PENGERTIAN
FILSAFAT

Manusia
dalam perjalanan hidupnya sering menemukan sesuatu yang membuatnya kagum atau
heran, heran terhadap lingkungan hidup dan dirinya sendiri. Rasa kagum dan
heran (Wonder) kemudian mulai mempertanyakannya, merupakan titik awal dari
timbulnya filsafat. Pertanyaan ke filsafatan ini berusaha mengetahui hakikat
atau esensi yang ditanyakannya itu, dengan jawaban-jawaban yang lebih
mengutamakan logika berpikir. Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang sangat
luas cakupannya. Istilah ‘filsafat’ dalam bahasa Indonesia memiliki padanan
kata ‘falsafah’ (Arab), ‘philosophy’ (Inggris), ‘philosophia’
(Latin), philosophie (Jerman, Belanda, Perancis). Pada dasarnya semua
istilah yang digunakan dalam setiap bahasa tersebut bersumber pada istilah Yunani
yaitu ‘philosophia’. Secara etimologi kata ‘philosophia’ asal
katanya dapat dibagi menjadi dua, yaitu ‘philein’ yang artinya
mencintai, dan ‘sophos’ berarti bijaksana, sehingga filsafat berarti
mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana. Sedangkan yang kedua, filsafat
berasal dari kata ‘philos’ yang berarti teman, dan ‘sophia’
berarti kebijaksanaan, jadi filsafat berarti teman kebijaksanaan. Dalam
sejarah, orang yang pertama kali menggunakan istilah philosophia adalah
Pythagoras, dengan menyebut dirinya sebagai philosophos, yakni pecinta
kebijaksanaan (lover of wisdom). (Bakhtiar, 2004:22).
Kata
filsafat berasal dari kata “philosophia” (bahasa Yunani), diartikan
dengan “mencintai kebijaksanaan”. Sedangkan dalam bahasa Inggris filsafat
disebut dengan istilah “philosophy” dan dalam bahasa Arab disebut dengan
istilah “falsafah”, yang biasa diterjemahkan dengan “cinta kearifan”. (Susanto,
2011:14). Istilah philosopia memiliki
akar kata philien yang berarti mencintai atau shopos yang berarti bijaksana.
Jadi, istilah philosopia berarti mencintai akan hal-hal yang bersifat
bijaksana. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa filsafat berarti
cinta kebijaksanaan, sedangkan orang yang berusaha mencari kebijaksanaan atau
pencinta pengetahuan disebut dengan filsuf atau filosofis.
Pada
mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia.
Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat
praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti:
fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan
matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma
(akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik. Secara umum filsafat
berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal,
dan kritis. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka
proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif,
sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan
mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu
diterima atau ditolak. Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu
titik tertentu (Takwin, 2001).
Berikut adalah definisi filsafat menurut para
ahli, yaitu sebagai berikut:
1.
Aristoteles (384-332 SM),
menurutnya filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang
terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi,
politik dan estetika. (Bakhtiar,
2004:7).
2.
Socrates
(469-399 SM), bahwa filsafat adalah suatu peninjauan diri yang bersifat
reflektife atau perenungan terhadap azas-azas dari kehidupan yang adil dan
bahagia.
3. Rene Descartes (1596-1650), filsafat sebagai kumpulan segala pengetahuan
dimana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan. (Bakhtiar, 2004:151).
4. Immanuel Kant (1724-1804). Menurutnya filsafat adalah ilmu yang menjadi
pokok dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup masalah epistemologi,
etika dan masalah ketuhanan. (Bakhtiar, 2004:8).
Isi filsafat ditentukan oleh objek yang
dipikirkan. Objek adalah suatu yang
menjadi bahan kajian suatu penelitian tentang pengetahuan. Objek yang
diselidiki dalam filsafat ini adalah objek materiil dan objek formal. Objek
materiil dari filsafat ini adalah suatu kajian pembentukan pengetahuan itu,
yaitu segala sesuatu yang ada dan mungkin ada. Sedangkan objek formal adalah
penyelidikan yang mendalam.
Filsafat sebagai pengetahuan mengajak
manusia untuk berfikir kritis, mendasar dan menyeluruh serta sistemik terhadap
fenomena manusia dan di luar manusia. Filsafat itu semula tumbuh dari kekaguman
kemudian berpikir mendasar, spekulatif dengan penalaran kritis. Dalam
genetiknya filsafat bermakna cinta kebijaksanaan dan kearifan. Selanjutnya
menurut penulis filsafat iku sejatine
paugeran ati lan sesanggemaning urip kang sih samasta buwana, yang artinya
filsafat itu sejatinya haruslah dijadikan sebagai dasar hati dan pedoman hidup
yang selalu menyayangi dunia sesuai dengan falsafah hidup bahwa segala yang ada
di dunia ini hanyalah bersifat sementara (Wibowo, 2011:2).
Sebagian ahli mengelompokkan metode yang
dipergunakan dalam mempelajari filsafat ini menjadi 3 macam, yaitu metode
sistematis, metode historis dan metode kritis. Dengan metode sistematis
para pelajar akan menghadapi karya-karya filsafat misalnya mempelajari tentang
teori-teori pengetahuan yang terdiri atas berbagai cabang filsafat. Sedangkan metode historis bila pelajar
mengkaji filsafat dengan mengikuti sejarahnya. Adapun metode kritis digunakan
oleh mereka yang mempelajari filsafat tingkat intensif. Dimana pelajar haruslah
telah memiliki bekal pengetahuan tentang filsafat secara memadai.
(Suriasumantri, 1990:115).
Sejalan dengan definisi filsafat di atas,
adapun ciri-ciri dari unsur di dalamnya yaitu:
1. Filsafat sebagai ilmu, yaitu bahwa filsafat berusaha untuk mencari hakekat
atau inti dari suatu hal. Hakekat ini sifatnya sangat dalam dan hanya dapat
dimengerti oleh akal.
2. Filsafat sebagai cara berpikir, yaitu cara berpikir yang sangat mendalam
(radikal) sehingga akan sampai pada hakekat sesuatu.
3. Filsafat sebagai pandangan hidup, yaitu bahwa filsafat pada hakekatnya
bersumber pada hakekat kodrat diri manusia, yang berperan sebagai makhluk
individu, makhluk sosial dan makhluk Tuhan.
Dengan mempelajari filsafat, ada tiga hal
yang dapat diperoleh yaitu:
1.
Filsafat
telah mengajarkan kita untuk mengenal diri sendiri secara totalitas, sehingga
dengan pemahaman tersebut dapat dicapai hakkat manusia itu sendiri dan
bagaimana sikap manusia itu sebenarnya.
2. Filsafat mengajarkan tentang hakekat alam semesta. Pada dasarnya berpikir
filsafat ialah bersedia menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional dalam
rangka memahami segala sesuatu, termasuk diri manusia itu sendiri.
3. Filsafat mengajarkan tentang hakekat Tuhan. Studi tentang filsafat
seyogyanya dapat membantu manusia untuk membangun keyakinan keagamaan atas
dasar yang matang secara intelektual. (Bakhtiar, 2004:20).
Penggolongan lapangan-lapangan filsafat
menurut Kattsoff menjadi cabang-cabang filsafat sebagai berikut :
1.
Logika,
adalah ilmu yang mempelajari teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari
suatu perangkat bahan tertentu.
2.
Metodologi,
ialah sebagaimana yang ditunjukkan oleh pernyataan, yakni ilmu pengetahuan atau
mata pelajaran tentang metode dan khususnya metode ilmiah.
3.
Metafisika,
yaitu hal-hal yang terdapat sesudah fisika, hal-hal yang terdapat di balik yang
tampak.
4.
Ontologi
dan kosmologi, ontologi membicarakan azas-azas rasional dari yang ada,
sedangkan kosmologi membicarakan azas-azas rasional dari yang ada yang teratur.
5.
Epistemologi,
yaitu cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan
sahnya pengetahuan.
6. Biologi kefilsafatan, membicarakan mengenai persoalan-persoalan biologi.
7. Psikologi kefilsafatan, memberikan pernyataan-pernyataan psikologi yang
meliputi apakah itu jiwa, ide, ego, akal, perasaan dan kehendak.
8. Sosiologi kefilsafatan, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat
masyarakat dan hakekat negara.
9. Antropologi kefilsafatan, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang
manusia.
10. Etika, adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang baik dan buruk.
11. Estetika, adalah cabang filsafat yang membicarakan definisi, susunan dan
peranan seni.
12. Filsafat agama adalah cabang-cabang filsafat yang membicarakan jenis-jenis
pertanyaan yang berbeda mengenai agama.
Ruang lingkup kajian filsafat meliputi
bidang-bidang sebagai berikut:
1.
Kosmologi
yaitu suatu pemikiran dalam permasalahan yang berhubungan dengan alam semesta,
ruang dan waktu, kenyataan hidup manusia sebagai ciptaan Tuhan.
2.
Ontologi
yaitu suatu pemikiran tentang asal-usul kejadian alam semesta.
3.
Phylosophy of mind yaitu pemikiran tentang
jiwa dan bagimana hubungannya dengan jasmani dan kebiasaan kehendak manusia.
4.
Efistemologi
yaitu pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh.
5.
Aksiologi,
yaitu suatu pemikiran tentang masalah-masalah nilai. (Bakhtiar, 2004:24).
Pengertian
istilah filsafat secara etimologis tentunya belum cukup untuk mewakili
pengertian filsafat, namun pemahaman secara etimologi merupakan pondasi dasar
untuk memahami kata filsafat. Dalam proses perkembangannya, filsafat banyak
mendapat isi dan sekaligus pengertian-pengertian baru, antara lain:
1. Filsafat
sebagai suatu sikap: filsafat sebagai suatu sikap terhadap kehidupan dan alam
semesta.
2. Filsafat
sebagai suatu metode: filsafat sebagai cara berpikir secara reflektif
(mendalam), penyelidikan yang menggunakan alasan, berpikir secara hati-hati dan
teliti.
3. Filsafat
sebagai kelompok persoalan: berarti banyak persoalan atau permasalahan-permasalahan
abadi dan para filsuf berusaha untuk mencari jawabannya, antara lain: apakah
kebenaran itu?, mengapa manusia ada di dunia ? apa makna kehadiran manusia di
dunia?, apakah manusia mempunyai kehendak bebas untuk menentukan nasib di
dunia, atau sudah ditentukan oleh Tuhan ?.
4. Filsafat
sebagai sekelompok teori atau sistem pemikiran: sejarah filsafat ditandai
dengan pemunculan teori-teori dan sistem-sistem pemikiran yang terlekat pada
nama-nama filsuf besar.
5. Filsafat
sebagai analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah: kebanyakan
para filsuf menggunakan analisis untuk menjelaskan suatu istilah dan pemakaian
bahasa. Menganalisis berarti menetapkan arti secara tepat dan memahami saling
hubungan diantara arti-arti tersebut.
6. Filsafat
sebagai usaha untuk memperoleh pandangan yang menyeluruh: filsafat sebagai ilmu
yang mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai ilmu dan
pengalaman manusia menjadi suatu pandangan dunia yang konsisten. (Bakhtiar,
2004:5-6).
Persoalan
filsafat tentunya sangat berbeda dengan permasalahan non filsafat, perbedaan
yang mendasar terletak pada materi dan ruang lingkupnya. Adapun cirri-ciri
permasalahan filsafat antara lain:
1.
Bersifat sangat umum: objek kefilsafatan tidak
menyangkut objek-objek khusus, dalam artian masalah kefilsafatan berkaitan
dengan idea-idea besar
2.
Bersifat spekulatif: persoalan yang dihadapi melampaui
batas-batas pengetahuan ilmiah (empiris)
3. Bersangkutan dengan nilai-nilai (values):
persoalan kefilsafatan bertalian dengan keputusan tentang pernilaian moral,
estetis, agama, dan sosial.
4. Bersifat kritis: filsafat merupakan
analisis secara kritis terhadap konsep-konsep dan arti-arti yang biasanya
diterima dengan begitu saja oleh ilmuwan tanpa pemeriksaan secara kritis.
5. Bersifat sinoptik : pandangan sinoptik
berarti meninjau hal-hal atau benda-benda secara menyeluruh.
6. Bersifat implikatif : apabila persoalan
kefilsafatan sudah dijawab, maka dari jawaban tersebut muncul permasalahan baru
yang saling berhubungan.
FILSAFAT DARSANA

A. Pengertian
Mempelajari dan mengetahui filsafat
Darsana merupakan hal yang sangat penting bagi umat Hindu, karena filsafat
Darsana banyak memberikan pengetahuan mengenai pandangan-pandangan tentang
kebenaran yang pada dasarnya kebenaran memiliki tiga sifat yaitu kebenaran
absolut, kebenaran ilmu dan kebenaran relatif. Seorang dapat mengetahui
kebenaran yang ada terutama kebenaran dari sebuah pandangan seseorang, kelompok
atau sebuah klen, sehingga dapat menginterpretasikan atau menempatkan pengertian
kita pada tempat baik. Berbicara
mengenai kebenaran tidak lepas dari suatu pandangan-pandangan, maka kebenaran
itu terlihat berbeda-beda dari pandangan satu dengan pandangan yang lainnya,
bilamana tidak memiliki dan mengerti arti kebenaran yang sesungguhnya tentunya
akan terjadi pertentangan di dalam batin tentang pandangan yang dipercaya antara
emosi dan pengetahuan pembaca sampai pada batas pandangan yang dapat dipahami,
sementara pandangan yang belum mampu dipahami tentunya terasa janggal dan bahkan
terasa tidak bisa diterima.
Filsafat Darsana merupakan suatu pandangan
tentang kebenaran yang di dalamnya terdiri dari berbagai pandangan yang setiap
pandangan memiliki definisi dan pembenarannya masing-masing. Di sini, jika
seorang tidak memahami arti dari sebuah pandangan maka akan timbul keraguan dan
kebingungan dalam memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada dirinya sendiri
dan orang lain. Keraguan-keraguan seperti ini tentunya juga akan terjadi pada
setiap umat Hindu yang mengetahui dan membaca ajaran agama Hindu.
Filsafat Darsana merupakan filsafat yang
memperkaya pengetahuan kita sebagai umat Hindu dalam memandang suatu kebenaran
tentang keyakinan, kepercayaan dan ilmu pengetahun tentang agama Hindu. Hal
tersebut tentunya mengenai tentang percaya atau keyakinan adanya Ida Sang Hyang
Widhi Wasa dalam Panca Sradha, cerita-cerita dalam purana,
wiracarita, kosmologi Hindu, metafisika, Weda, yang kesemuanya disebut sebagai
ilmu yang dapat dipelajari dan dikembangkan merupakan salah satu langkah memperkaya
diri sekaligus menghindarkan diri dari patiktisme yang berlebihan dan
dogmanisme yang tidak kontemporer serta kekakuan yang sebenarnya tidak berlaku
umum dan bermanfaat untuk orang banyak dan kebaikan bagi diri sendiri.
Mempelajari filsafat Darsana tentu lebih
baiknya dipelajari dari awal sampai pada inti pembincangan dari filsafat
Darsana, sehingga kesimpulan yang nantinya ditarik setelah mempelajari filsafat
Darsana tidak lepas dari harapan agama Hindu yaitu lahirnya seorang yang
bijaksana, bermoral dan berbhakti pada Tuhan. Hal tersebut yang dimaksud adalah
mengetahui filsafat Darsama mulai dari asal kata filsafat Darsana, pokok
pembahasan dan beberapa aliran dari filsafat Darsana yang masing-masing
memperbincangkan kebenaran yang berbeda-beda, keterkaitan filsafat Darsana
dengan agama Hindu atau kontribusinya dalam agama Hindu dan kehidupan
sehari-hari manusia yaitu dalam mengetahui kebenaran-kebenaran apa saja yang
disampaikan serta yang terpenting adalah dapat membandingkan dan memperdebatkan
masing-masing kebenaran tersebut untuk dapat secara bersama-sama ditarik suatu
kesimpulan yang hasilnya dapat dipahami dan diterima oleh banyak orang dengan
baik dan mudah.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya
untuk mendisiplinkan pengaturan file dalam otak memori pengetahuan dan
menstrukturkan pengetahuan secara wajar maka terlebih dahulu dijelaskan
mengetahhui pengertian Darsana. Berikut didefisikan pengertian Darsana dari
beberapa ahli yaitu kata darsana berasal dari bahasa sansekerta yaitu dari urut
kata ”drs” yang berarti melihat atau memandang. Dalam hubungan ini kata Darsana
berarti pandangan tentang kebenaran, berupa suatu pandangan yang benar terhadap
apa yang harus dilakukan oleh seseorang baik moral maupun material untuk
mencapai kebenaran atau kebahagiaan yang tertinggi dan abadi dalam situasi
kehidupan yang tertentu (Sumawa, 1996:2). Hal yang disampaian Sumawa sebelumnya
senada dan sekaligus dipertegas kembali oleh pendapat berikut yang menyatakan
bahwa kata Darsana berasal dari urat kata "drs" yang artinya
melihat atau memandang. Dalam hubungan ini kata Darsana artinya adalah sesuatu
pandangan yang benar terhadap apa yang harus dilakukan oleh seseorang baik
moral maupun material untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan abadi dalam
kehidupan tertentu (Suardeyasa, 2007:7).
Berdasarkan kedua pendapat di atas dinyatakan
bahwa Darsana adalah filsafat yang berisikan beberapa pandangan atau cara
menyebutkan, memuja, menyimpulkan kebenaran ajaran agama Hindu, memandang suatu
pembenaran dari masing-masing sudut dengan gaya pembenaran masing-masing untuk
mencapai kebahagiaan abadi yang disebut moksa.
