemahanan Vaisesika Darsana
Vaisesika adalah salah satu bagian dari filsafat India atau Sad Darsana yang usianya lebih tua dari sistem filsafat Nyaya. yang timbul pada abad 4 SM. Dengan tokohnya adalah Maha Rsi Kanada. Beliau juga dikenal dengan nama Ulaka. Sistem filsafat Vaisesika bersifat metafhisis dengan tujuan pokok ajarannya adalah bersifat Dharma yaitu tentang kesejahteraan di duniawi dan kelepasan. Sumber ajaran Vaisesika kitab Vaisesika Sutra. Kitab ini terdiri atas 10 Adhyayasatau atau jilid dan setiap jilid terdiri dari dua Ahnikas atau bab (Sumawa, 1996:75).  Kesepuluh bab kandungan kitab karangan Rsi Kanada itu ialah sebagai berikut: Bab I membicarakan kategori-kategori atau Padharta yang jumlahnya semua ada 7. Bab II membicarakan obyek-obyek pengamatan. Bab III membicarakan jiva dan indria batin. Bab IV membahas tentang jasmani dan unsur-unsur yang menyusun badan jasmani. Bab V membicarkan karma, yaitu kegiatan atau perbuatan seseorang dalam hidupnya. Bab VI membicarakan Dharma atau kebajikan rohani sebagaimana dimaksudkan dalam kitab Weda. Bab VII membicarakan sifat-sifat khusus (visesa) dari segala sesuatu yang ada di alam Dunia ini. Bab VIII menguraikan masalah wujud dan bentuk-bentuk pengetahuan. Bab IX menguraikan masalah pemahaman. Bab X membicarakan perbedaan sifat-sifat dari jivatman.
Isi pokok ajaran Vaisesika adalah menerangkan tentang Dharma. yaitu apa yang memberikan kesejahteraan di dalam Dunia ini dan yang memberikan kelepasan yang menentukan. Yang terpenting dari ajaran Vaisesika adalah ajaran tentang katagori-katagori dan semua yang ada di Dunia ini. Kata-kata visesa yang dijadikan dasar bagi penamaan sitem falsafah ini berarti kekhususan atau partikularitas. Sesuai dengan namanya sistem falsafah ini memusatkan perhatian pada menonjolnya ciri-ciri khusus dari obyek-obyek pengamatan di alam semesta. Sebagai sistem kearifan yang tua dalam jajaran falsafah India, Vaisesika lebih dikenal sebagai falsafah fisika dan metafisika. Sebagai falsafah fisika, Darsana ini diawali dengan pembahasan mengenai tujuh kategori benda-benda yang disebut padharta. Dari pembicaraan mengenai masalah fisika kemudian beranjak kepada masalah metafisika, dengan membincangkan masalah-masalah berkenaan dengan jiwa dan arti spiritual daripada karma dan Dharma, yang dtentukan oleh tingkat pengetahuan manusia tentang dunia dan obyek-obyek yang diamatinya dalam kehidupan.
Sebagai sistem falsafah fisika, Vaisesika sebenarnya lebih merupakan perumusan terhadap padharta (kategori benda-benda). Pengetahuan tentang padharta sangat penting dasar mencapai kebenaran tertinggi, yaitu pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu. Perumusan terhadap kategori benda-benda itu didasarkan atas perbedaan atau ciri-ciri khusus menggunakan empat metode (pramana) pengetahuan, yaitu Pratyaksa Pramana, Anumana Pramana, Upamana Pramana dan Sabda Pramana. Arti dari perkataan ’vaisesika’ sendiri ialah ciri atau kekhususan yang membedakan sesuatu dari sesuatu yang lain. Kekhususan yang dimaksud ialah ciri khusus padharta yang dimiliki oleh sesuatu sebagai obyek pengamatan indria dan akal.
Menurut Vaisesika ada 7 (tujuh) katagori (padharta) yaitu: 1. Drauya (substansi) 2. Guna (kwalitas) 3. Karitia (Aktivitas) 4. Samaya (sifat umum) 5. Wisesa (keistimewaan) 6. Samaya (pelekatan) 7. Abhawa (ketidakadaan). Padartha dalam Vaisesika Darsana berjumlah 7 kategori, yaitu:
a.      Drawya: benda-benda atau substansi yang berjumlah 9 substansi, yaitu: tanah (prthivi), air (apah), api (tejah), udara (vayu), ether (akasa), waktu (kala), ruang (dis), roh (jiwa), dan pikiran (manas). Empat drawya pertama dan drawya terakhir (pikiran) merupakan substansi abadi yang tidak meresapi segalanya  namun dalam persenyawaan sifatnya tidak abadi.
b.     Guna: sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi, terdiri dari: rupa atau warna, rasa, bau (gandha), sentuhan (sparsa), jumlah (samkhya), ukuran (parimana), keanekaragaman (prthaktva), persekutuan (samyoga), keterpisahan (vibhaga), keterpencilan (paratva), kedekatan (aparatva), bobot (gurutva), keenceran (dravatva), kekentalan (sneha), suara (sabda), sifat pembiakan sendiri (samskara), budhi (pemahaman), sukha (kesenangan), penderitaan (duhkha), kehendak (iccha), kebencian (dvesa), usaha (prayatna), kebajikan (dharma), kekurangan/cacat (adharma).  8 guna yang terakhir merupakan sifat dari roh, sedangkan yang lain milik dari substansi material.
c.      Karma: kegiatan yang terkandung dalam gerakan, terdiri dari gerakan keatas (utksepana), gerakan kebawah (avaksepana), gerakan membengkok (A-kuncana), gerakan mengembang (prasarana), gerakan menjauh dan mendekat (gamana).
d.     Samanya: bersifat umum yang menyangkut 2 permasalahan: 1) sifat umum yang lebih tinggi dan lebih rendah, 2) jenis kelamin dan spesies.
e.      Visesa: kekhususan yang dimiliki oleh 9 substansi abadi (drawya) Samawaya: keterpaduan satu jenis, yaitu keterpaduan antara substansi dengan sifatnya.
f.      Abhava: ketidakadaan dan penyangkalan terdiri dari 4 jenis, yaitu: 1). Pragabhava: ketidakadaan dari suatu benda sebelumnya, 2). Dhvasabhava: Penghentian keberadaan, 3). Atyantabhava: ketidak adaan timbal balik, 4). Anyonyabhava: ketiadaan mutlak. Vaisesika seperti halnya Nyaya darsana menyatakan bahwa penciptaan alam semesta didasarkan pada dua penyebab, yaitu nimita sebagai penyebab efisien dan upadana sebagai penyebab material. Isvara sebagai nimita karana menciptakan alam semesta dengan penggunaan upadana. (Maswinara, 1999:143-144).
Demikianlah ketujuh katagori itu menjadikan segala sesuatu didalamnya sehingga manusia menyaksikan adanya segala sesuatu yang beraneka ragam keaneka ragaman itu terjadi justru karena kombinasi dan ketujuh katagori yang diajarkan waisesika. Kembali ditegaskan bahwa tujuh padartha dalam falsafah Vaisesika dapat dibandingkan dengan 16 kategori yang dinyatakan dalam falsafah Nyaya. Ketujuh padarha atau kategori dasar yang membedakan sesuatu dari sesuatu yang lain itu ialah sebagai berikut:
a.      Dvarya, artinya substansi kekal karena bersifat tunggal. Substansi kekal ada sembilan, yaitu: tanah (prthivi), air (apah), api atau sinar (teja), udara atau angin (vayu), angkasa (akasa), waktu (kala), ruang (dis), roh (jiva) dan pikiran (manas). Lima substansi pertama (tanah, air, api, udara dan angkasa) disebut panca mahabhuta atau lima unsur kasar yang mendasari kejadian dan keberadaan obyek-obyek di alam semesta. Tanah, air, api, udara dan manas (pikiran yang diekspresikan) mengambil wujud sebagai atom-atom abadi dan apabila dvarya ini bersenyawa dengan dvarya lain maka melahirkan suatu obyek lain yang keberadaannya tidak kekal. Manas berbeda dari jiva, sebab ia tidak mampu meresapi segala sesuatu dan bersifat atom, serta dapat diketahui pada saat orang berpikir. Jiva atau roha adalah sebaliknya, ia dapat meresapi segala sesuatu, namun tidak dapat bercampur dengan substansi lain karena keberadaannya bersifat rohaniah. Begitu  pula  ruang,  waktu dan angkasa tidak dapat  bercampur  dengan  substansi  yang lain. Sejak awal semua itu merupakan substansi tunggal yang kekal, walaupun lebih bersifat jasmani berbanding rohani.
b.     Guna, sifat atau ciri dari subastansi yang ada. Semuanya berjumlah 24: (1) rupa atau warna; (2) rasa; (3) ghanda atau bau; (4) sparsa atau sentuhan, rabaan; (5) Samkhya atau jumlah, bilangan; (5) parimana atau ukuran; (7) prthaktva atau keanekaragaman; (8) samyoga atau perpaduan, hubungan, keterkaitan; (9) vibhaga atau keterpisahan; (10) paratva atau keterasingan; (11) aparatva atau kedekatan; (12) gurutva atau bobot; (13) dravatva atau kecairan, keenceran; (14) sneha atau kekentalan; (15) sabda atau bunyi, suara, ucapan; (16) buddh atau jnana, pemahaman atau pengetahuan; (17) sukha atau kegembiraan, kesenangan, kenikmatan; (18) duhkha atau penderitaan; (19) iccha atau kehendak; (20) dvesa atau kebencian, keengganan; (21) prayatna atau usaha; (22) dharma atau kebajikan, manfaat; (23) adharma atau kekurangan, cacat; (24) samskara atau sifat berbiak atau berkembang dengan sendirinya.
c.      Karma atau keinginan yang terkandung dalam gerakan atau kegiatan, jumlahnya ada 5 yaitu (1) gerakan ke atas; (2) gerakan ke bawah; (3) gerakan membengkok; (4) gerakan mengembang; dan (5) gerakan menjauh dan mendekat. 
d.     Samanya atau sifat umum berhubungan dengan kedudukan, lebih tinggi atau lebih rendah; dan jenis kelamin.
e.      Visesa, atau kekhususan yang merupakan milik 9 dravya.
f.      Samavaya atau keterpaduan satu jenis, yaitu keterpaduan antara substansi dengan sifatnya, antara jenis kelamin dan pribadi subyek; antara pemikiran dengan obyek pemikiran; kain dengan benang, binatang satu species seperti sapi, kerbau, banteng dan lain sebagainya.
g.     Sebenarnya hanya enam kategori yang telah disebutkan pada mulanya diasaskan oleh para filosuf Vaisesika. Tetapi kemudian mereka merasa perlu menambahkan kategori ketujuh sebagai landasan pemikiran falsafahnya. Dengan penambahan kategori ketujuh maka landasan pemikiran mereka, khususnya dalam memecahkan masalah-masalah logis dari keberadaan, akan menjadi munasabah. Kategori ke-7 itu disebut abhava. Abhava, merupakan kategori berkenaan dengan ada dan tidak adanya suatu obyek, atau lebih tepatnya mengenai keberadaan dan ketak-beradaan suatu obyek. Filosof Vaisesika membagi abhava menjadi empat sebagai berikut:
(1) Pragabhava, ketidakadaan sebelumnya dari suatu benda; periuk tidak ada sebelum dibuat tukang periuk.
(2)  Davansabhava, terhentinya keberadaan periuk setelah dipecahkan.
(3) Atyantabhava, ketiadaan timbal balik sebelum dan sesusahnya: udara  sejak dulu sampai sekarang tidak berwarna; waktu datang dan pergi, sejak dulu tak kelihatan dan tak kedengaran, begitu pula sekarang dan nanti. Anyonyabha, ketiadaan mutlak. Periuk tidak memiliki ciri dan sifat yang sama dengan kain. (Pendit, 30-50).
Aasas-asas perbincangan falsafah yang dikemukakan Rsi Kanada terlihat pada pernyataannya pada bagian awal dari bukunya itu. Ia menekankan betapa pentingnya dharma. Dia mengatakan misalnya:
1. Sekarang akan dijelaskan masalah dharma.
2. Dharma ialah sesgala sesuatu yang lahir dari perbuatan mulia dan  kebajikan tertinggi.
3. Kewenangan kitab Weda (berasal dari) kehadirannya sebagai Sabda Ilahi  (yang di dalamnya memaparkan persoalan dharma).
4. Kebaikan Tertinggi yang merupakan buah dari Dharma tertentu, dihasilkan dari pengetahuan tentang essensi segala sesuatu mencakup substansi dasar kejadian (dvarya), sifat (guna), perbuatan (karma), genus (samanya), jenis (visesa) dan gabungan (abhava, yang melekat pada sesuatu), yaitu penyebab terjadinya persamaan dan perbedaan.
Penekanan pada Dharma bertolak dari kenyataan bahwa dalam kitab Weda  masalah Dharma merupakan sesuatu yang sangat penting. Ini terlihat dalam sloka dalam Weda yang berbunyi:

Yato nhyudayanihsreyasa siddhih sa darmah
Yang artinya ialah,
”Dharma memuliakan dan kebaikan tertinggi”.

Yang dimaksud dengan kebaikan tertinggi ialah mokhsa, pembebasan jiwa dari lingkaran samsara yaitu keterikatan pada benda-benda dan Dunia. Tanpa pengetahuan yang disertai kearifan tentang benda-benda, Dunia dan kedudukan jiwa manusia, manusia tidak akan dapat melakukan perbuatan yang baik dan dengan demikian tidak menjalankan Dharma atau kebajikan spiritual sebagaimana diajarkan oleh kitab Weda. Esensi segala sesuatu dan kategori-kategorinya, yaitu padharta, itulah harus diketahui oleh orang yang ingin menjcapai kebajikan tertinggi. Uraian tentang padharta inilah yang kelak dirinci Sri Uluka dalam sistem falsafahnya. Dalam Vaisesika Sutra Rsi Kanada mengatakan bahwa alam semesta ini terjadi disebabkan adanya suatu kekuatan tersembunyi yang memiliki kecerdasan mengarahkan suatu karma atau kegiatan/perbuatan. Kekuatan tersembunyi itu disebut adrsta.
Tampak bahwa sistem falsafah ini tidak membicarakan masalah Tuhan atau kekuatan transenden yang berdiri di balakang segala kejadian secara langsung. Kegiatan zarrah atau atom misalnya ditelusuri oleh para filosof Vaisesika kepada adsrta, kecerdasan tersembunyi yang menyebabkan atom melakukan gerakan tertentu. Namun demikian para pengikut aliran falsafah ini di kemudian hari merasa perlu menambahkan persoalan ketuhanan disebabkan kitab Weda mengajarkan adanya Tuhan.
Dalam perkembangannya itulah kemudian lantas diyakini bahwa Brahman, Tuhan yang Maha Tinggi, merupakan klausa effisiensi atau penyebab efisien dari terjadinya alam semesta. Sedangkan zarrah berfungsi sebagai bahan material yang telah ada sebelum Brahman bertindak melakukan penciptaan. Sebelum terjadinya alam semesta dan segala isinya, zarrah-zarrah itu merupakan unsur-unsur yang berada dalam keadaan kacau, tidak dapat dibayangkan oleh siapa pun. Zarrah-zarrah itu juga tidak memiliki kekuatan dan kepandaian mengatur perjalanan alam dan tidak bisa menata dirinya sebagai kekuatan untuk menata alam. Maka Brahman atau Paramatman kemudian muncul untuk mengendalikan dan menciptakan segala sesuatu dengan mengolah zarrah-zarrah itu menjadi sesuatu yang mimilik tatanan yang pasti.
Jadi yang membuat adsrta itu bekerja bukanlah dirinya sendiri, melainkan Barhman. Lima unsur kasar atau panca mahabhuta yang telah ada itu sebenarnya juga merupakan akibat dari kegiatan Brahman. Sebagai penyebab efisien segala sesuatu, Brahman merupakan keberadaan yang mendahului keberadaan yang lain. Keberadaan-Nya ditandai dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya tentang segala sesuatu. Dengan demikian Brahman dapat disebut sebagai Zat Maha Tinggi dan Maha Tahu.
Seperti halnya dalam falsafah Nyaya, dalam falsafah Vaisesika terdapat keyakinan bahwa zarrah-zarrah itu tidaklah terhitung jumlahnya dan bersifat abadi. Dan secara abadi pula, dengan mengulang-ulang dirinya, zarrah-zarrah itu saling berkumpul dan berpadu berkat Brahman melakukan kegiatan untuk mencampurkannya. Setelah berpadu zarrah-zarrah itu bercerai berai dan mengalami kehancuran. Proses itu berlangsung terus menerus dan merubakan akibat dari bekerjanya adrsta yang digerakkan oleh Brahman. Zarrah atau atom merupakan ’kecerdasan abadi tanpa penyebab’, atau dengan perkataan lain terjadi dengan sendirinya. Setiap zarrah, begitu pula bagian-bagian paling kecil daripada zarrah, tidak dapat diubah dan tidak pula terlihat, sehingga tidak dapat diamati langsung melalui indria biasa. Masing-masing pula memiliki kekhususan atau visesa. Dengan demikian visesa merupakan inti yang kekal dari zarrah-zarrah yang ada di alam semesta.
Tampak bahwa asas pemikiran Vaisesika Darsana bercorak dualistik. Mereka memandang bahwa asas kejadian ialah zarrah-zarrah yang telah ada di alam semesta, namun keadaannya masih kacau balau. Brahman muncul sebagai asas kerohanian dengan menggerakkan adrsta, kekuatan potensial yang tersembunyi di belakang zarrah-zarrah itu. Demikian unsur rohani atau purusa dari kejadian diartikan sebagai Brahman yang menggerakkan adrsta dan unsur prakrti-nya ialah zarah-zarrah yang banyak, yang dapat dibagi menjadi sejumlah kategori sesuai substansi kekalnya.
Walaupun para filosof Vaisesika berpendapat bahwa roh dan jasmani, ide dan materi dapat saling berpadu membentuk realitas baru dari obyek-obyek, namun keduanya merupakan zat yang sepenuhnya berbeda. Pada waktu obyek-obyek mengalami kehancuran, masing-masing kembali kepada zatnya yang asal. Unsur-unsur bendawi kembali menjadi zarrah-zarrah dengan dvarya dan sifatnya masing-masing. Ambil contoh ketika seseorang mengalami proses kematian. Badan mengalami proses penyusutan dan penghancuran, lambat laun mengecil dan akhirnya menjadi kian halus. Ini berbeda dengan saat-saat ketika manusia tumbuh dari setitik air mani, yang lambat laun kian membesar dan kasar. Setelah datang masa kematian berubah menyusut dan menjadi halus. Sementara unsur-unsur jasad kembali kepada zatnya yang semula, roh tetap abadi dan tidak mengalami penguarangan atau penyusutan sedikit pun.

B. Pokok-Pokok Pandangan
Dalam uraian ini dapat dikemukakan beberapa pokok pandangan para filosuf Vaisesika, khususnya sebagaimana diajarkan Rsi Kanada dan Sri Uluka, yang dipandang sebagai pengasas awal dan utama sistem falsafah ini, sebagai berikut:
1.     Kelahiran manusia dan usianya, beserta tempatnya lahir, keadaan yang dialami dan lingkungan keluarganya, telah ditetapkan oleh adrsta masing-masing. Jadi adrsta berperan sebagai ketentuan atau semacam takdir. Adapun atman (roh perorangan) yang menempati badan seseorang bersifat kekal dan berbeda dari atman orang lain. Roh orang yang satu terpisah dan terasing dari roh orang yang lain. Adalah atman yang memberikan kemampuan batin kepada manusia dalam hidupnya sehingga ia mampu pula memberi tanggapan kepada kehendak, pengetahuan, keinginan, kebencian, kesenangan dan derita yang muncul dalam dirinya. Apabila badan jasmani dibatasi oleh ruang dan waktu, maka badan rohani yang disebut atman itu tidak dibatasi ruang dan waktu.
2.     Karena sifat roh yang demikian itu maka bersama-sama pikiran, roh  tidak dapat menjadi obyek pengamatan indria. Ia hanya dapat menjadi obyek pengamatan pikiran, melalui isyarat-isyarat yang dihasilkan dari pikiran sendiri.
3.     Perpaduan dan kerjasama antara atman dan badan jasmani, antara sarana batin dan panca indria, dapat terjadi disebabkan kegiatan Dharma dan Adharma, yaitu kebajikan dan kenistaan.
4.     Kesenangan dan penderitaan (dukkha) merupakan hasil atau akibat adanya hubungan antara roh, pikiran, panca indria dan obyek-obyek pengamatan. Jika roh/jiwa dan pikiran tidak memerintahkan indria agar terpaut pada obyek-obyek yang menyebabkan munculnya kesenangan dan penderitaan, maka tidak akan ada kesenangan dan penderitaan. Dari kesenangan yang diperoleh melalui kenikmatan (kama) atas suatu obyek, maka muncullah keinginan untuk memperoleh obyek itu. Keinginan memperoleh obyek disebut raga, artinya keterikatan. Dari suatu penderitaan, misalnya disebabkan sengatan lebah, hardikan seorang polisi, maka akan muncul rasa benci terhadap penderitaan dan sumber penderitaan. Ini juga disebut raga.
5.     Disebabkan kuatnya pengaruh dari pengalaman-pengalaman tertentu yang mendatangkan kesenangan atau penderitaan, seseorang akan menjadi terikat pada obyek-obyek tertentu. Seorang pencinta yang gagal memperoleh cinta dari seorang wanita, akan selalui melihat bayangan orang dicintainya itu pada setiap obyek yang indah. Orang yang pernah dipatuk seekor ular akan merasakan bahwa di mana-mana ada ular. Dengan demikian ingatan itu dibentuk oleh pengalaman dan sangat berpengaruh pada pandangan manusia terhadap sesuatu.
6.     Keterikatan pada sesuatu, terutama keinginan (raga), kebencian (dvesa) dan kebingungan (moha) merupakan dosa (kesalahan). Hal ini dikarenakan semaya perkara itu dapat membuat seseorang terikat pada Dunia.
7.     Pengetahuan palsu (mythia jnana) timbul sebagai akibat dari kesalahan atau dosa. Untuk menyingkirkan pengetahuan palsu diperlukan kekuatan pengetahuan intuitif tentang Sang Diri (jivatman). Pengetahuan tentang diri hakiki ini diperoleh melalui renungan yang dalam (samadhi), pemeriksaan diri (introspeksi) dan meditasi (dhyana). Karena alasan inilah falsafah Samkhya dipasangkan dengan Yoga Darsana yang mengajarkan sistem meditasi dan disiplin diri secara praktis, sedangkan Samkhya sendiri tidak menguraikannya secara rinci.
8.     Karena alam Dunia mendatangkan banyak dosa dibanding kebajikan, dan juga karena pesonanya menimbulkan pengetahuan palsu, maka alam Dunia ini disebut maya (khayali).
9.     Alam semesta  diciptakan berdasarkan  dua sebab musabab,  yaitu:  (a) Nimitta,   penyebab  efisiensi  atau  penyebab  yang  secara   efisien menyebabkan terjadinya Dunia. Nimitta juga disebut sebagai instrumental dan bersifat kerohanian; (b) Upadana, yaitu penyebab jasmani. Penyebab instrumental (nimitta karana) ialah Isvara (Tuhan) dan penyebab jasmaninya ialah zarrah-zarrah yang kacau balau dan tidak terhitung banyaknya yang disebut prakrti. Apabila kita umpamakan dengan kendi, maka nimitta karana-nya ialah pembuat kendi dan upadana-nya ialah tanah liat.
10. Pengetahuan atau jnana yang benar disebut prama, pengetahuan yang salah disebut bhrama. Falsafah Samkhya juga menggolongan pengetahuan menjadi dua macam: pengetahuan yang meragukan (samsaya jnana) dan pengetahuan yang pasti (niscaya jnana). Pengetahuan yang benar diperoleh melalui pembuktian yang benar dan mendatangkan kebaikan (pramanya grha jnana). Pengetahuan yang salah menimbulkan keburukan dan merupakan mythia jnana.