Perlu juga diketahui nama atau istilah
lain yang memiliki arti mendekati dengan Darsana yaitu yang terdiri dari:
Tattwa, kata ini berasal dari kata ”tat” dalam bahasa sansekerta artinya
itu. Kata itu juga berarti jiwa yang tertinggi atau Tuhan. Dengan demikian
tattwa berarti hakekat atau kebenaran. Mananasastra, kata ini berarti
pemikiran, perencanaan, pertimbangan dan renungan yang dimaksud adalah pemikiran
atau renungan fisafati, sedangkan Wicarasastra, kata ini berarti pertimbangan,
renungan, penyelidikan dan keragu-raguaan yang dimaksud adalah penyidikan
tentang kebenaran atau filsafat (Sumawa,1996:2). Pendapat Sumawa kembali
dipertegas yang dinyatakan bahwa nama lain atau istilah lain dari Darsana yaitu
terdiri dari Tattwa; kata ini berasal dari kata "tat" yang artinya
itu. Dalam bahasa sehari-hari kata tattwa berarti uraian tentang Ke-Tuhanan; b.
Mananasastra: kata. ini berarti pemikiran, perencanaan. Pertimbangan atau
renungan. Yang dimaksud adalah pemikiran atau renungan filsafat; c.
Wicarasastra; kata ini berarti pertimbangan, renungan. Penyelidikan dan
keragu-raguan. yang dimaksud adalah penyelidikan tentang kebenaran; d.Tarka;
kata ini berarti spikulasi yang dimaksud adalah penyelidikan tentang kebenaran
(Suatama, 2007:25).
Filsafat Darsana merupakan proses
rasionalisasi dari agama dan merupakan bagian integral dari agama Hindu yang
tidak bisa dipisah-pisahkan. Agama memberikan aspek praktis ritual dan Darsana
memberikan aspek filsafat, metafisika, dan epistemologi sehingga antara agama
dan Darsana sifatnya saling melengkapi. Darsana muncul dari usaha manusia untuk
mencari jawaban-jawaban dari permasalahan yang sifatnya transenden, dan yang
menjadi titik awalnya adalah kelahiran dan kematian. Mengapa manusia itu lahir,
apa yang menjadi tujuan kelahiran manusia, dan apa yang hilang ketika manusia
mati, pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi titik awal dari Darsana.
Filsafat Darsana sering kali dianggap Atman sentris, artinya semuanya dimulai
dari Atman dan akhirnya berakhir pada Atman. Dalam proses pembelajarannya
selalu mengarahkan pada tujuan hidup tertinggi yaitu Moksa, semua proses
pikiran dan perasaan selalu diarahkan menuju tujuan tersebut. Sehingga filsafat
Hindu bukanlah proses pemikiran yang kering dan tanpa tujuan. Realisasi Atman menjadi
tujuan setiap Darsana walaupun dalam berbagai kapasitas yang berbeda, (Atman
agar direalisasikan) atau kembalinya kedudukan asli Atman sebagai pelayan abadi
Tuhan. Atman merupakan asas inti dari setiap kehidupan sehingga harus dipahami
keberadaannya.
Pada intinya secara esensial, dalam
konteks agama maupun Darsana, terdapat sebuah landasan bahwasannya di dalam
diri manusia terdapat asas yang sifatnya abadi dalam diri manusia, yaitu Atman.
Atman sebagai asas roh dan badan sebagai asas materi, Atman sebagai entitas
yang independent dan kekal selalu bersifat murni terbebas dari berbagai mala
(kekotoran). Mengembalikan Atman yang sifatnya abadi menuju sumber keabadian
inilah yang menjadi tujuan bersama antara Darsana dan agama. Atman di dalam
Bhagavadgita digambarkan sebagai berikut :
Acchedya artinya tidak terlukai oleh senjata.
Adahya artinya tidak dapat terbakar.
Akledya artinya tak terkeringkan.
Acesyah tak terbasahkan.
Nitya artinya abadi.
Sarwagatah artinya ada dimana mana.
Sthanu artinya tidak berpindah pindah
Acala artinya tidak bergerak.
Sanatama artinya selalu sama.
Awyakta artinya tidak terlahirkan.
Achintya artinya tidak terpikirkan.
Awikara artinya tidak berubah.
Karena sifat Darsana sebagai pandangan
yang merupakan akibat dari aktifitas ‘melihat’, maka dapat disadari bahwa ada
beberapa pandangan (Darsana) dalam tradisi intelektual India, secara umum
filsafat India (Veda) dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: Pandangan yang
orthodox, disebut juga Astika, kelompok ini secara langsung maupun tidak
langsung mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari 6 aliran
filsafat (Sad Darsana) yang pada akhirnya disebut sebagai filsafat Hindu, terdiri
dari: Nyaya, Vaisesika, Samkhya, Yoga, Purwa Mimamsa, Wedanta (Uttara Mimamsa).
Pandangan yang heterodox , disebut juga Nastika, kelompok ini tidak mengakui
otoritas Veda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari Carwaka, Jaina, dan Buddha
(Sumawa, 1996:3). Lebih jelasnya digambarkan dalam bagan struktur filsafat
Darsana yaitu:

Sumber: Sumawa, 1996:4)
Kebenaran yang dikemukakan oleh Weda pada
dasarnya melingkupi lima aspek besar yaitu percaya kebenaran Brahman, kebenaran
Atman, kebenaran karma, kebenaran Punarbawa dan kebenaran Moksa. Lima dasar
inilah yang saat ini dikenal dan disebut degan nama atau ajaran Panca Sradha
yang memiliki arti lima dasar keyakinan agama Hindu. Filsafat Darsana yang disebut
juga dengan filsafat India pada garis pokoknya memiliki dua kelompok besar yang
tentunya berbeda arah pandangannya atau pembenarannya yaitu terdiri dari
kelompok Nastika yang tidak mengakui kewenangan Weda diantaranya Budha, Jaina
dan kecuali Carwaka yang sepenuhnya kelima ajaran weda (Panca Sradha)
ditolak. Misalnya Jaina yang mengakui adanya Atman, Karma, Punarbawa dan Moksa
tetapi tidak mengakui adanya Brahman (Tuhan) tetapi mengakui adanya jiwa-jiwa
yang bebas disebut dengan Sidhas yang ajarannya sangat menekankan pada
Ahimsa dan Karma. Sedangkan Budha mengakui tiga aspek yaitu kebenaran Karma,
Punarbawa dan Moksa tetapi tidak mengakui kebenaran Brahman dan Atman. (Sumawa,
1996:4).
Selanjutnya menuju pada kelompok besar
yang kedua yaitu kelompok yang disebut dengan Astika yaitu kelompok yang
mengakui kewenangan Weda yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang
langsung bersumber dari weda dan kelompok yang tidak langsung bersumber dari
ajaran Weda. Kelompok yang langsung bersumber dari Weda terbagi kembali menjadi
2 bagian yaitu bagian yang menitikberatkan pada pelaksanaan upacara dari ajaran
Weda yaitu ajaran Mimamsa. Sedangkan bagian yang kedua yaitu bagian yang
menitikberatkan pada pemikiran filsafat dari weda disebut dengan ajaran Vedanta.
Ajaran Vedanta terbagi kembali menjadi ajaran Advaita, Visistadvaita dan Dvaita.
Kembali pada kelompok kedua dari Astika yaitu kelompok yang tidak bersumber
dari ajaran Weda terbagi menjadi ajaran Samkya, Yoga, Nyaya dan Vaisasika.
Dalam kelompok Astika sebenarnya tidak
semuanya mengikuti inti ajaran Weda walaupun mereka mengakui kewenangan Weda
misalnya seperti Samkhya dan Mimamsa yang hanya mengikuti empat aspek kebenaran
dari lima hakekat yang dikemukakan Weda, sedangkan Nyaya, Waisasika, Yoga dan Vedanta
sepenuhnya mengakui lima hakektai dari Weda. Kecuali carwaka semua filsafat
India menganggap kehidupan di Dunia tidak langeng dan penuh pederitaan. Lahir
berulang-ulang kali atau punarbawa itu sesungguhnya penderitaan. Moksa atau
kelepasan merupakan paramartha yaitu tujuan hidup tertinggi maka selain
carwaka disebut filsafat yang pesimis oleh orang-orang Barat maksudnya bahwa
menganggap di Dunia ini penuh dengan penderitaan.
Setiap aliran filsafat Darsana di atas
yang termasuk dalam kelompok Astika maupun Nastika memiliki tokoh-tokoh pendiri
dan penekanan ajaran yang berbeda, lebih jelasnya dipaparkan berikut ini:
1. Nyaya, pendirinya adalah Gotama dan
penekanan ajarannya pada aspek logika.
2. Vaisasika, pendirinya adalah Kanada
dan penekanannya ajarannya pada pengetahuan yang dapat menuntun seseorang untuk
merealisasikan sang diri.
3. Samkhya, menurut tradisi pendirinya
adalah Kapila dan penekanan ajarannya tentang proses perkembangan dan
terjadinya alam semesta.
4. Yoga, pendirinya adalah Patanjali
dan penekanan ajarannya adalah pada pengendalian jasmani dan pikiran untuk
mencapai samadhi.
5. Mimamsa, pendirinya adalah Jaimini
dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual dan susila menurut konsep
Weda.
6. Vedanta, kata ini berarti akhir Weda. Vedanta
merupakan puncak dari filsafat India. Pendirinya adalah Sankara, Ramanuja dan
madhawa, penekanan ajarannya yaitu pada hubungan Atman dengan Brahman dan
tentang kelepasan.
7. Carwaka, pendirinya ialah Bhagawan
Wrhaspati dengan penekanan ajarannya pada aspek material sebagai tujuan hidup
tertinggi dan tidak percaya terhadap kehidupan akhirat.
8. Jaina, pendirinya adalah Mahawira,
penekanan ajarannya aialah pada aspek ahimsa dan karma.
9. Budha, pendirinya ialah Sidharta Gautama dengan
penekanan ajarannya pada ahimsa dan
ketidakterikatan. (Sumawa,
1996:5-6).
B. Kedudukan Filsafat Darsana
Menurut
Rabindranath Tagore filsafat India berpangkal pada keyakinan bahwa ada kesatuan
fundamental antara manusia dan alam, harmoni antara individu dan kosmos, jadi
orang India bukan belajar untuk menguasai India, tetapi berteman dengan dunia.
Sedangkan menurut Harun Hadiwijono, pertumbuhan filsafat India keluar dari
agama itu meliputi suatu proses yang sangat pelan-pelan. Jikalau zaman Upanishad pada umumnya dipandang sebagai
saat kelahiran sang bayi filsafat India maka bayi sudah ada di dalam kandungan
ibu “Agama Hindu” selama lebih dari sepuluh abad. Di dalam waktuyang sekian
lamanya itu “embrio filsafat India” berkembang sehingga lahir sebagai filsafat
India, sekalipun setelah kelahirannya filsafat India tidak pernah melepaskan
diri dari pelukan sang ibu “Agama Hindu” (Surajiyo, 2009:167).
Dalam konteks keilmuan bahasa
Sanskerta filsafat India ini dikenal dengan istilah Sad Darshana. Darshana
berasal dari urat kata drish yang
artinya melihat atau memandang (Vreede, 1993:26). Dalam hubungan ini kata darshanam berarti pandangan tentang
kebenaran. Sedangkan pengertian yang tersimpul dalam kata darshanam sendiri merupakan suatu pandangan yang benar terhadap apa
yang harus dilakukan oleh seseorang baik moral maupun material untuk mencapai
kebenaran dan kebahagiaan yang tertinggi dan abadi (moksa).
Pertumbuhan filsafat dimulai Sejak
zaman Upanisad yang bibitnya sudah ada pada zaman Weda, maka dari itu dalam
perkembangannya tidak lepas dari Weda sebagai induknya. Perkembangan filsafat
dimulai pada tahun 2000 SM sampai tahun 1000 M (Sumawa, 1996:11). dari zaman
yang sangat panjang tersebut dibagi menjadi empat zaman yaitu zaman Weda, Zaman
Wiracarita, Zaman Sutra dan Zaman Skholastik diantaranya yaitu:
a. Zaman Weda
Zaman Weda diperkirakan berlangsung
tahun 1500 SM sampai dengan 600 SM, pada zaman ini tumbuhlah sumber-sumber
keagamaan dari kitab-kitab yang isinya diwahyukan yaitu diantaranya kitab Weda
Samhita, Kitab Brahmana dan Kitab Upanisad dinantaranya yang pertama yaitu
zaman Weda Samhita yang pada intinya terpusat pada pemujaan kepada para
dewa-dewa yang jumlahnya cukup banyak. Para Dewa dipandang sebagai kekuatan-kekuatan
yang nyata dan berpribadi, maka dipuja dengan sesajen yang dilakukan dengan
cara berpariasi baik sehari-hari maupun sewaktu-waktu tertentu yang disertai
dengan mantra-mantra pujian. (Sumawa, 1996:12).
Hubungan manusia dengan para Dewa sangat
erat sekali sebagai hubungan yang bersifat kekeluargaan, para Dewa dianggap
bapak atau saudara yang dimohon berkah dan perlindungan. Keterangan tentang
asal mula alam semesta dijelaskan berasal dan diciptakan oleh para Dewa dari
air. Dijelaskan dalam sloka-sloka Weda yang berisi pujian kepada Wiswakarman
disebutkan bahwa air samudra yang pertama mengandung benih Dunia yang terapung
di atas air dan dalam keadaan kacau. Dari benih atau telor itulah dilahirkan
Wiswakarman yaitu anak sulung alam semesta yang menciptakan Dunia ini.
Mengenai susunan dunia dikatakan
terdiri dari bumi, langit dan surga yang masing-masing ada Dewa sebagai
pemimpinannya. Selain dari itu terdapat doa-doa bersifat duniawi seperti banyak
anak, kekayaan, keselamatan, perjalanan dan sebagainya, selanjutanya jika
dianggap sesuatu yang abadi dan yang hidup sekarang harus mengikuti hukum Rta
dan setelah mati akan kembali pada asalnya. Begitulah awal filsafat atau suatu
pandangan mengenai kebenaran dari dasar Weda tentang keyakinan atau Srdha
pada zaman Weda Samhita.
Kedua yaitu pada zaman Brahmana yang
ditandai dengan bagian Weda yang berisi peraturan-peraturan keagamaan yang
disusun dalam bentuk prosa. Pokok pembicaraan kitab Brahmana adalah tentang
upacara yajna yang meliputi arti, persyaratan dan kekuatan gaib yang ada dalam
upacara tersebut. Kehidupan didominasi dengan upacara yang kedudukannya sangat
penting. Yajna yang kecil dilakukan oleh kepala keluarga sedangkan yajna besar
dilakukan oleh raja. Pada zaman Brahmana kehidupan masyarakat terbagi atas empat tingkatan yang disebut
dengan Catur Asrama diantaranya Brahmacari, Grahasta, Wanaprashata dan
Sanyasin. Pada masa Brahmacari dai usia 8-12 tahun anak diserahkan kepada guru
untuk dididik dan dilakukan upacara dengan mengikuti praturan. Setelah dewasa
memasuki masa Grahasta dengan dinikahkan membentuk keluarga, setelah mempunyai
cucu yang pertama maka mulai meninggalkan kehidupan duniawi dan mendalami makna
hidup dengan tapa dan samadhi dan yang terakhir masuk masa Sanyasin yaitu
melakukan dharmayatra untuk pembinaan umat dan mencapai kelepasan.
Dilihat dari segi filsafat zaman Brahman ini menjadi zaman pendahuluan
pemikiran yang bersifat metafísika, pikiran lebih diperluas dan bentuk yang
lebih abstrak dan sistematis.
Ketiga yaitu zaman Upanisad ditandai
dengan adanya kitab Upanisad sebagai sumber pokok pada zaman ini yang memiliki
arti duduk di bawah kaki guru, ini berarti dekat mendengarkan ajaran sang guru
yang bersifat rahasya. Kitab upanisad berjumlah 108 yaitu 12 buah dipandang
penting yaitu Isa, Kena, Katha, Prasana, Mundana, Manduknya, Aitareya,
Taittiya, Chandogya, Brhadaranyaka, Kausitaki dan Swetaswatara. Kitab tersebut
digunakan dalam menganalisis dan membahas kitab Brahma Sutra. Pokok ajaran
dalam kitab Upanisad garis mesarnya membahas berbagai aspek yang diuraikan
secara filosofis yang bersifat ilmiah spekulatif dari pada praktis. Hampir
semua kitab Upanisad membahas hakikat Brahman, Atman, hubungan Brahman dengan Atman,
hakekat maya, hakekat widya dan awidya serta kelepasan. Ajaran yang menonjol
yaitu ajaran yang monistis dan absolutistas artinya mengajarkan bahwa segala
sesuatu yang bermacam-macam ini dialirkan dari satu asas atau realitas
tertinggi, yang tidak dapat dilihat, tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat
ditangkap oleh akal manusia tetapi melingkupi segalanya yang disebut Brahman.
Selain dari pada itu ajaran yang
menonjul bahwa Brahman bersifat transenden yang berada di luar alam
semesta, di luar batas pikiran manusia dan bersifat imanen yang berada
di alam semesta, di dalam diri manusia dan yang hanya berada dalam batas pikir
manusia. Brahman yang berada dalam diri manusia disebut dengan Atman yang
dibungkus Panca Maha Bhuta, Panca Maya Kosa
yang memiliki sepuluh indriya (pancabudhidriya dan pancakramanidriya)
dan semua lapisan akan berubah-ubah setiap saat.
Pada zaman ini dikenal dengan ajaran karma
atau perbuatan yang berakar dari dari pada ajaran Rta atau hukum alam. Ajaran
ini berlaku pada kehiduan yang sekarang tetapi juga pada kehidupan yang akan
datang, ajaran tentang kelahiran kembali dipandang sebagai suatu kaitan dengan
kehidupan sebelumnya dan berdampak pada kehidupan yang akan datang.
b. Zaman Wiracarita
Zaman ini penuh dengan
kejadian-kejadian penting yang mengoyangkan pemikiran orang India karena krisis
politik. Pada zaman ini adanya kitab
Ramayana dan Mahabharata di mana aliran filsafat bersifat atheistis
yaitu carwaka, jaina dan budha. Carwaka dinamakan Lokayatika tidak
mengakui adanya Tuhan, Atman, Karma, Punarbawa dan moksa dan tujuan
tertingginya adalah terpenuhnya kepuasan indriyanya tetapi aliran ini mengakui
adanya kehidupan di akhirat. Ajaran filsafat Jaina menekankan pada ahimsa
dan karma yang mengajurkan pengikutnya bila berjalan menutup mulut dan
membawa sapu, sedangkan kelompok Budha yang menekankan pada ahimsa dan karma.
Ramayana dikarang oleh maha Rsi
Walmiki permulaan tahun Masehi terdiri dari 7 kanda (jilid) dalam bentuk syair
sebanyak 24.000 sloka, isinya menekankan tentang keagamaan atau kesusilaan yang
mendalam yang dapat dipergunakan sebagai pedoman oleh Amat Hindu. Sedangkan
kitab Mahabhrata yang dihimpun oleh Rsi Wyasa Krisna Dwaipayana yang berisikan
bermacam-macam yang terdiri dari 18 Parwa dalam bentuk syair sebanyak 100.000
sloka, cerita pokok meliputi 24.000 sloka menceritakan peperangan dahsyat
selama 18 hari antara Pandawa dan Kaurawa yang selengkapnya disebut “Mahabharatayudha”
yang artinya perang besar anatara keluarga Bhatara.
Ajaran filsafat dalam zaman ini
diambil dari wejangan Krisna kepada Arjuna di Medan perang yaitu keragu-raguan
Arjuna dalam mendan perang, perbincangan itu dibukukan ke dalam 18 bab atau adyaya
yang terdiri dari 700 sloka yang disebut Bhagawadgita. Ajaran ini berpangkal
pada tiga prinsip yaitu Iswara, Purusa dan prakerti, Iswara
aspek Brahman dalam wujud imanen yang memiliki daya dan
intensitas yang ditangkap oleh perasaan dan pikiran disebut dengan Apara
Brahman yang sama artinya dengan Saguna Brahman. Wujud
kedua yaitu Para Brahman wujud transenden yang tidak dapat
ditangkap oleh perasaan dan pikiran sama juga dengan Ninguna Brahman
atau Parama Siwa. Alam semesta berasal dan berakhir pada Brahman dan
terdapat tiga jalan mencapai kelepasan menyatu dengan Brahman yaitu Bhakti,
karma dan Jnana ketiga ajaran ini bersifat monisme. (Sumawa, 1996:22-24).
c. Zaman Sutra
Setelah zaman Wiracarita muncul
zaman Sutra yang ditandai dengan adanya susunan kitab-kitab Sutra sekitar tahun
500 SM sampai dengan 500 M. Kitab-kitab Sutra pada umumnya berisi uraian prosa
yang disusun secara singkat dengan maksud agar mudah dihapal dan mudah
dipergunakan sebagai buku pegangan. Kitab Sutra inilah yang menjadi sumber
sistem-sistem filsafat yang tinggal pada masa ini, seperti Brama Sutra oleh
Badarayana, Yogasutra oleh Patanjali, Samkhya Sutra oleh Kapila, Nyayasutra
oleh Gautama, Waisasikasutra oleh Kanda dan Mimamsasutra oleh Jaimini.
d. Zaman Skholastik
Zaman ini sekitar tahun 200 M yang
disebut zaman kemajuan dengan munculnya tokoh-tokoh besar seperti Sankaracarya,
Ramanuja dan Madhwa. Zaman ini tidak
dapat dipisahkan dengan zaman Sutra karena tokoh-tokoh besar yang berhasil
menyusun kembali ajaran-ajaran kuna berhasil memberi angin baru dalam
perkembangan pemikiran India.
C. Tujuan Mempelajari Filsafat Darsana
Pada garis besarnya pengertahuan
filsafat Darsana dapat memberikan keterangan yang seluas-luasnya terhadap
hal-hal yang bersifat keduniawian dan kerohanian yang menjadi tujuan hidup
manusia, sehingga akan terwujud kebijaksanaan dan cara berpikir. Inti filsafat Darsana
yaitu berusaha untuk mengungkapkan berbagai gejala-gejala duniwai sampai pada
kesimpulan yaitu tercapainya kebenaran dan tercapai juga kebahagiaan, karena
manusia dihadapkan pada dualisme yang berbeda yang dapat membingungkan dan
menyesatkan, yaitu tepatnya tercapainya tujuan hidup tentang Dharma, artha,
kama dan moksa.
Filsafat Darsana akan mencoba
memahami secara lebih umum tentang dirinya sendiri, alam semesta, tentang Tuhan
yang tertuang dalam filsafat Darsana. Jika dilihat dari Weda maka Filsafat
Darsana termasuk dalam kitab Sruti yang sama artinya dengan wahyu yang mana
filsafat Darsana mengandung hal-hal
penting menjadi tujuan pembelajarannya
yaitu:
1. Ajaran yang mencakup aspek filsafati
atau keilmuan yang menjelaskan hakekat mengenai ketuhanan, Atman, Karma,
Punarbawa dan moksa atau kelepasan.
2. Ajarannya mencakup aspek ritual atau
yajna yang dibahas secara luas, mengadung ajaran etika atau susila.
3. Untuk menemukan kebenaran tentang hakekat
Tuhan, manusia dan alam semesta.
4. Untuk mengembangkan kebijaksanaan pada
diri sediri pribadi dan persepsi seorang terhadap berbagai masalah yang sedang
dan yang akan dihadapi.
5. Untuk memberikan atau memudahkan jalan bagi
setiap orang dalam usaha mereka mencapai kesempurnaan hidup sesuai dengan
konsep ajaran Agama Hindu.
Dari apa yang diuraikan di atas kita dapat
mengetahui betapa pentingnya peranan filsafat Darsana dalam kehidupan manusia
yang berguna untuk mengenal bagaimana pandangan agama Hindu terhadap Tuhan,
manusia dan alam semesta.
filsafat India yaitu filsafat Darsana dapat
dibagi dua golongan besar, yaitu (1) astika
yang berpaham ortodoks; dan (2) nastika
yang berpaham heterodoks. Disebut astika, golongan ini secara langsung maupun
tidak langsung mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya yang terdiri
dari enam filsafat yaitu: Nyaya, Vaisesika, Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Vedanta.
Disebut juga Nastika, golongan ini tidak mengakui otoritas Veda sebagai sumber
ajaranya terdiri dari Carwaka, Buddha dan Jaina.
MIMAMSA DARSANA


A. Pemahaman Filsafat Mimamsa
Sistem filsafat mimamsa terbagi menjadi
dua jenis yaitu: Purwa Mimamsa dan Uttara Mimamsa. Mimamsa sering juga disebut
Purwa Mimaniba yang artinya penyelidikan sistimatis yang pertama, yang dimaksud
bahwa sistem ini membicarakan bagian Weda yang pertama yaitu kitab Brahmana.
Sedangkan Utara Mimamsa disebut juga Wedanta yang artinya penyelidikan
sistematis yang kedua, yang dimaksud adalah sistem ini membicarakan bagian Weda
yang kedua yang disebut kitab Upanisad. (Sumawa, 1996:105). Sifat ajaran
filsafat adalah pluralistis dan realistis, disebut pluralistis karena mengakui
adanya banyak jiwa dan penggandaan asas badani yang membenahi alam semesta. sedangkan
disebut realistis karena mengakui bahwa obyek-obyek pengamatan adalah nyata.
Definisi tentang pembagian mimamsa tersebut dipertegas kembali bahwa aliran
mimamsa juga disebut Purwa Mimamsa karena membahas hasil-hasil dari segi-segi
ritual kebudayaan zaman Weda sedangkan Uttara Mimamsa yang juga disebut Wedanta
merupakan perkembangan dari segi pemikirannya (Pendit, 2007:129).
Sistem Mimamsa menerima dua jenis
pengetahuan yaitu: immediate dan mediate. Immediate ialah pengetahuan yang terjadi dengan
tiba-tiba, langsung dan tak terpisahkan dan objek pengetahuannya haruslah
sesuatu yang ada atau zat, sedangkan mediate ialah pengetahuan yang
diperoleh melalui prantara atau media. Pengetahuan yang berdasar apa yang tidak
dapat ditentukan terlebih dahulu serta datangnya secara tiba-tiba disebut
dengan Nirwikalpa Pratyaksa atau Alocana Jnana. Dan bila pada
tingkatan berikutnya kita menginterpretasikan arti dari objek itu berdasarkan
pengetahuan-pengetahuan yang kita miliki sebelumnya, sampai kita mengerti benar
mengenai benda itu itulah persepsi yang sudah kita tentukan yang dinyatakan
dalam pertimbangan-pertimbangan dinamakan Sawikalpa pratyaksa. (Sumawa,
1996:115). Pendapat Sumawa tersebut kembali ditambahkan bahwa Mimamsa mengakui
adanya dua macam pengetahuan yaitu pengetahuan yang langsung pertama diterima
oleh indriya dan mengetahui benda tersebut namun belum dapat dipaparkan disebut
dengan Nirwikalpa pratyaksa dan pengetahuan tak langsung merupakan
pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran dikaitan dengan objek yang baru
masuk ke dalam pikiran dan dinterpretasikan dan dapat mempunyai persepsi yang
dapat dipastikan dengan berbagai
pertimbangan sehingga dapat memutuskan benda tersebut seperti apa yang disebut
dengan Sawikalpa prat (Pendit,
2007:131).
Yang menjadi sumber pokok ajaran Mimamsa
adalah Mimam Sutra sebuah karya Maha Rsi Jaimini. Dalam perkembangan selajutnya
timbulah kitab komentar terhadap Mimamsa Sutra ditulis oleh Sabarawamin
Komentar ini diterangkan dengan cara yang berbeda oleh Kumarila Bhatta dan
Prabhakara. oleh karena itu timbullah dua aliran yaitu pengikut Kumarila
Bhatta dan pengikut Prabhakara Pokok-pokok ajaran kedua ini
pada prinsipnya sama. Aliran dari filsafat Mimamsa yang dipimpin oleh Maha
Rsi Prabhakara mengemukakan adanya empat sumber atau alat pengetahuan (pramana)
antara lain: 1) Upamana atau perbandingan, 2) Sabda yaitu pernyataan seseorang
tentang sesuatu, 3) Arthapati yaitu perkiraan tanpa bukti, 4) Anupalabdhi yaitu
tanpa persepsi. (Sumawa, 1996:119-120). Seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya ditambahkan kembali oleh Pendit bahwa sumber alat atau sumber untuk memperoleh
pengetahuan terbagi menjadi 4 macam yang termasuk sumber pengetahun tak
langsung atau non persepsional yaitu 1) perbandingan (upamana), 2)
wewenang atau kesaksian (sabda), 3) hipotesis (arthapati, dan 4)
Non persepsi (anupalabdhi). (Pendit, 2007:133-143).
Berdasarkan kedua pendapat ahli di atas
dapat dilihat dan dipahami bahwa cara atau alat memperoleh pengetahuan menurut
filsafat Mimamsa pada dasarnya terdapat lima cara atau alat memperoleh
pengetahuan tetapi pengetahuan langsung tidak termasuk alat melainkan suatu
bentuk interaksi indriya yang tidak dapat dihindari pada pendahuluan persepsi
pengetahuan yang datang. Tetapi
yang dikatakan alat yang aktif terdapat empat macam yaitu dengan perbandingan,
kesaksian, penafsiran sementara dan tanpa persepsi. Lebih jelasnya dipaparkan
berikut ini yaitu:
1. Perbandingan atau Upamana
Pandangan Mimamsa tentang Upamana bahwa
perbandingan pengetahuan berdiri sendiri yang dikaibatkan oleh perasaan akibat
adanya perbedaan. Menurut mimamsa pengetahuan muncul dari perbandingan, bila kita tahu bahwa objek
yang diingat adalah persis seperti yang diterima (Sumawa, 1996:116). Hal tersebut
dipertegas kembali bahwa pengetahuan perbandingan tersebut muncul dari
perbandingan tatkala pada saat kita melihat objek yang sekarang tampak sama
seperti objek yang diketahui di masa lampau maka kita jadi dapat mengetahui
objek yang dilihat (Pendit, 2007:133). Dengan demikian Upamana atau perbandingan
ini terjadi apabila adanya pengetahuan awal di dalam pengetahuan diri kita
sehingga jika melihat objek atau benda dapat diperbandingkan dengan pengetahuan
sebelumnya maka dapat dengan benar mengetahui benda atau objek yang telah
dilihatnya melalui indiriya baik di dengar, dirasakan atau dengan perasaan.
Sebagai contoh akan dipaparkan suatu
ilustriasi, sewaktu anda kecil pernah melihat bahkan bermain layang-layang yang
biasanya terbuat dari beberapa pilah bambu yang sudah dibersihkan dan dirapikan
dibentuk berbentuk limas dan diberikan kertas atau plastik kemudian diberikan
benang dan seterusnya mencari lapang yang luas dan menerbangkan layangan dengan
benang yang panjang, semakin panjang benang diulurkan semakin tinggi dan
jauhlah layangan tersebut. Setelah anda besar pergi pantai kuta Bali dan
melihat beberapa toris sedang diikat dengan tali yang panjang dan menarik
layangan yang besar dan toris itu diterbangkan dan semakin panjang tali
diulurkan oleh penjaga pantai semakin jauh dan kecillah kelihatan layang-layang
dan toris tersebut. Dengan demikian anda akan dapat mengatakan itu adalah sebuah
layang-layang yang besar karena anda sudah mengetahui layang-layang itu
bentuknya dan sifatnya serta ciri-cirinya demikian yaitu terdapat tali, plastik
atau kertas, ada orang yang menerbangkan di lapang yang luas yang terdapat
banyak angin. Sehingga anda langsung dapat mengatakan itu adalah sebuah
layang-layang besar, tetapi apabila anda tidak memiliki pengetahuan tentang
layang-layang maka anda tidak akan bisa langsung mengetahui benda tersebut
sebelum bertanya kepada orang yang sedang mengetahui hal tersebut.
Sebagai contoh yang kedua yaitu jika
seorang anak yang tinggal di desa bersama-sama dengan kakak dan orang tuanya
selalu mengerjakan pekerjaan setiap pagi mengarit rumput dan memberi makan
rumput pada sapi, memandikan sapi dan dipakai membajak sawah. Setelah anak
tersebut pergi kekebun binatang melihat kambing dan onta maka anak tersebut
akan berbicara bahwa itu adalah sapi karena bentuk ciri-cirinya sama memiliki
empat kaki, memakan rumput dan bentuk kepalanya sama maka anak itu mengangap
kambing tersebut adalah sapi seperti yang dilihatnya di rumah.
Pengertahuan yang seperti ini tidak dapat
diklasipikasikan ke dalam persepsi, karena objek yang dikenal tidak diterima
dengan waktu yang bersamaan maksudnya datangnya tidak melalui analisis berpikir karena benda atau objeknya
sudah dikenal sebelumnya sehingga mengunakan ingatan dasar atau ingatan karena
ketertarikan objek yang dilihatnya. Bentuk ingatan seperti ini tidak dapat
dikatakan kesimpulan karena perbandingan yang dilakukan sekedar ingatan
pemenuhan keinginan dari penarikan objek atau benda yang menurutnya menarik dan
ada di dalam ingatan yang telah dikenalnya.
Kesamaan dari suatu perbandingan sebagai
suatu kategori kenyataan yang terpisah bahwa kesaman tidak dapat disebut
kualitas yang lain, karena suatu kualitas tidak dapat dimiliki oleh suatu
kualitas yang lain. Tetapi kesamaan dimiliki oleh kualitas-kualitas pula, ia
tidak dapat diperlakukan sebagai suatu yang universal karena universal berarti
sesuatu yang benar-benar identik dalam banyak individu (Pendit, 2007:136). Hal
yang disampikan di atas dapat dipahami bahwa Mimamsa memandang dalam mengamati
dengan perbandingan hanya sebuah awal dari suatu analisis untuk mendapat
kebenaran yang sejati, karena dengan membandingkan terlebih dahulu maka akan
terpancing pikiran untuk lebih semangat menganalisis dan mencari tahu
pembenaran. Akan lebih bagus hasil analisis bila hasil perbandingan ternyata
dari kesamaan berangsur-angsur terlihat perbedaan. Tetapi hasil analisis
tersebut tentunya tidak memiliki kesamaan seperti penafsiran awal bahwa kambing
sama dengan sapi di rumahnya tetapi setelah dianalisis ternyata yang seperti
sapi adalah kambing yang lebih kecil tubuhnya dari sapi dan namanya kambing
serta makanannya tidak sama persis seperti sapi dan kambing tidak mempunyai
tanduk seperti tanduk sapi begitu seterusnya. Dengan demikian bahwa
perbandingan dari kesaman tidak berlaku pada Upamana Mimamsa yang sebenarnya
hal ini dinyatakan bahwa semua yang dapat diperbandingkan memiliki kualitas
atau perbedaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh kualitas lainnya atau objek
lainnya.
Jika dikaitkan dalam memperoleh kebenaran
dalam konsep agama Hindu bahwa konsep tersebut merupakan konsep yang langsung
bersumber dari ajaran weda yang menekankan kepada pribadi setiap individu,
benda, tumbuhan, hewan atau yang lainnya memiliki kualitas yang berbeda-beda.
Kualitas yang dimaksud adalah karma akibat dari punarbawa dan kualitas Sang
atman atau jiwa di dalamnya. Tetapi dalam hal ini untuk memudahkan dan
mempersonifikasikan Tuhan yang tidak terpikirkan untuk dapat dikomunikaskan
menjadi hal yang dapat dipikirkan Tuhan dapat diperbandingkan dengan bentuk
seperti manusia, setengah manusia, seperti binatang, tumbuhan atau benda mati,
tetapi persaman itu bukan berarti kualitasnya sama melainkan hanya sebuah
perbandingan untuk mencapai komunikasi dengan hal yang tidak terpikirkan atau Nirguna
Brahman.