C.  Etika dan Konsep Kesempurnaan
            Sistem filsafat Vaisasika sebagai juga sistem filsafat India yang lainnya mencari atman atau sejati dalam badan yang merupakan gabungan dari atom-atom catur bhuta, sedangkan pikiran adalah sesuatu yang sangat halus yang sulit di ketahui, tak dapat dilihat abstrak yang dengan kata lain disebut anu. Ia merupakan alat dari pada jiwa yang dipergunakan untuk merasakan bermacam-macam perasaan, perasaan senang, susah dan sebagainya. Pikiran itulah yang disebut antara rasa dan bahya rasa karena ia dapat merasakan getaran kebahagiaan dan kesusahan dalam tubuh.
            Atman merupakan unsur lain yang sangat berbeda dengan manas, indria dan tubuh. Keberadaan atman hanya dapat di buktikan dengan melalui tubuh dan manas yang dimiliki oleh setiap orang. Hal ini dapat di bandingkan dengan aliran listrik, kita baru dapat membuktikan adanya aliran listrik bila kita memegang kawat yang dikenai aliran itu. Demikian pula adanya atman hanya dapat di buktikan keberadaanya melalui badan dan manas. Seseorang dapat hidup, berpikir, berbicara dan sebagainya semua itu menunjukan adanya atman.
            Dalam ajaran Vaisasika atman dikatakan berjumlah banyak atau jamak dan merupakan bagian dari pada Brahman, maka itu atman pada dasarnya adalah suci. Setelah atman bersatu dengan badan kasar ini maka terjadilah beraneka kebahagiaan, kegembiraan, kesenangan, penderitaan, kesengsaraan, kesedihan dan sebagainya. Adanya perasaan suka dan duka itu adalah sesungguhnya disebabkan oleh manas melalui indria yang dirasakan kepedihannya oleh badan. Adapun klesa- klesa yang muncul dalam pikiran itu adalah awidhya yaitu suatu pengetahuan yang salah terhadap suatu kebenaran, asmita yaitu pandangan yang keliru yang menganggap bahwa atman itu sama dengan budhi, dan manas, raga yaitu keinginan yang didorong oleh nafsu yang berlebihan untuk memuaskan indria, dan yang terakhir adalah abhiniwesa yaitu  ketakutan menghadapi penderitaan dan kematian. Kelima klesa ini disebut mithyajnana yang memaksa badan untuk bekerja dengan segala konsekuensinya.
            Selama adanya goncangan dalam pikiran maka selama itu pula atman akan direfleksikan pada perubahan–perubahan pikiran itu sendiri. Dengan tidak adanya pengetahuan yang benar dalam diri seseorang, maka ia akan menyamakan atman dengan badan atau benda yang selalu mengalami perubahan. Akibatnya atman merasakan susah, senang, benci dan sebagainya sesuai dengan perubahan dari pikiran itu sendiri. Ini merupakan ikatan bagi jiwa yang pada akhirnya menimbulkan penderitaan. Bila seseorang ingin bebas dari ikatan itu dan ingin mendapatkan kelepasan, maka ia harus dapat menguasai aktivitas indria dan pikirannya. Dengan demikian maka goncangan pada pikiran akan dapat diatasi. Sehingga dengan demikian maka sang jiwa akan menyadari dirinya sebagai sang suci yang berbeda dengan badan, indria dan pikirannya. Untuk mendapatkan ini Vaisasika mengajarkan agar sesorang menguasai manas dan indrianya dengan baik dengan selalu mengikuti ajaran Weda  untuk kemudian sampai pada tujuan yang tertinggi yaitu kelepasan.
            Jalan yang di tunjuk ole Vaisasika untuk mencapai kelepasan itu adalah melalui tattwa jnana,srawana, manana dan meditasi. Melalui tattwa jnana hendaklah seseorang memahami bahwa sesungguhnya atman adalah berbeda dengan badan, indria dan pikiran. Atman adalah bagian dari Brahman pada hakekatnya adalah suci. Semua yang ada di alam semesta ini tidak terlepas dari kemahakuasaan Tuhan. Tuhanlah yang menentukan kehidupan semua makhluk dan Beliau pula yang menuntun makhluknya untuk mencapai kesempurnaan. Tapi semua itu tidaklah terlepas dari adrsta yaitu kumpulan pahala baik atau buruk dari kehidupan seseorang pada beberapa fase kehidupan yang terdahulu. Perimbangan dari adrsta inilah Tuhan memberikan anugerah pada seseorang. Tuhan dalam ajaran Vaisasika disebut Siwa  yang bersifat transenden yang terpencar pada hukum sebab akibat,  pada isinya merupakan bukti adanya Tuhan sebagai yang maha kuasa  dan meliputi segalanya. Mengetahui semua ini dapat di artikan bahwa seseorang dalam hidupnya selalu menegakkan dan mengikuti Dharma. Karena Tuhan merupakan asal dan berakhirnya segala sesuatu maka sudah sewajarnya seseorang di anjurkan  oleh Vaisasika untuk memuja beliau dan mengikuti ajaran-Nya melaui srawana, manana, dan meditasi untuk mencapai kelepasan.
            Srawana adalah senang mendengarkan kata- kata yang ada dalam kitab suci yang disampaikan oleh Guru kerohanian atau orang yang dapat dipercaya. Membaca kitab suci dan mendengarkan dan mendengarkan hal–hal spiritual dari Guru kerohanian termasuk pula dalam ruang lingkup srawana.  Hal semacam adalah sangat penting untuk menuntun, meningkatkan kualitas keimanan, perilaku dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat yang harmonis. Sedangkan manana adalah melaksanakan apa yang didengar, dibaca dari kitab-kitab suci di masyarakat melalui pikiran, perkataan dan perbuatan yang dilandasi oleh cinta kasih terhadap sesama. Dan yang terakhir adalah meditasi yaitu melakukan pemusatan pikiran terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan tujuan menenangkan pikiran dan merealisasikan sang diri sejati. Dalam hubungan ini Vaisasika menunjuk cara-cara praktek Yoga untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatan ke duniaan dan nafsu-nafsu rendah lainnya. Dengan melakukan jalan yang ditunjuk oleh sistem Vaisasika secara bersungguh-sungguh dengan penuh keyakinan seseorang akan mendapatkan kebebasan yang sejati yang ada pada Brahman (Sumawa,1996).

YOGA DARSANA
A. Pengertian
Kata Yoga berasal dari urat kata "Yuj" yang artinya berhubungan. Kata yoga berarti hubungan atau berhubungan, di mana maksudnya adalah pertemuan roh individu (atma purusa) dengan roh universal yang tidak berpribadi (mahapurusa/paramaatma). Maha Rsi Patanjali mengartikan yoga sebagai "Cittawrttinirodha" yaitu penghentian geraknya pikiran (Maswinara, 1999:163). Ajaran yoga sangat popular dikalangan umat Hindu dengan tokoh pendirinya adalah Maha Rsi Patanjali. Tulisan pertama tentang ajaran yoga adalah kitab Yoga Sutra karya Maha Rsi Patanjali. walaupun unsur-unsur ajarannya sudah ada jauh sebelum itu. Kemudian munculah buku-buku komentar atas ajaran beliau, seperti Yoga Bhasyaatau Wyasabhasya yang ditulis oleh Wyasa. Yoga Maniprabha ditulis oleh Bhojaraja dll. Komentar-komentar ini menguraikan ajaran yoga karya Patanjali yang berbentuk sutra berupa kalimat-kalimat pendek dan padat isinya.
Berbeda dengan Samkhya, yoga mengakui adanya Tuhan. Adanya Tuhan dipandang lebih bernilai praktis dari pada bersifat teori dan merupakan tujuan akhir semadi yoga, dengan demikian maka yoga dikatakan bersifat teori dan praktek dalam hubungan Tuhan. Ajaran yoga juga bersifat teoretis dan mengakui kewenangan Weda. Kebenaran Tuhan dipandang sebagai suatu yang lebih tinggi dari purusa dan prakerti. Pokok-pokok ajaran yoga ada dalam kitab Yoga Sutra Karya, Maha Rsi Patanjali yang dibagi atas empat bagian dengan 194 Sutra, adapun keempat bagian tersebut adalah:
a)     Bagian Samadhi Pada, isinya ialah tentang sifat, tujuan dan bentuk ajaran yoga, dibagian ini diterangkan tentang perubahan-perubahan pikiran dan cara pelaksanaan ajaran yoga.
b)     Bagian Sdhana Pada, isinya tentang pelaksanaan ajaran yoga seperti cara mencapai semadhi, tentang kedudukan, karma phala.
c)     Bagian Wibhuti Pada, isinya tentang segi ajaran batiniah yoga juga tentang kekuatan gaib yang terdapat karena melakukan praktek yoga,
d)    Bagian Kailwalya Pada. isinya melukiskan alam kelepasan dan mengatasi roh yang mengatasi alam Dunia. Menurut filsafat yoga kelepasan itu dapat dicapai melalui pandangan spiritual pada kebenaran roh sebagai suatu daya hidup yang kekal yang berbeda dengan badan dan pikiran. Pandangan spiritual seperti tersebut di atas hanya dapat dimiliki bila pikiran itu bersih, tenang dan tak tergoyahkan oleh sesuatu apapun juga (Pendit, 2007:110).

B. Pemahaman Tentang Yoga
Akar yoga dapat ditelusuri kembali 5.000 tahun. Referensi paling awal yoga juga ditemukan selama penggalian arkeologi lembah Indus. Budaya. Para arkeolog telah menemukan potret manusia dalam bermeditasi seperti postur yoga. Rig-Veda menggambarkan postur Yoga yang berbeda dan itu adalah suatu periode 3000-5000 SM.  Yoga telah melalui masa evolusi dari 5000 tahun. Yoga Veda berkisar pada pemikiran menyatukan Dunia material terlihat dengan Dunia spiritual tak terlihat. Hal ini diperlukan untuk memfokuskan pikiran ke tingkat yang sangat tinggi. Proses fokus batin untuk meningkatkan kemampuan manusia adalah akar dari semua yoga. Secara garis besar Yoga ada 4 jenis, yaitu: Karma Yoga, Bakti Yoga, Jnana Yoga, dan Raja Yoga. Adapun Mantra Yoga, Japa Yoga, Hatha Yoga, Kundalini Yoga, Kriya Yoga, dll. dikatagorikan sebagai Raja Yoga.
Karma Yoga, yoga yang dilakukan melalui kehidupan tanpa pamrih. Para praktisinya tidak pernah mengeluh menghadapi persoalan. Semua masalah dipandang merupakan akibat dari karma, maka harus diterima dan dihadapi. Konsep ini banyak disalahpahami sebagai konsep hidup pasif, padahal konsep ini justru membawa manusia menjadi aktif dalam menghadapi kehidupan. Karma Yoga mengajarkan pada manusia untuk menghadapi dan menyelesaikan persoalan, bukan melarikan diri dari persoalan.
Bila anda praktisi Karma Yoga, maka persoalan apapun yang terjadi harus anda terima, tidak melarikan diri. Melarikan diri bukan solusi, tapi justru menimbun persoalan dan membuat persoalan baru. Persoalan tidak akan pernah hilang, yang ada hanyalah penundaan dan penumpukan. Untuk menyelesaikannya, mau-tidak mau, suka dan terpaksa, semua harus dihadapi. Entah kapan, yang jelas semua persoalan perlu penyelesaian. Banyak penderita stress, bahkan yang bunuh diri, dikarenakan tidak mau menerima suatu persoalan sebagai kenyataan dan menyelesaikannya, kemudian melarikan diri tanpa mau menghadapi dan menyelesaikannya.
Bhakti Yoga, yoga yang dilakukan dengan berbakti kepada Tuhan, yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Semuanya dilakukan dengan cinta tanpa memiliki pamrih apa pun (termasuk ingin masuk sorga). Kecintaan praktisi Bakti Yoga (Bakta) bermakna luas. Bukan hanya pada Tuhan, namun juga pada semua mahluk ciptaan-NYA. Mencintai ciptaan-NYA merupakan manifestasi dari mencintai Sang Pencipta. Cinta seorang Bakta tidak membeda-bedakan ras, suku, bangsa, dan agama. Tidak membenci yang miskin-yang kaya, yang indah-yang buruk, yang pintar-yang bodoh, yang beriman-yang kafir. Semuanya dicintai, bahkan binatang, tumbuhan, dan batu-batuan pun tidak luput dari kecintaan seorang praktisi Bakti.
Jnana Yoga, yoga yang dilakukan dengan jalan pengetahuan. Praktisi yoga ini adalah para intelektual, dengan cara mengkikis kebodohan manusia. Dengan terkikisnya kebodohan, maka manusia semakin pandai. Semakin pandai manusia, terhapuslah kemiskinan, ketidakadilan, dan kesewenangan. Dengan demikian semakin damai rasanya Dunia. Semua itu dikarenakan manusia tahu akan hakekat dirinya. Manusia yang tahu hakekat dirinya, maka dia akan tahu hakekat Tuhannya. Itulah tugas para praktisi Jnana Yoga.
Raja Yoga, yoga yang dilakukan dengan cara mempraktekkan secara langsung tata cara pengedalian pikiran dan kesadaran indria-indria manusia (Adiputra, 2004:123-137). Raja Yoga memuat berbagai disiplin fisik dan pikiran, semua dilakukan dalam rangka menuju kepenyatuan seorang hamba dengan Tuhan. Hasil dari semua itu disebut Pencerahan, Bagi praktisi yoga, yang penting adalah pelaksanaannya.

C.    Yoganga Darsana
Patanjali, seorang yogi (praktisi yoga), menerangkan bahwa yoga memiliki 8 bagian yang tidak terpisahkan, yaitu: Yama (mengendalikan diri), Niyama (ketaatan), Asana (Sikap badan), Pranayama (pengaturan nafas), Pratyahara (Pengaturan diri/indria), Dharana (Konsentrasi), Dhyana (Meditasi), dan Samadhi (Keseimbangan) (Maswinara, 1999:165). Bagian-bagian  yoga tersebut  tidak  dapat dipisahkan, sebagaimana  bagian  tubuh manusia yang juga tidak dapat dipisah-pisahkan. Pengaturan nafas tanpa pengaturan diri, bukanlah Yoga, demikian seterusnya. Kedelapan bagian tersebut adalah satu kesatuan.
1.     Yama berarti menghindari kekerasan (Ahimsa), mantap dalam kebenaran (satya), mantap dalam kejujuran (asteya), Hidup dalam Tuhan (Brahmacharya), tidak tamak (Aparigraha). 
2.     Niyama berarti menjaga kebersihan dan kesucian diri (sauca), merasa puas dengan apa adanya (samtosa), sederhana (tapah), mempelajari diri sendiri (swadaya), dan menyerahkan segalanya pada Tuhan (Iswara pranidhana).
3.     Asana tidak hanya berarti sikap yang nyaman dalam postur-postur yoga, tapi pola hidup yang nyaman, yaitu pola hidup yang seimbang. Makan tidak berlebihan, puasa juga tidak berlebihan. Mencintai tidak berlebihan, membenci juga tidak berlebihan, dan seterusnya. Rasa nyaman ini harus permanent tidak temporer.
4.     Pranayama yaitu menyadari proses pernafasan. Menyadari proses pernafasan berarti menyadari tipisnya jarak antara kehidupan dan kematian. Bermula dari sini manusia akan mencapai tingkatan kasih tanpa pamrih. Tingkatan inilah yang membedakan antara manusia dengan hewan.
5.     Pratyahara berarti menyadari pola-pola berpikir. Pola pikir terkendali maka kontrol diri (indria-indria) juga terkendali. Dengan demikian seseorang tidak akan tergoda oleh objek-objek duniawi. Pengharaman atas objek-objek Dunia, seperti sex bebas, narkoba, dsb. Tidak akan banyak membantu. Justru, pelarangan tersebut seringkali membuat seseorang terobsesi. Ajaran yoga tidak mengharamkan sesuatu apapun, tapi menuntut pengendalian/pelepasan diri terhadap objek-objek duniawi tersebut. Demikianlah yoga, menuntut pelepasan ego secara luas. Selama seseorang belum dapat mengendalikan dirinya, maka tidak dianjurkan melakukan yoga (jalan spiritual). Karena tujuan yoga adalah menenangkan danau pikiran manusia sehingga bayangan ilahi nampak terlihat dengan sangat jelas. Oleh sebab itu, supaya pikiran tidak kacau maka dibutuhkan niat yang kuat dalam melaksanakan yoga.
6.     Dharana (konsentrasi), mencapai konsentrasi berarti seseorang telah mencapai ketenangan yang alami. Ketenangan yang permanen bukan dibuat-buat. Pada bagian ini seseorang mencapai kedamaian Ilahi sekaligus memancarkan cahaya ilahi pada lingkungannya. Tidak ada lagi gundah-gulana, sedih-gembira, baik-buruk, yang dapat mempengaruhinya.
7.     Dhyana (meditasi yang mendalam), menyadari sesuatu tanpa ada gangguan lagi.
8.     Samadhi (tujuan akhir meditasi), kondisi ini tidak dapat lagi dijelaskan. Inilah pencerahan, tempat pertemuan antara kekasih dengan yang dikasihi, pertemuan antara hamba dengan Tuan, pertemuan antara Khalik dengan mahluk (Pendit, 2007:115-117).
Demikian sekilas penjelasan tentang 8 bagian yoga yang diajarkan oleh Patanjali. Kedelapan bagian tersebut berkaitan tidak bisa dipisahkan. Pelaksanaan dari 8 bagian tersebut itulah yang disebut yoga dalam arti yang sesungguhnya. Ini perlu dijelaskan karena bagi masyarakat Indonesia, yoga seringkali disalahartikan sebagai “akrobat” atau semacam “praktek-praktek klenik”, dan lain sebagainya.