Dengan demikian bahwa Upamana atau
perbandingan dalam filsafat mimamsa digunakan dalam kehidupan beragama Hindu
yaitu dengan mempersamakan kekuatan Tuhan dalam bentuk tertentu yang telah
dikenal terlebih dahulu oleh manusia, agar dalam mengkomukiasikan atau
berhubungan diri dengan Tuhan lebih mudah seperti bentuk patung Dewa seperti
manusia, pratima di Bali, banten, dan lain sebagainya. Telah sangat jelas Upamana
bersumber dari ajaran Weda sebab mengakui lima dasar agama Hindu yaitu percaya
bahwa setiap benada, hewan, tumbuhan,
manusia dan benda lainnya memiliki kualitas yang berbeda yang disebut
dengan karma, dan segala yang diketahui untuk diperbandingkan adalah hasil
karma terdahulu dalam jalur renkarnasi dan tujuan perbandingan mencari kesamaan
dalam kualitas yang berbeda-beda dan hanya kualitas yang sama di dalam
perbedaan kualitas yaitu disebut dengan jiwa atau Atman yang kualitas kesamaan
adalah dengan Tuhan atau Brahman. Dengan mengetahui awal kesamaan yang memiliki
perbedaan kualitas dan dalam perbedaan kualitas ternyata tersimpan kesamaan itu
disebut dengan mencapai tujuan agama Hindu atau tujuan hidup disebut Moksa atau
kelepasan kehidupan yang abadi.
2. Pernyataan Sesorang Tentang Sesuatu atau
Sabda
Melangkah pada cara memperoleh pengetahuan
yang selanjutnya yaitu disebut Sabda atau pernyataan seseorang tentang sesuatu
dan juga dapat dikatakan wewenang atau kesaksian. Bagi Mimamsa alat pengetahuan
ini yang terpenting karena berkaitan dengan sabda kitab Suci Weda, karena Weda dipandang
bukan sebagai hasil karya manusia tetapi juga juga hasil karya yang muncul dari
kehendak Tuhan yang kekal abadi. Dengan demikian mimamsa membagi Sabda menjadi
2 sumber yaitu sumber dari seseorang atau pribadi yang dapat dipercaya (anapta-wakya)
merupakan kesaksian atau pernyataan seseorang yang dapat dipercaya berupa lisan
dimana dibagi juga menjadi dua jenis yaitu yang bersifat manusia atau personal
(pauruseya) dan yang bukan manusia atau impersonal (apauruseya).
Dan kembali pada yang kedua dari bagian pertama yaitu bersumber dari yang tidak
langsung yaitu bersumber dari kitab Suci Weda. Lebih jauh tentang infromasi
objek (siddhartha wakya) selanjutnya memberikan petunjuk-petunjuk
tentang pelaksanan suatu tindakan (vidhayaka vakya) (Sumawa, 1996:118),
Pendit (2007:136).
Mimamsa berpandangan dari kedua sumber
pengetahuan lebih diperhatikan pada sumber yang berasal dari kitab suci Weda
sebab kitab suci weda sudah mewakili seluruh sumber baik secara pribadi maupun
dari bukan manusia dan juga kitab suci laninya. Memilihnya kitab suci sebagi
sumber sabda karena kitab Weda telah merangkum segala sumber pengetahuan yaitu
sabda lisan yang diterima para Maha Rsi dari Brahman, terdapat
petunjuk-petunjuk, terdapat berbagai informasi tentang segalanya, diturunkan
dari orang-orang yang dapat dipercaya dan tentunya orang yang dapat dipercaya
menerima dari objek yang bukan orang yaitu Tuhan atau Brahman. Argumentasi
panjang diajukan untuk menguatkan pandangan di atas yaitu:
a. Seandainya kitab suci Weda ada
pengarangnya, namanya pasti disebutkan, dikenal dan diingat, karena
ajaran-ajaran bijak dari Weda telah diturunkan dari generasi-kegenarasi guru,
cendikiawan dan mereka yang belajar, terus menerus tanpa keputusan, sejak zaman
dahulu kala yang tidak diketahui permulaanya. Namun tak satu namapun dari
pengarangnya yang dikenal dan diingat. Bahkan mereka yang percaya pada kitab
suci Weda tidak sepakat tentang asal mulanya. Beberapa diantara mereka
mengatakan Tuhan Hirayangarbha, ada prajapati sebagai
penciptanya. Kenyataan mereka berpikir samar-samar berdasarkan analogi
buku-buku biasa, bahwa kitab suci Weda seharusnya ada pengarangnya, tetapi
mereka tidak mengetahui secara pasti siapa pengarang tersebut. Memang ada nama
tertentu tercantum tetapi nama Rsi-rsi, yang dalam hal ini pelopornya dari berbagai sampradaya menjadi
kitab suci Weda belum diketahui sehingga kitab Weda bukan karangan siapapun
atau dapat disebutkan beberapa nama melainkan disusun dengan banyak orang dan
dalam waktu yang sangat lama.
b. Mimamsa mengajukan teori bahwa kata-kata (sabda)
adalah sebetulnya bukan bunyi yang didengar tetapi sebuah pengungkapan dari
kata-kata yang dirinya (kata-kata itu) sendiri tidak diciptakan. Sesungunguhnya
kata-kata adalah huruf-huruf yang terbagi-bagi dan tidak mempunyai sebab.
Sebuah huruf diucapkan oleh orang yang berbeda-beda ditempat yang berbeda-beda,
pada waktu yang berbeda dan dengan cara yang berbeda pula. Walaupun bunyi huruf
ini berbeda-beda, kita mengetahui bahwa huruf yang sama diucapkan oleh mereka
semua. Identitas huruf ini menunjukkan bahwa ia (huruf itu) tidak dibuat pada
suatu waktu di suatu tempat melainkan suatu eksistensi keabadian tanpa awal,
ruang, waktu dan sebab dimensi. Karena itu kata-kata seperti halnya huruf-huruf
dapat dipandang sebagai kekal abadi yaitu memiliki eksistensi tetapi tidak
memiliki sebab atau tidak ada yang menyebabkan.
c. Suatu argumentasi mendukung bahwa kitab
suci Weda bukan buatan manusia karena kitab tersebut menjelaskan tugas-tugas
ritual yang menyatakan hasilnya (seperti mencapai moksa dll). Hubungan antara
pelaksanan tugas-tugas tersebut dan hasilnya yang demikian tidak dapat
dikatakan sama yang seperti dialami seseorang. Jadi tak seorangpun dapat
dikatakan pengarang kitab suci Weda dan juga tidak masuk akal untuk mengatakan bahwa
pengarangnya adalah seorang penipu yang cerdik, karena jika demikian tak
seorangpun mempelajari ajarannya sejak purbakala.
d. Ketidak salahan (kebenaran) wewenang kitab
suci Weda terletak pada kenyataan bahwa ia tidak dinodai oleh suatu kesalahan
apapun yang bisa terjadi pada karangan buatan manusia.
e. Kitab suci Weda bukan buatan manusia,
karena pengetahuan yang diperoleh adalah tugas kewajiban yang bebas dan berdiri
sendiri. Terdapat nilai khusus yaitu mengandung wahyu Tuhan yang tidak dapat
ditemukan pada kitab lainnya. Tidak seperti manusia dimana penggetahuan yang
baru ada karena pengetahuan sebelumnya tetapi berbeda dengan kitab suci Weda tidak
demikian terlahir tanpa adanya pengetahuan sebelumnya itu menandakan kitab Weda
adalah kekal abadi.
f. Pengetahuan yang kekal abadi adalah
pengetahuan yang dijamin oleh kondisi-kondisi yang memungkinkan pengetahuan
dapat diterima dalam waktu, tempat dan situasi manapun dan menjamin kepada
siapa yang mengunakan pengetahuan tersebut tidak seperti pengetahuan lainnya
hanya menjamin kebenaran pada dirinya sendiri. (Pendit, 2007:138-140).
Pernyataan Mimamsa seperti tertuliskan di
atas dalam dunia pendidikan ilmiahpun sepertinya sependapat dan sepakat seperti
apa yang disampaikan Mimamsa yaitu dalam memperoleh pengetahuan hendaknya
berdasarkan sumber tertulis yang kebenarannya yang telah teruji dan telah
diterima oleh lembaga penjamin resmi milik pemerintah. Sebagai contoh pembuatan
karya tulis, seorang penulis dalam berpendapat harus didukung oleh sumber yang
baku dari hasil penelitian, penulisan, jurnal terdahulu yang kebenarannya telah
terbukti. Dalam hal ini buku yang memiliki ijin yang terlebih dahulu dikoreksi
dan diamati oleh tim ahli begitu juga dengan hasil penelitian yang sudah
diujiakan dan memiliki hasil yang baik. Jika tidak demikian maka tentunya hasil
yang penulis tawarkan kurang valid atau kurang sahih atau kurang ada dukungan
pendapat dari berbagai sumber sehingga akan mudah mencari kesalahan atau
kesalahan akan mudah terjadi, karena dengan banyaknya sumber maka akan
meminimalisir kesalahan karena setiap gerak dan prilaku dikontrol oleh
sumber-sumber yang digunakan.
Begitu halnya dengan pengetahuan agama
Hindu dalam menganalisis persoalan yang terjadi baik menyangkut filsafat,
ritual, etika maupun kehidupan sehari-hari selalu berdasarkan ajaran Weda agar
sedapat mungkin menghilangkan kesalahan atau kekeliruan serta dosa. Selain dari
pada itu ajaran Weda menyangkut segala aspek kehidupan itu terbukti seperti
teori Mimamsa bahwa kata-kata yang terdiri dari huruf-huruf dalam Weda telah
tersusun oleh manusia sejak mansuia itu belum mengetahui kata-kata atau
huruf-huruf tersebut sehingga sudah memastikan ajaran Weda benar adanya dari
Tuhan.
Dalam konsep Mimamsa menekankan lebih
dalam mengenai segala perbuatan didasarkan pada kebenaran yang mutlak yang
bersumber dari kitab suci Weda. Tindakan adalah sebuah kerja, kerja adalah
sebuah perbuatan, perbuatan adalah sebuat ritual, ritual yang menghasilkan
suatu hasil yang sama dengan tindakan tersebut. Setiap tindakan adalah doa atau
permintaan dari orang yang bertindak untuk mewujudkan sesuatu yang diinginkan
dari tindakan tersebut. Setiap doa dalam tindakan akan selalu dikabulkan atau
diberkati oleh Tuhan, maka dalam berbuat selalulah berdasarkan kitab Suci Weda
atau kebenaran Tuhan agar hasil dari doa itu tekendali dan sadar dilakukan
untuk mencapai kebahagiaan tanpa sebab dan akibat. Tentunya Mimamsa lebih
menekankan pada tindakan sebagai suatu ritual dan doa mencapai Brahman. Dengan
demikian manusia dianjurkan untuk bertindak dan melaksanakan ritual yang
diperintahkan dalam Weda untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagian di Dunia
dan diakhirat.
3. Perkiraan Tanpa Bukti (Hipotesa atau Arthapatti)
Arthapatti adalah suatu bentuk perkiraan
yang sangat diperlukan terhadap sesuatu yang sulit dipahami melalui beberapa
penjelasan yang berlawan satu dengan
yang lain. Penjelasan ini memerlukan
beberapa fakta untuk
menerangkan suatu bentuk
yang sebenarnya. Bila memberikan penjelasan tentang suatu benda
yang belum pernah dilihat wujudnya kepada seseorang hendaknya menjelaskan benda
yang dimaksud itu dengan benda lain yang sudah dikenalnya, sehingga orang
tersebut mudah mengenalinya.
Arthapatti adalah hipotesis penting dari
fakta yang tak dapat dilihat yang ia sendiri tidak dapat menjelaskan dan
membutuhkan penjelasan. Proses menjelaskan suatu gejala yang tidak mungkin
tanpa penjelasan ini dengan penekanan pada penjelasan fakta tersebut (Pendit,
2007:141). Seperti halnya melihat seseorang yang badanya gemuk, padahal ia
tidak pernah kita lihat makan pada siang hari, dalam hal ini terdapat suatu
kenyataan yang bertentangan dengan badannya. Dalam pandangan sepintas orang
tersebut seperti puasa atau jarang makan sehingga sangat sukar menafsirkan
mengapa orang tersebut tetap gemuk, maka hal yang diperkirakan bahwa orang
tersebut kuat makan pada malam hari dikarenakan karena kesempatan dan hobi
makan pada malam hari.
Contoh di atas merupakan penafsiran yang
sederhana karena masih terdapat pilihan untuk memberikan jawaban atas
pertanyaan dalam diri. Hal
inilah yang disebut dengan Arthapatti. Kemudian pengetahuan seperti itu belum
tepat dikatakan kesimpulan sebab jika dikatakan kesimpulan harus sudah dapat
dilihat orang tersebut hobi dan hanya ada kesempatan makan pada malam hari.
Jadi hal tersebut merupakan penarikan sementara jawaban sebagai bentuk analisis
selanjutnya mencari kesimpulan yang sebenarnya yang disebut dengan hipotesa
atau hipotesis.
Sekiranya perlu diperhatikan bahwa
Arthapatti mirip dengan hipotesis seperti diartikan dalam logika barat. Tetapi
bedanya ia kekurangan watak sementara atau yang provisional dari suatu
hipotesis. Apa yang diketahui dengan jalan Arthapatti bukan hanya diandalkan
secara hipoteis semata-mata, melainkan diyakinkan sebagai satu-satunya
penjelasan yang mungkin benar. Karena Arthapatti timbul dari suatu kebutuhan
akan penjelasan maka ia adalah berbeda dari suatu kesimpulan yang silogistik,
dengan kata lain Arthapatti adalah suatu
usaha untuk mencari alasan-alasan, sedangkan suatu hipotesis adalah untuk
mencari konsekuensi-konsekuensinya (Pendit, 2007:143).
Definisi hipotesis seperti yang dijelaskan
di atas jika dikaitkan dengan hipotesis pendekatan ilmiah maka dapat
didefiniskan bahwa hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan
masalah penelitian, rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
kalimat yang berdasarkan atas teori yang relevan, belum didasarkan pada
fakta-fakta empiris yang diperoleh
melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis adalah ”jawaban teoretis
terhadap rumusan masalah penelitian” (Sugiyono, 2010:96).
Berdasarkan beberapa penjelasan sebelumnya
dapat dipahami bahwa pandangan mimamsa terhadap jawaban sementara dipandang
sangat penting sebagai usaha memberikan jawaban atas kebutuhan suatu jawaban. Penafsiran
sementara sangat dibutuhkan didalam hidup manusia dalam menafsirkan sesuatu
yang tidak dapat dipikirkan oleh manusia itu seperti Tuhan. Sehingga dalam
beragama manusia selalu menafsirkan Tuhanya dalam bentuk, nama dan sifatnya
yang beraneka ragam. Mimamsa mengatakan bahwa penafsiran ini dibutuhkan untuk
mencapai moksa yang berawal dari pengetahun suci weda yaitu dengan membentukkan
Tuhan ke dalam bentuk manusia, manusia setengah binatang, dan binatang, yang
memiliki sifat, kekuatan, dan kelebihan tersendiri yang di Bali dibentuk ke
dalam bentuk patung, pura, sanggah, banten dan bentuk lainya yang berpedoman
pada kitab suci Weda. Penafsiran ini dibutuhkan agar manusia dalam berhubungan
dengan Tuhan lebih mudah dan dengan menafsirkan Tuhan dalam bentuk duniwai akan
dapat menafsirkan tindakan yang benar.
4. Tanpa Persepsi atau Anupalabdhi
Anupalabdhi termasuk cara yang diajarkan
oleh Kumarila Bhakta yang menyatakan
bahwa ketidak adaan objek bila dijelaskan atau bila ingin dapat
diterangkan dengan suatu contoh, misalnya seseorang masuk ke dalam kamar dan
melihat-lihat kesana-kemari dan ia berpikir tidak ada meja karena dirungan itu
tidak ada meja. Karena ketidak adalan meja membuat pengetahuan itu muncul
(Adiputra, 1990:38). Senada dengan pendapat sebelumnya dipertegas kembali bahwa
Anupalabdhi adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan mengenai tidak adanya
pengamatan terhadap sesuatu objek dikarenakan memang bendanya tidak ada
(Sumawa, 1996:120). Berdasarkan kedua pendapat di atas tentu dapat dipahami
bahwa pengetahuan yang muncul akibat tiadanya objek tetapi pengetahuan itu
muncul justru karena ketiadaan objek tersebut sesungguhnya memberikan maksud
bahwa akibat ketidak sesuaian yang pernah dirasakan atau dilakukan terhadap
kenyataan yang baru sehingga ketidak sesuai atau kejangalan menimbulkan suatu
pertanyaan dalam diri dan terlahir suatu jawaban dan menjadi pengetahuan.
Seperti sebuah ruang kelas bila seseorang
masuk ingin mengajar dengan menulis menggunakan sepidol dipapan tulis dan
dihapus secara manual tetapi karena kelas itu berbanyak maka seseorang itu akan
berpikir untuk mengefesiensikan waktu dan lebih mengefektifkan proses belajar
mengajar maka seorang guru itu berpikir dari ketiadaan sarana dan guru tersebut
mendapat jawabannya bahwa kelas tersebut memerlukan proyektor untuk lebih
memperjelas materi dan lebih efektif dalam penyampaian materi serta siswa lebih
mudah menangkap materi yang dijelaskan.
Pengetahuan tersebut bukanlah suatu
kesimpulan sebab apa yang sudah didapatkan di dalam pikirannya belumlah
kenyataan adanya dan belum terbukti apakah demikian harapannya. Seperti
pendapatnya Pendit menjelaskan bahwa Anupalabdhi adalah sumber pengertian kita
yang langsung dari non-eksistensi suatu objek. Seperti seseorang yang sedang
duduk di atas meja yang lebar dan seseorang akan meraba-raba meja dan berpikir
jika sebuah pot bunga atau perhiasan yang berada di atas meja tentu lebih
indah. Demikian pengetahuan atau pengertian yang muncul dari non-eksistensi
suatu objek atau ketidak adanya benda (Pendit, 2007:143).
Demikianlah pengetahuan yang muncul dari
ketiadaan seperti ajaran dalam agama Hindu Tuhan yang bersifat Nirguna Brahman
yaitu dari ketiadaan mejadi hal yang Saguna Brahma dipersonifikasikan ke dalam
berbagai bentuk agar mudah menghubungkan
dan berkomunikasi dengan kekuatan yang
tidak terpikirkan. Filosofis inilah yang paling berjalan sejak agama Hindu
berkembang seperti misalnya pembuatan
pratima adalah dari ketiadaan pusat pemujaan atau konsentrasi umat Hindu maka
dibuatkan pratima, karena sederhananya sarana yajna dan ketidak adanya sarana
yang lengkap maka umat Hindu di Bali membuat sarana banten yang terbuat dari
daun kelapa atau ental, buah-buahan, bunga, air, dupa dan sebagainya sehinnga
semua saat ini yang ada merupakan berasal dari pengetahuan yang berawal dari
ketiadaan itu sendiri. Maka memehami penjelasan tersebut dalam dunia ilmiahpun
demikian manusia selain berfikir dari ketidak adaan menuju keadaan objek yang
baru dan diminati oleh banyak orang baik itu perubahan kendaraan, alat
komunikasi, bentuk rumah dan sebagainya yang kesemuannya berasal dari
ketiadaan. Hal ini seperti alam semesta yang berasal dari ketidak adaan menuju
yang ada karena pengetahuan yang berasal dari ketiadaan.
B. Metafiska Mimamsa
Metafisika Mimamsa menyatakan percaya
adanya kenyataan Dunia dengan segala keanekaragaman objeknya, karenanya Mimamsa
menolak teori penganut Budha yang menyatakan tentang kehampaan dan
kesementaraan. Mimamsa juga percaya melalui sumber-sumber pengetahuan lain,
akan adanya jiwa, sorga, neraka dan para dewata, kepada siapa upacara
dipersembahkan atau ditunjukkan, seperti petunjuk kitab suci Weda. Jiwa adalah substansi yang kekal abadi,
demikianlah unsur-unsur materi yang dengan kombinasinya membuat dunia ini.
Hukum karma sudah dipandang cukup untuk menuntun pormasi objek-objek tersebut,
maka Dunia ini diciptakan atas:
a) Jasmani-jasmani yang hidup di dalamnya,
jiwa-jiwa memetik buah hasil dari perbuatan mereka di masa lampau (bhugayatama).
b) Alat-alat pengerak dan indria yang
merupakan instrumen untuk menderita atau menikmati semua hasil buah tersebut (bhogasadhana)
c) Objek-objek yang merupakan buah hasil yang
harus diderita atau dinikmati (bhogavisaya) (Pendit, 2007:150-151).
Hukum karma yang berotonomi secara bebas
mengatur atom-atom tersebut, yang menyangkut bukan tentang proses penciptaan
dan pemushaan melainkan Dunia ini sudah ada secara kekal. Metafisika Mimamsa karenannya
bersifat pluralis dan realitis, ia bukan empirisme karena ia percaya akan
sumber-sumber pengetahuan kitab suci Weda yang non-empiris, yang dianggap lebih
dapat diandalkan dari pada pengalaman-pengalaman indria dan juga karena percaya
pada banyak kenyataan seperi energi potensial,
prinsip moral yang abstrak, sorga neraka, dan sebagainya
yang tidak dapat dikenal dalam pengalaman-pengalaman indriya. Hal
tersebut ditambahkan kembali oleh Adiputa bahwa Mimamsa tidak mengajarkan
hakekat hukum karma seperti halnya dalam agama Hindu namun Mimamsa yakin akan
adanya sebab-akibat atau phala dari suatu perbuatan. Mimamsa mengajarkan bahwa
hukum karma merapkan hukum moral yang mengatur Dunia beserta isinya (Adiputra,
1990:41).
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat
dipahami bahwa metafisika Mimamsa bergelut atau berkisar pada objek relistis
dan non reslistis terutama pada kebendaan dan kerohaniaan. Kebendaan dinyatakan
bahwa indria-indria merupakan alat pengerak dalam menikmati karma dan juga
menciptakan karma yang baru maka perlu adanya memperhatikan alat-alat tersebut
untuk mencapai tujuan, selain itu juga secara ketiadaan atau rohani Mimamsa percaya
adanya sorga, neraka, prinsip moral dan lain sebagainya sehingga Mimamsa dapat
dikatakan berada dikedua kosep Rwa Bhineda atau berjalan sesuai dengan
hukum Rta. Berikut akan dijelaskan tentang teori energi potensial dan
konsepsi Mimamsa tentang jiwa yaitu antara lain:
1. Teori Energi Potensial (Sakti dan Apurva)
Dalam hubungan dengan masalah hukum
sebab-akibat Mimamsa merumuskan teori energi potensial. Suatu benih memiliki
pada dirinya sendiri kekuatan yang tidak
dapat dilihat (sakti) dan dengan kekuatan itu benih melahirkan kecambah,
apabila kekuatan ini dihalangi atau dihancurkan maka ia gagal menghasilkan
efeknya. Sama halnya di dalam api ada kekuatan membakar, kekuatan menyatakan
arti dan mengurangi kegiatan dalam sebuah kata, kekuatan menerangi dalam cahaya
dan sebagainya. Pentingnya mengakui potensi yang tidak dapat dilihat demikian
itu dalam suatu sebab adalah menjelaskan mengapa dalam beberapa hal walaupun
sebab itu (umpamanya benih, api dan sebagainya) ada, namun efeknya (kecambah,
membakar dan sebagainya) tidak muncul. Penjelasannya adalah bahwa dalam hal-hal
demikian, walaupun substansi sebab itu ada, potensi kausalitasnya atau
sebabnhya telah dihancurkan atau dikalahkan sementara, umpamanya oleh
kondisi-kondisi yang menghalanginya yang terdapat di situ. (Pendit, 2007:152).
Suatu aplikasi penting teori potensi yang
dibuat oleh Mimamsa adalah untuk memecahkan problema bagaimana suatu perbuatan
seperti upacara persembahan yang dilakukan sekarang dapat membawa hasil setelah
jangka waktu yang sangat lama (misalnya setelah hidup ini atau di surga),
setelah perbuatan itu lama berlalu. Mimamsa berpendapat bahwa upacara
persembahan yang dilakukan di sini menurunkan dalam jiwa orang yang
melaksanakan upacara tersebut suatu potensi yang tidak dapat dilihat (yaitu
kekuatan mendatangkan buah hasil ritual tersebut) yang disebut apurva
yang tinggal dalam jiwa
dan mendatangkan buah
hasil apabila keadaan telah matang untuk itu (Pendit,
2007:153). Sesungguhnya dapat dimengerti bahwa teori ini adalah suatu hipotesis
terbatas yang mencoba menjelaskan sebagian dari masalah umum penyimpanan buah
hasil semua perbuatan, ritual maupun non ritual, yang berhak dicoba dijelaskan
oleh hukum karma yang lebih universal.
Teori ini hampir sama dengan penjelasan
teori karma phala tetapi sesungguhnya teori karma phala
yang selama ini kita kenal adalah salah satunya berasal dari teori Mimamsa ini.
Hanya saja teori yang ditawarkan dalam Mimamsa dalam bentuk hipotesis yang
merupakan menjadi jawaban sebenarnya dari sebuah masalah. Seperti yang
dijelaskan di atas bahwa persembahan
yang dilakukan dalam menurunkan atau menabung perbuatan di dalam jiwa
yang suatu saat dapat dipetik hasilnya tetapi Mimamsa lebih rinci menjelaskan
tentang karma phala bahwa hasil perbuatan yang dahulu baik dari
persembahan ritual, perbuatan baik dan lain sebagainya akan dinikmati dalam
waktu cepat sedang, lama atau bahkan di surga atau dikehidupan yang akan datang
apabila kita benar-benar membutuhkannya dan kita matang serta siap menerimanya.
Inilah yang disebut hukum Rta yang perjalanan semuanya baik-baik saja
walapun kita yang melihat tidak baik-baik saja, sehingga penulis dapat
mengatakan dalam teori ini bahwa semua permasalahan, kesenagan, kebahagiaan
pasti berlalu adanya dan apapun yang sudah terjadi sebelumnya, yang sedang
terjadi sekarang dan yang akan terjadi nanti adalah sudah yang terbaik buat
kita dan sudah sesuai dengan kemampuan serta kebutuhan kita.
Sehingga seharusnya bila memahami teori
ini, kita hendaknya mengurangi harapan kebaikan, keberuntungan serta rejeki
kepada Tuhan, leluhur dan sebagainya bila saat ini kita tidak melakukan
perbuatan yang membuat atau menimbulkan kebaikkan, keberuntungan, rejeki atau
lain sebagainya, sebab keberuntugan, kebaikan dan rejeki serta lain sebagainya
yang saat ini kita harapkan juga berasal dari perbuatan dahulu yang kita
lakukan jika datang harapan itu berarti dahulu kita telah banyak menabung
perbuatan baik tersebut jika tidak muncul juga berarti perbuatan kita dahulu
belum sebaik yang kita harapkan sekarang. Maka seburuk apapun kehidupan saat ini
jangan diputuskan berbuat baik dan kejujuran sebab itu merupakan usaha memutus
hasil yang kurang baik untuk kita.
Sebagai contoh sederhana, jika anda
seorang yang dari kecil rajin bekerja dan rajin sembahyang dan anda mempunyai
seorang teman yang sejak kecil sudah malas bekerja, malas sembahyang dan
apalagi untuk menghargai orang lain. Setelah sama-sama dewasa kalian berdua
tamat dari perguruan tinggi dan sama-sama mengajukan pekerjaan justru teman
anda yang malas dan tidak pernah sembahyang itu mendapatkan perkejaan itu dan
setelah lama-lama justru teman anda itu menjadi kaya sementara anda yang sudah
giat belajar, bekerja dan sembahyang masih demikian adanya.
Hal demikian sebenarnya adalah sama-sama
menikmati hasil perbuatan di masa lalu. Maka hendaknya anda yang menemukan
permasalah demikian hendaknya tidak berhenti bekerja dengan jujur, rajian
belajar dan sembahyang dalam kehidupan sekarang sebab anda sedang menghabiskan
hasil perbuatan yang kurang baik dan sedang memperbanyak hasil perbuatan yang baik
untuk dikehidupan yang akan datang.
Sebagai contoh kedua yang lebih gampang
kita cerna dan sudah kita alami sehari-hari, misalnya jika anda seorang
mahasiswa yang berteman 30 orang dalam satau kelas, dan anda termasuk orang
yang rajin, aktif dalam kelas dan juga aktif di kampus dalam setiap kegiatan
dan anda punya teman yang sebaliknya tidak pernah ikut dalam kegiatan kampus,
tidak aktif di kelas dan tidak rajin.
Anda tentu berpikiran orang tersebut seharusnya jika menilai dari ketiga ranah
seperti kognitif, efektif dan psikomotor teman anda sudah mendapat nilai B atau
bahkan nilai C dan anda tentunya mendapat nilai A dan minimal nilainya B. Namun
kenyataannya berbeda saat nilai akhir keluar anda justru mendapatkan nilai B
atau nilai C sementara teman anda yang disebutkan sebelumnya yang malas
tersebut mendapatkan nilai A atau amat baik. Maka dalam hati anda akan
memberontak, maka anda akan berpikiran bahwa dosen yang memberi nilai tersebut
pilih kasih atau bagaimana, setelah ditanyakan dan dijelaskan dengan dosennya
tentu jika dosennya sudah mengumpul nilai maka nilainya tidak bisa diubah maka
anda nilainya kecil. Setelah kalian sama-sama tamat dari kuliah anda dan teman
anda sama-sama mencari pekerjaan sebagai guru di sekolah maka kalian berdua
bersama-sama mengajar walau dalam sekolah yang berlainan dan anda saat itu
mendapat kesibukan karena di Desa dipilih menjadi ketua muda-mudi dan teman
anda yang malas itu di sekolah tempat mengajar dipilih menjadi pembina lomba
cerdas-cermat bahasa inggris dan lomba lainnya karena ainggap pintar dan cerdas
dilihat dari nilai ijasahnya, maka ia harus setiap hari hadir di sekolah dan
mengajar siswa yang akan ikut lomba. Teman anda tersebut mampu melakukannya dan
bahkan mendapatkan juara setelah lomba. Maka jika anda menjadi diposisinya dan anda dituntut menjadi ketua muda-mudi dan
menjadi guru dituntut negajar dan harus memenangkan lomba tersebut tentu anda
akan tidak mampu karena kesimbukan anda lebih banyak dari pada tenaga dan
kemampuan yang dimiliki.
Contoh di atas menerangkan bahwa
sebenarnya anda yang seharusnya mendapatkan nilai yang besar justru mendapatkan
nilai yang kecil merupakan pembagian yang sudah adil dan disesuaikan dengan
dampak dari hasil yang diberikan. Maksudnya, saat ini anda belum siap menerima hasil tersebut karena
kemampuan anda tidak siap. Inilah yang disebut phala baik yang diinginkan tidak
datang karena tidak sesuai dengan kemampuan anda.
Seperti orang yang tiba-tiba kaya karena
mencari kekuatan gaib atau mencuri, maka sebenarnya orang tersebut memaksakan
phala yang tidak menjadi miliknya maka apa yang terjadi, orang tersebut
terhanyud dalam kekayaanya seperti menjadi orang yang sombong, semua diukur
dengan harta, menggunakan narkoba, minum-minuman keras atau main selingkuh.
Setelah orang tersebut miskin maka semua orang tidak akan peduli kepada orang
tersebut. Demikianlah contoh sederhana dari teori mimamsa yang sangat jelas
menjelaskan tentang karma Phala yang pasti anda miliki hanya saja
kedatangan phala itu tidak selalu bersamaan dengan karma yang anda lakukan
karena seperti konsep karma phala yang sekarang kita kenal bahwa
karma yang kita lakukan dapat dinikmati sekarang, besok, atau lain hari,
setelah anda tua atau setelah kehidupan yang akan datang, dan perbuatan saat
ini dipengaruhi oleh perbuatan di masa lalu.
2. Konsepsi Mimamsa Tentang Jiwa
Konsepsi jiwa dalam Mimamsa kurang lebih
sama dengan yang ada dalam aliran-aliran yang realitas dan pluralistis seperti
aliran Nyaya dan Vaisesika. Jiwa adalah substansi kekal seperti tak berbentuk
yang dihubungkan dengan suatu badan jasmani nyata dalam suatu dunia nyata dan
ia tinggal hidup melampui kematian untuk bisa memetik buah hasil perbuatannya
dalam hidup ini. Kesadaran bukanlah intisari jiwa, melainkan suatu kualitas
permulaan yang akan muncul bila ada beberapa kondisi. Dalam keadaan tidur tanpa mimpi dan dalam keadaan kelepasan, jiwa
tidak memiliki kesadaran, sebab kondisi-kondisinya, seperti hubungan indria
dengan objeknya tidak ada. Banyaknya jiwa adalah sama dengan jumlah individu,
jiwa-jiwa ini mengalami belenggu tetapi juga mengalami kelepasan. Dalam semua
hal ini alasan yang dikemukakan oleh Mimamsa adalah sama dengan aliran filsafat
Nyaya dan Vaisesika. (Pendit, 2007:154).
Mengenai pengetahuan tentang jiwa Bhatta
berpendapat bahwa jiwa tidak diketahui apabila sesuatu objek tidak diketahui.
Jiwa dikenal hanya sewaktu-waktu, tatkala kita merefleksikan jiwa, kita akan
ketahui ia sebagai objek kesadaran sendiri memiliki kesadaran. Konsep
kesadaran ini menyatakan bahwa
pengetahuan akan kesadaran muncul secara tidak langsung dengan jalan kesimpulan
atas dasar familiaritas atau pengenalannya yang terlihat pada objek tersebut
(Pendit, 2007:155).
Konsep jiwa menurut Mimamsa sebenarnya
sesuai dengan pemikiran ilmiah bahwa sesuatu sifat tidak akan pernah diketahui
bila bendanya belum diketahui secara pasti bentuknya bagaimana, beratnya
berapa, usianya dan lain sebagainya. Demikianlah konsep jiwa menurut Mimamsa bahwa
untuk mengetahui subjek atau jiwa itu sendiri hendaknya terlebih dahulu mengetahui
objeknya atau rumah tempat jiwa itu berdiam.
Dapat juga dikatakan bahwa subjek akan
menjadi objek, maksudnya adalah subjek dapat menjadi subjek apabila objek yang
sesungguhnya telah tiada atau jiwa akan menjadi budak badan atau bersifat
seperti badan menikmati karma perbuatan badanya selama hidup setelah badan
tempat jiwa tersebut mati atau meninggal. Tetapi maksud konsep jiwa menurut Mimamsa
ini bahwa bukan berarti sifat pribadi jiwa berubah menjadi sifat dari pada
objek hanya dipengaruhi oleh sifat objeknya karena terbelenggu oleh hukum sebab
akibat atau energi potensial seperti dijelaskan sebelumnya, atau disebut hukum Rta
bahwa setiap perbuatan harus dinikmati. Dengan demikian jiwa akan sepenuhnya
terlihat bersifat seperti objek dan akan terbawa oleh sifat tersebut sehingga
jiwa mengalami proses renenkarnasi atau punarbwa lahir kembali. Dengan demikian
jiwa kembali dipengaruhi oleh objek yang baru juga dipengaruhi oleh objek sebelumnya.