D. Relevansi Ajaran yoga
1.   Yoga sebagai jalan menyatunya atma dengan Tuhan
Ganapati Tatwa merupakan salah satu lontar tatwa yang mengandung nilai-nilai filsafat Siwa yang ditulis dalam 37 lembar daun tal dan disusun dalam 60 bait anustubh sansekerta dalam bentuk tanya-jawab yang digubah dalam bahasa asli sansekerta yang dilengkapi pula bahasa kawi dan dengan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia (karya asli dalam bentuk bahasa sansekerta). Dalam tattwa ini adalah Dewa Ganapati sebagai putra Dewa Siwa sebagai penanya yang cerdas tentang nantinya melahirkan ajaran Jnana yang merangkum misteri alam semesta beserta seluruh isinya dan Dewa Siwa dalam tatwa ini bermanifestasi sebagai Dewa Maheswara yang nantinya menjawab pertanyaan Ganapati.
Isi ringkasnya adalah sebagai berikut:
OM adalah sabda sunya, nada Brahman, asal mula Pancadaiwatma (Brahma, Wisnu, Iswara, Rudra dan Sang Hyang Sadasiwa) dilahirkan. Sedangkan Panca Daiwatma itu sendiri merupakan sumber Panca Tan-matra (Ganda: unsur bau, Rasa: unsur rasa/kenikmatan, Rupa: unsur bentuk/wujud, Sparsa: unsur rabaan, dan Sabda: unsur suara). Panca Tan-matra ini nantinya merupakan sumber dari Panca Maha Bhuta (Pertiwi: zat padat, Apah: zat cair, Teja: zat panas/sinar, Bayu: zat angin/udara, dan Akasa: zat ether). Panca Maha Bhuta inilah sumber asal dan dasar diciptakannya alam semesta beserta seluruh isinya, dan yang menjadi sumber hidup yang menggerakan segala ciptaan-Nya ada Sang Hyang Siwatma (sloka 1-2, 25-39).
Untuk ajaran Yoga sendiri terdiri dari Sad Anggayoga yaitu 6 (enam) jalan spiritual untuk mencapai kelepasan abadi atau moksa namun dalam kaitannya dengan tulis ini, penulis hanya akan mengambil petikan dari sloka 7-10 tentang bagian tubuh jasmani yang sangat berkaitan erat dengan pelaksanaan Yoga karena akan berhubungan dengan potensi dalam diri dalam pengendalian dan penyatuan kepada Tuhan, yaitu sebagai berikut:
7. Ganapati uwaca, sampun kagraha sapawarah Bhatara, ri kandaning bhuwana mwang manusya, mangke mwah waraha ranak Bhatara, ri sthana ning daiwatma ring sarira, mwang hana ring bhuwana.
8. Iswara uwaca, kaki anaku sang Ganadhipa, mangke pirengwakena pawarah kami ri kita, ri kahanan ing daiwatma ring sarira, apang tunggal ikangjanma kalawan bhuwana, yajanma, ya bhuwana. Apa ta lwirnyan, yapwan ing bhuwana Brahmakayangan ing daksina, rumkasa bhumi. Wisnu akayangang ing uttara, rumaksa jala. Rudrakayangan ing pascima, rumaksa Surya, Candra, Lintang. Kami akayangang ing purwa, rumaksa wayu. Sang Hyang Sadasiwa akahyanganing Madhya rumaksakasa, mwah yapwan ing jadma, Brahma mangasthana ring muladhara mangraksa raga, ababahan ring irung, mangulahaken gandha, Wisnu mangasthana ring nabhi, mangraksa sarira, ababahan ring jihwa, mangulahaken rasa, Rudra mangasthana ring hati, mangraksa jagra, ababahan ring tingal, mangulahaken idep, Kami mangasthana ring kantha, mangraksa turu, ababahan ring tutuk, mangulahaken sabda, Sang Hyang Sadasiwa mangasthana ring jihwagra, mangraksa sarwajnana, ababahan ring karna, mangulahaken swara. Mangkana lwirning Daiwatma ring sarira mwah ring bhuwana agung.
9. Ganapati uweca, sembah ning tanaya ra sanghulun, mangke mwah hana waraha patik sanghulun ri patunggalan ikang sinenggah muladhara mwang ikang nabhi, hati, kantha, jihwagra, lamakane wruha ranak Bhatara.
10. Iswara uwaca, anaku sang Ganapati, mangke den pahenak rumengwakena pawarah Kami, ri katatwan iakng sinengguh muladhara, unggwan ira ri pantara ning payupastha, warna kadi aruna, caturkona padu pat, ri jeronya wenten sekar trate lawa 8, ri jeroning sekar trate hana manic warna kadi kilat, ri jeroning manic kadi kilat hana Omkara, witniing wayu, anerus tekeng nguddha ring Siwadwara, sakeng  Siwadwaranerus tekeng nasika, sakeng nasika anerus ring jihwagra, amepek ing saptadwara, pasalahanya haneng kantha, sakeng kantha masuk tekeng hati, amepeking sarira kabeh, mangkana lwir ning muladhara. Luhur ing muladhara ngaran nabhi, mahelet rwawlas angguli dohnya, warna skadi sekar trate lawe 10, jeroning sekar trate hana kadi Surya wawu mijil ri jero ring Surya wawu mijil nga amrta, panggangtunganing usus mwah panguritan, ri luhur ing nabhi, maheled astangguli dahnya nga hati hati, warna kadi sekar tunjung lawa 31, liniput dening agni, ring jeroning  Candra  sukla  warna  kadi wintang,  ring   jeroning  sukla
hana pranawayu, ring jeroning prana pranalingga nga, ring luhur ing hati, mahlet rwawlas angguli dohnya nga, warna kadi sekar tunjung sweta lawa 10, ring jeroning sekar tunjung hana kadi winten, mwah ring luhur ing kantha, mahlet rwawlas angguli nga, jihwagra, kadi tunjung kucup mancawarna, ring jeroning tunjung kucup hana bindusara manic, ring jero bindusara manic hana suddha-sphatika, ring jeroning suddha-sphatika hana sunya nirwana, mangkana lwir ning pancawarna nga.
Terjemahan:
7. Ganapati berkata, “Sudah tertangkap segala wejangan Bhatara mengenai hal alam semesta beserta manusia itu, kini beritahukanlah lagi putra paduka Bhatara prihal statusnya Daiwatma itu dalam hubungan badan jasmani dan keadaannya di Dunia!”
8. Iswara bersabda, “Duhai putraku Sang Ganapati, kini perhatikanlah penjelasanku padamu, dalam hal status/keadaannya Daiwatma pada tubuh jasmani; sebab tunggal juga adanya manusia itu dengan alam semesta. Bagaimana sih halnya, yakni: adapun pada alam semesta Brahma berstatus di selatan, memelihara tanah/bumi; Wisnu berstatus di utara memelihara zat cair/air; Rudra berstatus di barat, mengendalikan matahari, bulan dan bintang; Daku (Iswara) berstatus di timur mengatur udara/angin; Sang Hyang Sadasiwa berstatus di tengah, memelihara ether/atmosphere. Dan kalau dalam tubuh manusia, Brahma berstatus di muladhara, menghidupkan indra/jasmaniah, berhubungan dengan hidung, memerlukan bau; Wisnu berstatus di pusat/nawe, memelihara badan jasmani, berhubungan dengan lidah, memerlukan unsur kepuasan (rasa); Rudra berstatus di hati, mengatur kesadaran/tekad, berhubungan dengan pandangan mata, menentukan pikiran; Daku (Iswara) berstatus di kerongkongan/throat, mengendalikan ketiduran, berhubungan pada mulut, mengatur nada-suara; Sang Hyang Sadasiwa berstatus di ujung lidah, mengetahui segala pengetahuan, berhubungan dengan telinga, meneliti keadaan suara. Demikianlah statusnya Daiwatma itu masing-masing dalam tubuh jasmani dan pada alam semesta.
9.  Ganapati berkata, “Sembahnya hamba putra paduka, kini ada lagi hendaknya beritahukan pada hamba tuanku, mengenai koneksi daripada yang disebut muladhara, beserta pusar/nawe, hati kerongkongan dan ujung lidah itu, supaya dapat mengetahuinya putra paduka Bhatara”.
10. Iswara bersabda, “Putraku Sang Ganapati, kini perhatikanlah dengan baik-baik pemberitahuanku mengenai filsafat dari yang dimaksudkan  muladhara itu,  tempatnya diantara lubang  dubur dan alat kelamin berwarna sebagai aruna (kemerah-merahan) segiempat berpadu sudut, di dalamnya terdapat bunga seroja/teratai berdaun helai 8, di dalam bunga seroja itu berada mutiara yang berwarna sebagai tatit, di dalam mutiara seperti tatit itu ada OMkara, sumbernya tenaga (wayu/udara/prana), menerus sampai ke atas pada Siwadwara, dari Siwadwara menerus sampai pada hidung, dari hidung menerus hingga pada ujung lidah, memenuhi ketujuh macam lubang persimpangannya terletak pada kerongkongan, dari kerongkongan terpisahlah hingga di hati, memenuhi seluruh badan jasmani, demikianlah yang dimaksudkan muladhara. Diatasnya muladhara disebut pusar/nabi, berjarak dua belas jari jauhnya berupa sebagai bunga seroja dengan 10 daun kelopak, ditengahnya kembang teratai itu berada bagaikan matahari yang baru terbit, ditengahnya matahari yang baru terbit itu disebut amerta, yaitu penggantunggannya usus dan dubur. Disebelah atasnya pusar nabi itu berjarak delapan jari jauhnya adalah hati, berbentuk seperti bunga teratai/lotus dengan kelopak 31 helai, terselubung oleh api, di dalamnya api itu ada sinar/matahari, ditengahnya sinar/matahari itu ada bulan, ditengahnya bulan itu warna bening bagaikan bintang, di dalam warna bening itu terdapat energi hidup, ditengah energi hidup itu ada energi forma-hidup namanya. Di atasnya hati itu sejauh dua belas jari jaraknya disebut kerongkongan, berupa bagaikan bunga seroja putih dengan 10 helai kelopak di dalamnya kembang teratai putih itu terdapat bagaikan intan rupanya. Dan di sebelah atas kerongkongan itu, berjarak dua belas jari disebut ujung lidah, berbentuk bagaikan seroja kuncup lima warna, di tengahnya teratai kuncup itu ada bintik sari permata, di dalamnya bintik permata sari itu terdapat mutiara suci, di tengahnya mutiara suci itu berada sorga niskala, demikianlah yang dimaksudkan jenisnya lima warna itu.
Dari uraian terjemahan sloka di atas maka status Daiwatma itu dalam hubungan badan jasmani dan keadaannya di Dunia serta tunggal adanya. Dalam koneksi penyatuannya ada OMkara, sumbernya tenaga (wayu/udara/prana), menerus sampai ke atas pada Siwadwara sampai meneruskan seluruh jasmani. Dalam jasmani terdapat energi hidup dan energi formal hidup. Disini dijelaskan status atma itu sendiri yang menghidupi seluruh organ jasmani manusia yang akan dapat mempengaruhi peningkatan manifestasi atma/jiwa dalam penyatuannya dengan Tuhan melalui wayu udara prana. Sebelum melakukan pranayama dianjurkan untuk mengetahui segala lubang-lubang dalam organ tubuh serta bagian-bagiannya karena sistem pelaksanaan pranayama yaitu menutup segala lubang terlebih dahulu, kemudian konsentrasi dan bila terasa tenang semua udara dikeluarkan melalui lubang hidung.
2. Yoga sebagai salah satu jalan menyatunya atma dengan Sang Hyang Atma menurut  Jnana Tattwa.
Jnana Tatwa juga merupakan salah satu tatwa yang bersumber dari Weda dan merupakan salah satu kerangka agama Hindu yang berisi ilmu pengetahuan yang hakiki yang merangkum bagi seseorang yang ingin bebas dari kesengsaraan penjelmaan atau punarbhawa (reinkarnasi/kelahiran yang berulang). Kata Jnana memiliki arti mengetahui, ingat, ingat akan kesadaran yang tidak berubah. Jnana Tattwa disusun dalam bahasa Sansekerta dalam 74 bait. Penulis hanya akan menuangkan bait ke-63 yang mengandung kaitan dengan pengaturan dan pengendalian diri itu sendiri, yaitu sebagai berikut:
Muwah hana ta pratyaharayoga ngaranya, ikang indriya kabeh wateken sakeng wisayanya, kinempeling citta buddhi manah, tan winah maparan-paran kinempeling cittalila, yeka pratyaharayoga ngaranya. Ikang jnana tanpa porwa, tanpa wikara, enak ikang hnang-hningnya, umideng tan kaparanan, yeka dhyanayoga ngaranya. Tutup ikang dwara kabeh, irung, tutuk, talinga, wayu rumuhun isepen, wetren ikang; wuwunan, kunang tanpa bhyasa ikang wayu winehadalan ngkana, dadi adalanengirung, halon wtuning wayu, yeka pranayama yoga ngaranya. Hana Ongkara sabda mungguh ring hati, yateka dharanan, ya panghilang ikang karengo, ri kala ning yoga, yateka sunya ngaranya, siwatmawak bhatawa siwa yan mangkana. Yatika dharana yoga ngaranya ndakasa rakwa sanghyang paramartha, ndan pahenanira sakengakasa, tan hana sabda ri sira, ya ta kalinganing paramartha, palenanira sakeng-awang-awang, padha nirekang-alilang, yeka tarkayoga ngaranya. Ikang jnana tan pangupeksa, tan pangalupa, Tanana kaharep nira, Tanana sinadhya nira mahilang, tan kahilangan, tan kaparanan, tanpawastu ikang cetana, apan mari humidep ikang sarira, luput sakeng catur kalpana, kinawruhan, mangwruhi, mangde wruh, ikang catur kalpana ngaranya, ika ta kabeh, yan hana ri sang yogiswara, yapwanenak palungguh nikang citta hning, yeka sinangguh mulih ringambek ngaranya yeka purusa ning cetanapinratistha, lingungguhaken ingambek, ngaranika yan mangkana, kaping ro ning tutur pinahayu, kumwa pwa lingnya, ikangambek ya ta waluyakna pramana, umana dening umaluyakna kangambek pramana, nihan ikang citta buddhi manah, juga wetwaken wehan makawakang tutur prakasa, sphangikopama, kadi manik sphatika, yapwan enak tiksnanya, yeka sinangguh sphangikajnana ngaranya, yapwan enak prakasa dilah sanghyang sphangikajnana gesenganira ikang sarwatattwa, lawan subhasubha karma,  apa  dening  gumsengan  subhasubha karma, mwang sarwa  tattwa, nihan pih sanghyang sphangikajnana juga lungguhakna ring brahmasthana, yapwan enak-andel nira ngkana, gseng bhasmibhuta kahidepan ikang sarwwa tattwa mwang subhasubhakarma, yatika sinangguh mamuja, mahoma ring kundajati, ngaranya, umentyaken ikang sarwa klesa kabeh, yeka sinangguh dharanayoga ngaranya.
Terjemahan:
Dan ada pratyaharayoga namanya. Semua indria tarik dari obyek kenikmatannya, kumpulkan dalam citta, buddhi dan manah. Janganlah biarkan ia pergi kesana-kemari, pusatkan ia pada pikiran yang tak terganggu apapun. Yang demikian itulah Pratyaharayoga namanya. Bathin yang tidak mendua, tidak berubah-ubah, jernih, dengan enaknya, tetap teguh tanpa ditutupi apa-apa, yang demikian itulah dhyanayoga namanya. Tutuplah semua pintu yaitu hidung, mulut dan telinga. Tariklah terlebih dahulu nafas, keluarkan melalui ubun-ubun. Bila belum biasa nafas dibiarkan berlalu disitu, boleh melalui hidung. Keluarkan nafas itu pelan-pelan. Yang demikian itulah Pranayama yoga namanya. Ada Omkara sabda bertempat dalam hati. Hendaknya itu pegang kuat-kuat. Itulah yang menghilangkan apa yang didengar pada waktu melaksanakan yoga, itulah Sunya. Dalam Keadaan demikian Bhatara Siwa berwujud siwatma. Yang demikian itulah dharana yoga namanya. Sanghyang Paramartha (hakekat yang tertinggi) adalah konon angkasa, bedanya dengan angkasa ialah tidak ada suara padanya. Demikianlah hakekat paramartha itu, bedanya dengan awang-awang. Persamaannya ialah sama-sama jernih. Yang demikian itulah tarkayoga namanya. Bathin yang tidak mengenal, tidak lupa, tidak mengharap apa-apa, tidak ada sesuatu yang ingin dicapai, jernih tanpa ada yang hilang, tidak ditutupi apa-apa, maka sanghyang tanpa kesulitan, karena ia tidak lagi memikirkan badan jasmaninya, bebas dari catur kalpana, dikenal, mengenal dan membuat kenal. Catur kalpana itu tidak terdapat pada sang yogiswara, maka dengan mudahlah kehadiran pikiran yang jernih. Itulah yang disebut dengan kembali ke dalam pikiran. Itulah awal cetana dihadirkan. Bila sudah demikian pikiran sudah ditempatkan namanya. Kedua, kesadaran itu supaya dijaga baik-baik. Lalu katanya: “Ambek (pikiran) kembalikan ke dalam pramana”. “Bagaimanakah caranya mengembalikan ambek ke dalam pramana?”.
Demikian citta, buddhi, manah supaya ditarik, biarkan ia berwujud kesadaran yang terang, bagaikan sphatika (permata putih), seperti permata sphatika. Bila tajamnya sudah tidak terganggu lagi, maka yang demikian disebut sphatikajnana namanya. Bila cahaya sphatikajnana bersinar tanpa gangguan apa-apa, maka akan dibakarnya sarwa tattwa (semua unsur), subhasubhakarma (perbuatan baik dan buruk). Apa yang dipakai membakar subhakarma dan sarwatattwa? Demikian. Sphatikajnana tempatkan dalam brahmasthana. Bila sudah bagus tempatnya, maka bayangkanlah bahwa sarwatattwa dan subhasubhakarma telah hangus terbakar menjadi abu. Itulah yang disebut memuja, berhoma dalam kundajati (tungku sejati) namanya, yang menghilangkan segala klesa (cemar). Yang demikian itulah dharanayoga namanya.
E. Etika dan Konsep Kesempurnaan
      Yoga berarti penghentian goncangan-goncangan pikiran. Ada lima keadaan yang ditentukan oleh intensitas sattwam, rajas, dan tamas. Kelima keadaan pikiran itu ialah:
1.      Mudha artinya tidak diam-diam.
Dalam keadaan ini pikiran itu diumbangbingkan oleh rajas, dan tamas serta ditarik-tarik oleh objek indria dan sarananya. Pikiran melompat-lotmpat dari satu objek ke objek yang lain tampa mengacu kepada satu objek
2.      Mudaha artinya lamban atau malas.
Ini disebabkan oleh pengaruh tamas yang menguasai alasan pikiran. Akibatnya orang yang alam pikirannya dimikian cendrung menjadi bodoh, senang tidur dan sebagainya.
3.      Wiksipta artinya bingung atau kacau.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh rajas. Karena pengaruh ini pikiran mampu mewujudkan semua objek dan mengarahkan pada kebijakan, pengetahuan dan sebagainya. Ini merupakan tahap pemusatan pikiran pada suatu objek namun sifatnya sementara sebab akan disusul lagi oleh kekuatan pikiran.
4.      Ekagra artinya terpusat.
Di sinilah citta terhapus dari cemasnya rajas sehingga satwamlah yang menguasai pikiran. Ini merupakan awal pemusatan pikiran pada sauatu objek yang menginginkan ia mengetahui alam nya yang sejati sebagai persiapan untuk menghentikan perubahan-perubahan pikiran.
5.      Nirudha artinya terkendalih semua pikiran, hanya ketenanganlah yang ada.
Ekagra dan nirudha merupakan Persiapan dan bantuan untuk mencapai tujuan. Lahir yaitu kelepasan. Ekagra bila dapat berlangsung terus-menerus disebut samprajanata yoga atau meditasi yang dalam, yang padanya ada perenungan kesadaran akan sesuatu objek yang terang. Tingkatan nirudha juga disebut asamprajnata yoga, karena semua perubahan dan goncangan pikiran berhenti, tiada satu pun diketahui lagi oleh pikiran, dalam keadaan demikian tak ada riak-riak gelombang kecil sekalipun pada permukaan alam pikiran atau citta itu. Inilah yang dinamakan orang Samadhi dalam ajran yoga.
            Ada empat macam samprajnata dalam ajaran Yoga menurut jenis objek renungannya. Keempat jenis samprajnata itu ialah:
1.      Sawitarka ialah bila pikiran itu dipusatkan pada suatu objek yang benda kasar seperti arca dewa atau dewi.
2.      Sawicara ialah pikiran itu dipusatkan pada suatu objek yang halus yang tidak nyata seperti tanmatra.
3.      Sananda ialah bila pikiran itu dipusatkanpada suatu objek yang halus seperti rasa indria.
4.      Sasmita ialah bila pikiran itu dipusatkan pada asmita yaitu anasir rasa aku yang biasanya Roh menyamakan dirinya dengan anasir ini.
Dengan tahap-tahap pemusatan pikiran seperti yang disebut di atas maka ia akan mengalami bermacam-macam alam objek dengan atau tanpa jasmani dan meninggalkannya satu persatu hingga akhirnya citta meninggalkannya sama sekali dan seorang mencapai tingkat asamprajnata dalam Yoganya. Untuk mencapai tingkat ini orang harus melaksanakan praktek. Yoga dengan cermat dari dalam waktu yang lama melalui tahap-tahap yang disebut astangga yoga.
Ajaran Yoga mengatakan bahwa kelepasan itu dapat dicapai melalui pandangan spiritual pada kebenaran Roh sebagai suatu daya hidup yang kekal yang berbeda dengan badan dan pikiran. Pandangan spiritual seperti tersebut di atas ini hanya dapat dimiliki bila pikiran itu bersih, tenang tak digoyahkan oleh suatu apapun juga. Untuk meningkatkan kebersihan pikiran itu Yoga mengajarkan adanya delapan jalan yang bertahap-tahap yang disebut astangga yoga.
Astangga Yoga adalah delapan tahapan Yoga, yaitu:
1. Yama.
Yang artinya pengendalian diri yang terdiri dari lima perintah
a.       Ahimsa artinya tidak membunuh-bunuh, tidak menyakiti makhluk hidup. Tidak melakukan kekerasan, tidak melukai makhluk lain maupun dalam pikiran, perkataan dan perbuatan termasuk dalam ahimsa.
b.      Satya artinya kebenaran dalam berkata-kata, perbuatan manapun dalam pikiran. Seorang Yogin, pelajar kebenaran, mendapat kepuasan dari apapun yang dipikirkan, dibicarakan dan dilakukan olehnya. Dengan demikian maka semua tindakannya dikoordinasikan sepenuhnya dengan akibatnya.
c.       Asteya artinya pantang mengingini sesuatu yang bukan milikinya sendiri atau pantang mencuri. Pantang ini haruslah berlaku dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Seseorang yogin tidak akan merasa sulit untuk memperoleh apa pun yang dikehendaki olehnya, tidak ada kekurangan baginya, seolah-olah emas dan intan menjadi milikinya.
d.      Brahmacarya artinya pantang kenikmatan seksual  atau mengendalikan nafsu asmara.
e.       Aparigraha artinya tidak menerima pemberian yang tidak penting dari orang lain. Seorang Yogin tidak menghendaki hidup yang berlebihan, melainkan hidup yang sedang sesuai dengan apa yang diperlukan. Disamping itu mereka hendaknya memahami makna kehidupan dan kematian dalam Dunia ini.
Kelima Yama sebagai yang disebut di atas merupakan suatu keharuskan bagi seorang yogin atau pelajar Yoga. Patanjali sendiri menyebut kelima yama dengan nama mahavrata atau janji-janji besar, kaul-kaul yang mengikat. Tidak diperkenankan untuk melanggarnya, karena akan mengakibatkan kegagalan dalam Yoga.
            Patanjali mengatakan bahwa kelima yama itu wajib dilakukan dan dipertahankan dalam tiap keadaan. Karena yama merupakan kode kelakuan yang universal (Sarvabhauma mahavrata). Kelima perintah agung ini hendaknya diterima secara universal dan tidak memerlukan penafsiran. Mereka merupakan kode alamiah untuk makhluk manusia.

2. Niyama.
Niyama artinya pengendalian diri lebih lanjut, ia terdiri dari:
a.       Sauca artinya suci lahir batin. Seorang siswa Yoga sangat dianjurkan melakukan sauca untuk meningkatkan kesucian dirinya. Mereka hendaknya memiliki pikiran, indria-indria yang bebas dari nafsu yang bertentangan dengan kesucian. Sauca juga menganjurkan kebijakan yang berikut: Sattwasuddhi yaitu kesucian pikiran untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Saumanasya yaitu hati yang selalu gembira. Ekagrata yaitu pemusatan budhi. Atmadarsana yaitu realisasi diri. Kelima kebijakan itu akan dapat dicapai oleh seoarang yogin dengan melaksanakan sauca atau kesucian dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
b.      Santosa artinya puas dengan apa yang datang dengan wajar. Kebijakan ini mengantarkan pada kesenangan yang tak terkatakan. Sebaliknya ketidak puasan mengakibatkan kegoncangan mental, sehingga apa yang telah tercapai, dimiliki atau diwujudkan, kehilangan daya penarikannya dan kegoncangannya yang diakibatkan itu menimbulkan rantai kesakitan. Kepuasan timbul dari kebiasaan untuk mensyukuri segala yang didapat atau yang datang secara wajar. Seorang yogin adalah seorang ateis yang mengnal batas-batas dan tidak pernah menganggap diri tinggi, sehingga dengan demikian ia tidak pernah kecewa. Seorang yogin adalah aktifitas yang dipribadikan karena itu tidak menjadikan non aktif, bahkan membantunya dalam melakukan usaha-usaha yang baru. Kepuasan yang ada dalam dirinya merupakan kesenangan yang transenden.
c.       Tapa artinya tahan uji tergadap ganguan-gangguan. Tapa menghasilkan kepuasan semua kebutuhan badan dan alat-alatnya melalui pantangan badan  menjadi lebih kuat dan bebas dari noda-noda gangguan yang bertentangan dengan dharma.
d.      Swadhyaya artinya seseorang memplajari buku-buku agama dengan teratur.
Melalui swadyaya seseorang akan dapat mendekatkan dirinya kepada hal-hal yang bersifat ketuhanan dan pula dapat memuaskan dirinya dalam hidup ini. Seseorang akan memperoleh sesuatu dari apa yang dipelajarinya. Direnungkan dan dari siapa yang dipuja olehnya. Hal ini dikenal sebagai istadewata-suprayogah yaitu persatuan dengan apa yang dicita-citakan.
e.       Iswarapranidhana artinya memusatkan pikiran dan bhakti kepada Tuhan. Iswarapranidhana dapat mengantar seseorang untuk mencapai Samadhi yaitu supra-sadar-transenden
3. Asana
Asana aratinya sikap duduk yang dituntun menjadi sikap yang kuat dan menyenangkan. Ada bermacam-macam asana seperti padmasana, silaasana, wajarasana dan sebagainya. Untuk dapat melaksanakan semuanya ini dengan baik perlu tuntunan seseorang guru. Kesehatan dan kesegaran badan  sangatlah penting dalam mengendalikan pikiran. Dalam hubungan ini yoga mengajarkan bermacam-macam asana untuk memelihara kesehatan dan menyucikan badan serta pikiran. Demikian pula asana ini menyebabakan orang mampu mengendalikan kerja sistem syaraf terhindar dari goncangan-goncangan pikiran. Sikap asana dalam ajaran yoga berjumlah delapan yang perinciannya sebagai berikut; (1) rwnagan asana (sikap berdiri di atas bahu), (2) Hala-asana (sikap bajak), (3) bhujangga asana (sikap kobra). (4) Dhanuh-asana (sikap bujur). (5) Salabhu-asana (sikap belalang). (6) Pascimotatana-asana (sikap melurus kemuka). (7) Padahasta-asana (berdiri membungkuk ke muka). (8) arada-matsyendrana (sikap berputar). (9) Wajra-asana (sikap busur tabah) (10) sputa wajra asana (sikap punggul). (11) runuh wajara asana (sikap bujur tabah). (12) mayura-asana (sikap merak). (13) padma asana (sikap) (14) matsya-asana (sikap ikan). (15) badha padma asana (sikap teratai guru). (16) kukkuta-asana (sikap ayam jantan). (17) uttanan-kumaka-asana (sikap penyu) (18) Sirsa asana (sikap badan terbalik).
       Semua sikap asana sebagai yang tersebut di atas akan membantu seorang dalam usahanya untuk maju dalam bidang yoga. Tetapi tidaklah mesti dilakukan semuanya, melainkan dapat dipilih sesuai dengan kesenangan dan kemampuan seseorang.
       Patanjali tidak mengutamakan sikap-sikap asana tertentu. Ia berpendapat bahwa sikap manapun untuk menguasai budhi, yang tidak terlalu memaksa anggota yang dapat dipertahankan cukup lama oleh seorang yogin adalah baik baginya. Dengan bertolak dari kondisi ini seorang yogin haruslah menentukan sikap asana yang cocok baginya. Bila seorang   yang mulai berlatih merasa kesulitan maka janganlah ia bersusah hati tentang hal itu, ia dapat menemukan sendiri sikap-sikap asana yang mana dapat membantu untuk maju dalam latihannya. Hendaknyalah seorang menganggap bahwa tiap asana sebagai sukha asana yaitu asana yang menyenangkan.

4. Pranayama
       Pranayama artinya pengaturan nafas. Pranayama ini terdiri dari puraka yaitu pemasukan nafas, kumbhaka yaitu menahan nafas dan recaka yaitu menggeluarkan nafas. Pengaturan nafas berguna untuk mengawasi pemusatan pikiran sebab ia membantu menguatkan pikiran dan mengukuhkan pikiran.

5. Pratyahara
       Pratyahara artinya menarik indria dari wilayah sasarannya dan menempatkannya di bawah pengawasan pikiran. Bila indria dapat diawasi oleh pikiran maka ia tidak akan kepikiran. Hal ini bukanlah mudah, ia dapat dicapai melalui latihan yang lama dengan penuh kesabaran. Alat-alat indria ini cenderung untuk mengejar nafsunya, mata mengejar keindahan warna dan bentuk, telinga mengejar bunyi dan nada, lidah menikmati rasa lezat, hidung mencari bau yang harum yang semerbak, peraba ingin memegang dan memeluk apa yang halus. Tiap alat indria memiliki tugasnya maing-masing. Tiap alat indria memiliki tugasnya masing-masing, tetapi semuanya merindukan kenikmatan yang khas.
       Seorang yogin yang membebaskan diri dari pengaruh indrianya, bila ia melihat dan mendengar sesuatu maka ia tidak akan terikat oleh semua itu. Yang harus ia hindarkan ialah nafsunya, bukan pengelihatan atau pendengaran bahkan bukan kemampuan menafsirkan apa yang dilihat atau di dengarnya itu. Dengan demikian syarat pratyahara yang pertama ialah untuk melepaskan alat-alat indria dari nafsunya masing-masing. Syrat pratyahara yang kedua menurut patanjali, adalah upaya alat-alat indria itu dalam hubungannya dengan nafsu-nafsu, disejajarkkan dengan aktivitas citta dalam bentuknya yang asli (swarupa) melainkan citta yang bebas dari kegoncangan, itulah citta dalam bentuknya yang murni.
       Pratyahara dalam hubungannya dengan yoga, selalu ditunjukkan kepada Tuhan dan dibimbing oleh Tuhan. Tujuan seorang yogin yang melatih pratyahara adalah untuk melepaskan alat-alat indrianya dari hasrat duniawi, agar ditujukan kepada Tuhan. Dengan demikian hendaklah alat-alat indria itu dikuasai oleh budhi dan akhirnya budhi itulah yang mesti dikuasai dan diarahkan. Dayananda mengatakan “bilamana tercapai penguasaan budhi, dan budhi tidak berlari mengejar objek-objek, melainkan hanya mencari Tuhan dan renungan beliau, maka terciptalah pratyahara alat-alat indria dengan sendirinya”. Penundukan alat indrianya terletak pada pendudukan budhi.
       Penguasaan budhi bukanlah suatu hal yang mudah, hal ini lebih jauh dikemukakan oleh Vivekananda bahwa budhi manusia itu dibandingkan dengan kera. Yang ia maksudkan adalah seekor kera yang tidak dapat diam seperti kera biasa. Kemudian seseorang itu membuat kera itu mabuk dengan anggur dan akhirnya kera itu disengat oleh kalajengking. Kini byangkanlah seekor kera yang mabuk dengan anggur dan disengat kalajengking. Budhi manusia itu menyerupai itu. Budhi manusia itu mabuk karena anggur, hasrat-hasrat yang bermacam-macam dan tambahan lagi budhi itu disengat kalajengking, berupa kedengkian dan kebencian, kemudian setan kesombongan juga sudah memasuki budhi itu. Sebaiknya anda harus mengontrol budhi yang semacam itu. Dan perlu diingat bahwa anda tidak dapat mencapai dhyana dan samadhi, bila budhi tidak dikuasai.

6. Dharana
       Dharana adalah memegang dan memusatkan pikiran pada sasaran yang diinginkan. Sasaran yang diinginkan itu boleh bagian-bagian tubuh sendiri seperti dahi, boleh juga objek luar seperti bulan, arca dan sebagainya. Kemampuan untuk memegang pikiran tetap terpusat pada suatu objek adalah ujian memasuki tingkatan yoga yang lebih tinggi.

7. Dhyana atau Kontemplasi
       Dhyana berarti alirran pikiran yang tenang pada objek tak tergoyahkan oleh gangguan sekelilingnya. Hal ini menyebabkan orang memiliki gambaran yang jelas tentang bagian- bagian objek renungannya. Patanjali dalam Yogasutra III.2 mengartikan dhyana sebagai berikut: Tatra pradyaya ekatanata dhyanam” artinya arus budhi yang tak terputus-putusnya menuju pratyahara atau tujuan, itulah renungan atau dhyana. Seperti sungai mengalir terus kelaut, maka segenp kesadaran diri mulai mengalir terus menerus ke arah tuhan atau diri agung. Bila hal ini terjadi,maka itullah dhyana. Jadi wujudnya sebagai pelenyapan segenap usaha diri rendah menuju tercapainya Tuhan. Jiwa melalui dhyana telah tiba di pintu gerbang persemayamannya.