Hal demikian menyebabkan subjek atau jiwa
sifat semakin tidak terlihat karena terbelenggu oleh kegiatan-kegiatan objeknya
atau badanya. Disinilah konsep Mimamsa memberikan petunjuk bagaimana mengetahui
subjek di dalam objek-objek pengaruhnya atau badan ini yang terikat oleh ribuan
karma dari pada objeknya. Mimamsa mengatakan untuk mengetahui jiwa dalam
lapisan objek kehidupan badaniah adalah dengan merefleksikan diri atau
menggunakan pengenalan diri kita dalam artian bahwa seseorang tidak akan bisa
melihat giginya sendiri atau telingganya atau matanya sendiri tetapi hanya bisa
dilihat dengan menggunakan kaca atau ditanyakan dengan orang lain. Begitulah
konsep jiwa Mimamsa bahwa untuk mengetahui jiwa dalam diri adalah dengan
bantuan penuntunan orang lain atau keadaan alam semesta. Maksudnya bahwa akan
lebih cepat orang tersebut menyadari dirinya bila ada arahan dari orang lain
dan juga orang akan lebih terarah pikirannya dengan mengikuti arah alam seperti
suara air, suara agin, sinar matahari, sinar api, suara-suara lainnya dan
sebagainya.
Lebih jelasnya bahwa jika manusia itu
terus mengetahui objeknya saja atau mengikuti kehendak badanya maka akan sangat
jauhlah jiwa berada dalam kesadarannya, atau semakin jauh manusia itu melayani
badanya atau keinginannya maka semakin jauh jiwa dapat mempengaruhi dirinya
maka orang tersebut akan semakin bingung dan akan sulit menemukan jawaban dan
penenagan diri bila nanti terkena suatu masalah dengan badannya seperti sakit,
mati dan sebagainya. Inilah kenyataan yang yang pasti dialami bahwa bila
manusia mengenal obkejnya akan lupa pada subjeknya, seperti orang yang sedang
ditanya siapakah anda, maka orang tersebut menjawab saya adalah PNS, saya
tinggal di kota hidup bahagian, punya uang banyak, dan usia saya masih muda.
Demikian
orang itu menjawa bagi orang yang hanya mengenal objeknya saja tetapi
bila mengenal subjeknya bahwa ia akan menjawab bahwa saya adalah manusia yang
pasti makan, pasti akan sakit, pasti mengalami suka dan duka, yang pernah
balita, anak-anak, dewasa, tua dan nanti pasti mati serta akan lahir kembali.
Itulah jawaban bagi orang yang sadar akan jiwanya, kenapa menjawab demikian
agar semua perbuatannya terkontrol karena objek tidak abadi ia akan
berubah-ubah terus dari kecil tua sampai mati, akan mengalami suka duka, sakit
dan mati maka objek akan melemahkan diri dan berangsur-angsur kesadaran subjek
atau jiwa akan kembali dan akan bisa
mengontrol objeknya. Dengan demikian apabila objek atau badan ini mendapatkan
masalah subjek atau jiwa akan bisa menasehati dan memberikan jalan keluar lewat
perasaan atau kata hati atau mungkin lewat mimpi atau langkah kaki. Demikianlah
konsep jiwa menurut Mimamsa.
C. Agama dan Etika Mimamsa
1. Konsepsi Tentang Tugas dan Kewajiban
Konsep tugas dan kewajiban secara umum
dalam agama Hindu tidaklah berbeda dalam konsep dalam filsafat Mimamsa. Hanya
saja konsep Mimamsa lebih menekankan kepada sifat panatisme sebagai pengangum
kitab suci Weda. Karena Mimamsa mengagap bahwa Weda adalah otoritas atau
kebenaran tertinggi yang harus dilaksanakan dan ditaati ajarannya bukan sekedar
realitas semata di dunia. Seperti dijelaskan dalam bukunya Pendit (2007:156)
menyatakan bahwa upacara-upacara dipersembahkan di zaman kitab suci Weda dimaksudkan
untuk menyenangkan berbagai Dewa seperti Dewa api, matahari, hujan dan lain
sebagainya dengan menggunakan sesajen dan mantra-mantra, dengan tujuan
memperoleh anugrah atau untuk menolak penyakit.
Walaupun Mimamsa merupakan kelajutan
pemujaan Weda, namun rincian seremoni dari ritual-ritual memenuhi perhatiannya
dibandingkan kepada para dewata itu sendiri yang lambat laun menjadi kabur menjadi
hanya bersifat grametikal belaka. Suatu Dewa dilukiskan bukan atas dasar
kualitas moral atau intelektualnya, tetapi sebagai ”itu” yang artinya melakukan
suatu persembahan bukan untuk sembahyang, bukan untuk menyenangkan suatu Dewa,
bukan juga untuk mensucikan jiwa atau perbaikan moral. Tetapi suatu ritual
dilaksanakan karena karena kitab-kitab suci Weda memerintahkan kita untuk
demikian atau untuk melakukannya (Sumawa, 1996:126).
Seperti yang dipaparkan di atas bahwa Mimamsa
melaksanakan persembahan semata-mata karena perintah kitab suci Weda, hal ini
disebabkan kenyatakan sejak zaman dahulu persembahan memiliki motif tertentu
baik untuk mendapatkan kekuatan dari para Dewa, rejeki, sampai pada masuk
surga. Persembahan seperti itu
berhubungan erat dengan sifat yang tidak iklas dalam berbuat, sementara Weda
mengajarkan bahwa segala sesuatu hendaknya dilakukan dengan tulus iklas seperti
konsep yajna adalah korban suci yang dilakukan dengan tulus iklas, sebab di
dalam kerja tersebut sudah terdapat hasil yang tidak akan kemana-mana. Di
sinilah etika ajaran Mimamsa bahwa persembahan dilakukan dengan hati yang
kosong seperti seseorang yang ingin meminta susu dari sang gembala maka
hendaknya seseorang itu membawa gelas yang tidak terisi air atau kosong, tetapi
apabila seseorang itu meminta susu dengan gelas yang sudah berisi air atau
cairan lainnya tentunya susu yang diinginkan tidak bisa terpenuhi sebab tempat
tidak menyediakan. Begitu halnya dengan konsep persembahan atau ritual, yang
merupakan kewajiban dan tugas sebagai manusia yang hidup di Bumi memberikan
persembahan kepada Tuhan dengan tanpa
ikatan permohonan tetapi hati yang kosong sebab di dalam persembahan atau
ritual telah ada maksud atau makna tersebut yang nantinya persembahan tersebut
berphala sesuai dengan kebutuhan manusia dan datang pada waktu yang tepat.
Hal tersebut seperti yang dijelaskan
Adiputra (1990:42) menegaskan bahwa Mimamsa memberikan ajaran untuk menemukan
jalan kelepasan yaitu mengajarkan manusia dalam hidupnya senantiasa melakukan dharma
yaitu upacara keagamaan dengan benar, yang dilandasi oleh ketentuan Weda dan
sedapat mungkin menghindarkan diri dari segala tindakan yang bertentangan
dengan Weda. Begitu juga menurut pandangan Pendit (2007:157) menjelaskan bahwa
konsepsi tugas hanya untuk tugas itu sendiri, dan suatu tindakan wajib harus
dilaksanakan bukan karena menguntungkan si pelaku tetapi karena kita harus
melaksanakanya.
Demikianlah konsep tugas bahwasanya
upacara persembahan adalah tugas yang memeng harus dilaksanakan bukan karena
melaksanakan persembahan dilandasi sesuatu seperti karena ingin kaya, karena
sakit, memohon kekuatan dan sebagainya, sementara upacara ritual adalah
kewajiban yang dilaksanakan setiap saat tanpa maksud tertentu. Lain halnya bila
upacara persembahan berfungsi untuk memohon kekuatan memang berbeda dengan
persembahan kepada Tuhan. Maksudnya bila persembahan kepada Bhuta kalla atau
leluhur itu dibenarkan menaruh permohonan agar terjadi keseimbangan, tetapi
jika diperuntukkan kepada Tuhan hendaknya mengosongkan diri sebab Tuhan telah
mengetahui apa yang dibutuhkan manusia, namun apabila manusia tersebut masih
penuh dengan keinginan maka segala harapan belum bisa terpenuhi.
Hal di atas senada dengan pendapatnya
Pendit (2007:157) menyatakan bahwa Mimamsa percaya walaupun tugas yang
diwajibkan tidak harus dilakukan berdasarkan motif, namun alam semesta ini
sudah sedemikian bentuknya sehingga seseorang yang melakukan kewajiban tidak
akan sama sekali tidak beri phala. Mimamsa menegaskan bahwa di alam semesta ini terdapat hukum moral dari
karma, tetapi bila kepada yang lebih tinggi yaitu Tuhan harus dilakukan dengan
apa yang baik. Hukum moral ini yaitu melakukan ritual untuk keseimbangan alam
semesta, ada hukum sebab akibat, siapa yang berbuat dia yang menikmati, jika
alam dirusak maka akan terjadi bencana seperti kejadian belakangan ini alam
semakin menyeramkan. Alam terlihat menakutkan karena memperlihatkan raut muka
yang ganas, menakutkan dan menyedihkan seperti tanah lonsor, banjir, kebakaran,
gempa, sampai-sampai isue ada badai matahari bahkan kiamat tahun 2912 tetapi
sebanarnya alam tidak demikian.
Hal demikian sebenarnya hukum moral sebab
akibat telah berjalan seperti banyak munculnya ulat bulu, munculnya tomket,
binatang buas mulai menyerang manusia, kegagalan panen dan sebagainya itu
karena ulah manusia yang tidak menghormati alam. Kejadian lapindo dan kejadian
lainnya sebenarnya alam diperbudak dan diperas tanpa dipelihara dan diberikakan
penghormatan dengan upacara ritual sebagai bentuk terimakasih dan pengembalian
kekuatan alam. Maka ritual untuk keseimbangan alam sangat dibutuhkan memohon
keseimbangan agar manusia yang tinggal di atasnya bisa melaksanakan swadharma
dan kewajiban dengan baik, dengan ritual dipersembahkan kepada bumi, lautan,
gunung, matahari, planet-planet, dan alam semesta yang dilaksanakan dari setiap
hari sampai pada setiap 1000 tahun sekali. Itu bertujuan agar hukum moral
berjalan dengan baik agar sistem yang mengatur alam semesta tetap seimbang dan
manusia juga mendapatkan kedamaian.
2. Kebajikan Tertinggi
Kebajikan tertinggi seperti yang
dipaparkan sebelumnya adalah melaksankan tugas dan kewajiban dengan tuntunan
kitab suci Weda, tetapi di dalam kewajiban dan tugas tersebut telah terdapat
makna pencapaian tujuan tertinggi yang disebut dengan kebajikan, sebab
dilakukan bukan atas dasar motif atau keinginan melainkan dilakukan dengan
tulus iklas. Dalam konsep awal Mimamsa kebajikan tertinggi adalah pencapain
sorga atau suatu keadaan di mana terdapat kebahagiaan tiada tara. Sorga
dipandang sebagai tujuan yang diharapkan dalam setiap upacara persembahan.
Tetapi lambat laun Mimamsa menyadari pelaksanan tindakan, baik dan buruk
apabila dipengaruhi oleh keinginan menikmati objek maka akan mengakibakan kelahiran
berulang kali.
Apabila seseorang memahami bahwa
kesenangan duniawi bercampur dengan kesedihan, dan menyebabkan rasa muak dengan
kehidupan di Dunia, maka ia akan mencoba mengontrol nafsunya, menolak
perbuatan-perbuatan terlarang maupun perbuatan bermotif mendapat kesenangan
dikemudian hari. Dengan demikian kemungkinan untuk lahir kembali di masa depan
menjadi terhapus. Dengan melakukan kewajiban secara tanpa pambrih dan dengan
pengetahuan tentang jiwa, karma yang terakumulasi di masa lampau akan perlahan-lahan
terhapus dalam phala di kehidupan ini, dan setelah hidup ini akan bebas
dari ikatan segala macam karma dan tidak akan pernah lahir kembali. (Pendit,
2007:158).
Dengan demikian seperti apa dijelaskan di
atas sangat jelas mejelaskan bahwa dengan melakukan segala perbuatan yang
menyadari jiwa dan ketidak abadian dunia ini serta setiap perbuatan dilakukan
dengan tulus iklas maka akan mencapai keabadian bukan kesenagan sesaat. Secara
pasti kebajikan tertinggi menurut Mimamsa adalah perbuatan tanpa keterikatan,
penarikan atau pengontrolan segala perbuatan yang dilakukan oleh indria dan
raja indria untuk mencapai kelepasan seperti definisi Sumawa (1996:127)
menjelaskan bahwa dengan melakukan kewajiban yang diperintahkan Weda seseorang
akan terbebas dari kelahiran, dan merupakan jalan untuk mencapai kelepasan
seperti melaksanakan upacara keagamaan yang diperintahkan dalam Weda,
tindakan-tindakan agar dijauhkan dari perbuatan bermotif dan terlarang.
Kebebasan yang dimaksud adalah keadaan yang tidak disadari, bebas dari
kesenangan dan rasa sakit, dimana keadaan metal dan kesadaran tidak ada pada
jiwa yang juga berarti lenyapnya hubungan jiwa dengan tubuh dan kembali pada
keadaan semula yang bersifat kekal berada dimana-mana dan meliputi segala
sesuatu.
Kebajikan yang dimaksud di atas merupakan
kebajikan tertinggi untuk mencapai suatu yang abadi yaitu hidup tanpa adanya
keterikatan dengan melakukan ritual tanpa adanya motif atau keinginan,
melakukan kewajiban menjalankan moral alam dan keseimbangan maka akan mencapai
Brahman. Kebajikan tertinggi ini dilakukan semasa hidup manusia dan bila
dilakukan manusia akan akan dapat menemukan kebebasan, kelepasan dan
kesempurnaan yang merupakan unsur inti yang disebut dengan moksa. Dengan
melakukan kebajikan tertinggi ini dari dalam diri dan diaplikasikan setiap
waktu, tempat dan situasi dengan penuh kesadara akan mendapatkan mosa di dalam
hidup ini. Karena di dalam agama Hindu di kenal dengan Moksartam Jagat hita
ya ca iti dharma yaitu dengan jalan dharma (kebajikan tertinggi)
mendapatkan moksa (keabadian) di dunia dan di akhirat.
VEDANTA DARSANA

A. Pendalaman Vedanta Darsana
Kata Vedanta berarti akhir Weda dan juga
disebut dengan Uttara Mimamsa, yang mula-mula berarti Upanisad
karena Upanisad dianggap akhir dari Weda, sebutan ini muncul karena adanya
pandangan terhadap Upanisad bahwa Upanisad merupakan karya terakhir dari zaman
Weda, pelajaran terakhir adalah Upanisad, dan merupakan kumpulan syair-syair
Weda yang diuraikan secara filosofis (Adiputra, 1990:67), (Sumawa, (1996:207). Uttara
Mimamsa atau filsafat Vedanta dari Badarayana atau Vyasa ditempatkan
sebagai yang terakhir dari enam sistem filsafat orthodox, tetapi sesungguhnya
ia seharusnya menempati urutan yang pertama dalam kepustakaan Hindu. Istilah Vedanta
artinya secara harifah adalah intisari kitab-kitab Upanisad yang merupakan
Jnana Kanda atau bagian akhir dari weda setelah mantra, brahmana dan aranyaka
(Maswinara, 1999:175).
Hal yang dijelaskan oleh Maswinara
ditegaskan kembali bahwa Vedanta Sutra disusun oleh Badarayana yang menurut
tradisi didahului oleh Vyasa. Para pengikut Sankara seperti Govindananda,
Vacaspati, Anandagiri menyatakan Vyasa tiada lain adalah Badarayana sendiri.
Namun Ramanuja, Madhava dan Baladewa menyatakan Vedanta Sutra adalah susunan
Vyasa (Pendit, 2007:163).
Kitab Vedanta terbagi atas empat bagian
yang membuat hal-hal seperti: (1) Brahman adalah realitas yang tertinggi dan
semua syair Weda mengadung Brahman di dalamnya, (2) Semua ajaran yang tidak
sesuai dengan Weda tidak akan bisa dipertahankan, (3) Membicarakan
syarat-syarat untuk menyatukan diri dengan Brahman atau syarat-syarat untuk
mencapai Brahaman, dan (4) Membicarakan phala dari seseorang yang telah
mendapatkan pengetahuan tentang Brahman atau Brahma Widya (Sumawa,
1996:207).
Hal tersebut ditambahkan oleh pendapat
berikut menyatakan bahwa Vedanta Sutra mengajarkan tentang Brahman yang dikenal
dengan nama Sariraka sutra karena ia mengandung pengejawantahan dari Nirguna
Brahman tertinggi dan juga merupakan salah satu dari tiga buah buku yang
berwenang tentang Hindu yang menyatakan bahwa (1) Brahman yang mutlak yang
selalu murni, sat-cit-ananda, esa tiada duanya yang tidak
terbatas, tidak terkondisikan, yang bersemayam dalam hati manusia dan segala sesuatu,
(2) Brahman penyebab material dan instrumen dari alam yang menyatakan alam
semesta ini adalah guna atau lilanya, (3) Brahman tanpa bagian-bagian, sifat,
kegiatan dan gerak, tanpa awal tanpa akhir, abadi dan sata-satunya realitas
tertinggi, (4) Brahman adalah paramarthika satta (realitas
mutlak) dan alam semesta adalah realitas relatif (Vyavaharika satta
dan objek mimpi adalah realitas nyata (Maswinara, 1999:177).
Vedanta menyatakan bahwa manusia itu
ilahi, di mana semua yang kita lihat disekitar kita adalah hasil dari
kesadaran ilahi. Segala hal yang baik,
kuat, ampuh dalam sifat manusia berasal dari keilahian itu, dan walaupun
berpotensi dalam banyak hal, pada dasarnya tidak ada bedanya antara manusia
satu dengan manusia lainnya, di mana esensialnya semua mahkluk hidup adalah
ilahi. Vedanta menijinkan keberagamaan tidak terbatas dalam pemikiran religius
dan tidak berusaha untuk membawa seseoang pada pendapat yang sama, dengan
tujuannya yang sama. Vedanta menyatakan bahwa kehidupan dibangun atas dasar
masa lalu dan bila kita dapat melihat kembali keseluruhan kehidupan masa lalu,
sebab manusia (roh) tidak dilahirkan ataupun mati dan juga tidak pergi ke surga
dan akan membawa renkarnasi yang merupakaan evolusi dan manifestasi dalam
dirinya (Oka, 2001:23).
Vedanta juga menyatakan bahwa maya adalah
kekuatan dari Tuhan yang merupakan karana sarira (badan penyebab)
yang menyembunyikan yang nyata dan membuat yang tidak nyata tampak menjadi nyata.
Maya memiliki 2 kekuatan yaitu daya menyelubungi atau avarana sakti
dan daya pemantulan atau viksepa sakti dan manusia melupakan
sifat ilahinya yang disebabkan oleh avarana sakti dan alam
semesta ini diselimuti oleh maya pemantulan atau viksepa sakti.
Jiwa atau roh pribadi diselubungi oleh 5 lapisan (kosa) seperti lapisan bawang
yaitu anamaya kosa atau lapisan makanan, pranamaya kosa
atau lapisan vital, manomaya kosa atau lapisan mental, vijnanamaya
kosa atau lapisan kecerdasan, anandamaya kosa atau lapisan
kebahagiaan (Maswinara, 1999:177).
Selain seperti yang dijelaskan di atas
Vedanta kembali menyatakan bahwa manusia sebenarnya murni dan sempurna
bila dirinya menyadari keilahiannya, maka dengan melakukan yoga yang merupakan
salah satu menemukan keilahian diri.
Hal ini perlu dilakukan sebagai realisasi
kebebasan di dalam diri dan segala sesuatunya akan memberinya jalan sebab
dengan demikian moralitas etika akan mengatur dengan sendirinya pada tempat
yang semestinya. Ditekankan lagi bahwa Vedanta mengajarkan bahwa nirvana
dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini, tidak perlu menunggu mati untuk
mencapainya, sebab nirvana adalah kesadaran terhadap diri sejati dengan
dua tahapan yaitu manusia mengetahui diri sejatinya tidak akan dipengaruhi oleh
hal apapun, bahwa hanya dirinyalah yang dapat melakukan kebaikan pada dunia dan
manusia mengetahui dirinya dengan dorongan atau tuntunan kitab suci Wedan dan
orang-orang suci (Oka, 2001:27).
Vedanta kembali menegaskan bahwa dunia ini
bukanlah kebaikan ataupun kejahatan tetapi campuran dari keduanya dan semua
kesalahan akan berada pada pundak kita sendiri. Dinyatakan bahwa di dunia ini
dimanapun kebaikan berada maka kejahatan akan selalu mengikuti dengan demikian Vedanta
berkata maka untuk mencapai kesempurnaan tinggalkan apa yang baik dan apa yang
buruk maka menemukan dirimu yang sejati yaitu dengan melampui batas keburukan dan kebaikan kesenangan
dan penderitaan itulah kesejatian dirimu (Maswinara, 2001:44). Hal tersebut
menekakan bahwa setiap ada kebaikan tentu ada kejahatan yang merupakan dua hal
yang tidak dapat dipisahkan seperti halnya kelahiran dan kematian, siang dan
malam, laki-laki dan perempuan, sedih dan senang yang merupakan konsep Rwa
Bhineda yaitu keseimbangan alam semesta.
Tetapi bila dikaji lebih dalam
keseimbangan alam semesta adalah alam kekuatan maya Tuhan yang disebut maya
pematulan atau Viksepa sakti, jadi bila tetap berada dalam maya
atau ketidak nyataan ikutilah keseimbangan alam tersebut tetapi bila ingin
mencapai kesempurnaan tertinggi yaitu kenyataan tertinggi maka hendaknya
melampui batas yang ada seperti berbuat tanpa motif kebaikan dan keburukan, motif
suka dan duka, senang dan tidak senang, suka dan tidak suka tetapi berbuatan
tanpa harapan atau keinginan dengan kata lain berpikir dan berbuat dalam
kekosongan. Sebab konsep nyata dalam Vedanta adalah di dalam kekosongan
sebenarnya berisi dan sebaliknya di dalam berisi sebenarnya kosong. Hal
tersebut adalah alam semesta yang kita pandang nyata sebenarnya palsu dan yang
kita anggap mitos atau palsu sebenarnya nyata.
Nirvana yang dapat dicapai di alam ini
yaitu semasa manusia hidup adalah sebuah alam tanpa adanya tempat atau situasi,
tiada kondisi, tiada keterikatan yang sama dengan artian Nirguna yaitu tanpa
sifat sedangkan nirvana adalah tiada tempat yang artinya kebebasan. Manusia
yang terbebas dari segala ikatan perbuatan untung dan rugi, sakit dan sehat,
suka dan duka, gembira dan sedih, berhasil dan gagal, jelek dan bagus, indah
dan buruh, siang dan malam, hidup dan mati dan sebagainya adalah orang yang
mencapai Nirvana atau moksa. Moksa adalah keabadian yang tidak bertempat, tanpa
sifat, tak terpikirkan yang didalamnya terdapat unsur kebebasan, kelepasan dan
kesempurnaan. Sementara selama masih hidup manusia hanya bisa mencapai
kebebasan dan kelepasan yaitu manusia terbebas dari ikatan duniawi, manusia
terlepas dari ikatan duniawi tetapi manusia tidak lepas dari ikatan Panca Maha
Bhuta karena manusia masih hidup. Maka dengan demikian manusia dapat mencapai
moksa selama hidupnya tetapi tidak sempurna. Maka kesempurnaan itu didapatkan
bila kebebasan di dunia didapatkan dan manusia terlepa dari ikatan Panca Maha
Bhuta atau kematian dan barulah mencapai kesempurnaan menyatu dengan Brahman
atau keabadian yang kekal.
B. Manusia dalam Vedanta
Dikatakan sebagai manusia yaitu yang
memiliki sifat yang beraneka ragam, di dalam manusia pastinya terdapat dua
kekuatan yang selalu saling bertentangan yang tidak dapat dipisahkan. Manusia
mempunyai ciri sebagai laki-laki dan sebagai perempuan serta juga berada di
antara kedua sifat laki-laki dan perempuan. Di dalam ketiga sifat utama manusia
terdapat sifat-sifat khususnya yang
menyelimuti manusia tersebut seperti rasa suka dan duka, senang dan susah, haus dan lapar,
lahir, hidup dan mati, sehat dan sakit dan yang lebih halus yaitu sifat pilihan
mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang utama dan mana yang tidak
utama. Pertentangan ini dikarenakan manusia memiliki perdebatan di dalam
badanya antara jiwa yang murni dengan jiwa yang sudah terselimuti oleh maya
yaitu penarikan indria dari objeknya yang tidak terkendali oleh raja indria
yaitu pikirannya, sehingga semakin kuatlah
objek itu mempengaruhi jiwa sehingga semakin lemah jiwa itu mempengaruhi
kekuatan hidupnya maka perdebatan semakin besar justru akan mengakibatkan
perbuatan tanpa kesadaran dan tanpa menyadari keilahian diri.
Manusia dalam Vedanta memiliki jiwa yang
disebut Atman yang memberikan energi pada badan kasar ini. Badan
tersusun oleh panca maya kosa dan panca maha
bhuta dan dihiasi dengan indria di dalamnya sehingga manusia semakin
indah. Kesatuan manusia terdapat 3 elemen besar yang menyusunya yaitu (1)
Kesadaran murni yang disebut dengan Atman, (2) Kesadaran disebut dengan Budhi
dan (3) Pikiran atau disebut manas. Perlu dikatahui bahwa hurup Atman
dengan atman awal kata kecil dan besar sebenarnya bermakna berbada bahwa
hurif awal besar atau Atman adalah kesadaran murni tanpa ikatan dan jika
huruf awal kecil atau atman yaitu kesadaran yang sudah bercampur dengan budhi
dan manas yang sering disebut dengan jiwa, lebih jelasnya pada gambar
berikut:
Kesadaran murni

Kecerdasan menyatu Roh



Pikiran
(manas) (Sumber:
Oka, 2001:xix)

Kesadaran tertingi penyusun manusia adalah
Atman, Atman yang berasal dari Paramatman merupakan badan dari Brahman. Atman
yang sudah mengambil tempat atau belenggu bercampur dengan budhi dan manas disebut
atman maka kesadarannya sudah dipengaruhi oleh kepentingan budhi dan manas,
sehingga kemurnian Atman sudah semakin kabur. Atman yang sudah menyatu dengan
budhi dan manas disebut dengan atman, atman yang sudah menghidupi material atau
badan ini yang sekarang ada dalam diri manusia disebut dengan jiwa. Jiwa
inilah yang kadang menjadi kata hati
atau perasaan halus yang kadang kala muncul kesadaran atmanya jika tampat
tinggal atman sedang berada dalam permasalahan atau kebingungan. Hal itulah
yang menyebabkan perdebatan di dalam diri manusia, yang mana atman akan muncul
melalui sifat jiwanya bila jiwa dan badanya telah disadari.
Manusia yang menyadari memiliki atman yang
terbelenggu akan berusaha mempersatuakan jiwa dan badannya disadari secara
bersama-sama membangkitkan kesadaran atman tetapi tidak menjadi kesadaran Atman
hanya kesadaran ataman yaitu setegah kesadaran Atman, sehingga manusia dapat
membedakan yang utama dan yang kurang utama. Usaha itu tentu dilakukan dengan
petunjuk kitab suci Weda dan dengan tuntunan orang yang dapat dipercaya atau
orang suci, dengan isyarat alam, belajar pada alam dan juga belajar dari
masalah hidup. Orang yang demikian setelah ia mati maka jiwa akan berubah menjadi
roh, roh yang keluar dari badan manusia akan berjalan sesuai perbuatan selama
hidup di dunia.
Jika selama hidupnya melaksanakan
kebajikan tertinggi maka setelah ia mati akan menuju alam kesempurnaan, tetapi
jika selama hidupnya melupakan kebajikan maka roh tersebut akan menuju siklus
renkarnasi atau bahkan menjadi budak perbuatannya terdahulu. Seperti contoh
sewaktu hidup di dunia manusia meminta pertolongan kepada benda-beda sakti,
seperti keris, cincin sakti, susuk, kesaktian lainnya maka setelah ia mati roh
tersebut akan mengabdi menjadi benda seperti apa yang dia gunakan selama
hidupnya di dunia. Kehidupan roh di alam pengabdian itu sebebanrnya belumlah
mati secara keseluruhan sebab masih merasakan rasa suka, duka, sakit, lapar dan
sebagainya karena belum waktunya ia mati tetapi manusia itu harus mati karena
sisa usianya untuk mengabdi kepada benda-benda yang sudah mengabdi kepada
dirinya.
Masa pengabdian inilah roh tersebut
berubah menjadi energi alam yang sering disebut dengan Bhuta Kalla, setan, dedemit,
bererong, hantu, penguasan karang dan sebagainya. Perubahan roh menjadi energi
alam melainkan tidaklah sama dengan energi alam yang disebut dengan hukum moral
ai atas.
C.
Konsep Kesempurnaan Vedanta Darsana
Brahma Sutra atau Vedanta sutra
karya Vyasa merupakan kitab yang paling populer dan banyak diulas oleh para
maharsi setelahnya, ia bagaikan sumber air yang terus mengalir dari generasi ke
generasi. Ulasan-ulasan terhadap Brahma Sutra oleh para maharsi seperti Sri
Sankaracarya, Sri Ramanujacarya, dan Sri Madhawacarya membentuk filsafat Advaita,
Visistadwaita, dan Dvaita. Vedanta Darsana yang tumbuh dari landasan kitab
Upanisad, Brahma Sutra, dan Bhagawadgita. Ketiga kitab tersebut sering pula disebut prasthana traya grantha (naskah
suci yang dapat dipercaya). Ketiga aliran pemikiran yang mengalir dari Vedanta Darsana
tetap berpegang pada otoritas Weda dalam kerangka pembahasan yang berbicara
tentang Tuhan, Alam, dan roh. Namun dalam konteks ajaran Hindu ketiganya
tidaklah dianggap sebagai aliran pemikiran yang terpisah dan bertentangan,
tetapi bagaikan tangga spiritual yang dimulai dari Advaita, Visistadvaita dan
berakhir pada Dvaita dan sekarang akan penulis bahas mengenai konsep
moksa/kesempurnaan dll. Dalam ajaran filsafat Vedanta Darsana.
Vedanta menyatakan bahwa manusia sebenarnya murni dan
sempurna bila dirinya menyadari keilahiaannya, maka dengan melakukan yoga yang
merupakan salah satu menemukan keahlian diri. Hal ini perlu dilakukan sebagai
realisasi di dalam diri dan segala sesuatunya akan memberinya jalan sebab
dengan pemikiran moralitas etika akan mengatur dengan sendirinya pada tempat
yang semestinya.
Ditekankan lagi bahwa Vedanta mengajarkan bahwa Nirvana dapat
dicapai dalam kehidupan sekarang ini, tidak perlu menunggu mati untuk mencapainya.
Sebab Nirvana adalah kesadaran terhadap diri sejati dengan 2 tahapan yaitu
manusia mengetahui diri sejatinya tidak akan dipengaruhi oleh apapun. Bahwa
hanya dirinyalah yang dapat melakukan kebaikan pada dunia.
Vedanta kembali menegaskan bahwa dunia ini bukanlah
kebaikan ataupun kejahatan tetapi campuran dari keduanya dan semua kesalahan
akan berada pada pundak kita sendiri. Dinyatakan bahwa di dunia ini dimanapun
kebaikan berada maka kejahatan akan selalu mengikuti dengan demikian Vedanta
berkata maka untuk mencapai kesempurnaan maka tinggalkan apa yang baik dan apa
yang buruk maka menemukan dirimu yang sejati yaitu dengan melampaui batas
keburukan dan kebaikan, kesenangan dan penderitaan itulah kesejatian dirimu. Hal
tersebut menekankan bahwa setiap ada
kebaikan tentu ada kejahatan yang merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan
seperti halnya kelahiran dan kematian, siang dan malam, laki-laki dan
perempuan, sedih dan senang yang
merupakan konsep Rwa Bhineda yaitu keseimbangan alam semesta.
Tetapi apabila dikaji lebih mendalam keseimbangan alam
semesta adalah alam kekuatan maya Tuhan yang disebut maya pemantulan atau viksepa
sakti, jadi bila tetap berada dalam maya atau ketidaknyataan ikutilah
keseimbangan alam tersebut tetapi bila ingin mencapai kesempurnan tertinggi
yaitu kenyataan tertinggi maka hendaknya melampaui batas yang ada seperti
berbuat tanpa motif kebaikan dan keburukan, motif suka dan duka tetapi
perbuatan tanpa harapan atau keinginan dengan kata, berpikir dan berbuat dalam
kekosongan. Sebab konsep nyata dalam Vedanta adalah kekosongan sebenarnya
berisi dan sebaliknya di dalam berisi sebenarnya kosong. Hal tersebut adalah
alam semesta yang kita pandang nyata sebenarnya palsu dan yang kita anggap
mitos atau palsu sebenarnya nyata.
Kesempurnaan dalam
Vedanta adalah lepasnya sifat roh dan atman menjadi sifat Ataman yang kembali
pada asalnya yaitu Paramatman yang merupakan badan dari Brahman. Menyatunya Atman
yang dahulu lepas adalah kesempurnaan yang disebut dengan moksa. Mencapai kesempurnaan
tidak saja didapatkan setelah manusia itu mendapatkan kematian tetapi semasih
manusia itu hidup bisa mendapatkan moksa yaitu mencapai kebebasan dan
kelepasan. Moksa di dunia yaitu manusia dapat bebas dari keterikatan dua hal
yang menyusun kehidupan menjadi manusia dan berada ditengah-tengahnya itulah
kebebasan. Kebebasan yang didapatkan manusia itu berawal dari kelepasan atau
lepasnya manusia dari segala ikatan duniawi atau tidak terikat melainkan
melaksanakan sesuai dengan ajaran Weda. Dan setelah itu manusia akan melepaskan
ikatan dasarnya yaitu badannya barulah mencapai kesempurnaan yaitu moksa yang
sempurna.
ADVAITA VEDANTA

A. Pemahaman Advaita Vedanta
Sistem Vedanta yang terbesar dan terkenal
adalah Advaita yang artinya tidak dualisme yaitu bahwa Advaita menyangkal
kenyataan ini lebih dari satu (brahman), namun aliran ini bukan monoisme
yaitu mengajarkan bahwa segala sesuatu dialirkan dari satu azas saja melainkan
mengakui adanya aliran kesadaran Atman yang merupakan sumber kekuatan
(Adiputra, 1990:68).
Advaita menyatakan bahwa dalam ajarannya
hanya brahman yang ada, yang tunggal sedangkan jiwa perseorangan adalah brahman
seutuhnya yang menempatkan diri dengan sarana tambahan (upadhi). Alam
semesta atau dunia dipandang sebagai suatu penampakan khyal dari brahman.
Proses terjadinya alam semesta yaitu dari pertemuan Purusa dan Prakerti
kemudian akibat dari pertemuan ini muncullah secara berturut-turut buddhi,
ahamkara, manas, sepuluh indria, panca tanmatra, panca
maha bhuta dan gabungan dari panca maha bhuta maka
munculla alam semesta beserta isinya (Sumawa, 1996:209).
Purusa dalam hal ini disamakan dengan Brahman dan
prakerti di samakan dengan maya dan hanyalah brahman yang disebut
sat yaitu keberadaan yang sesungguhnya dan di luar itu adalah di luar brahman,
seperti seuntas tali yang membentang tetapi beberapa orang melihatnya adalah
ular demikianlah alam semesta ini semu sebenarnya. Kekuatan maya Tuhan dapat
menipu diri manusia yaitu membuat mamusia tertipu mengenai dunia yang kita
lihat dan tertipu tentang apa yang sebenarnya Tuhan itu. Menurut Ramanuja prakerti
merupakan bagian dari Tuhan yang benar-benar mengalami perubahan seperti
perubahan Wiwarta yaitu perubahan pandangan terhadap kenyataan, sesungguhnya
tidak berubah tetapi kelihatannya saja berubah. Kedua yaitu penerima adalah
perubahan dari bentuk aslinya menjadi bentuk yang lain seperti perubahan kelapa
menjadi minyak, beras menjadi jajan dan sebaginya (Adiputra, 1990:70).