8. Samadhi
       Tahap terakhir dari astangga yoga adalah samadhi. Samadhi juga disebut keadaan supra sadar transenden. Dalam samadhi pikiran telah lebur menyatu dengan objek renungan dan tidak ada kesadaran akan dirinya sendiri. Dalam dhyana antara gerak pikiran dengan objek renungan masih terpisah. Namun dalam samadhi hal itu sudah tidak ad lagi. Maka yang ada hanyalah objek renungan yang bercahaya dalam pemikiran dan seseorang tidak menyadari lagi adanya proses pikiran. Dengan demikian samadhi bukan lagi pengendalian pikiran seperti tahap-tahap sebelumnya. Tahap-tahap yang mendahuluinya hanya sarana untuk meningkatkan pada tujuan akhir. Dari tingkat yama sampai dengan pratyahara disebut bahirangga sadhana artinya pertolongan dalam bentuk lahir menuju ajaran Yoga yang lebih tinggi, sedangkan dari dharana sampai dengan samadhi disebut antar angga saddhana artinya sarana batin.
Samadhi adalah persatuaan yang sempurna dari yang di cintai, pencinta dan kecintaan. Seorang Yogin yang telah mencapai Samadhi atau supra kesadaran transenden sepenuhnya teresap dalam Tuhan. Dalam Dunia lahir, purusa yang ada dalam badan jasmani mempersamakan dirinya dengan prakerti, walaupun sebenarnya ia berbeda. Sedangkan dalam keadaan supra sadar transendaen, Purusa menyamakan dirinya dengan Brahman. Walaupun dalam ajaran Yoga hal tersebut berbeda. Dalam hal ini Samadhi adalah suatu keadaan penyamaan, bilamana ia bangun dari Samadhi ia berbeda lagi dengan Brahman.
            Dalam Maitri Upanisad VI.34. ada disebutkan tentang keadaan tertinggi yaitu Samadhi yang dicapai oleh seseorang merupakan suatu kebahagiaan yang tak dapat diuraikan, yang dinyatakan demikian:
            Sebagai api, yang kehabisan bahan bakar,
            Terpadamlah dalam sumbernya sendiri.
            Demikiaanlah pikiran yang kehilangan aktivitasnya,
            Terpadamlah dalam sumbernya sendiri.         
            Menjadi terpadam dalam sumbernya sendiri karena budhi mencari yang sejati,
            Bagi seseorang yang terlibat oleh hal-hal indriya,
            Menyusullah kekuasaan yang palsu,
            Dengan noda-noda budhi suci hilang melalui pemusatan,
            Alangkah bahagianya dia yang memasuki Atman,
            Tak mungkin menguraikannya dengan bahasa,
            Orang harus mengalaminya sendiri dalam batin.
            Dalam keadaan Samadhi tercapailah penyelamatan karena wahyu Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam Manduka Upanisad, III.1.3. sebagai berikut;
            Bilamana penglihat melihat yang cemerlang,
            Pencipta, Tuhan, Brahmana, Sumber,
            Maka sebagai pengenal yang baik dan jahat,
            Tanpa noda, ia mencapai identitas utama (samya).
            Samadhi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu:
1)      Samprajanata Samadhi yaitu Samadhi yang disertai Prajna atau kesadaran. Dalam tingkat ini ada Samskara yaitu sifat yang tinggal yang belum dihapuskan seluruhnya. Karena masih mengandung benih Samskara, maka Samadhi yang demikiaan ini dapat pula disebut Sabija Samadhi.
2)      Asamprajnata Samadhi yaitu Samadhi yang tidak disertai Prajna. Samadhi ini lebih tinggi tingkatnya dari yang terdahulu, yang sering pula disebut Nirbija Samadhi, karena masih mengandung benih Samskara






NASTIKA  DARSANA

Nastika Darsana adalah bagian terakhir pembahasan filsafat Darsana. Filsafat Nastika adalah filsafat yang menentang otoritas dan kewenangan Weda. Filsafat ini dipelajari dalam filsafat Darsana bertujuan untuk lebih mengetahui pemikiran-pemikiran yang menetang otoritas Weda. Astika merupakan aliran filsafat yang bersifat ortodoks yang menerima otoritas Weda. Sedangkan Nastika  merupakan aliran filsafat yang bersifat hererodoks yang tidak menerima otoritas atau kewenangan Weda (Maswinara, 1999:6). Yang termasuk dalam kategori Astika adalah Mimamsa, Vedanta, Sankhya, Yoga, Nyaya dan Vaisesika. Sedangkan filsafat yang dalam kategori Nastika adalah Carvaka, Buddha dan Jaina. Sehingga jumlah filsafat India terdiri dari sembilan filsafat, atau dikenal dengan istilah Nava Darsana.
Kelompok aliran heterodoks, tiga yang utama adalah aliran filsafat materialistis seperti Carvaka, Buddha dan Jaina (Maswinara, 1999:6). Materialism adalah nama doktrin metafisika yang menyatakan bahwa benda-benda material adalah satu-satunya kenyataan. Doktrin ini mencoba untuk mengungkapkan bahwa akal pikiran dan kesadaran adalah produk Dunia material. Pada dasarnya pandangan ini materialism ini menyatakan tendensi yang berusaha untuk merendahkan nilai-nilai yang mulia, ke arah yang lebih rendah, atau mengungkapkan gejala yang lebih mulia dengan gejala yang lebih rendah. Dalam hal ini materialism bertentangan dengan interpretasi spiritual alam semesta ini. Inilah arti materialism dalam pandangan Hindu (Pendit, 2005:43).  Lebih jelasnya dipaparkan secara rinci dan singkat berikut ini:

I   Filsafat Carvaka
A. Pemahaman Filsafat Carvaka
               Nama yang diberikan terhadap ajaran yang memandang materi sebagai satu-satunya realitas, adalah materialisme. Ajaran ini mencoba untuk menjelaskan pikiran dan kesadaran sebagai hasil dari materi. Dalam anggapan umum, materialisme menyatakan kecendrungan-kecendrungan yang berusaha untuk menurunkan yang lebih tinggi menuju yang lebih rendah atau menjelaskan fenomena yang lebih tinggi dalam sinar penerangan yang lebih rendah. Dalam hal ini ia bertentangan dengan penafsiran spiritual. Tentang alam semesta.
               Walaupun materialisme dalam beberapa bentuknya selalu dimunculkan di India, dan sekali-sekali referensinya dijumpai dalam kitab Weda, kepustakaan Bhudhiss, kitab-kitab Epos, demikian juga dalam karya-karya filsafat belakangan ini, kita tidak menemukan suatu karya sistematis mengenai materialisme ini atau pun suatu aliran pemikiran para pengikutnya yang terorganisir seperti yang dimilki aliran pemikiran filosofis lainnya. Tetapi, untuk menjaga nama baiknya hampir setiap karya aliran filsafat lain menyatakan pantangan materialistis ini. Pengetahuan materialisme India terutama didasarkan pada hal ini.
 ‘Carvaka’ adalah sebuah kata yang umumnya menyatakan ‘materialistis’. Tetapi makna aslinya terselubungi dalam kerahasiaan. Menurut pandangan seseorang, kata ‘Carvaka’ aslinya merupakan nama seorang bijak yang mengemukakan sistem materialisme ini. Nama umum ‘Carvaka’ diambil dari nama beliau dan yang berarti para pengikut dari orang bijak tersebut, yaitu kaum materialistis..
Menurut pandangan lainnya, kata ‘Carvaka’ aslinya bahkan merupakan suatu nama uraian umum yang diberikan kepada seorang materialistis, apakah karena Ia menganjurkan ajaran tentang ‘makan, minum dan menikah’ (carv-makan), ataupun karena kata-katanya menyenangkan dan manis (caru-manis; vat-kata-kata). Beberapa orang penulis juga mengangap brhaspati sebagai pendiri sistem materialisme ini. Pandangan ini didasarkan pada kenyataan-kenyataan berikut: (a) Bahwa beberapa buah puji-pujian Veda, yang secara tradisi dilukiskan Brhaspati, sebagai putra loka, ditandai oleh semangat revolusi dan kebebasan berpikir, (b) Bahwa dalam kitab Mahabharata dan dimanapun juga, pandangan materialistis dikatakan Bhraspati, (c) Bahwa, kira-kira selusin sutra dan sloka dikutip dan diambil sebagai referensi oleh berbagai penyusun yang berbeda-beda, sebagai ajaran materialistic dari Brhaspati. (Pendit, 2005: 44-45). Bahkan beberapa orang mengatakan bahwa Brhaspati, sebagai gurunya para Dewa, telah menyebar luaskan pandangan materialistis ini diantara para raksasa (sebagai musuh para Dewa) sehingga dengan mengikuti ajaran-ajaran yang menarik hati ini mereka sampai pada kehancurannya.
Tetapi, siapapun pendiri dari siatem materialisme ini, carvaka’ telah menjadi sinonim dari materialistis. Kata yang dipergunakan untuk menyatakan materialisme juga adalah lokayatamata  yaitu pandanyan orang awam sehingga seorang materialistis juga disebut lokayatika. Walaupun gagasan materialistis terpencar-peccar di sana sini, mereka dapat disistimatisir dan disajikan atas dasar tiga pokok utama yaitu epistemology, metafisika dan etika (Maswinara, 1999:26).
               Keseluruhan filsafat Carwaka dapat dikatakan secara logis bergantung pada epistemologinya atau teori pengetahuan masalah pokok dari estimologi adalah seberapa dauh kita mengenal realitas? bagaimana pengetahuan itu muncul dan berkembang? pertanyaan terakhir ini meliputi seluruh permasalahan: apakah sumber dari pengetahuan tersebut? permasalahan–permasalahan ini membentuk salah satu topik utama dari epistemology India. Pengetahuan tentang realitas atau pengenalaan yang sah disebut prama dan sumber pengetahuan semacam itu disebut pramana. Carwaka memandang bahwa hanya persepsi sajalah satu-satunya pramana atau sumber pengetahuan yang dapat dipercaya. Untuk menegakkan posisi ini ia mengkeritik kemungkinan sumber lain dari pengetahuan, seperti:  penyimpulan dan kesaksian yang dianggap sebagai pramana yang sah oleh banyak filosuf (Maswinara, 1999:27).
            Nama yang diberikan terhadap ajaran yang memandang materi sebagai satu-satunya realitas, adalah materialistis. Ajaran ini mencoba untuk menjelaskan pikiran dan kesadaran sebagai hasil dari materi. Pada dasarnya pandangan materialisme ini menyatakan tendensi yang berusaha untuk merendahkan nilai-nilai yang mulia, kearah yang lebih rendah, atau mengungkapkan gejala yang lebih mulia dengan gejala yang lebih rendah. Dalam hal ini materialism bertentangan dengan interpretasi spiritual alam semesta ini inilah arti materialisme (Pendit, 2005:43).
            Para ilmuwan dibidang filsafat beranggapan bahwa istilah Carvaka berasal dari nama seorang guru (Rsi) yang menganjurkan paham ini. Kemudian kata ini diartikan sama dengan orang yang menganut aliran ini, yaitu materialistis, yang mengajarkan doktrin makan, minum dan bersenang-senang (carv = makan). Seperti misalnya ucapan kata-kata manis dan menyenangkan (piva khada ca varalo cane). Dalam hubungan ini, serperti istilah Carvaka, lokayata adalah istilah Sanskerta untuk materialism. Kekayaan dan kenikmatan merupakan tujuan hidup manusia. benda dapat berpikir. Tidak ada Dunia lain, kematian adalah akhir segalanya (Pendit, 2005:44).
             

1. Penyimpulan yang Tidak Pasti
Bila penyimpulan itu dianggap sebagai suatu pramana ia harus menghasilkan pengetahuan yang membuat kita tidak ragu-ragu  dan harus menjadi nyata  bagi realita itu. Tetapi penyimpulan tak dapat memenuhi kondisi ini karena mana kala kita umpamanya menyimpulkan adanya api disebuah gunung dari persepsi adanya asap di sini maka kita akan menerima sesuatu yang dikerjakan tanpa mengetahui bagaimana hasilnya nanti, dari asap yang terlihat terhadap adanya api yang tak terlihat. Ahli ilmu logika seperti kaum naiyayika, mungkin akan menunjukkan bahwa lompatan semacam itu dibenarkan oleh pengetahuan sebelumnya tentang keserentakan yang tetap antara asap dan api, dan bahwa penyimpulan yang dinyatakan sepenuhnya akan menjadi segala permasalahaan tentang asap juga merupakan permasalahan api di mana gunung itu merupakan satu kasus tentang asap, sehingga ia juga merupakan kasus tentang api.
Carwaka menunjukkan bahwa pendirian ini hanya dapat diterima bila mana dalil utama yang menyatakan hubungan yang tetap antara syarat menengah (asap) dan utama (api), benar-benar meyakinkan. Tetapi hubungan yang tetap (vyapti) hanya dapat ditegakkan bila kita memiliki pengetahuan tentang semua kasus tentang asap dan kehadiran api. Bagimana pun juga hal ini tak mungkin, karena kita tidak dapat mengetahui seluruh kasus tentang asap dan api yang sekarang ada pada bagian Dunia yang berbeda-beda, untuk tak mengatakan sesuatu pun tentang hal itu yang ada di masa lalu ataupun yang akan ada nanti, oleh karena itu, ketidak tetapan hubungan universal (vyapti) dapat ditegakkan dengan persepsi. Keduanya tidak dapat dikatakan sebagai dasar pada penyimpulan lain, karena itu akan meliputi suatu ‘patitio principii’ (menimbulkan pertanyaan lain), karena validitas dari penyimpulan itu harus sama-sama dibutuhkan. Atau vyapti  ini tidak dapat didasarkan pada kesaksian (sabda) dari yang dapat dipercaya (yang menyatakan bahwa semua kasus asap adalah  kasus api juga). Karena validitas kesaksian itu sendiri perlu di buktikan dengan penyimpulan. Disamping itu, bila penyimpulan selalu bergantung pada kesaksian, maka tak seorang pun dapat menyimpulkan sesuatu oleh dirinya sendiri.
Tapi hal itu dapat dipertanyakan walaupun tak mungkin untuk mengetahui segala kasus tentang asap dan api secara pribadi, apakah tak mungkin untuk mengetahui watak kelompok tetap (samanya) seperti ‘sifat asap’ dan ‘sifat api’ yang harus hadir secara tetap dalam segala contoh dari asap dan api? Bila demikian, tidak dapatkah kita mengatakan   bahwa setidak-tidaknya kita memahami hubungan antara sifat asap dan sifat api dan dengan bantuannya berkesimpulan akan adanya api dimanapun kita melihat adanya asap.
Kaum Carvaka menjawab bahwa walaupun kita mengakui persepsi dari hubungan antara sifat asap dan sifat api, kita tak dapat mengetahui dari sana hubungan tetap antara semua kasus individual  dari asap dan api. Untuk mampu menyimpulkan api tertentu, kita harus tahu bahwa itu merupakan hubungan yang tak terpisahkan terhadap asap tertentu yang terlihat itu. Dalam kenyataannya kita bahkan tak mungkin untuk mengetahui dengan persepsi ‘sifat asap’ apa atau tingkat karakter universal apa yang ada dalam semua contoh asap tertentu tersebut, karena kita tidak menerima seluruh kasus asap itu. Apa yang dijumpai sebagai kehadiran secara universal dalam memahami kasus asap tersebut mungkin tidak ada dalam kasus yang tak diterima. Kesulitan pemahaman dari yang tertentu menuju yang universal tetap ada di sini seperti sebelumnya.
Tetapi itu dapat dipertanyakan sebagai berikut: bila kita tidak mempercayai pada hukum universal yang ditetapkan yang mendasari fenomena Dunia ini bagaimana mungkin kita menjelaskan keseragaman yang dimiliki obyek-obyek yang dialami itu? Mengapa api selalu dialami sebagai panas dan air sebagai dingin. Kaum Carvaka menjawab hal itu disebabkan oleh sifat bawaan (svabhava) dari benda-benda yang memiliki karakter tertentu. Tak ada pengandaian supranatural yang diperlukan untuk memberikan penjelasan tentang sifat-sifat dari obyek-obyek alam yang dialami. Dan juga tak ada suatu jaminan bahwa keseragaman yang di pahami di masa lalu akan berlanjut di masa depan.
Siswa modern tentang logika penyimpulan akan tergoda untuk menanyai kaum Carvaka “Tidak dapatkah kita mendasarkan pengetahuan kita tentang hubungan tetap antara asap dan api pada hubungan kausal antara mereka?” Kaum Carvaka menjawab bahwa hubungan kausal  hanya terjadi sebagai hubungan tetap dan tak dapat dikukuhkan oleh persepsi kesulitan yang sama.
Kaum Carvaka selanjutnya akan menunjukkan bahwa hubungan tetap kausal atau lainnya tak dapat dikukuhkan semata-mata oleh persepsi berulang-ulang dari dua hal yang terjadi bersama-sama. Karena orang harus yakin bahwa tak ada kondisi yang lain yang tak dipahami (Upadhi) sebagai tempat bergantung hubungan tersebut. Umpamanya, bila seseorang mengetahui beberapa kali adanya api yang disertai asap pada kesempatan lain ia menyimpulkan adanya asap pada api yang dilihatnya, ia akan cenderung pada kesalahan, karena ia gagal untuk memperhatikan suatu kondisi (Upadhi), yaitu basahnya kayu bakar, karena hanya pada kondisi itulah api diselimuti oleh asap. Selama hubungan antara dua fenomena itu tidak terbukti sebagai tak terkondisikan, maka itu merupakan dasar yang tidak pasti bagi suatu penyimpulan.
Dan tak terkondisikan atau absennya kondisi itu tak dapat dikukuhkan mengatasi keragu-raguan dengan persepsi, seperti beberapa kondisi yang mungkin selalu tersembunyi dan terlepas dari perhatian. Penyimpulan atau penyaksian tak dapat dipergunakan untuk membuktikan yang tak terkondisikan ini tanpa menimbulkan pertanyaan karena keabsenannya juga akan dipertanyakan di sini.
Benar bahwa dalam kehidupan ini kita sangat sering berbuat tanpa kecurigaan sama sekali terhadap penyimpulan. Tetapi hal itu hanya menunjukkan bahwa kita bertindak tidak kritis pada kepercayaan salah yang kita simpulkan sebagai benar. Itu merupakan suatu kenyataan bahwa kadang-kadang penyimpulan kita benar dan menghantar pada keberhasilan. Tetapi juga merupakan suatu kenyataan bahwa kadang-kadang penyimpulan itu membawa kita pada kekeliruan. Kebenaran kemudian bukanlah suatu karakter yang tiada habis-habisnya dari segala penyimpulan tetapi hanya merupakan suatu kecelakaan dan suatu penyimpulan yang dapat dipisahkan, yang hanya kita jumpai dalam beberapa penyimpulan. Oleh Karen itu, penyimpulan tak dapat dianggap sebagai suatu pramana/suatu sumber pengenalan pasti yang sah (Maswinara, 1999:27-30).

2.  Penyaksian Bukanlah Sumber Pengetahuan Yang Aman
Tidak  dapatlah kita menganggap penyaksian dari orang yang berwenang sebagai sumber dari pengetahuan yang sah dan aman? Tidakkah kita seringkali berbuat atas dasar pengetahuan yang diterima dari suatu otoritas? Kaum Carvaka menjawab bahwa kesaksian terdiri dari kata-kata (sabda). Sejauh kata-kata itu didengar melalui telinga kita, maka ia dapat diterima (dipahami). Oleh karena itu, pengetahuan dari kata-kata melalui persepsi masih tetap sah; tetapi seberapa jauh kata-kata ini terlintas atau tidak masuk dalam pemahaman kita dan membantu dalam memberikan pengetahuan tentang obyek-obyek yang tak diketahui itu kepada kita, mereka tidak bebas dari kesalahan-kesalahan ataupun meragukan. Sangat sering kita disesatkan oleh otoritas-otoritas semacam itu. umpamanya otoritas Veda, dipandang sangat berharga oleh banyak orang tetapi dalam kenyataannya Veda merupakan karya beberapa orang pendeta licik yang memperoleh penghidupan mereka dengan cara membohongi orang-orang bodoh dan mereka yang mudah percaya. Dengan harapan janji-janji palsu, Veda membujuk orang-orang untuk melaksanakan upacara-upacara Vedik, di mana manfaatnya yang jelas hanya dinikmati para pendeta yang melayani dan mendapatkan upah dari padanya.
Tetapi bukankah pengetahuan kita akan sangat terbatas dan kehidupan praktis akan tak mungkin dijalani, apabila kita tidak mengindahkan kata-kata dari mereka yang berpengalaman dan tidak bergantung pada nasehat ahlinya? Carvaka menjawab bahwa selama kita bergantung pada suatu otoritas karena kita berpikir bahwa itu dapat dipercaya, pengetahuan yang diperoleh benar-benar di dasarkan pada penyimpulan karena kepercayaan kita muncul oleh proses mental seperti ini, otoritas ini harus diterima karena ia dapat dipercaya dan semua otoritas yang dapat dipercaya harus diterima. Dengan mendasarkannya pada penyimpulan, pengetahuan yang diperoleh dari penyaksian verbal atau otoritas itu sama bahayanya dengan penyimpulan. Dan seperti juga halnya dalam penyimpulan, di sini kita sering bertindak berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari otoritas pada kepercayaan yang sah, yang dapat dipercaya tersebut. Kadang-kadang kepercayaan ini secara kebetulan memberikan keberhasilan kadang-kadang tidak. Oleh karena itu otoritas atau penyaksian tak dapat dianggap sebagai sumber pengetahuan yang sah dan aman. Karena baik penyimpulan maupun otoritas dapat dibuktikan sebagai tak dapat dipercaya maka persepsi harus dianggap sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang sah (pramana) (Maswinara, 1999:31).

B.  Metafisika Menurut Carvaka
Metafisika adalah teori tentang realitas. Teori kaum Carvaka tentang realitas mengacu pada kesimpulan Epistemologi di atas. Bila persepsi merupakan satu-satuya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya secara rasional kita hanya dapat menyatakan realitas-realitas dari obyek yang dapat di persepsi saja. Tuhan, roh surga, kehidupan sebelum lahir atau sesudah mati dan hukum-hukum yang dapat dipahami (seperti adrsta) tak dapat dipercaya, karena semuanya itu di luar penalaran. Hanya obyek-obyek materiallah satu-satunya yang ada dan yang dapat dipahami dan yang realitasnya dapat ditentukan. Dengan demikian, kaum  Carvaka memantapkan materialisme atau teori bahwa materi adalah satu-satunya realitas.
Metafisika adalah teori kenyataan. Teori kenyataan Carvaka selanjutnya menyatakan kesimpulan epistemolognya yaitu bahwa persepsi adalah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya dan benda-benda materi yang dapat dipersepsi.  Tuhan, juga jiwa (atman), sorga, dan hidup sebelum kelahiran ini, atau hidup sesudah kematian dan undang-undang manapun tentang benda-benda materi yang tidak dapat dipersepsi, tidak dapat dipercaya, sebab semuanya itu adalah di luar persepsi. Hanya benda-benda materi merupakan objek yang kehadirannya dapat dipersepsi, dan yang kenyataannya dapat dipastikan. Jadi kaum Carvaka mengambil kesimpulan bahwa materialism atau teori tentang benda adalah satu-satunya kenyataan.
            Pada umumnya alam pikiran Hindu menyatakan bahwa Dunia materi ini terdiri dari lima macam unsur asasi (panca mahabhuta), (1) tanah (ksiti), (2) air (apah), (3) api (agni), (4) udara (vayu), (5) ether (akasa). Keempat yang pertama adalah benda-benda materi langsung dikenal pengalaman indria biasa, sedangkan yang terakhir, ether (akasa) adalah hasil pengamatan infrensi. Kaum Carvaka hanya mengakui bukti langsung pengalaman indria, jadi menolak unsur kelima dan terakhir.
            Dengan alasan yang sama, kaum Carvaka menolak adanya jiwa atau atman sebagai satuan hidup. Jiwa hanya ada, berkat rangkaian khusus unsur-unsur tersebut, yang lalu disebut badan jasmani hidup. Kalau hanya persepsi merupakan sumber pengetahuan, bukankah kita tidak mempunyai suatu persepsi yang dinamakan ingsun (internal) yang memberi pengetahuan langsung tentang keadaan mental kita? Dan bukankah kita mempersepsikan dari padanya kesadaran yang tidak dapat dipersepsi dimanapun juga dalam benda-benda materi luar? Kalau demikian, bukankah hal ini memaksa kita untuk menerima dan percaya, bahwa pada diri kita ada substansi yang non material sifatnya, yaitu kesadaran, substansi yang disebut jiwa atau atman?
            Kaum Carvaka mengakui adanya kesadaran yang dibuktikan oleh persepsi, tetapi mereka menolak bahwa kesadaran adalah sifat dari non materi yang tidak dipersepsi atau disebut satuan spiritual. sebab, kesadaran dapat dipersepsi, yang terdiri dari unsur-unsur materi, maka itu, ia adalah merupakan sifat badan tersebut. Kalau kesadaran milik badan jasmani ini, maka ia harus bersifat hakiki atau insidentil. Bila hakiki, maka ia tidak dapat dipisahkan daripadanya dan akan ada selama badan jasmani itu ada. Tetapi tidak demikian kenyataannya. Sebab dalam keadaan pingsan atau tidur tanpa mimpi-mimpi, ternyata badan tidak dengannya (Pendit, 2005: 52-53).
            Bentuk wajah badan jasmani, misalnya, dapat dipersepsi baik oleh kita sendiri maupun orang lain. Tetapi pikiran, perasaan, kenangan dan mimpi adalah sebaliknya, yang merupakan fakta langsung bagi seseorang, tidak dapat diketahui oleh orang lain sebagaimana ia sendiri mengetahuinya. Pengetahuan tentang sakit gigi seorang guru besar ahli filsafat yang menderitanya akan berbeda dengan pengetahuan tentang sakit gigi itu sendiri dari dokter yang merawatnya. Perbedaan yang penting ini mengisyaratkan kepada kita bahwa kesadaran bukanlah milik badan jasmani, atau milik sesuatu, atau kesadaran itu sendiri adalah asas yang merdeka yang hanya menampilkan dirinya dengan alat bantuan badan jasmani ini.
            Kesadaran mutlak terdapat dalam hubungan dengan badan jasmani. Karenanya, itu adalah badan jasmani ini sendiri. Manusia yang makan apa yang ia makan, bukan jiwa-nya. Apa yang dimaksudkan dengan dengan jiwa atau atma adalah tiada lain dari badan jasmani hidup yang sadar ini (caitanya visista deha eca atma). Jiwa yang non material tidak pernah bisa dipersepsi. Sebaliknya kita mempunyai bukti-bukti langsung tentang identitas jiwa dengan badan jasmani ini dalam kehidupan sehari-hari kita, dengan ucapan-ucapan seperti, “Aku gemuk”, “Aku pincang”, Aku buta. Apabila “Aku” dari jiwa ini dikatakan berbeda dengan badan jasmani ini, maka ucapan-ucapan tesebut tidak akan ada artinya.
            Atman adalah badan itu sendiri yang dicirikan oleh atribut dinyatakan dalam ucapan-ucapan “Aku kuat”, “Aku muda”, “Aku tua”, “Aku dewasa”, “Aku sakit”, “Aku lapar” dan sebagainya. Kau tidak melihat dan tidak mempunyai bukti adanya jiwa terpisah dari badan jasmani ini. “Siapakah yang bisa melihat jiwa harir dalam keadaan terpisah dari badan jamani? Bukankah hidup ini akibat dari konfigurasi asasi benda-benda?
            Tetapi kita tidak dapat mempersepsikan kesadaran dalam keempat materi yang manapun. Bagaimanakah ia bisa memenuhi syarat untuk menjadi produknya, yaitu badan jasmani ini? Kaum Carvaka menjawab: sifat-sifat yang asalnya tidak terdapat dalam faktor komponen manapun bisa muncul sebagai akibat apabila faktor-faktor tersebut dikombinasikan bersama. Sebagai contoh: daun sirih, kapur, gambir dan pinang, yang semuanya asalnya tidak merah, menjadi kemerah-merahan setelah dikunyah bersama (Pendit, 2005:54-55).
            Berbagai kecaman yang muncul dari berabagai tokoh filsafat hingga menyebabkan timbulnya debat klasik yang terlalu sering diulang-ulang. Dalam debat tersebut dalam Pendit (2005:56) menyatakan bahwasannya adalah tidak mungkin suatu objek tumbuh berkembang jadi suatu subjek, karena tidak ada objek tanpa adanya suatu subjek terlebih dahulu (pra-eksistensi suatu subjek). Kesadaran tidak bisa merupakan akibat dari kekuatan-kekuatan alamiah. Teori yang menyatakan bahwa tidak ada jiwa terpisah dari badan jasmani ini dikecam atas dasar: (1) ketidak mampuan kita untuk menyatakan kesadaran terlepas dari badan jasmani, tidak berarti bahwa kesadaran itu adalah suatu milik badan jasmani, sebab badan jasmani mungkin hanya suatu bantuan pada realisasai kesadaran. Persepsi nyata tidak mungkin tanpa nyata. Tetapi ini bukan berarti bahwa persepsi adalah nyata atau milik dari padanya. (2) seandainya kesadaran itu milik badan jasmani, maka tidak akan ada kesadaran tentang badan jasmani itu, sebab kesadaran tidak bisa menjadi milik yang menyebabkan orang sadar melainkan hanya sadar itu sendiri. Dengan kata lain, subjek tidak bisa dipersahajakan, disederhanakan, jadi objek atau miliknya. (3) seandainya kesadaran itu milik badan jasmani, maka kesadaran itu harus mampu dipersepsi oleh orang lain bukan pemilik badan jasmani itu, sebab kita tahu milik-milik benda-benda materi dapat dipersepsi oleh orang lain. Tetapi kesadaran seseorang adalah milik pribadinya sendiri, dan tidak bisa diketahui oleh orang lain dengan cara yang sama seperti dirinya. (4) badan jasmanipun yang wataknya suatu alat pengaturan, membutuhkan seseorang untuk mengawasinya. Kesadaran ini adalah termasuk pengawas tersebut.

1.  Dunia Terbentuk Dari Empat Unsur
Dengan menganggap sifat-sifat dari Dunia material, kebanyakan para pemikir India lain berpendapat bahwa ia tersusun atas lima unsur (Panca maha bhuta), yaitu ether (akasa), udara (Vayu), Api (Agni), Air (Apah) dan tanah (Ksiti). Tetapi kaum Carvaka menolak anggapan tersebut, karena unsur  ether keberadaannya tak dapat dirasakan. Mereka mengangap bahwa Dunia material ini hanya tersusun atas empat unsur saja yang semuanya dapat dirasakan. Bukan hanya obyek-obyek material mati saja, tetapi   organisme  hidup  seperti  tumbuh-tumbuhan  dan  badan    binatang, semuanya tersusun dari empat unsur yang dikombinasi sehingga mereka dapat hidup dan yang nantinya terurai kembali ketika mati.

2. Tak Ada Jiva
Dalam hal ini, kemungkinan dapat dipertanyakan bahwa sekalipun persepsi merupakan satu-satunya sumber pengetahuan, tak punyakah kita sejenis persepsi batin yang memberikan pengetahuan langsung dari keberadaan mental kita? Dan apakah kita tidak merasakan dalam kesadaran ini bahwa dimanapun dalam obyek material eksternal ini kita dapat memahaminya? Apabila demikian, bukankah itu akan mendorong kita untuk mempercayai bahwa pada diri kita terdapat beberapa substansi non material yang sifatnya adalah kesadaran, yaitu substansi yang disebut roh atau jiwa (atma).
Kaum Carvaka mengakui bahwa keberadaan kesadaran dapat dipahami, tetapi mereka menolak bahwa kesadaran itu merupakan sifat dari suatu unsur spiritual atau nonmaterial yang tak terpahami. Karena kesadaran itu dapat dipahami keberadaannya dalam tubuh mahluk yang dapat dipersepsi dan yang tersusun atas empat unsur itu, maka seharusnya ia merupakan sifat dari badan itu sendiri. Apa yang dimaksudkan orang dengan roh tersebut tiada lain adalah badan hidup yang sadar ini (Caitanya visista deha eva atma), dan roh non material tak akan pernah dapat dipahami. Sebaliknya kita memilki bukti langsung tentang identitas diri dengan badan dalam pengalaman dan pertimbangan kita sehari-hari seperti, ‘aku gemuk’, ‘aku pincang’, ‘aku buta’ dan sebagainya. Bila sang aku disini sebagai sang diri berbeda dengan badan, maka pernyataan tadi tak berarti sama sekali.
Tetapi, akan timbul sanggahan sebagai berikut: kita tidak merasakan adanya  kesadaran dalam keempat unsur material manapun. Bagai mana mungkin ia kemudian dapat berubah dalam susunannya sebagai badan ? dalam jawabannya kaum Carvaka menunjukkan bahwa sifat-sifat tersebut aslinya tak ada pada setiap komponen, namun akan segera muncul apabila komponen-komponen tersebut menyatu. Umpamanya, daun sirih, kapur dan buag pinang, tak satupun dari padanya asalnya berwarna merah, namun secara bersama-sama mereka akan menghasilkan warna merah jika di tumbuk atau dikunyah menjadi satu. Atau, benda yang sama pun bila ditempatkan dalam kondisi berbeda dapat menimbulkan sifat yang berbeda dengan aslinya. Umpamanya gula tebu yang aslinya manis tak beralkohol akan menjadi beralkohol apabila ia dibiarkan berfermentasi. Dengan cara yang sama kita dapat berfikir bahwa unsur-unsur material yang berkombinasi dengan cara khusus akan menimbulkan badan hidup yang sadar. Dengan demikian kesadaran merupakan hasil sampingan dari materi dan tak ada bukti keberadaannya yang mandiri tehadap badan.
Bila keadaan roh terlepas dari badan tidak terbukti, maka tak mugkin untuk membuktikan kekekalannya. Sebaliknya, kematian dari badan berarti akhir dari pribadi tersebut. Segala pertanyaan tentang kehidupan masa lalu, kehidupan nanti, kelahiran kembali, menikmati buah perbuatan di surga atau neraka, semuanya tiada artinya sama sekali.

3. Tak Ada Tuhan
Tuhan, yang keberadaannya tak dapat dipersepsi, nasibnya tak jauh berbeda dengan keeradaan roh tadi. Unsur-unsur material menghasilkan Dunia ini dan dugaan tentang adanya si pencipta diperlukan sama sekali. Mungkin akan muncul sanggahan berikut: Dapatkah unsur- unsur material itu dapat menimbulkan Dunia indah ini dengan sendirinya? kita menyadari bahwa hasil dari suatu objek seperti periuh tanah, sebagai tambahannya memerlukan tanah liat sebagai penyebeb material, seorang pengerajin grabah yangmembentuk material tersebut menjadi bentuk yang diinginkan, sebagai penyebab efisiensinya. Empat unsur yang dinyatakan di atas hanya menyediakan penyebab material saja pada Dunia ini. Apakah kita tidak memerlukan penyebab efisien semacam Tuhan, sebagai perencana dan membentuk, yang  merubah unsure-unsur material tersebut menjadi Dunia indah ini? Dalam jawabannya, kaum Carvaka menyatakan bahwa unsur-unsur material itu sendiri telah memiliki sifat-sifat yang pasti (svabhava). Bahwa dengan sifat dan hukum membentuk Dunia ini. Tak diperlukan tangan Tuhan di sini. Tak ada apa pun. Mereka dapat dijelaskan lebih rasional sebagai hasil secara  kebetulan dari unsur-unsur tersebut. Jelas di sini bahwa kaum Carvaka lebih condong pada atheisme.
Karena sejauh ini teori Carvaka mencoba untuk menjelaskan Dunia hanya dengan sifatnya saja, maka ia kadang- kadang disebut natularisme (svabhavavada). Ia juga disebut mekanisme (yadrccha-veda), karena menolak keberadaan keperluan sadar dibalik Dunia ini menjelaskan sebagai kombinasi unsur-unsur secara kebetulan atau mekanikal saja. Teori Carvaka secara keseluruhan juga dapat disebut positifisme, karena ia percaya pada kenyataan positif atau fenomena yang dapat di amati saja. (Maswinara, 1999:31-34).

C. Etika Dalam Carvaka
Etika adalah ilmu tentang moralitas yang membahas masalah-masalah seperti: Apakah tujuan tertinggi kehidupan manusia itu dapat dicapai? apakah yang seharusnya menjadi tujuan prilaku manusia? Apakah yang merupakan standar pertimbangan moral itu? kaum Carvaka membahas masalah-masalah etika ini dalam persesuaian dengan teori-teori metafisika mereka.
Beberapa orang filosuf India seperti para pengikut Mimamsa percaya bahwa tujuan tertinggi manusia adalah surga (svrga) yang merupakan keadaan bahagia yang tak terlukiskan, yang dapat dicapai nantinya dengan melaksanakan upacara-upacara Vedik di sini (dalam kehidupan ini) kaum Carvaka menolak pandangan ini, karena hal itu didasarkan pada keberadaan kehidupan setelah mati dan tak dapat dibuktikan. ‘surga’ dan ‘neraka’ merupakan ciptaan para pendeta yang minat profesinya terkandung dalam membujuk, mengancam dan membuat orang-orang mau melaksanakan upacara-upacara. Orang-orang bijaksana akan senantiasa ditolak dan dibohonggi oleh mereka.
Banyak filosuf lain mengangap pembebasan sebagai tujuan tertinggi kehidupan manusia dan jua merupakan penghancuran segala penderitaan. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal itu hanya dapat diperoleh setelah kematian, mana kala roh terlepas dari badan, sedngkan yang lainnya percaya bahwa hai itu dapat dicapai bahkan dalam kehidupan ini juga. Tetapi kaum Carvaka berpendapat bahwa tak satupun dari pandangan ini yang  didasarkan atas nalar. Bila bebas merupakan lepasnya roh dari ikatannya pada keberadaan fisik, maka hal itu tidak masuk akal karena tak ada yang namanya roh itu. Tetapi, pembebasan disini maksudnya adalah pencapaian keadaan yang terbatas dari segala penderitaan, dalam kehidupan ini juga, maka hal itu pun merupakan angan-angan yang tak  mungkin terjadi. Kita hanya dapat mengurangi sekecil mungkin penderitaan dan menikmati kesenangan sebanyak mungkin. Pembebasan dalam arti pembebasan sepenuhnya dari segala penderitaan hanya berarti kematian (maranam eva apavargah brhasvati sutra).
Mereka yang mencoba untuk mencapai keadaan bebas dari kesenangan dan penderitaan dalam kehidupan ini dengan menekankan keinginan alami secara ketat dengan berfikir bahwa segala kesenangan yang muncul dari pemuasannya bercampur dengan penderitaan, telah bertindak seperti orang-orang tolol. Karena, tak seorang  bijaksana pun akan ‘menolak daging buah hanya karena ada kulit kasarnya’ ataupun ‘batal makan ikan hanya karena ada rulangnya’, atau pun ‘batal menanam benih hanya karena ada binatang yang nanti akan merusaknya’, atau pun berhenti memasak makanannya hanya karena kemungkinan para pengemis akan meminta bagiannya’. Bila kita ingat bahwa keberadaan kita sekarang ini ditentukan pada keberadaan badan dan terhadap kehidupan ini kita harus menganggap kesenangan yang muncul pada badan hanya sebagai hal-hal baik yang kita dapat peroleh.
Kita hendaknya jangan melepaskan kesempatan menikmati kehidupan ini juga, dan berharap dengan sia-sia akan menikmati kehidupan nantinya. ‘lebuh baik seekor burung merpati sekarang ini ketimbang burung merak besok paginya’. ‘sekeping uang receh yang pasti ada ditangan lebih baik ketimbang kepingan uang emas yang meragukan perolehannya’. ‘siapakah yang demikian bodoh mempercayakan pengelolaan uangnya di tangan orang lain’ (kama Sutra, bab. 2). karena itu, tujuan kehidupan manusia adalah mencapai kesenangan sebanyak mungkin dalam kehidupan sekarang ini, dengan melenyapkan penderitaan sejauh mungkin. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang penuh kenikmatan. Kegiatan yang baik adalah kegiatan yang membawa pada keseimbangan kesenangan dan kegiatan yang buruk adalah yang memberikan penderitaan yang banyak ketimbang kesenangannya. Oleh karenanya, etika Carvaka ini dapat disebut hedonisme atau teori bahwa kesenangan adalah tujuan tertinggi.
Beberapa orang pemikir India menyatakan tentang empat tujuan kehidupan manusia (purusa artha) yaitu kekayaaan (arta), kenikmatan atau (kama) kebijakan (dharma) dan pembebasan (moksa). Dari keempatnya itu kaum Carvaka menolak dua hal terakhir. Pembebasan dalam pengertian penghancuran segala penderitaan hanya dapat diperoleh dengan kematian dan tak seorang bijaksana pun yang menginginkan bekerja demi untuk tujuan tersebut. Kebajikan dan kekejian adalah perbedaan yang dibuat oleh kitab suci, yang otoritasnya tak dapat diterima secara rasional. Oleh karena itu, baik pembebasan maupun kebajikan bukan tujuan kehidupan kita. Kekayaan dan kenikmatanlah satu-satunya tujuan yang mestinya dapat dicapai orang bijaksana dengan sekuat tenaga. Tetapi kenikmatan merupakan tujuan tertinggi, sedangkan kekayaan sendiri bukan sebagai tujuan tetapi alat untuk mencapai kenikmatan itu.
Disamping menolak otoritas kitab suci, pendapat tentang kebajikan dan kekejian serta pada kehidupan setelah mati, kaum Carvaka tentu saja juga menolak untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan dengan tujuan pencapaian surga atau menghindari dari neraka ataupun menghormati roh-roh leluhur. Mereka menertawakan kebiasaan mengadakan upacara-upacara. Apabila makanan yang dipersembahkan selama melaksanakan upacara kematian (Sraddha) bagi para roh leluhur  dapat meredakan rasa laparnya, apa gunanya si pengembara makan bersamanya? Mengapa orang-orang ini tidak membuat beberapa persembahan atas namanya sendiri di rumah untuk meredakan rasa laparnya? Sama halnya dengan makanan yang dipersembahkan pada lantai bawah akan dapat memuaskan seseorang yang tinggal di lantai atasnya. Bila para pendeta benar-benar percaya, seperti yang mereka katakan, bahwa binatang-binatang yang dibantai pada saat upacara kurban (yadnya) pasti mencapai  surga, mengapa mereka  tidak  membunuh  orang  tua mereka sendiri ketimbang binatang dan memastikannya mencapai surga (Maswinara, 1999: 34-36).
Dengan demikian agama dirubah menjadi moralitas dan moralitas untuk mendapatkan kesenangan. Etika kaum Carvaka hanyalah berdasarkan logika yang berasal dari metafisika materialistisnya saja. Seperti kaum Epicurean dari Yunani, kaum Carvaka di India telah sangat dibenci ketimbang dipahami. Istilah Carvaka dibenak orang-orang secara luas dimaksudkan sebagai celaan. Tetapi bagi para pelajar filsafat sangat berguna untuk selalu ingat, juga apa yang diberikan filsafat India pada kaum Carvaka. Skeptisisme ataupun ketidakperdulian hanyalah pengungkapan dari pikiran bebas yang menolak untuk menerima kebijaksanaan tradisional tanpa suatu kritik menyeluruh. Filsafat sebagai suatu spekulasi kritis menuntut terutama untuk hidup pada pemikiran bebas dan selebihnya ia dapat memuaskan yang tidak perduli, hal-hal yang lebih masuk akal akan dapat terjadi. Dengan mempertanyakan kelogisan dari pendapat yang popular, kaum skeptis akan mempersiapkan masalah-malah baru sehingga dengan pemecahannya filsafat akan bertambah kaya. Kant, sebagai salah seorang filosuf barat terbesar, menyadari keraguan-raguannya tentang skeptisisme ini ketika ia menyatakan: “Skeptisisme Hume telah membangkitkanku dari kelelapan dogmatis”. Dan kita dapat mengatakan bahwa kaum Carvaka juga telah menyelamatkan filsafat India dari dogmatisme menuju tingkatan yang besar. Seperti yang telah dinyatakan bahwa setiap pemikiran India mencoba untuk lebih mengenal sanggahan kaum Carvaka dan membuat Carvaka sebagai batu ujian bagi teori-teorinya. Oleh karena itu, nilai filsafat Carvaka terkandung langsung pada penyediaan masalah-masalah filosofis segar dan secara tidak langsung dalam mendorong para pemikir untuk melepaskan dogmatisme dan menjadi kritis serta berhati-hati dalam berspekulasi, demikian juga dalam mengemukakan pendapatnya. Akhirnya, dapat juga dicatat bahwa kontribusi dari Epistemologi Carvaka bukannya tidak penting. Kekritisan penarikan kesimpulan yang disampaikan kaum Carvaka oleh lawan-lawannya mengingatkan kita tentang kekritisan yang dilontarkan pada zaman modern sekarang ini terhadap kelogisan dari logika deduktif. Pandangan kaum Carvaka bahwa tak ada kesimpulan yang dapat mengahasilkan pengetahuan yang pasti merupakan pandangan banyak pemikir Barat kontemporer seperti kaum pragmatis dan kaum positif logis.
Apa yang telah dibuat kaum Carvaka mendapat nama yang sangat buruk pada orang-orang, kemungkinan adalah etikanya tentang kesenangan. Pengejaran kesenangan itu sendiri bukanlah obyek atau sasaran penolakan mereka; karena kesenangan dalam beberapa bentuknya diakui sebagai suatu hal yang juga diinginkan oleh para filosuf lainnya.
Yang ditolak hanyalah bila sifat kesenangan itu kasar (tidak sopan) dan dimaksudkan hanya untuk dirinya sendiri. Kenyataannya memang beberapa orang pengikut Carvaka mempertahankan kehidupan sensual yang kasar tetapi, kadang-kadang dijumpai perbedaan antara kaum Carvaka yang licik (durta) dan yang berbudaya (susiksita) sehingga kemungkinan mereka tidak semuanya berasal dari jenis yang tak berbudaya tadi. Terdapat bukti-bukti bahwa kaum realistis juga mengabdikan dirinya pada pengejaran akan kesenangan yang lebih baik, umpamanya dalam mengusahakan seni yang indah antara lain dalam bidang seni enam puluh empat (Catur Sasti Kalah), penyusun Kamasutra yang tersohor itu. kaum materialistis tidak semuanya hedonic yang egois. Hedonisme egoistis dalam bentuknya yang kasar tidak rukun dengan disiplin sosial masyarakat kehidupan dalam masyarakat tidak mungkin berlangsung bilamana orang tidak mau mengorbankan sebagian dari kesenangannya bagi orang lain. Kita diberitahu bahwa beberapa orang pengikut Carvaka bahkan menganggap raja sebagai Tuhan. Hal ini menunjukkan keyakinan mereka yang besar pada keperluan akan masyarakat dan pimpinannya. Selanjutnya pendapat ini diperkuat ketika kita mendapatkan bahwa filsafat dan ekonomi politis (dandaniti dan vartta) dalam beberapa tahapannya ikut mewarnai filsafat Lokayatika tersebut. Akan tampak dari kenyataan ini bahwa diantara kaum pengikut sistem materialistis India kuno ada yang berbudaya sepert yang kita jumpai diantara kaum positifisme modern Eropa ataupun pengikut Demokritus Yunani kuno.
Bukti positif terbaik dari hedonisme yang diperbaiki dijumapi pada filsafat etis yang ditampilkan oleh Vatsyayana dalam bab ke-2 dari kitab kamasutra. Disinilah kita menemukan hedonistis agung itu sendiri yang menyatakan dan mempertahankan pandangannya sendiri walaupun Vatsyayana mempercayai Tuhan dan kehidupan setelah mati, sehingga dalam pengertian umum bukan termasuk golongan materialistis, namun pengertian istilah yang lebih luas yaitu, orang yang mencoba untuk menjelaskan fenomena yang lebih tinggi dengan fenomena yang lebih rendah, beliau dapat dianggap sebagai pengikut materialistis. Vatsyayana mengakui tiga tujuan kehidupan manusia yang diinginkan, yaitu dharma, artha, dan kama (kebajikan, kekayaan, dan kenikmatan) yang harus di usahakan secara harmonis ”parasparasya anopagatakam trivargan seveta” Kamasutra 1.2.1 kecendrungan matrealitisnya trerkandung dalam anggaannya bahwa dharma dan artha dilaksanakan hanya sebagai jalan untuk kenikmatan sebagai  tujuan tertinggi. Unsur perbaikan dalam hedonistisnya terkandung dalam penekanannya pada pengendalian diri (brahmacarya) dan disiplin spiritual (dharma), demikian urbanitas (negrikavrtti) di mana tanpa hal ini kenikmatan manusia akan kesenangan akan merosot pada tingkat kenikmatan hewani.
Carvaka menunjukkana bahwa semua kenikmatan fisik (kama) pada akhirnya dapat diturunkan pada grafitasi dari panca indra selanjutnya ia menyatakan bahwa kepuasan indria-indria perlu demi keberadaan badan sarirastiti seperti halnya pemuasan rasa lapar. Tetapi ia juga menegaskan indria-indria harus dididik, di disiplinkan dan di budayakan melalui latihan pada seni enam puluh empat. Pelatihan ini hanya diberikan setelah seseorang mengabdikan awal kehidupannya pada kepercayaaan diri mutlak dan mempelajari Weda dan cabang-cabang pengetahuan tambahannya. Ia menekankan bahwa tanpa budaya kenikmatan manusia akan tak terbedakan dengan kenikmatan hewani. Terhadap kaum hedonis yang tidak sabaran yang tidak mau mengurungkan kenyamannya sekarang dan tidak mau mengusahakan secara keras kenikmatan masa depannya,  Vatsyayana menegaskan bahwa sikap demikian itu merupakan tindakan bunuh diri. Karena, hal ini akan mencegah seseorang bahkan dari usaha keras dan penebaran benih pada harapan akan panen kenikmatan masa depan. Sejalan dengan pengaturan keinginan akan kenikmatan ia menegaskan dengan perumpamaan histories, bahwa keinginan yang banyak sekali yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dharma dan artha akan membawa pada hilangnya kesempatan terhadap segala kenikmatan. Dalam mendukung studi ilmiah tentang kondisi dan cara kenikmatan, seperti seorang ilmuwan modern, ia meminta dengan sangat bahwa beberapa ilmu pengetahuan berada pada akar dari setiap pelaksanaan yang berhasil dan bahwa walaupun semua orang mungkin tidak mempelajari ilmu pengetahuan, maka diuntungkan oleh gagasan-gagasan yang secara tidak sadar dan tidak langsung merembes pada orang-orang awam yang diantaranya terdapat para ilmuwan. Inilah barangkali yang menyebabkan para pemikir semacam ini dijuluki ‘hedonistis yang berbudaya’(susiksita-carvaka).
Dalam kitab suci Buddhis awal kita juga menemukan refrensi pendek mengenai beberapa orang spektis, agnostic, para pemutar balikan fakta dan kaum materialistis yang harus ditentang pengikut budha yang mungkin dianggap sebagai kaum Carvaka licik (dhurta). Dalam Samannaphala Sutta dinyatakan sebagai berikut: (a). purana kassapa, salah seorang yang menolak bertanggung jawab moral, kebajikan dan kekejian; (b). makkhali gosali, orang yang menolak keinginan bebas, dan kemungkinan akan usaha moral; (c). Ajita Kesakambali, yang mengajarkan sumber material dan sifat mudah hancurnya manusia, kesia-siaan dari kegiatan baik dan kemustahilan dari ilmu pengetahuan; (d). Sanjaya Belatthiputta yang tidak menegaskan, maupun menolak, ataupun menegaskan dan menolak pada saat yang sama, atau bahkan tidak mengakui bahwa ia tidak menegaskan ataupun menolak sesuatupun.
Dalam sebuah manuscript yang diketemukan baru-baru ini, yang disebut Tettvopaplavasimha, kita mendapatkan contoh menarik tentang skeptisisme mutlak India. Penulisannya, Jayarasi, barangkali disekitar abad ke-8  dipercaya sebagai seorang Carvaka (Lokayatika), tipe yang ekstrim. Ia bersikap skeptisisme Carvaka umumnya pada kesimpulan logisnya dan menentang keabsahan pengetahuan perceptual sekalipun dan menolak untuk menerima keberadaan unsur-unsur fisik dengan dialektika penghancuran tak henti-hentinya ia menyingkapkan kelemahan-kelemahan dari semua sumber pengetahuan yang umum diterima. Bagaikan seorang pragmatis anti intlektual ia menyimpulkan bahwa dengan menolak segala prinsip-prinsip teoritis dan doktrin-doktrin praktis sekalipun, kehidupan akan tetap berjalan selamanya tanpa masalah perenungan. (Maswinara, 1999:37-40).
Kaum Carvaka menolak pandangan yang mengatakan bahwa tujuan tertinggi manusia adalah sorga (Svarga) yang dapat dicapai dengan upacara-upacara seperti tercantum di dalam kitab Veda setelah mati. Ini adalah mitos yang tidak dapat dibuktikan. Sorga dan Neraka adalah ciptaan para Pendita yang untuk kepentingan profesi mereka memberikan pelajaran menakut-nakuti dan menyusuh orang untuk membuat upacara-upacara. Orang yang sadar akan menolak ajaran mereka.
            Golongan lain memandang bahwa kelepasan adalah menjadi tujuan hidup tertinggi, termulia, itu berarti beban dari segala macam derita, azab dan sengsara. Sebagian percaya bahwa kelepasan tersebut hanya dapat dicapai sesudah mati, tetapi yang lain menyatakan bahwa kelepasan itu dapat dicapai dalam hidup ini.
            Tetapi kaum Carvaka berkata bahwa tidak satu pun tanggapan ini berdasarkan akal, pikiran:
1.      Apabila kelepasan ini diartikan bebasnya jiwa dari belenggu badan jasmani kita, ini adalah tidak benar, karena jiwa memang tidak ada.
2.      Tetapi kalau kelepasan diartikan sebagai suatu hasil dari suatu keadaan di mana semua derita tidak ada lagi dalam hidup ini, maka ini adalah suatu idaman yang tidak mungkin.
3.      Adanya badan jasmani ini adalah terikat erat dengan kesenangan dan juga derita.
4.      Kita hanya dapat mengurangi penderitaan, dan sebanyak mungkin menikmati kesenangan.
5.      Kelepasan dalam arti kata terhentinya penderitaan sama sekali, hanya berarti kematian.
Mereka mencoba mencapai hidup dalam keadaan sepenuhnya bebas dari kesenangan dan penderitaan, dengan jalan menekan sehebat-hebatnya selera yang wajar dalam hidup ini (karena kita berpikir bahwa semua kesenangan yang timbul dari pemuasan akan kenikmatan adalah bercampur dengan penderitaan), adalah orang-orang gila. Sebab tak seorang cerdik pandai akan “menolak isinya karena kulitnya”, atau “berhenti makan karena ikan itu ada tulangnya”, atau tak jadi menanam padi karena hama tikus”, atau “ berhenti memasak kaena khawatir ada pengemis datang”.
Hidup ini adalah mencapai kesenangan yang paling maksimal. Suatu perbuatan yang baik berarti membawa keseimbangan kenikmatan, dan suatu perbuatan yang jelek berarti membawa penderitaan yang lebih banyak daripada kesenagan. Teori kaum Carvaka tentang kenikmatan kiranya disebut hedonism. Kesenangan, kenikmatan adalah tujuan tertinggi (Pendit, 2005: 58-59).




II  Filsafat Buddha
A. Pendahuluan
Filsafat Buddha lahir dari ajaran-ajaran Buddha Gautama, pada abad 567 SM, ajarannya dapat dikatakan bersifat atheisme dan spiritual. Kata Buddha merupakan sebutan yang diberikan kepada orang yang telah mendapatkan pengetahuan langsung mengenai kodrat sejati dari segala hal. Di mana kata Buddha berasal dari kata Bud yang artinya mengetahui, bangun, sadar dan Dha, yang artinya yang sempurna (Stokes, 2001:1). Jadi Buddha merupakan sebutan yang diberikaan sebagai tanda bagi pencapaian spiritual tertinggi dan kebahagiaan abadi (nirvana). Ajaran Buddha menekankan pada etika, cinta kasih, persaudaraan, menolak sistem kasta (penyimpangan sistem Varna), dan menolak otoritas Weda dan pelaksanaan yajna. Tujuan akhir perjalanan hidup manusia adalah nirwana, bukan sebagai karunia Tuhan dan Dewa-Dewa, namun diperoleh melalui usaha diri sendiri. Ajaran Buddha sering pula disebut dengan ‘jalan tengah’ (madhyama marga), ajaran-ajaran pokoknya dibukukan dalam tiga kitab suci (Tripitaka yang berarti tiga keranjang pengetahuan), yang terdiri dari: Vinayapitaka yang membahas tata laksana bagi masyarakat umum, Suttapitaka yang membahas upacara-upacara dan dialog berkaitan dengan etika (wejangan dan percakapan sang Buddha), dan Abhidhammapitaka yang berisi eksposisi teori-teori filsafat Buddha.
Ayah dari Pangeran Siddharta adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Sri Ratu Maha Maya Dewi. Ibunda Ratu meninggal Dunia tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, beliau terlahir di alam Tusita, yaitu alam sorga luhur. Sejak itu maka yang merawat Pangeran Siddharta adalah Maha Pajapati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.
Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sal. Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya angat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, tempat yang dipijakinya tumbuh bunga teratai. Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan bahwa Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondana yang dengan pasti meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi  tahta kerajaannya. Oleh  pertanyaan
Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa, atau ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah: (1) Orang tua, (2) Orang sakit, (3) Orang mati, dan (4) Seorang pertapa.

B. Ajaran Filsafat Budha
Ajaran Filsafat Buddha meliputi Catur Arya Satyani yaitu empat kebenaran mulia meliputi: (1) Dukha. Hidup adalah penderitaan, (2) Tresna, ada yang menyebabkan penderitaan, (3) Nireda, ada jalan untuk mengatasinya, (4) Asta Marga, jalan itu. Pratitya Samut adalah dua belas hal yang menyebabkan penderitaan, yaitu: (1) Awidya, kebodohan, (2) Samkara, kesan di masa lalu, (3) Wijnana, kesadaran awal, (4) Nama, rupa, pikiran dan badan, (5) Sadayatana, enam anggapan, (6) Sparsa, kotak hubungan dengan obyek, (7) Vedana, pengalaman yang lalu, (8) Tresna, haus akan kenikmatan. (9) Upadana, perhatian yang lebih, (10) Bhaya, keinnginan supaya terjadi, (11) Jati, kelahiran dan (12) Jara Marana, umur tua dan kenikmatan (Maswinara, 1999:83). Prinsip-prinsip beragama, seperti:
1)      Percaya pada diri sendiri dalam mengembangkan Ajaran Sang Buddha;
2)        Jadikanlah Ajaran Sang Buddha (Dharma) sebagai pencerahan hidup;
3)        Segala sesuatu tidak ada yang kekal abadi;
4)        Tujuan dari Ajaran Sang Buddha (Dharma) ialah untuk mengendalikan pikiran;
5)        Pikiran dapat menjadikan seseorang menjadi Buddha, namun pikiran dapat pula menjadikan seseorang menjadi binatang;
6)        Hendaknya saling menghormati satu dengan yang lain dan dapat menghindarkan diri dari segala macam perselisihan;
7)        Bilamana melalaikan Ajaran Sang Buddha, dapat berarti belum pernah berjumpa dengan Sang Buddha.
8)        Mara (setan) dan keinginan nafsu duniawi senantiasa mencari kesempatan untuk menipu umat manusia;
9)        Kematian hanyalah musnahnya badan jasmani;
10)    Buddha yang sejati bukan badan jasmani manusia, tetapi Pencerahan Sempurna;
11)    Kebijaksanaan Sempurna yang lahir dari Pencerahan Sempurna akan hidup selamanya di dalam Kebenaran;
12)    Hanya mereka yang mengerti, yang menghayati dan mengamalkan Dharma yang akan melihat Sang Buddha;
13)    Ajaran yang diberikan oleh Sang Buddha tidak ada yang dirahasiakan, ditutup-tutupi ataupun diselubungi.
Sang Buddha bersabda, "Dengarkan baik baik, wahai para bhikkhu, Aku sampaikan padamu “Akan membusuklah semua benda benda yang terbentuk, berjuanglah dengan penuh kesadaran!" (Digha Nikaya II, 156) Seorang Buddha memiliki sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna) yang diwujudkan oleh sabda Buddha Gautama, "Penderitaanmu adalah penderitaanku, dan kegembiraanmu adalah kegembiraanku." Manusia adalah pancaran dari semangat Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang dapat menuntunnya kepada Pencerahan Sempurna.
Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh waktu dan selalu abadi, karena telah ada dan memancar sejak manusia pertama kalinya terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara yang disebabkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan batinnya. Jalan untuk mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dimiliki oleh manusia. Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, ia telah mengikrarkan Empat Prasetya yang berdasarkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, yaitu:
1)      Berusaha menolong semua makhluk.
2)     Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.
3)     Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
4)     Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.
Buddha Gautama pertama melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan pikiran, yaitu
1)      Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
2)     Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada manfaat.
3)     Pikiran (citta): kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.
Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih untuk kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Bagaikan hujan yang jatuh tanpa membeda-bedakan, demikianlah "Cinta Kasih seorang Buddha".
Akan tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau dalam keadaan batin gelap, Sang Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya, Sang Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan yang benar dan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai "Pencerahan Sempurna". Sang Buddha adalah ayah dalam kasih sayang dan ibu dalam cinta kasih.
Sebagai Buddha yang abadi, Beliau telah mengenal semua orang dan dengan menggunakan berbagai cara Beliau telah berusaha untuk meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat Dunia, namun Beliau tidak pernah mau mengatakan bahwa Dunia ini asli atau palsu, baik atau buruk. Beliau hanya menunjukkan tentang keadaan dunia sebagaimana adanya. Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, perbuatan dan kepercayaan masing-masing. Beliau tidak saja mengajarkan melalui ucapan, akan tetapi juga melalui perbuatan. Meskipun bentuk fisik tubuh-Nya tidak ada akhirnya, namun dalam mengajar umat manusia yang mendambakan hidup abadi, Beliau menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran dan kematian untuk membangunkan perhatian mereka.
Seorang Buddha memiliki sifat-sifat luhur sebagai berikut:
1)      Bertingkah laku baik;
2)     Berpandangan hidup luhur;
3)     Memiliki kebijaksanaan sempurna;
4)     Memiliki kepandaian mengajar yang tiada bandingnya;
5)     Memiliki cara menuntun dan membimbing manusia dalam mengamalkan Dharma.
Buddha Gautama memelihara semangat-Nya yang selalu tenang dan damai dengan melaksanakan meditasi. Sang Buddha membersihkan pikiran mereka dari kekotoran bathin dan menganugerahkan mereka kegembiraan dengan semangat tunggal yang sempurna. Jangkauan pikiran Sang Buddha melampaui jangkauan pikiran manusia biasa. Dengan kebijaksanaan yang sempurna, Buddha Gautama dapat menghindarkan diri dari sikap-sikap ekstrim dan prasangka, serta memiliki kesederhanaan. Oleh karena itu Beliau dapat mengetahui dan mengerti pikiran dan perasaan semua orang dan dapat melihat yang ada dan yang terjadi di Dunia dalam sekejap, sehingga mendapatkan julukan seorang yang telah Mencapai Pencerahan Sempurna (Sammasam-Buddha) dan Yang Maha Tahu (Sugata).
Pengabdian Buddha Gautama telah membuat diri-Nya mampu mengatasi berbagai masalah di dalam berbagai kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, yang merupakan keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu, Sang Buddha adalah Raja Dharma yang agung.
Beliau dapat berkhotbah kepada semua orang, kapanpun dikehendaki-Nya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka yang mendengarkan khotbah-Nya, yang dapat mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Agung Sang Buddha akan terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak akan dapat tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri. Buddha Gautama bersabda, "Hanya dengan jalan melalui kepercayaan, keyakinanlah, mereka akan dapat mengikuti ajaran-Ku. Karena itu setiap orang hendaknya mau mendengarkan ajaran-Ku, kemudian menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari".

1.      Sikap Anti - Spekulasi
            Pada awalnya Budhha merupakan pembaharu dan guru etika dan bukan ahli metafisika. Bila seseorang menanyakan masalah metafisika bahwa apakah roh itu berbeda dengan badan, apakah yang mengatasi kematian, apakah dunia ini terbatas ataukah tak terbatas, abadi atau tidak, dsb. Ia menghindari untuk membahasnya. Bagi Buddha pembahasan tentang permasalahan guna pemecahan yang tidak cukup bukti  hanya akan membawa pada pandangan sebagian seperti pertengkaran antara orang-orang buta yang diberikan kesempatan untuk meraba bagaian tubuh yang berbeda dari seekor gajah. Buddha mengatakan pandangan metafisika semacam itu yang dikemukakan oleh para pemikir menunjukkan bahwa semua itu tidak cukup karena didasarkan atas pengalaman indria yang tidak pasti, ketagihan, harapan dan ketakutan. Spekulasi semacam itu harusnya dihilangkan karena tidak akan dapat mengantarkan manusia mendekat pada tujuannya yang bagi Buddha disebut dengan kearhatan atau vimutti, yaitu keadaan bebas dari segala penderitaan. Bagi mereka yang melibatkan diri dalam spekulasi teoritis tentang roh dan Dunia bagaikan orang tolol dengan panah beracun tertancap dipinggangnya yang mengahabiskan waktunya pada spekulasi tak berguna yang berkaitan dengan asal, si pembuat dan yang melepaskan anak panah tersebut, bukanya mencoba untuk mencabutnya segera.
            Bagi Buddha ketimbang membicarakan pertanyaan metafisika yang secara etis tak ada gunanya dan secara intelektual tak ada kepastiannya, lebih baik mencoba menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang paling penting tentang penderitaan, asalnya, penghentiannya, dan kalan yang menghantar pada penghentian itu. Dan jawaban dari keempat inti pertanyaan tersebut kemudian membentuk inti dari pencerahan dari Buddha, yang kemudian dikenal sebagai empat kebenaran mulia (catvari atyasatyani), yaitu:
1)      Kebenaran bahwa ada penderitaan.
2)      Kebenaran bahwa ada penyebab penderitaan.
3)      Kebenaran bahwa ada penghentian penderitaan.
4)      Kebenaran bahwa ada jalan yang menghantarkan pada penghentian penderitaan (duhkha-nirodha-marga). Semua ajaran Gautama berpusat disekitar keempat hal ini (Maswinara,1999:81).
Semua ajaran Gautama berpusat pada keempat kebenaran mulia ((catvari atyasatyani)). Untuk mengetahui lebih jelasnya tentang ajaran Gautama Tentang kebenaran mulia maka akan di bahas satu persatu yakni:
a.         Kebenaran Mulia Pertama tentang Penderitaan.
            Pemandangan penderitaan yang membingungkan Pikiran Siddhartha muda adalah penyakit, usia tua dan kematian. Tapi, bagi pikiran Buddha yang tercerahi hal tersebut serta semua yang berasal dari keterikatan adalah penderitaan. Tentu saja kaum materialistis Carvaka akan keberatan terhadap tuduhan menyeluruh Buddha di mana bagi kaum Carvaka menyatakan bahwa sumber kesenangan berbeda dengan sumber penderitaannya. Tetapi Buddha dan dan banyak pemikir India lain akan menjawab bahwa hal tersebut adalah pandangan rabun orang-orang. Sementara, kesedihan yang dirasakan terhadap kehilangan dan ketakutan yang dirasakan kalau akan kehilangan, dan akibat-akibat jahat lainnya akan membuat kesenangan kehilangan daya tariknya dan merubahnya menjadi sumber ketakutan dan kecemasan yang positif.
b.        Kebenaran Mulia Kedua Tentang Penyebab Penderitaan “Rantai Bermata Dua Belas”
     Konsepsi khusus tentang penyebab natural dari sebuah kejahatan kehidupan oleh Buddha dikenal dengan pratityasamutpada di mana keberadaan dari setiap peristiwa bergantung pada beberapa kondisi yang menyebabkan timbulnya penderitaan. Bagi kaum Buddha dikenal istilah Rantai Bermata Dua Belas yang merupakan rangkaian penyebab dari suatu penderitaan di mana secara singkat dapat dapat dikatakan bahwa (1) penderitaan dalam kehidupan ini disebabkan oleh, (2) kelahiran,yang disebabkan oleh, (3) keinginan untuk lahir, yang disebabkan oleh, (4) keterikatan mental kita pada obyek, keterikatan ini disebabkan oleh, (5) kehausan atau keinginan pada obyek, hal ini disebabkan oleh, (6) pengalaman indra, yang disebabkan oleh, (7) hubungan indra dan obyek, yang juga disebabkan oleh, (8) enam organ pengenalan, organ-organ ini bergantung pada, (9) organisme embryonic (yang menyusun pikiran dan badan), yang tak akan berkembang tanpa, (10) Beberapa kesadaran awal, yang berasal dari, (11) kesan-kesan pengalaman masa lalu, yang disebabkan oleh, (12) kebodohan akan kebenaran (Maswinara,1999:83).
c.         Kebenaran Pelenyapan Penderitaan
            Seperti yang sudah diungkapakan sebelumnya bahwa penderitaan muncul karena beberapa kondisi. Namun, apabila kondisi ini dapat dilepaskan maka kesengsaraan itupun akan lenyap. Dalam ajaran Buddha pembebasan dari kesengsaraan dapat dicapai dalam kehidupan ini juga apabila kondisi tertentu dapat terpenuhi. Bila pengendallian nafsu yang sempurna dan kontemplasi berkesinambungan tentang kebenaran akan membawa seseorang pada kebijaksanaan sempurna, ia tidak lagi terpengaruh oleh keterikatan duniawi dan selanjutnya ia dikatatakan telah menjadi seorang Arhat (orang mulia). Keadaan demikian sering disebut dengan nirvana, yaitu pemusnahan nafsu dan kesengsaraan (Maswinara, 1999:85). Namun perlu diingat bagi kaum Buddha pencapaian keadaan ini tidak harus dengan jalan keadaan yang tidak aktif dalam artian orang harus menarik seluruh perhatiannya dari Dunia luar. Dengan melihat ajaran dari contoh kehidupan Buddha sendiri dapat dikatakan bahwa nirvana tidak memperkenalkan para asrhat untuk menjauhkan diri dari kegiatan, sebaliknya, kasih sayang dan simpati pada semua makhluk bertambah dengan pencerahan dan meyakinkan orang-orang sempurna untuk membagi kebijaksanaannya dengan mereka dan bekerja guna meningkatkan moral mereka.
d.        Kebenaran Tentang Jalan Pembebasan
Kebenaran bahwa ada yang menghilangkan penderitaan (jalan mencapai kelepasan) dalam ajaran Buddha diperoleh dari pengetahuan dari kondisi pokok yang menyebabkan penderitaan tersebut yang terdiri dari 8 jalan utama, yaitu:
(1)   Pandangan yang benar (samyagdrsti).
Karena kebodohan menyebabkan pandangan yang salah (mithyadrsti) tentang sang diri di mana penyebabnya adalah Dunia ini sendiri dan hanya melalui pencarian pandangan yang benar atau pengetahuan kebenaran yang dalam ajaran Buddha disebut dengan empat kebenaran mulia yang dapat membantu reformasi moral dan membawa kita pada tujuan- nirvana dan bukan spekulasi teoritis mengenai sang diri itu sendiri.
(2)   Determinasi yang benar atau keputusan yang benar (samyaksamkalpa).
            Pengetahuan yang benar tak akan ada gunanya tanpa ada kemauan untuk merubah kehidupan dalam penerangan mereka. Untuk itulah para Sadhaka diminta untuk melepaskan keduniawian (segala keterikatan pada Dunia), melepaskan segala rasa sakit terhadap orang lain dan berhenti dari perbuatan menyakiti mereka. Ketiga hal ini yang membentuk penentuan yang benar.
(3)   Perkataan yang benar (samyalgwak).
Hasil dari penentuan yang benar di atas yang nantinya akan menjadi dasar suatu pembicaraan yang benar di mana di dalamnya mengandung penolakan dari kebohongan, fitnah, kata-kata yang kasar, dan pembicaraan yang sembrono.
(4)   Prilaku yang benar(samyak karmanta).
Penentuan yang baik atau benar sebagai dasar kita dalam berbicara akan menjadi dasar juga di dalam kita melakukan  kegiatan atau berprilaku di mana dalam ajaran Buddha dikenal dengan istilah Panca Sala yaitu lima sumpah untuk berhenti dari membunuh, mencuri, berbohong, sensualitas dan mabuk-mabukan.
(5)   Cara hidup yang benar atau mata pencarian yang benar(samyagajiva).
Dengan meninggalkan perkataan dan kegiatan yang buruk hendaknya seeorang mendapatkan mata pencaharian dengan cara yang jujur. Pentingnya aturan ini dikarenakan demi menyelenggarakan kehidupannya seseorang hendaknya tidak melakukan kegiatan terlarang tapi bekerja dalam kemantapan dengan penentuan yang baik.
(6)   Usaha yang benar (samyagvyayama).
Sementara seseorang mencoba untuk menjalani kehidupan yang diperbaiki melalui pandangan, resolusi, perkataan, kegiatan, dan mata pencaharian yang benar bersamaan itu pula ia akan terus menerus dihentikan oleh gagasan jahat yang sebelumnya telah berakar dalam pikiran. Seseorang tak dapat maju secara mantap kecuali ia memelihara usaha yang konstan untuk menjebol pemikiran-pemikiran yang jahat sebelumnya dan mencegah munculnya pikiran jahat yang baru. Selain itu pikiran juga secara konstan harus diisi dengan gagasan-gagasan baik dan mempertahankan gagasan semacam itu dalam pikiran. keempat usaha konstan yang negative dan positif semacam ini disebut dengan usaha yang benar.
(7)   Perhatian yang benar atau sikap pikiran yang benar(samyaksmrti).
Pentingnya kewaspadaan ditekankan lebih jauh dalam aturan ini, yang menyatakan bahwa Sadhaka harus senantiasa mematrikan dalam pikiran hal-hal yang telah dipelajarinya. Ia harus senantiasa ingat dan merenungkan badan sebagai badan, sensasi sebagai sensasi, pikiran sebagai pikiran dan keadaan mental sebagai keadaan mental. Hendaknya jangan ia berfikir “Ini adalah aku” atau “Ini adalah milikku” semuanya lebih sulit melaksanakannya bila gagasan-gagasan palsu tentang badan, dsb. Telah demikian berakar dalam diri kita dan prilaku kita yang didasarkan pada pernyataan palsu ini telah menjadi bersifat naluriah dan bertingkah laku seakan-akan badan, pikiran, sensasi, keadaan mental adalah permanen dan berharga sehingga menimbulkan keterikatan dan sedih atas kehilangannya dan kita menjadi sasaran keterikatan dan kesengsaraan. Tetapi perenungan pada sifat lemah, mudah rusak, sangat menjijikan dari hal-hal ini akan membantu kita untuk tetap bebas dari keterikatan dan kesedihan.
Dalam digha nikaya, sutta 22, Buddha memeberikan instruksi yang sangat rinci tentang bagaimana kontemplasi itu harus dilakukan. Diumpamakan badan harus selalu direnungkan hanyalah kombinasi dari empat unsur (tanah, air, api, dan udara) yang dipenuhi oleh materi yang menjijikan seperti daging, tulang, kulit, darah, nanah dsb. Kemudian orang harus melihat lebih lanjut bagaimana badan yang mati menjadi busuk, hancur, dimangsa anjing dan burung-burung hering dan setelah itu berangsur-angsur lenyap dan bercampur dengan unsure-unsur asal. Dengan kontemplasi yang intensif semacam itu “Ia akan melepaskan segala emosi dan keterikatan palsu terhadap badannya sendir maupun yang lainnya” Dengan kontemplasi intensif yang sama tentang sensasi, pikiran dan keadaan mental yang menyakitkan ia akan bebas dari keterikatan dan kesedihan  dan akibat dari empat serangkai kontemplasi intensif ini adalah keterlepasan dari segala obyek yang mengikat manusia pada Dunia.
(8)   Kosentrasi yang benar (samyaksamadhi).
Orang yang berhasil membawa hidupnya menurut tujuh aturan terakhir dan dengan itu membebaskan dirinya dari segala nafsu dan pemikiran-pemikiran jahat, layak untuk memasuki secara bertahap ke dalam empat tahapan yang lebih dalam. Tahapan-tahapan tersebut terdiri atas:
(a)    Pengkonsentrasian pikiran yang murni dan tenang pada penalaran  (vitarka) dan penyelidikan (vicara) yang berkenaan dengan kebenaran dan menikmati keadaan ini, kegembiraan dan ketentraman, yang lahir dari keterlepasan dan pemikiran murni (jhana atau dhyana).
(b)   Apabila pengkonsentrasian pikiran telah berhasil dilakukan maka kepercayaan pada empat serangkai kebenaran akan muncul sehingga tidak diperlukan lagi adanya penalaran dan penyelidikan. Dimana hasil yang akan didapatkan dan juga merupakan tahapan kedua dari konsentrasi yaitu kegembiraan, kedamaian, dan ketenangan internal yang melahirkan kontemplasi yang intensif dan tenang. Kesadaran atas kegembiraan dan ketenangan juga akan didapat pada tahapan ini.
(c)    Tahap selanjutnya akan ada usaha untuk memprakarsai suatu sikap tidak berbedaan untuk dapat melepaskan dirinya dari kegembiraan konsentrasi. Ini merupakan jenis konsentrasi yang ketiga dimana orang akan mengalami ketenangan yang sempurna berpasangan dengan pengalaman ketenangan jasmani.
(d)   Akhirnya, ia akan mencoba untuk melepaskan bahkan kesadaran akan ketenangan dan ketentraman dan segala rasa senang dan kegembiraan yang sebelumnya dimilikinya. Dengan demikian, ia akan mencapai  keadaan kontenplasi yang keempat, keadaan ketenangan sempurna, netral dan ketentraman tanpa penderitaan. Jadi ia mencapai tujuan yang diinginkan tentang penghentian dari segala penderitaaan, mencapai kearhatan atau nirvana, yang kemudian menimbulkan kebijaksanaan sempurna (prajna) dan kebajikan sempurna (sila) ( Maswinara,1999:89-92).
Untuk meringkas masalah pokok dari delapan jalan, dapat dicatat bahwa jalan tersebut mengandung tiga hal utama, yaitu prilaku (sila), kosentrasi (samadhi) dan pengetahuan (prajna) yang diusahakan secara selaras. Dalam filosofi India, pengetahuan dan moralitas dianggap tak terpisahkan-bukan hanya karena moralitas bergantung pada pengetahuan tentang apa yang baik, tetapi juga karena kesempurnaan pengetahuan dianggap tak mungkin tanpa moralitas. Pada delapan macam jalan salah satu berawal dengan “pandangan yang benar” merupakan pemahaman intelektual dari empat kebenaran. Namun pikiran masih belum melenyapkan gagasan-gagasan salah dan nafsu sebelumnya atau emosi salah yang muncul dari padanya, disamping kebiasaan berfikir, berbicara dan berbuat sebelumnya masih juga berlanjut. Dalam satu kata kekuatan yang bertentangan, yaitu kekuatan baru yang baik dan kekuatan jahat yang lama menciptakan personalitas yang terbagi (terpisah). Kemudian pada tahapan penentuan yang benar merupakan disiplin guna memecahkan pertentangan ini guna memperbaiki personalitas yang lama. Kontemplasi yang berulang-ulang dengan melatih kehendak dan emosi dan melalui penetapan yang mantap dan sikap yang tenang berangsur-angsur mencapai personalitas yang yang selaras di mana pikiran dan kehendak serta emosi semuanya halus dan termurnikan menurut kebenaran. Langkah terakhir dari konsentrasi sempurna akan melepaskan segala rintangan dan hasilnya adalah kebijaksanaan atau kemampuan pemahaman yang sempurna, dimana kebodohan dan keinginan terpotong akarnya dan sumber kesengsaraan lenyap. Kebijaksanaan, kebajikan dan ketenangan sempurna yang sepenuhnya sembuh dari penderitaan–merupakan pencapaian simultan dalam nirvana (Maswinara, 1999:93).

2.      Etika Ajaran Buddha
     Sang Buddha meminta para pengikutnya agar menghindari kejahatan, melakukan kebaikan, dan memurnikan pikiran dengan mengidentifikasi dan menyingkirkan pemikiran yang senonoh. Masuk dalam kosentrasi dan meditasi, mempercayai Dharma dan setia terhadap etika yang merupakan kunci-kunci ajaran sang Buddha. Sungguh penting menyediakan waktu setiap hari untuk merenung dengan tenang. Untuk membawa harmoni dan keseimbagan bagi kehidupan. Sungguh mudah untuk terpedaya oleh masukan-masukan indria sehingga melupakan tidak adanya diri. Meditasi dan perenungan melatih umat Buddha untuk membangun dan waspada terhadap kecenderungan ini. Melalui meditasi umat Buddha seharusnya menggali:
1)      Pengetahuan mengenai Dharma yang megajarkan pengendalian terhadap diri sendiri dan yang lain yang telah terjebak dalam penderitaan, sebagai akibat dari kelahiran yang di penuhi oleh ketidaktahuan.
2)      Standar etis yang tinggi di dalam pemikiran dan tindakan.
3)      Perenungan yang mengambil jarak terhadap tubuh, pikiran, emosi, dan indra; mengambil jarak terhadap muncul dan hilangnya semua itu (Stokes, 2001:74).
Sang Buddha menyatakan bahwa aturan seharusnya tidak mengikat secara membabi buta. Kalau ada jalan etis yang memberkan jalan yang lebih baik, aturan bisa diabaikan. Kebijaksanaan untuk memilah-milah dan bertindak etis merupan suatu tanggung jawab pribadi yang harus setiap saat dilihat kembali. Etika selalu menjadi jantung dari ajaran Agama Buddha.

3. Nirwana
     Penerangan sempurna, atau nirwana dilukiskan sebagai keadaan ketika mencapai pengertian mengenai tak adanya diri atau roh, dan tak ada satupun (seperti Dewa) yang menjadi tempat menyatu setelah kematian tubuh fisik. (Stokes, 2001:76). Pendeta maupun dewa-dewa tidak bisa menghadiahkan nirvana  dan pemberian sesajen bukanlah bagian dari prosesnya. Begitu kebenaran disadari dan dipatuhi, maka menurut Sang Buddha akhir dari kehidupan orang bersangkutan ibarat nyala api yang telah ditiup. Nirvana menghasilkan suatu pengelakan yang selengkapnya dari kelahiran kembali, sebaba tak ada keterikatan atau karma yang tersisa.
Dengan bijaksana Sang Buddha menghindari pertanyaan menyangkut nirvana, karena beliau menyadari bahwa jawaban yang mungkin deberikannya justru akan dianggap sebagai sesuatu yang definitif. Nirvana tidak mungkin dilikiskan secara cukup karena konsepnya tak dapat tercakup atau terekspresikan dengan bahasa. Nirvana harus dipahami, bukan dilukiskan. Menyerahkan diri pada kehidupan nirvana akan memberikan kedamaian dan lenyapnya kebencian, keserakahan, dan segala macam delusi tentang hakekat yang abadi. Nirvana adalah satu-satunya harapan untuk keluar dari roda kelahiran kembali yang mengikat kita melalui perbuatan kita, baik untuk tujuan baik atau jahat. Kita membuat roda berputar dan mempertanyakan mengapa kita tidak bisa berhenti sambil terus mendorong putaran itu. Meninggalnya tubuh fisik Sang Buddha menandai hidupnya yang terakhir, sebab hidupnya yang penuh pengertian dan keteladanan itu membuat tak ada karma yang tersisa untuk menyebabkan kelahiran kembali.

III  Filsafat Jaina
A. Pemahaman
Pendiri dari aliran ini adalah Seorang Mahauira yang namanya Wardkamana (abad 6 SM). Aliran filsafat ini bersifat atheis. percaya bahwa seseorang dapat mencapai kebebasan rohani seperti gurunya. Ada dua golongan Jaina yaitu: a) Digambara yakni golongan yang sangat panatik dan bahkan telanjang bulat (berpakaian langit),  b) Swetambara yaitu golongan yang lebih modern menggunakan pakaian serba putih. Kedua golongan ini menekankan ajaran ahimsa (tidak membunuh menyakiti mahkluk lain). Pengikut aliran ini umumnya menggunakan masker (penutup mulut). jangan sampai salah ucap atau mahkluk-mahkluk kecil masuk ke mulut atau hidung. Bila bepergian selalu membawa sapu (Maswinara, 1999:42).
Pandangan filosofis dari Jainisme adalah realisasi dan pluralisme dalam pengertian umum yaitu objek-objek yang diterima adalah nyata. Dunia ini terdiri dari dua realitas yang hidup dan yang mati, setiap mahkluk hidup memiliki roh atau jiwa oleh karena itu menghindari menyakiti jiwa (ahimsa). Kata Jaina berasal dari Jina yang secara etimologi berarti pemenang atau penakluk. Kata ini erat-erat dihubungkan dengan nama guru yang mengajarkan suatu paham atau filsafat yang mereka namakan Jaina atau Jainisme, sedangkan penganut paham ini disebut Jaina.
Dalam perjalanan sejarahnya, para penganut Jainisme terpecah menjadi dua aliran, yang kini terkenal dengan nama Svetambhara (berbusana putih-putih) dan Digambara (yang bugil). Perbedaan kedua ini sesungguhnya tidaklah banyak, pada dasar prinsip doktrin filsafat mereka (dan pada umumnya mereka sepakat dengan hal-hal foundamental), melainkan dalam beberapa hal kecil mengenai pelaksanaan dan tafsiran kepercayaan mereka. Ajaran-ajaran para guru (Jina) dimasa lampau mereka terima bersama-sama. Tetapi penganut aliran Digambara lebih berdisiplin keras dan puritan, sedangkan kaum penganut aliran Svetambara menerima kenyataan-kenyataan dalam hidup ini seperti misalnya kelemahan-kelemahan umum yang ada pada manusia biasa dalam masyarakat (Pendit, 2005:73).

B.  Metafisika Jaina
Kaum Jaina berpendapat bahwa tiap benda yang kita kenal memiliki sifat tak terhitung banyaknya (anantadharmakam vastu). Mereka berpendapat pula bahwa tiap benda adalah objek karena sifatnya yang positif dan negatif. Umpamanya, sifat-sifat positif yang menentukan seorang manusia adalah ukuran badannya, warna kulitnya, bentuknya, berat badannya, fungsinya, statusnya, keturunanya, keluarganya, rasanya, kebangsaannya, pendidikannya, tempat dan tinggal lahirnya, kebiasaannya, usianya dan sebagianya, serba hubungannya yang tak terhitung jumlahnya. Sebaliknya, sifat-sifat negatif yang menyatakan orang tersebut adalah segala sesuatu yang menyebabkan bahwa ia bukan itu sebenarya.
Untuk mengetahui dia sepenuhnya, kita harus mengetahui bagaimana ia berbeda dari segala sesuatunya. Misalnya, kita harus tahu bahwa ia bukan seorang Eropa, bukan seorang India, bukan seorang Negro dan sebagainya. Ia bukan seorang Islam, bukan seorang Kristen, bukan seorang Buddhis, bukan seorang Hindu dan sebagainya. Ia tidak palsu, ia tidak gila, ia tidak serakah dan sebagainya.
Oleh karena sifat-sifat negatif manusia terdiri dari keistimewaan perbedaanya dari semua objek lainnya di alam semesta ini, maka jumlahnya adalah jauh lebih banyak daripada sifat-sifat positit tersebut. Apabila kita renungkan suatu objek dalam sifat-sifatnya yang positif dan juga dalam sifat-sifat semua objek lain yang tidak ada padanya (negatif), maka objek tersebut tidak lagi kelihatan sebagai suatu benda yang sederhana yang hanya memiliki sejumlah kualitas yang terbatas sebagai kita biasanya menganggapnya. Objek tersebut lalu menjadi sebaliknya, yaitu suatu benda yang memiliki sifat-sifat yang tak terbatas (Pendit, 2005:87).
Lagipula, apabila unsur waktu juga dijadikan pertimbangan, dan kalau diingat bahwa suatu objek mengambil bentuk baru dengan berubahnya waktu, maka dalam kenyataanya objek tersebut kiranya semakin memiliki sifat-sifat yang sangat luas dan tak terbatas jumlahnya (anantadharma). Oleh karena itu, seorang pemikir Jaina yang mengetahui satu ojek sepenuhnya, sebetulnya mengetahui semua, segala sesuatunya. Hanya seorang yang serba mengetahui begini inilah yang dapat memiliki pengetahuan serba lengkap (kevalajnyana) tentang sesuatu objek. Dan ia tersebut kevali. Tetapi untuk tujuan-tujuan praktis  (vyavahara) pengetahuan sepotong tentang suatu apa benda itu dan tentang bukan apa benda tersebut, kiranya telat memadai.
Tetapi hal ini tidaklah menyebabkan kita harus berpikir (seperti biasanya kita berpikir) bahwa suatu benda tertentu yang telah kita ketahui sesungguhnya memiliki sifat-sifat terbatas. Demikian pula, kita harus jangan berpikir, bahwa pengetahuan kita yang biasa tentang benda tersebut adalah lengkap dan sempurna. Sebab, realitas memiliki bentuk ganda dan senantiasa berubah, dan tidak ada sesuatupun yang dapat dipandang bereksistensi sepanjang waktu dalam berbagai cara dan kondisi serta di semua tempat (Pendit, 2005:88).

1. Konsep Tentang Substansi
            Dalam percakapan biasa demikian pula dalam ungkapan filsafat, perbedaan harus ada antara sifat (dharma) dan yang memiliki sifat tersebut (dharmi). Yang memiliki sifat, oleh kaum Jaina disebut substansi (dravya). Takada sifat tanpa substansi, demikian pula takada substansi tanpa sifat. Kaum Jaina menerima pandangan filsafat biasa tentang substansi, tetapi mereka mengemukakan bahwa ada dua macam sifat terdapat dalam tiap substansi, yaitu yang hakiki dan yang eksidental.
            Sifat hakiki suatu substansi akan tinggal tetap pada substansi tersebut selama substansi itu tetap ada. Tanpa semua ini, substansi itu akan berhenti ada. Kesadaran adalah sifat hakiki dari jiwa, tetapi sifat eksidental suatu substansi datang dan pergi, silih berganti. Keinginan, nikmat, muak, perih, berang dan sebagainya adalah sifat-sifat eksidental inilah suatu substansi mengalami perubahan dan pergantian. Ini juga bisa disebut temperamen, watak. Para pemikir Jaina menyebut sifat hakiki yang tak berubah guna dan sifat eksidental yang berubah-ubah. Jadi, suatu substansi dirumuskan sebagai sesuatu yang memiliki kualitas (guna) dan watak atau temperamen (parjaya).  
            Dunia ini terjadi dari berbagai macam substansi. Ditinjau dari segi sifat-sifatnya yang hakiki yang dimiliki oleh substansi asasi maka Dunia ini adalah kekal, permanen. Namun bila dilihat dari segi sifat-sifatnya yang eksidental yang mengalami perubahan dan pergantian maka Dunia ini adalah tidak kekal. Berdasarkan pandangan tersebut di atas, kaum Jaina beranggapan bahwa pemikir Buddha yang mengatakan tidak sesuatupun sebenarnya kekal atau permanen dalam alam semesta ini,  segala sesuatunya berubah-ubah dari saat ke saat atau sementara (kshanikavada) adalah berat sebelah dan dogmatis. Demikian pula keliru dan salahnya pandangan para pemikir Vedantin yang monistis yang menyatakan bahwa perubahan itu tidak benar dan kenyataan itu adalah mutlak tak berubah (nityavada) (Pendit, 2005:89).
            Masing-masing hanya melihatnya dari satu segi kebenaran belaka (ekanta) dan karenanya telah melakukan pemalsuan kenyataan yang eksklusif. Perubahan dan kekekalan, kedua-duanya adalah nyata dan benar. Segala sesuatunya ada dan tiada (sadasadatmakam). Hendakya jangan ditafsirkan bahwa adalah bertentangan untuk menyatatakan suatu substansi tertentu (atau alam semesta ini sebagai keseluruhannya) mengalami perubahan, dan juga tidak. Perubahan substabsi adalah benar dalam satu hal, sedangkan kekal dalam hal lain. Kontradisi tersebut lenyap apabila kita ingat bahwa tiap kenyataan adalah relatif dan tidak absolut seperti diajarkan oleh teori syadvada. Suatu substansi adalah nyata. Kenyataan ini terdiri dari tiga faktor yaitu: Kekekalan, asal mula, keausan.
            Dalam substansi terletak esensi yang tak berubah dan oleh karenanya adalah kekal, permanen. Lain dari itu, ada pula faktor asal mula dan keausan, sifat yang berubah-ubah (parjaya). Jadi ketiga faktor ini menunjukkan adanya kenyataan dalam suatu substansi. Dengan jalan menerima teori tentang kenyataan tersebut di atas, pemikir Jaina menolak pandangan pemikir Buddha yang mengatakan bahwa kenyataan terdiri dari efisiensi kausal, yaitu bahwa suatu objek adalah nyata bila ia sanggup menimbulkan akibat. Kriteria ini adalah salah, sebab menurut teori tersebut seperti misalnya seekor ular bayangan harus dinyatakan nyata karena dapat menimbulkan efek seperti rasa takut, lari terbirit-birit, berteriak dan sebagainya. Dari kesalahan ini, kriteria pemikir Buddha tentang kenyataan menghapus teori kesementaraan benda-benda yang berubah-ubah menjadi tak benar.
            Terhadap teori kesementaraan yang hanya sepihak ini, kaum Jaina memberi argumentasi sebagai berikut:
a)      Seadainya segala sesuatu itu bersifat sementara, maka jiwa juga adalah sementara. Dan karenanya, kita tidak dapat menjelaskan tentang kenangan, ingatan, perasaan, pengenalan segera identitas seseorang dan sebagainya.
b)      Kelepasan (siddha) akan berarti omong kosong, sebab tidak akan ada jiwa yang kekal yang harus dibebaskan.
c)      Tidak suatu hidup pun yang bermoral dimungkinkan, sebab seorang manusia yang sementara tidak dapat berusaha untuk mencapai tujuan akhir yang dimuliakan dalam hidup ini, seperti misalnya seseorang mulai berusaha untuk menghasilkan suatu buah karya karena ia didorong oleh suatu keinginan agar hasil karya tersebut dapat dinikmati oleh seseorang yang bakal menggantikan ia kelak.
d)     Akhirnya, tidak akan ada hukum moral, Konsekuensi tindakan seseorang akan hilang dari padanya (kritapranasa), dan konsekuensi perbuatan orang lain akan menimpa dirinya ( akritabhyupagama).
e)      Keadaan sementara belaka tidak akan memiliki suatu rangkaian sendiri, sebab tanpa sesuatu yang kekal yang mengalir melalui sifat yang berubah-ubah itu, sebagai halnya keadaan yang berubah-ubah tersebut tidak bisa merangkul sekaligus guna membentuk kesatuan yang berlangsung terus-menerus.
f)       Baik persepsi maupun inferensi tidak akan dapat menjelaskan adanya sesuatu apapun di Dunia ini, di mana hanya ada perubahan-perubahan belaka dan tidak ada unsur kelanjutan dari padanya.

2. Klasifikasi Substansi
            Menurut kaum Jaina klasifikasi substansi adalah Substansi yang diperluas (astikaya) substansi yang tak diperluas (anastikaya). Menurut pemikir Jaina, hanya ada satu substansi yang tidak dapat diperluas, yaitu waktu (kala). Semua substansi memiliki perluasan, dengan istilah umum dalam bahasa Sanskerta disebut astikaya, sebab setiap substasi dalam jenis ini ‘ada’ (asti) seperti suatu ‘badan’ (kaya) memiliki perluasan.
            Substansi yang memiliki perluasan dibagi dalam dua macam: (1) Yang hidup (jiva) dan (2) Yang takhidup (ajiva). Substansi yang hidup identik dengan jiwa atau roh. Jiwa dapat pula dibagi dalam dua klasifikasi: (1) Jiwa beremansipasi sempurna (mukta) dan (2) Jiwa terbelenggu (baddha). Dan jiwa terbelenggu ini ada dua macam pula, yaitu (1) Yang mampu bergerak (trasa) dan (2) Yang takmampu bergerak (sthavara).
            Substansi yang memiliki hidup tak mampu bergerak memiliki jenis badan yang paling tidak sempurna. Mereka ada dalam lima macam badan terbuat dari tanah, air, api, udara dan tumbuh-tumbuhan. Mereka ini hanya memiliki indra sentuh, jadi, mereka hanya memiliki kesadaran penyetuhan belaka. Substansi yang memiliki kemampuan hidup bergerak memiliki badan dari berbagai tingkatan kesadaran dan memiliki beragam indra, dari dua, tiga, empat sampai lima.
            Jiwa atau substansi yang hidup seperti cacing memiliki dua indra, terdiri dari indra sentuh dan idra rasa. Seperti semut memiliki tiga indra terdiri dari indra sentuh, rasa dan bau. Seperti kumbang memiliki empat indra terdiri dari indra sentuh, rasa, bau dan lihat. Binatang yang lebih tinggi derajatnya, seeperti binatang buas, burung dan manusia, memiliki lima indra terdiri dari indra sentuh, rasa, bau, lihat dan dengar. Substansi yang tak hidup yang memiliki perluasan adalah dharma, adharma, akasa dan pudgala. Tabel di bawah ini akan menjelaskan skema klasifikasi substansi yang dimaksud oleh kaum Jaina (Pendit, 2005:90-93).

3. Jiwa
            Jiwa adalah substansi yang sadar. Kesadaran adalah intisari jiwa. Ia selalu ada dalam jiwa, walaupun sifat dan tingkatannya dalam keadaan berubah-ubah. Jiwa, secara teori, dapat disusun dalam suatu urutan terus menerus sampai pada tingkat kesadaran tertinggi. Pada akhir tertinggi ini terdapat jiwa-jiwa sempurna (paramatman) yang dapat mengatasi semua karma dan telah mencapai tingkatan serba-maha-tahu.
            Sebaliknya, pada titik terendah urutan ini akan terdapat jiwa paling tidak sempurna yang mendiami wadang tanah, air, api, udara, dan tumbuh-tumbuhan. Pada diri mereka ini hidup dan kesadaran seolah-olah tidak ada. Tetapi sebenarnya pada diri mereka pun semacam kesadaran sentuh ada, hanya saja di sini kesadaran tersebut berada dalam bentuk terlelap, disebabkan kuatnya pengaruh rintangan-rintangan yang menghalang-halangi. Diantara urutan-urutan jiwa inilah terdapat jiwa yang memiliki dua sampai lima indra, seperti cacing, semut, kumbang dan manusia (Pendit, 2005:93-94).

     Jiwa inilah yang mengetahui segala sesuatunya, jiwalah yang melaksanakan tindakan kerja, jiwalah yang menikmati kepuasan, menderita sakit dan jiwalah yang memanifestasikan dirinya dan objek-objek lain. Jiwa ini kekal, tetapi juga mengalami perubahan-perubahan keadaan. Ia adalah berbeda dengan wadag jasmani dan kehadirannya dapat dibuktikan secara langsung atas kesadarannya sendiri.
     Disebabkan oleh kecenderungan-kencenderungan yang diturunkan oleh perbuatannya di masa lampau, suatu jiwa dapat menghuni berbagai wadag jasmani berturut-turut. Ibarat suatu nyala, jiwa menerangi atau memberi kesadaran kepada seluruh wadag jasmani di mana ia berada. Walaupun jiwa tidak memiliki bentuk (murti), ibarat sinar cahaya, ia memperoleh ukuran dan bentuk sebesar dan seluas wadag di mana ia berada. Dalam hal inilah jiwa, walaupun tanpa bentuk, dikatakan melingkupi ruang (lokakasa) atau memiliki perluasan (astikaya). Jiwa tidak terbatas, tetapi meluas seluas wadag yang dihuninya, karena ia secara langsung dapat mengetahui hanya objek-objek yang ada dalam wadag itu. Jadi, kesadaran hanya ada dalam wadag saja tidak di mana-mana.
     Pemikir Jaina merumuskan bahwa jiwa adalah terutama ‘suatu makhluk hidup’. Kesadaran terdapat di tiap bagian wadag jasmani hidup ini, dan apabila kesadaran memang sebagai sifat jiwa, maka jiwa harus diakui ada dalam tiap bagian wadag ini, dan oleh karenanya meliputi ruang. Kemampuan jiwa untuk meliputi ruang juga diakui oleh pemikir-pemikir Hindu lainnya, juga oleh pemikir Yunani seperti Plato, demikian pula oleh pemikir barat modern seperti Alexander.
     Tetapi harus pula diingat bahwa jiwa dapat meliputi ruang hanya dalam artian bahwa jiwa itu ada di berbagai bagian ruang, dan bukan memenuhi ruang tersebut seperti benda materi. Benda materi suatu bagian ruang sedemikian rupa sehingga selama ia ada di situ, tidak ada benda materi yang meliputinya. Tetapi kehadiran jiwa disuatu ruang tertentu tidak akan menghalang-halangi kehadiran jiwa lain dalam ruang yang sama tersebut. Jadi, dua jiwa atau lebih mungkin saja dalam ruang yang sama, menurut para pemikir Jaina, seperti halnya dua atau tiga cahaya lampu yang menerangi satu ruangan.
Kaum Jaina merasa perlu untuk menanggapi pandangan kaum Carvaka mengenai jiwa ini. Gunaratna, seorang pemikir Jaina, memberi argumentasi terhadap skeptisisme kaum Caarvaaka dan telah membuktikan adanya jiwa, sebagai berikut: Adanya jiwa ini dapat dibuktikan dengan pengalaman langsung tanpa ada kontradiksi pikiran “saya menikmati kesenangan“. Apabilan kita mempersepsi sifat suatu substansi, kita akan mengetahui bahwa kita mempersepsi substansi tersebut, umpamanya ketika kita melihat warna kemawar-mawaran, kita mempersepsi substansi bunga mawar di mana sifat warna tersebut adalah  miliknya. Dengan alasan yang sama, kita dapat mengatakan bahwa jiwa itu dapat dipersepsi langsung, karena segera pula kita mempersepsi sifat jiwa, seperti kenikmatan, duka, kenangan, muak, kebimbangan, pengetahuan, dan sebagainya (Pendit, 2005:95-96).
Adanya jiwa dapat pula secara tak langsung dibuktikan dengan inferensi sebagai berikut: wadag jasmani ini dapat digerakkan, dipindahkan dan dikendalikan atas kemauan kita, ibarat sebuah kereta, dan karenanya tentu ada sesuatu yang menggerakkan, memindahkan dan mengendalikannya. Indra adalah untuk melihat, mendengar, mencium dan sebagainya. Ia hanyalah alat dan tentulah ada sesuatu wali yang mengerjakannya, memerintahkannya. Lagi pula pastilah ada suatu penyebab efisien karena objek-objek materi yang memiliki asal mula membutuhkan suatu wali untuk menciptakan penyebab material tersebut. Jadi dengan jalan begini adanya suatu substansi seperti jiwa dapat diinferensi.
Kaum Carvaka berpendapat bahwa kesadaran adalah produk unsur-unsur material. Tetapi kita sesungguhnya tidak pernah mempersepsi di manapun dan bagaimana pun perkembangan kesadaran unsur-unsur material yang tak sadar itu. Dan kaum Carvaka hanya percaya bahwa hanya persepsilah yang merupakan sumber pengetahuan yang benar. Pertanyaan lalu timbul, bagaimanakah mereka membuktikan. Bilamana dan apa-apa saja yang tidak dapat diyakinkan oleh persepsi? Walaupun seandainya inferensi juga diterima oleh kaum Carvaka, namun tidaklah mungkin untuk membuktikan bahwa kesadaran itu adalah disebabkan oleh benda materiil atau wadag jasmani. Sebab, seandainya wadag jasmani ini merupakan sebab-sebab kesadaran, maka tidaklah aka nada kesadaran yang absen selama wadag jasmani ini ada, dan oleh karenanya hilangnya atau absennya kesadaran kesadaran waktu tidur, atau waktu pingsan, atau dalam tubuh yang mati, tidaklah mungkin. Tambahan pula, kita tidak dapat membuktikan hubungan yang seiring bergantian antara wadag jasmani dan kesadaran; dan perkembangan serta kehancuran wadag jasmani ini tidak semestinya diikuti oleh perubahan-perubahan yang berhubungan dengan kesadaran tersebut. Karenanya, tidak satupun hubungan sebab-akibat antara benda material atau wadag jasmani dan kesadaran dapat dibuktikan, sekalipun dengan inferensi (Pendit, 2005:97).
Mungkin kaum Carvaka akan mengatakan bahwa walaupun tidak setiap benda material menciptakan kesadaran, namun apabila benda-benda material itu diatur atau disusun sedemikian rupa menjadi suatu wadag jasmani yang hidup, maka ia akan menciptakan kesadaran itu. Sebagai jawaban atas argumentasi ini, kaum Jaina menyatakan bahwa tanpa adanya pengatur atau organisator yang dimaksud, benda material tidaklah mungkin dibentuk menjadi wadag jasmani. Dan pengatur atau organisator tersebut adalah jiwa itu sendiri.
Ungkapan seperti ‘saya kuat’, ‘saya kurus’, ‘saya lapar’, ‘saya cinta’ yang oleh kaum Carvaka dicoba mempergunakannya untuk membuktikan bahwa jiwa itu sama dengan wadag jasmani, hendaknya harus diartikan secara figurative dan bukanya secara benar tepat. Sering jiwa menganggap dirinya seolah-olah wadag jasmani ini belaka, sebab jiwa tersebut secara erat berkepentingan pada wadag jasmani (Pendit, 2005:98).
Dunia benda fisika, dimana jiwa-jiwa hidup, tercipta dari benda-benda materiil yang dihuni oleh jiwa-jiwa dan objek-objek materiil lain yang membentuk lingkunganya. Tetapi selain dari subtansi materiil ini, ada pula ruang, waktu dan kondisi gerak serta kondisi diam (Dharma dan Adharma), yang tanpa denganya dunia beserta segala isi dan kejadianya tidak bakal mungkin dapat dijelaskan. Maka kaum Jaina menerangkan hal tersebut satu persatu (Pendit, 2005: 98).

4. Benda Materiil (Pudgata)
Kaum Jaina menyebut benda materiil pudgala, yang dalam istilah etimologinya berarti “sesuatu yang dapat berintegrasi dan berdisintegrasi” (purayanti galanti ca). Substansi materiil dapat dikombinasikan bersama untuk membentuk kesatuan yang besar dan lebih besar lagi, dan juga dapat dibagi-bagi lebih kecil dan lebih kecil lagi, dan juga dapat diurai lebih kecil dan lebih kecil lagi. Uraian terkecil benda materiil yang tidak dapat dipecah lagi adalah atom (anu), yang tidak mempunyai bagian lagi dan langgeng. Formasi berbagai substansi dikarenakan oleh atau berbagai tingkah kombinasi atom yang bersifat geometris, bulat atau kubik berkat tingkah susunan dalam dan berkat berbagai tingkat ruang antar atom (ghanapratarabhedena). Beberapa kombinasi terjadi karena adanya saling hubungan antara dua kutub (yugmapradesa), sedangkan yang lainya disebabkan adanya daya tarik masing-masing kutub (ojahpradesa).
Dua atau lebih atom dapat disatukan bersama untuk membentuk satuan yang disebut sanghata atau skandha. Wadag jasmani kita dan objek-objek alam adalah kesatuan-kesatuan yang dibentuk dari atom-atom materiil. Menurut kaum Jaina, pikiran (manas), ucapan dan pernapasan adalah juga produk dari substansi materiil ini.
Pudgala memiliki empat sifat, yaitu sifat sentuh, rasa, cium, dan warna. Sifat-sifat ini dengan sendirinya juga dimiliki oleh atom dan juga kesatuan-kesatuan yang terbentuk olehnya, yang perbedaan pembentukanya disebabkan oleh perbedaan tingkah kombinasinya. Bunyi suara bukanlah sifat asli seperti keempat sifat tersebut di atas. Kaum Jaina berpendirian bahwa bunyi (suara), bersama cahaya, panas, bayang-bayang, gelap, integrasi, disintegrasi, keindahan, kegedean, bentuk adalah sesuatu yang timbul kemudian secara eksidental dari modifikasi benda materiil (Pendit, 2005:99).

5. Ruang (Akasa)
Tugas ruang adalah untuk menyediakan tempat bagi kehadiran semua substansi yang diperluas. Jiwa, benda materiil, Dharma (kondisi gerak) dan Adharma (kondisi diam) semua ada dalam ruang. Walaupun ruang tidak dapat dipersepsi, namun kehadiranya dapat diketahui dengan jalan inferensi, sebagai berikut: Substansi yang diperluas dapat memiliki perluasan hanya dalam suatu tempat, dan ini disebut ruang (akasastikaya). Walaupun dapat diperluas adalah sifat wajar beberapa substansi, tidak ada substansi yang tidak memiliki sifat tersebut dapat diperluas oleh ruang, namun adalah benar juga bahwa dalam untuk bisa diperluas suatu substansi membutuhkan ruang sebagai kondisi yang memang diperlukan. Substansi adalah sesuatu yang meliputi atau menduduki, sedangkan ruang adalah sesuatu yang diliputi atau diduduki. Ruang bukanlah sama dengan apa yang disebut perluasan, melainkan lokasi perluasan tersebut, atau lokasi benda-benda materiil yang diperluas. Kaum Jaina membedakan dua macam ruang. Ruang yang berisi Dunia di mana jiwa-jiwa dan substansi-substansi lain berada (lokakasa) dan ruang kosong di luar semua itu (alokakasa) (Pendit, 2005:100).

6. Waktu (Kala)
Waktu memungkinkan adanya kelangsungan modifikasi gerak. Waktu diiferensi sebagai suatu kondisi yang tanpa denganya substansi tidak dapat memiliki sifat-sifat tersebut diatas, waaupun adalah benar bahwa, waktu belaka tidak dapat menyebabkan suatu substansi memiliki sifat. Tetapi tanpa waktu sesuatu itu tak dapat bertahan atau terus berlangsung: lamanya waktu menunjukan saat-saat yang menyebabkan eksistensi ini berlangsung. Modifikasi atau perubahan keadaan juga tak dapat dibayangkan dengan tanpa waktu. Demikian pula gerak, yang menyatakan adanya keadaan yang berturut-turut suatu benda, hanya dapat dibayangkan dengan adanya waktu.
Para pemikir Jaina membeda-bedakan antara waktu sejati (paramarthika) dan waktu empiris (vyavaharika) atau konvensional (samaya). Lamanya waktu (vartana) adalah tanda waktu sejati , sedangkan berbagai macam perubahan waktu tanda waktu konvensional yang secara tradisional dibagi dalam saat-saat, detik, menit, jam, hari dan seterusnya, dan terbatas oleh suatu permulaan dan akhir. Tetapi waktu yang benar dan sejati adalah tanpa bentuk dan langgeng (Pendit, 2005:101).

7. Kondisi Gerak dan Kondisi Diam
Seperti halnya dengan ruang dan waktu, kedua substansi Dharma (kondisi gerak) dan Adharma (kondisi diam) ini dibuktikan eksistensinya dengan jalan inferensi. Mobilitas dan imobilitas, bergerak dan berhenti adalah dasar inferensi tersebut. Kaum Jaina menjelaskan persis ibaratnya gerakan seekor ikan dalam kolam. Walaupun gerakan itu dimulai oleh ikan itu sendiri, namun tidaklah mungkin tanpa adanya media, yaitu air dalam kolam tersebut, yang karenanya adalah merupakan suatu kondisi harus. Demikian halnya dengan gerakan suatu jiwa atau suatu benda materiil, membutuhkan suatu kondisi tambahan yang tanpa denganya gerakan tidak dimungkinkan. Keempat substansi (ruang, waktu, dharma dan adharma) adalah kondisi kausal (karana) yang memiliki kedudukan masing-masing tersendiri. Dalam hubungan ini ruang, waktu, dharma dan adharma termasuk dalam kondisi kausal alat, tetapi ia harus dibedakan dari kondisi alat biasa ia adalah lebih tidak langsung dan pasif, ibarat batu penyangkan tempat membuat kendi bertumpu saat dibuat oleh si tukang kendi.
Baik dharma atau adharma, walaupun bertentangan satu sama lain (kondisi gerak lawan diam) kedua-duanya adalah sama tidak aktif, tanpa bentuk, tidak bergerak, langgeng dan kedua-duanya meliputi seluruh ruang alam semesta ini (lokakasa), di luarnya adalah kosong, hampa belaka. Menurut kosmografi Jaina, Dunia ini adalah langgeng, tanpa permulaan dan akhir, di mana kebahagiaan dan kesengsaraan dialami sebagai akibat dari kebajikan dan kejahatan, terdiri dari tiga bagian yaitu urdhva (di mana para dewata bersemayam), Madhya (Dunia kita ini) dan adho (di mana penghuni neraka berdiam). Jiwa-jiwa sempurna bangkit langsung melintasi urdhvaloka ke puncak lokakasa ini, di mana tiada gerak dan langgeng (Pendit, 2005:103).

C. Etika Jaina
Bagian terpenting filsafat Jaina adalah etikanya. Metafisika atau epistemology maupun pengetahuan lain mana pun berguna bagi kaum Jaina, selama semua itu menolong mereka untuk berbuat kebajikan. Tujuan berbuat baik adalah kelepasan (moksha), yang berarti terlepasnya belenggu jiwa dan tercapainya kesempurnaan. Terbelenggu dalam pengertian filsafat pada umumnya berarti terjerat dalam siklus kelahiran dan semua penderitaan yang menjadi konsekuensi kelahiran tersebut. Namun demikian, konsep umum tentang keterbelengguan ini ditafsirkan oleh berabagai aliran menurut tanggapan dan cita-cita masing-masing pribadi dan dunianya.
            Bagi kaum Jaina, pribadi yang menderita adalah suatu substansi yang hidup dan sadar yang dinamakan jiwa. Pada dasarnya, jiwa adalah sempurna. Jiwa memiliki potensi tak terbatas, keyakinan tak terbatas, kekuatan tak terbatas dan rahmat yang tak terbatas pula. Milik ini semua dapat dicapainya kembali apabila jiwa dapat membebaskan dirinya sendiri dari semua belenggu yang menghalanginya.
Apakah sesungguhnya rintangan dan belenggu tersebut dan bagaimanakah ia bisa merampas jiwa hingga tercampak dari semua kesempurnaan yang memang menjadi miliknya sendiri? Kaum Jaina menekankan bahwa rintangan, belenggu, ini terdiri dari bagian-bagian benda materiil yang menghinggapi jiwadan menyelubungi, menaklukan sifat-sifatya yang asal. Dengan kata lain, rintangan atau belenggu yang kita jumpai pada tiap pribadi adalah disebabkan oleh benda materiil yang kemudian diidentifikasi dengan dirinya sendiri. Wadag jasmani kita ini diperbuat oleh partikel-partikel benda materil (pudgala). Untuk penbentukan  suatu macam benda tertentu, jenis-jenis partikel benda materiil harus diatur, disusun, dengan jalan tertentu pula. Dalam pembentukan wadag jasmani ini kekuatan yang menuntun adalah nafsu jiwa itu sendiri.
Jiwa dengan nafsu-nafsu keinginanya atau dengan kekuatan-kekuatan karmanya di masa lampau, oleh kaum Jaina dipandang sebagai organisator wadag jasmani ini, yang merupakan sebab efisiennya, sedangkan benda materiil merupakan sebab materiilnya. Organisme yang diperoleh oleh jiwa, bukan saja wadag besar yang kelihatan ini, melainkan juga indria, pikiran, kekuatan-kekuatan vital dan semua unsur lainya yang membendung, menyelubungi dan membatasi potensi-potensi utama jiwa tersebut.

1. Karma
Wadag jasmani yang kita warisi dari orang tua kita bukanlah suatu pemberian yang kebetulan belaku. Karma kita di masa-masa lampau menentukan keluarga di mana kita dilahirkan. Demikain pula sifat badan kita, warna kulit, bentuk potongan/badan, panjangnya usia, jumlah dan sifat organ indra dan organ penggerak yang dimilkinya, semuanya kalau diambil secara kolekrif, dapat disebabkan oleh karma, yang secara kolektif merupakan karma sendiri (yaitu semua jumlah tedensi yang diturunkan oleh kehidupan di masa lampau).
Kaum Jaina menyebut banyak jenis karma dan memberi nama kepada masing-masing efek yang ditimbulkan olehnya. Misalnya, Gotra adalah karma yang menentukan keluarga di mana kita dilahirkan, Ayuska adalah karma yang menentukan lamanya kita hidup, Nama adalah karma yang menentukan watak pribadi seseorang. Antaraya adalah karma yang menghalang-halangi jiwa untuk berbuat kebajikan. Demikian pula kita diberitahu oleh kamu Jaina bahwa ada karma yang menyelubungi pengetahuan (jnyanavaraniya), yang menimbulkan ilusi (mohaniya), dan yang menghasilkan rasa kenikmatan dan kedukaan (vedaniya).
Nafsu-nafsu yang menyebabkan belenggu jiwa adalah amarah, sombong, birahi dan loba (krodha, manah, maya, lobha). Semua ini disebut kasaya yaitu substansi yang lengket, karena kehadiranya dalam jiwa menyebabkan partikel-partikel benda materiil lekat padanya. Menurut Jaina terbelenggunya jiwa adalah mulai berpangkal dari pikiran.
Ada dua macam belenggu menurut para pemikiran Jaina, yaitu: (1) Belenggu mental yang dalam-dalam mencekam jiwa pada hal-hal yang buruk (bhava bandha) dan, (2) Belenggu yang materiil, yaitu hubungan jiwa dengan benda duniawi (dravya bandha). Sesungguhnya, jiwa itu hampa perluasan tetapi pro perluasan dengan wadag jasmani yang hidup. Jiwa adalah substansi yang hidup dam dalam tiap bagian badan yang hidup dan dalam tiap bagian badan yang hidup kita jumpai benda materiil maupun kesadaran (Pendit, 2005:105-106).

2. Kelepasan (Moksa)
Bila belenggu berarti jiwa berasosiasi dengan benda materiil, maka kelepasan harus berarti terhentinya asosiasi ini secara mutlak antara jiwa dan benda materiil. Ini dapat dilaksanakan dengan jalan mehentikan arus masuk benda materiil baru ke dalam jiwa serta menghilangkan secara total seluruh pencampurbauran yang telah terjadi antara benda materiil dan jiwa. Tingkat pertama menghentikan disebut (samvara) dan tingkat kedua kikisnya karma dari jiwa disebut  (nirjara). Kita telah mengetahui nafsu jiwa menjurus kepada asosiasi jiwa degan benda materiil. Meneliti sebab nafsu-nafsu tersebut, kita jumpai bahwa nafsu itu muncul karena ketidaktahuan. Keidaktahuan kita tentang sifat sejati jiwa dan benda-benda materiil menyebabkan timbulnya amarah, angkuh, birahi, dan lobha.
Hanya pengetahuanlah yang dapat menghapus ketidaktahuan ini. Karenanya, kaum Jaina selalu menekankan betapa pentingnya kita memiliki pengetahuan yang benar atau pengetahuan tentang kebenaran. Pengetahuan benar dapat dicapai dengan hanya mempelajari secara tekun dan hati-hati kepada ajran guru (tirtankara) yang serbamahatahu, yang telah mencapai kelepasan dan yang selanjutnya tepat untuk memimpin yang lain-lain untuk membebaskan diri dari belenggu.Tetapi sebelum kita merasa perlu untuk mempelajari ajaran-ajaranya, kita harus mengetahui sebelumnya secara luas apa-apa yang esensialdalam ajaran-ajaran tersebut, dan memiliki keyakinan akan hasil ajaran ajaran guru-guru yang berwenang itu.
Keyakinan benar yang didasarkan atas pengenalan pertama-tama secara umum disebut samyagdarsana, yang akan meluruskan jalan menuju ke pengetahuan sejati disebut Samyagjnyana: hal ini selanjutnya harus dipandang sebagai yang tidak bisa diabaikan, tetapi hanya berupa pengetahuan belaka adalah tidak berguna apabila tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk pelaksanaan ini di butuhkan tingkah laku benar disebut samyagcarita, yang oleh kaum Jaina dipandang sebagai hal ketiga yang tidak boleh diabaikan guna mencapai kelepasan. Keyakinan benar, pengetahuan benar, dan tingkah laku yang benar merupakan etika moral yang oleh kaum Jaina disebut tiga mutiara (triatma) yang menjadi inti hidup bijak. Umaspati menyatakan ajaran agung jainisme ini sebagai berikut: “jalan menuju kelepasan terletak pada keyakinan benar, pengetahuan benar dan tingkah laku benar”. Dan kelepasan ini adalah perpaduan dari ketiga-tiganya (Pendit, 2005:107-108).

3. Keyakinan Benar
Keyakinan benar dirumuskan oleh Umasvati sebagai suatu sikap kebaktian terhadap kebenaran (sradha). Keyakinan awalnya adalah sikap wajar, pertama karena ia di dasarkan atas suatu perkenalan permulaan menurut proporsinya yang wajar pula, kedua karena tanpa adanya keyakinan permulaan ini tiadalah mungkin daya rangsang untuk mempelajarinya lebih jauh. Seorang pemikir skeptis sekalipun yang baru mulai mempelajari sesuatu secara rasional, hendaknya memiliki sekedar keyakinan pada keguanaan metode dan pada subjek yang ia sedang pelajari (Pendit, 2005:108-109).

4. Pengetahuan Benar
Pengetahuan benar harus menjadi dasar keyakinan pada mulanya. Dan apabila keyakinan ini pada mulanya sudah didasarkan atas pengetahuan benar tentang ajaran-ajaran yang esensial, maka pengetahuan benar ini dapat dirumuskan menjadi pengetahuan yang benar adalah pengenalan terperinci tentang sifat asli ego dan non ego serta bebas dari keragu-raguan, kesalahan dan ketidakmenentuan kita mengetahui beberapa cara untuk memproleh pengetahuan benar menurut epistemology Jaina. Bila kita mengerti suatu benda, kita harus mengetahui dan menghubungkannya dengan segala sesuatunya. Seperti halnya dengan keyakinan, demikian pula dengan pengetahuan bahwa adanya tendensi dalam karma tertentu yang menghalang-halangi jalannya pengetahuan benar. Karenanya, untuk mencapai pengetahuan sempurna, menyingkirkan karma tersebut adalah hal yang mutlak harus dilakukan. Kesempurnaan proses ini akan menghapus segala karma yang berakhir pada titik kulminasi pencapaian serba maha tahu (kevaladnyana) (Pendit, 2005: 109-110).

5. Tingkah Laku Benar
Nemicandra dalam bukunya Dravyasanggraha menjelaskan dengan tepat bahwa tingkah laku benar adalah tindakan menahan perbuatan yang menyakiti dan mengerjakan apa yang berguna dengan menguntungkan bagi masyarakat, dengan kata lain, berbuat segala sesuatu yang menolong jiwa untuk membebaskan diri dari karma yang menyebabkan jiwa terbelenggu dan menderita. Untuk memberhentikan arus masuk karma baru dan menghapus karma lama, orang harus melaksanakan lima sumpah agung (pancamahavrata) sebagai pedoman kesempurnaan tingkah laku (Pendit, 2005:110).

6. Lima Sumpah Agung
Banyak yang mengagung-agungkan nilai-nilai sumpah agung ini, seperti dinyatakan dalam Upanisad dan lain-lainnya. Tetapi kaum Jaina mencoba melaksanakannya secara sungguh-sungguh dan penuh disiplin yang oleh orang lain jarang mau dilaksanakan, sumpah itu terdiri dari:
(1)   Ahimsa
Tidak menyakiti semua mahluk hidup. Kaum Jaina secara sungguh-sungguh menghindari pembinasaan terhadap hidup. Tidak saja pada binatang-binatang yang bergerak, tetapi juga yang tidak bergerak. Sikap ahimsa kaum Jaina ini merupakan hasil logis dari teori metafisika mereka tentang persamaan potensial semua jiwa. Dan pengakuan mereka terhadap prinsip tibal balik dari “ apa yang kita perbuat terhadap orang lain, orang lain akan berbuat sama terhadap kita”. Karenanya, bagi kaum Jaina, hormat pada hidup dimanapun ia berada, baik dalam manusia maupun binatang dan sebagainya, adalah merupakan tugas hidup yang tidak dapat di tangguh-tangguhkan. “dia yang Kaum Jainam brusaha melaksanakan perinsip ahimsa, kaum Jainam bukan hanya tidak melakukan pembunuhan, melainkan juga melakukan pikiran atau berkata dalam membunuh pun mereka tolak.
(2)   Satiyam
Tidak berbohong tanpa kepalsuan. Bukan hanya berbicara kebenaran, melainkan juga berbicara yang baik dan enak di dengar oleh telinga. Sebab, hanya berbicara apa yang benar mungkin bisa berkata kasar, tidak sopan, dangkal, menyinggung, menghina dan lain sebagainya. Kebenaran sebagai sumpah murni juga disebut sunrita, yang berarti bahwa kebenaran itu tidak saja benar melainkan juga baik dan menyenangkan. Untuk melakukan itu semu seseorang harus bisa menaklukan kelobaan, ketakutan, amarah, serta menghapuskan bergurau dan keangkuhan.
(3)   Asteyam.
Tidak mencuri. Sumpah ini menandung arti tidak mengambil apapun yang tidak diberikan. Kesucian milik orang lain, seperti hidupnya sendiri, adalah sangat di hormati bagi kaum Jaina. Dan kaum Jaina berangapan mengambil kekayaan seseorang adalah merampas kondisi esensial bagi hidupnya sendiri.
(4)   Brahmacariam.
Tidak memanjakan keinginan diri sendiri. Sumpah ini biasa di artikan sebagai sumpah seseorang silibasi, cantrik (tanpa kawin) seseorang yang menolak antara hubungan antara pria dan wanita. Namun kaum Jaina mengambil pengertian lebih mendalam lagi yaitu bukan saja penolakan kelamin saja lebih jauh kaum Jaina melancarkan keritik diri sendiri dengan menyatakan, walaupun kenikmatan lahir dapat di hentikan, namun ia bisa berlangsung dalam hal yang lebih halus yaitu ucapan, pikiran, harapan nanti hidup di Dunia sana, dan lain sebagainya. Untuk itu orang yang ingin melakukan sumpah ini sepenuhnya, orang harus menolak sepenuhnya segala bentuk memanjakan keinginan diri sendiri, lahir maupun batin.
(5)   Aparigraha
Bebes dari segala ikatan. Sumpah ini menyatakan lepasnya dari semua ikatan indria kita pada objek seperti: suara/bunyi, raba, warna, rasa, dan bau nikmat. Karena ikatan duniawi berupa belenggu pada dunia. Oleh karena itu Jaina menekankan utama pada sumpah ahimsa, karena ahimsa merupakan akar dari semua kebajikan. Pengetahuan, keyakinan, dan tingkah laku tidak bisa dipisah-pisahkan. Dengan melaksanakan sumpah agung (pancamahavrata) penyempurnaan itu dapat tercapai. Apa bila seseorang dengan jalan perkembangan harmonis diantara ketiga-tigenya berhasil menaklukan semua nafsu dan kekuatan karma lama maupun baru, maka jiwa akan bebas dari belenggu benda material dan jiwa akan mencapai kelepasan. Dan mencapai empat kesempurnaan (ananta catushataya); (1) Pengetahuan tak terbatas (2) Keyakinan tak terbatas, (3) Kekuatan tak terbatas dan (4) Rahmat tak terbatas.

7. Jainisme Sebagai Agama
Jainisme bersama-sama dengan Buddhisme merupakan agama tanpa menyinggung-nyinggung masalah ketuhanan. Atehisme kaum Jaina ini didasarkan atas faktor-faktor bahwa:
(1)   Tuhan tidak dapat di proses, karena harus di buktikan dengan empiris.
(2)   Karena esensi Tuhan di sansikan, maka atribut-atribut, seperti mahakuasa, mahapengasih dan sebagainya dijadikan sifat Tuhan, juga disangsikan dan di ragukan kebenaranya.
(3)   Bila benar Tuhan serba maha kuasa berati Tuhan juga menjadi penyebab segala sesuatunya di Dunia dan alam semesta ini.
(4)   Juga anggapan Tuhan dan berbagai penjelmannya mungkin bertindak dengan rencanakan dan Tujuan beranekaragam warna menciptakan Dunia dan alam semesta ini secara harmonis, patut di sangsikan kebenaranya.
(5)   Tuhan juga dikatakan sebagai maha langgeng dan maha sempurna, tetapi istilah-istilah langgeng dan sempurna adalah sifat-sifat yang tanpa mengandung arti yang sesungguhnya. Kesempurnaan adalah kebalikan dari ketidak sempurnaan. Adalah omong kosong bila seseorang mengatakan dirinya paling sempurna. Yang terbaik adalah menghapus semua pengendalian ini.
Walaupun kaum Jaina menolak adanya Tuhan, namun mereka perlu memandang dan merenungkan dan memuja jiwa-jiwa yang telah mencapai kesempurnaan. Kaum Jaina menyakini lima macam jiwa suci yaitu: (1) Tirthankara, (2) Artha, (3) Acarya, (4) Upadhyaya dan (5) Sadhu.
Walaupun kaum Jaina tidak menyakini keberadaan Tuhan tetapi semangat keagaman mereka tidak menguranggi Etika moral mereka dan kesungguhan mereka melaksanakan persembahyanggan sebagai pernyataan mereka terhadap kebaktian mereka terhadap jiwa-jiwa yang suci. Merupakan sumpah agung mereka yang tulus. Kaum Jaina menyucikan pikiranya dengan jalan merenungkan mereka yang suci. Persembahyangan bagi mereka bukanya meminta belaskasihan hukum moral karma adalah keras, tidak mengenal ampun dan belas kasihan.
Akibat dari perbuatan buruk hanya dapat dilawan dengan perbuatan, pikiran yang gigih, bicara benar, dan berbuat baik. Jiwa yang mencapai kelepasan adalah merupakan mercusuar bagi yang lain-lainya. Sesungguhnya bagi kaum Jaina Tujuan terakhir mereka adalah mengutamakan kesempurnaan batin dan bukannya mencoba memberikan inpirasi Dunia dan alam semesta ini. Dan agama Jaina adalah agama yang kuat dan perkasa, berani dan tabah. Jiwa hanya bisa di selamatkan dengan jiwa sendiri dan jiwa yang mencapai kelepasan adalah sebagai pemenang dan pahlawan. Jaina merupakan agama yang pararel dengan Budhaisme, Samkya, dan Advaita Vedanta.




























DAFTAR PUSTAKA

Adiputra, I Gede Rudia dkk, 1990, Tattwa Darsana untuk Kelas III P.G.A Hindu, Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.
Adiputra, I Gede Rudia dkk. 2004. Dasar-Dasar Agama Hindu. Jakarta: Direktoral jendral Bimbingan masyarakat Hindu dan Budha Departeman Agama RI.
Bakhtiar, Amsal, 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Press.
Debroy, Dipavali & Dbroy Bibek. 2002. Maitri Upanisad. Surabaya: Paramita.
Debroy, Dipavali & Dbroy Bibek. 2002. Manduka Upanisad. Surabaya: Paramita.
Harun Hadiwijono, 1979, Sari Filsafat India Cetakan II, Jakarta Pusat, BPK Gunung Mulia
Jaman, I Gede. 2006. Tri Hita Karana dalam Konsep Hindu. Denpasar: Pustaka bali Post.
Madja, I Ketut. 2003. Darsana (Pandangan Filosofis Hindu). Untuk kepentingan   sendiri.
Maswinara, I Wayan, 1999. Sistem Filsafat Hindu (Sarwa DarsanaSangraha), Surabaya: Paramita.
Musna, I Wayan, Drs. 1986. Pengantar Filsafat Hindu Sad Dharsana, Cetakan I, Denpasar: CV. Kayu Mas.
Oka, Sanjaya dkk, 2001.  Svami Vivekananda Vedanta Gema Kebebasan. Surabaya: parmita.
Sumawa, I Wayan. 1989. Swami Dayananda saraswati Vedanta Sebuah pengantar memahami Masalah Fundamental. Denpasar: Upada Sastra
Sumawa, I Wayan dkk. 1996. Materi Pokok Darsana Modul.   Jakarta: Direktoral jendral Bimbingan masyarakat Hindu dan Budha Departeman Agama RI.
Subagia I Wayan, 2003, Model Siklus Belajar Berdasarkan Konsep Tri Pramana. IKIP N Singaraja.
Pendit, Nyoman. S. 2005. Filsafat Dharma Dari India. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Pendit, Nyoman S. 2007. Filsafat hindu Dharma Sad-Darsana Enam Aliran Astika (Ortodoks). Denpasar: Pustaka Bali Post.
Suryasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Sugiyono, 2010. Metode Penelititian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alpabeta.
Susanto, Adi. 2011. Filsafat Ilmu Pandangan Ilmiah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Stokes, Gillian. 2001. Seri Siapa Dia? Buddha. Jakarta: Erlangga.
Takwin, 2001. Filsafat ilmu. Bandung: Alpabeta.
Terjemahan lontar “Ganapatitattva’ arsip gedong kertiya singaraja.
Terjemahan lontar “Jnanatattva” arsip gedong kertiya singaraja.
Pudja, I Gede. 1999. Bhagawdgita. Surabaya: Paramita
Pudja, G dan Sudharta, Tjokordo Rai. 2004. Manava Dharma Saastra. Surabaya: Paramita.









RIWAYAT PENULIS

I Ketut Pasek Gunawan, S.Pd.H yang lahir di Kendari tepatnya Sulawesi Tenggara pada tanggal 17 April 1988 pada hari Minggu di Desa Sumber Jaya dengan kedua orang tua bapak Wayan Merta dan Ibu Made Rsi dengan bersaudara 2 Kakak Perempuan dan 1 kakak Laki-laki. Dahulu kedua orang tua penulis ikut program trasmigrasi ke Sulawesi Tenggara pada tahun 1982. Pendidikan yang pernah ditempuh penulis diantaranya dimulai yaitu SD No. 2 Sumber Jaya yang sekarang menjadi SD No 2 Lalembuu tahun 1995-2001, SMP Negeri 3 Tinanggea yang sekarang menjadi SMP Negeri 1 Lalembuu tahun 2001-2004, SMA S Kartika Wira Bhwana VII Kendari yang dimiliki oleh yayasan TNI Angkatan Darat Korem Kendari tahun 2004-2007. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi yaitu di IHDN Denpasar mengambil (S1) Jurusan Pendidikan Agama Hindu tahun 2007-2011 dan saat ini sedang menyelesaikan program Magister (S2) Pendidikan Agama Hindu di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar (IHDN Denpasar) mulai tahun 2011 sampai sekarang.
Sedangkan prestasi yang pernah diraih penulis juara I Lomba karya Tulis ilmiah tingkat mahasiswa IHDN Denpasar tahun 2010, juara III lomba Wushu tingkat se-Bali tahun 2010, juara III lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional di Jakarta tahun 2011. Saat ini sedang mengabdi sebagai Dosen Tenaga Tidak Tetap di Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar.







4 komentar:

  1. Nama: Kade Rida Indrayani
    NIM : 13.1.5.6.1.078
    Jurusan : Penerangan Agama
    menurut pendapat saya semua yang bapak tuliskan diblog ini sangat membantu memperjelas dan mengetahui apa yang orang lain sulit untuk mengerti dan juga menarik minat orang lain untuk membaca tulisan-tulisan yang bapak buat di blog ini

    BalasHapus
  2. Suksma atas postinganya pak, sungguh dapat membantu untuk melengkapi refrensi tugas-tugas tiang pak,

    BalasHapus
  3. Terimakasih pak,,tapi bg nya kurang cocok jadi tulisan nya rada kabur gitu

    BalasHapus
  4. Tentang implementasi ajaran nawadarsana di masyarakat pak🙏🏻

    BalasHapus