Brahman dikenal dengan neti-neti yaitu arti
dari bukan ini dan bukan itu, yang bersifat tidak terbatas, sumber dari segala
sesuatu yang mempunyai wujud yaitu sebagai para brahman dan apara
brahman. Para brahman adalah perwujudan brahman
yang absolut tanpa sifat, tanpa bentuk, tanpa perbedaan dan tanpa pembatasan (nirupadhi)
dalam wujud ini Tuhan disebut Nirgunam brahman yang disamkaan
dengan sunya, niskala, paramasiwa yaitu suatu istilah
hakekat Tuhan yang semula. Dalam istilah filsafat dikatakan sebagai alam transendental
yaitu alam di luar batas jangkauan pikiran manusia yang tidak disertai dengan
maya, tanpa sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur serta tidak dipandang dari
alam, manusia tetapi pribadi tertinggi.
Sedangkan apara brahman
adalah perwujudan brahman yang relatif dalam artian brahman memiliki
sifat dan pembatasan, dalam wujud ini Tuhan dipandang sebagai pencipta,
pemelihara dan pelebur alam semesta beserta isinya. Dalam istilah ini Tuhan
dinamakan dengan saguna brahman atau iswara yang dipuja
oleh manusia
B. Epistemologi Advaita Vedanta
Dalam ajaran Advaita dinyatakan bahwa ada
enam jenis pramana yaitu pratyaksa dengan pengamatan, anumana
dengan penyimpulan, upamana dengan perbandingan, sabda dengan
kesaksian, arthapati dengan perkiraan, dan anupalabdhi yaitu
dengan tanpa pengamatan.
Pratyaksa atau pengamatan terdapat dua jenis yaitu nirwikapa
dan sawikalpa. Nirwikalpa adalah pengamatan terhadap suatu objek
tanpa asosiasi, tanpa penilaian, tanpa sebutan apapun umpamanya. Sedangkan sawikalpa
adalah pengamatan terhadap suatu objek
dengan ciri-cirinya, sifat-sifatnya, namanya dan dengan penlaian
tertentu.
Anumana atau penyimpulan
yaitu dimana objek yang diketahui dapat disimpulkan dengan pengetahuan
yang sudah pernah ada di dalam ingatan tetapi ingatan tersebut hanya sekedar
ingatan biasa tanpa analisa seperti contoh jika ada asap tentu ada api dan jika
basah tentu ada air dan sebagainya. Keseimpulan seperti ini umumnya menunjukkan
adanya hubungan erat dengan objek yang dilihat atau sedang dialami dengan
pengalaman yang yang sudah ada atau kekeluargaan objek tersebut seperti
keluarga asap dengan api sangat dekat dan tidak bisa dipisahkan dan air dengan
basah atau dingin begitu seterusnya.
Upamana atau perbandingan yaitu alat pengetahuan yang
menjadikan orang tahu adanya kesaman
antara dua hal. Perbandingan menurut upamana dalam Advaita adalah tidak
sama dengan perbadingan dalam Mimamsa yaitu kita dapat mengetahui objek
tersebut bila pengetahuan tentang objek tersebut memang benar-benar yaitu objek
yang dilihat sama persis dengan objek yang diingat. Seperti sapi
dalam ingat dan melihat sapi maka
kita akan berkata bahwa itu sapi
jika dibandingkan dengan kambing tentu tidak sama begitulah proses perbandingan
dengan kenyataan ingatan yang persis.
Sabda atau kesaksian merupakan pengetahuan yang
mengandung kebenaran mutlak seperti yang dinyatakan oleh Weda. Pramana
ini bertentangan dengan pramana yang lainnya sebab pramana yang
lainnya berhubungan dengan dunia yang dapat diamati sedangkan sabda ini
adalah berhubungan pada dunia yang tidak dapat diamati.
Arthapati atau perkiraan yang juga bisa disebut dugaan
sementara dengan bahasa ilmiahnya disebut hipotesis yaitu bentuk pemikiran yang
sangat diperlukan terhadap suatu yang sulit dipahami dengan melalui beberapa
penjelasan. Penjelasan memerlukan fakta sedangkan yang akan dijelaskan tidak
terdapat fakta atau bendanya tidak ada, tidak dapat diamati maka pramana ini
sangat diperlukan untuk memenuhi keinginan akan penjelasan.
Pramana yang terakhir yaitu anupalabdhi yaitu
pengamatan karena memang bendanya tidak ada, merupakan pengamatan untuk
mendapatkan pengetahuan mengenai tidak adanya pengamatan terhadap suatu objek
tetapi mendapatkan objek yang tidak terpikirkan atau tidak ada menjadi ada
disesuaikan dengan ketiadaan menjadi ada. Misalnya jika meminum air jika tempat
lubang air kecil maka akan berpikir untuk menggunakan pipet untuk mendapatkan
air sehingga pipet yang dulunya tidak ada menjadi ada dan contoh lainnya.
(Sumawa, 1996:215-218).
Pada umumnya pengetahuan dalam Advaita
dinyatakan dalam dua jenia yaitu para widya yaitu pengetahuan
yang lebih tinggi yang di dalamnya terkadung segala macam kebenaran meliputi
segala sesuatu dan wujudnya kesatuan yang universal yaitu brahman maka
sering disebut dengan brahma widya atau atma widya
yang juga diartikan sebagai pengetahuan tentang brahman atau atman.
Sedangkan yang kedua yaitu Apara Widya yaitu pengetahuan yang
lebih rendah yang bersifat keduniawian yang sebenarnya adalah ilusi dan masa
hal ini sebenanya bentuk awidya.
Tujuan hidup tertinggi menurut Advaita
adalah untuk mengetahui dan merealisaikan bahwa Atman adalah Brahman,
di mana ataman dipandang sebagai brahman yang mana Atman
diselimuti oleh buddhi, ahamkara, manas dan sepuluh
indriya (panca budhidriya dan panca kramendriya)
serta terdapat lapisan seperti panca maya kosa dan panca
maha bhuta.
C. Advaita Sankara
Advaita yang diajarkan oleh Sri Sankara
merupakan filsafat yang kaku dan mutlak, karena menurut Sankara apapun juga
adalah Brahman yang merupakan keserbasamaan yang
mutlak. Ajaran-ajaran dari Sankara dapat disimpulkan dalam separuh
sloka, yaitu ”brahma Satyam Jangan Mithya, Jivo
brahmaiva na aparah”, yang artinya bahwa Brahman yang
mutlak sajalah yang nyata, dunia ini tidak nyata dan jiva atau roh pribadi
tidak berbeda dengan Brahman. Inilah merupakan sari pati dari filsafatnya.
Atman adalah sang diri yang nyata (svata-siddha),
yang tidak di tetapkan oleh bukti-bukti yang tidak ada hubungannya. Atman
merupakan dasar dari segala jenis pengetahuan, persangkaan dan pembuktian, sang
diri ada di dalam, di luar, di muka, di belakang, di kanan, di kiri, di atas
dan di bawah. Sedangkan Brahman bukanlah objek, karena ia bersifat Adrsta
yang mengatasi pencapaian mata, yang berarti pula bahwa Brahman merupakan suatu
konsep negatif atau abstaraksi metafisika atau sesuatau yang tidak
sungguh-sungguh ada, atau merupakan ketiadaan. Ia memenuhi segalanya, tidak
terbatas, tidak berubah, ada dengan sendirinya, kesenangan itu sendiri,
pengetahuan dan Svarupa, ia adalah si pengamat (drstha),
transenden (turiya) dan saksi bisu (saksi) (Maswinara, 1999:182).
Brahman tertinggi dari ajaran Sankara
yaitu Brahman yang tidak berpribadi yaitu Nirguna (tanpa guna atau
atribut), Nirakara (tanpa wujud), Nirvisesa (tanpa ciri-ciri
tertentu), tidak berubah, abadi dan Akarta (bukan pelaku atau praktara).
Sedangkan bentuk Saguna Brahman atau Tuhan yang berpribadi yaitu
penyatuan Tuhan dengan maya. Dijelaskan kembali bahwa Nirguna Brahman
yang lebih tinggi yang dipandang dari sudut transendental (paramarthika),
sedang Saguna Brahman merupakan Brahman yang lebih rendah yang
dipandang dari sudut relatif (Vyavaharika).
Setelah dipaparkan mengenai keadaan
Brahman selanjutnya dijelaskan mengenai tentang Atman atau jiwa dimana
Sankara berpendapat bahwa Atman yang sudah menjadi Jiwa atau roh adalah
pribadi kenyataan yang relatif dan keperibadiannya berakhir hanya selama ia
merupakan subjek terhadap Upandhi yang tidak nyata atau kondisi yang
disebab kan Avidya. Jiwa mempersembahkan drinya dengan badan, pikiran
dan indra-indra bila ia dikhayalkan oleh Avidya atau kegelapan serta
kebodhohan tadi, ia berpikir, berbuat dan menikmati juga disebabkan oleh Avidya,
dimana ia sesungguhnya tidak berbeda dengan Brahman yang mutlak.
Selain itu Sankara menjelaskan konsep
kelepasan dari samsara yaitu merupakan pengabungan mutlak sang roh
pribadi dalam Brahman, disebabkan pembebasan dari dugaan salah bahwa roh
berbeda dengan Brahman. Menurut Sankara karma dan bhakti adalah cara
menuju Jnana yang merupakan moksa. Sankara menganjurkan Vrvarta Veda
atau teori penampakkan atau pelapisan (adhayasa) merupakan Mithya
jnana atau pengetahuan palsu yang nantinya dilepaskan oleh pengetahuan
yang sebenarnya tentang realitas kehidupan, manusia akan bersinar dalam
kecemerlangan dan kemuliaan
ilahi yang sebenarnya dan murni
(Oka, 2001:197). Selanjutnya
dijelaskan lebih rinci isi dari pandangan Sankara terhadap Advaita Vedanta
yaitu sebagai berikut:
1. Konsepsi Sankara Tentang Dunia
Selain dari pada penjelasan Brahman, Atman
dan Jiwa dijelaskan lagi tentang kekuatan Tuhan untuk menciptakan yaitu maya.
Maya sebagai kekuatan Tuhan yang dibendakan dari dia, ibarat kekuatan
membakar api adalah api itu sendiri. Dengan kekuatan maya inilah Tuhan
menjadi tukang sulap mahaagung, memperlihatkan dunia sandirwara dengan segala
macam objeknya yang luar biasa. Tetapi kekuatan menciptakaan ini, bukanlah
karakter pribadi permenen Tuhan seperti dipikirkan oleh Ramanuja, melainkan
hanya suatu kemauan bebas yang karenannya dapat ditinggalkan setiap waktu.
Sebab, maya bukanlah suatu kesatuan yang berbeda dalam Brahman,
melainkan tidak terpisah dan tidak berbeda-bedakan daripadanya yaitu kemamuan
dari manah yang menginginkannya.
Lebih rinci bahwa dari Atman atau Brahman
terlahir lima unsur halus dengan urutan Akasa atau ether, Vayu
atau udara, agni atau api, apah atau air, prakerti atau tanah.
Kelima unsur ini kemudian bercampur bersama-sama melalui lima cara
berlain-lainan untuk memungkinkan terlahirnya lima unsur besar dari kelima
unsur halus tersebut dengan nama yang sama. (Pendit, 2007:196). Dengan demikian
dunia dipandang sebagai ilusi sulap dari kekuatan Tuhan yang menyembunyikan
kebenaran yang sebenarnya, Tuhan menciptakan lila atau permainan berupa
sandiwara kehidupan yaitu dua sisi kehidupan yang selalu berdampingan seperti
laki-laki dan perempuan jatuh cinta, suka dan duka kehidupan, rasa benci dan
cinta dan sebagainya merupakan sandiwara kehidupan yang diciptakan oleh Tuhan
untuk memperindah dunia. Sangkara tidak saja mengatakan dunia ini adalah maya
dari saktinya Tuhan tetapi maya juga adalah Brahman itu sendiri hanya saja Brahman
yang terbelengu oleh keinginan dalam sifatnya, dengan itu maya bukanlah tujuan
yang tertinggi melainkan bersatu dengan Brahman yang tanpa pribadi.
Sesuatu yang tampak seperti sebenarnya ada
adalah tidak nyata yang nyata adalah jiwa, atman dan Brahman yang berada di
dalam diri manusia. Karena belengu maya atman yang telah menjadi jiwa hidup di
dalam material akasa, eter, agni, apah dan prakerti maka jiwa harus
mengikuti sifat maya seperti dari lahir akan menjadi anak-anak terus menjadi
remeja, menjadi dewasa, menjadi tua dan mati. Merasakan rasa lapar, rasa
mengantuk, dingin, panas, gelap dan terang, sakit dan sehat serta sebagainya
merupakan kekuatan maya untuk menyeliputi sejati sang jiwa. Dunia memiliki
kekuatan yang besar dalam mempengaruhi
jiwa atau atman dalam diri manusia untuk melupakan dirnya karena pengaruh dari
badan materialnya. Dengan demikian badan dan jiwa harus disadari satu kesatuan
yang tidak dipisahkan bukan hanya melayani badan saja melainkan jiwa dilayani
oleh badan dan badan dilayani oleh jiwa itulah kesimbangan.
2. Teori Advaita Tentang Kesalahan
Sebagaimana Sankara mencoba menjelaskan
tentang pemunculan dunia dengan jalan persepsi bersifat ilusi, ia dan para pengikutnya
mendiskusikan sifat dan waktak persepsi secara lebar, karena
penjelasan-penjelasan kesalahan serupa itu diajukan oleh aliran-aliran lain,
menyebabkan pandangan Advaita tentang dunia tidak konklusif. Untuk membangun
fakta-fakta tersebut menjadi teori yang konsisten, kaum Advaita berpendapat
bahwa dalam ilusi ketidaktahuaan itu menutup bentuk objek yang bereksistensi
dan sebaliknya membentuk wajah atau objek lain seperti tali menjadi ular. Objek
yang kelihatan itu haruslah diterima sebagai ada seperti yang tampak di sini
dan sekarang, lalu ia adalah ciptaan sementara (sristi) dari
ketidaktahuaan. Suatu ciptaan tidak terlukiskan
(anirvacaniya sristi) dan teori ilusinya disebut teori
terwujud yang tidak dapat dilukiskan (anirvacaniyakhyativeda) (Pendit,
2007:212).
Penjelasan tentang pemunculan dunia dari
segi ilusi biasa, sebagai ciptaan suatu ketidaktahuaan dengan kekuatan
menyembunyikan dan mengubah realitas adalah beralasan baik. Maksudnya adalah
melalui ketidaktahuan kita menempatkan di atas insani murni (Brahman),
objek-objek yang beraneka warna bentuk yang dialami di masa hidup yang lampau. Menempatkan
diri di atas yang dimaksud adalah menempatkan pemikiran di atas pengetahuan
normal yaitu berpikir lebih jauh dan luas tentang dunia dan kehidupan manusia.
Pandangan ini beranggapan bahwa yang dipandang sebagai kesalahan yaitu maya
sesungguhnya adalah kebenaran yang terlihat seperti tidak benar yang muncul
tidak saja pada pandangan yang kita pandang saat ini melinkan telah terdapat
sebelum kita pandang seperti saat ini yaitu telah ada tanpa adanya permulaan
atau kelahiran
Seperti Brahman yang kita kenal tidaklah
dilahirkan dan tidak akan berakhir begitu juga dengan alam semesta dan
kehidupan ini yang sesungguhnya tidak ada permulaan dan akhir dari apa yang
kita lihat saat ini melainkan adalah kelanjutan dari alam semesta sebelumnya
dan kehidupan sebelumnya. Hal inilah yang menjadi dasar konsep punarbawa dan
renkarnasi dalam agama Hindu yang menyatakan bahwa yang saat ini dialami dan
dinikmati adalah hasil dari kehidupan dimasa lalu, begitu juga dunia yang kita
pandang saat ini adalah hasil dari dunia di masa lalu dan semua yang dipandang
pada masa kini tentang alam semesta dan kehidupan manusia tidak berakhir
setelah kita selesai memandang semuanya melainkan akan terus berlanjut kepada
alam semesta dan kehidupan selanjutnya yang tidak akan pernah berhenti. Dengan
demikian kesalahan yang dipandang saat ini merupakan kebenaran dimasa lalu yang
mungkin saat ini dipandnag tidak benar karena pengaruhnya berbeda dengan kebenaran
saat ini, maka sebenarnya di dunia ini tidak ada kesalahan melainkan
kesemuannya adalah kebenaran dari pada Brahman itu sendiri.
3. Konsepsi Sankara Tentang Tuhan
Menurut Sankara, Tuhan dapat direnungkan
dari dua sudut pandangan yang berbeda-beda. Apabila kita lihat Tuhan dari sudut
pandang bisa yang praktis (vyavaharikadristi) di mana dunia dipercaya
sebagai riil, Tuhan bisa dipandang sebagai sebabnya, pencipta, pemelihara dan
pemusnah dunia dan karenannya juga suatu mahkluk mahapotensial dan mahamengetahui.
Pelukisan Tuhan sebagai pencipta dunia hanya benar dari sudut pandang praktis,
selama dunia semua ini dianggap sebagai riil. Kepenciptaan dunia bukanlah
intisari Tuhan (svarupa laksana) itu hanyalah pelukisan apa yang
merupakan eksidental belaka (tatasitha laksana) dan tidak
menyentuh instisarinya.
Demikian pulalah halnya dengan pelukisan
Tuhan sebagai yang sadar, riil, tidak terbatas (styam, jnanam, anatam
brahman) merupakan suatu upaya untuk melukiskan intisari-Nya (svarupa)
sedangkan pelukisan-Nya sebagai pencipta, memelihara dan pelebur dunia, atau
dengan karakteristik lain apapun yang dihubungkan dengan dunia adalah hanya
pelukisan eksidental belaka dan hanya berlaku baik buat sudut pandang dunia.
(Pendit, 2007:219). Pandangan ini menekankan bahwa kebenaran berbeda-beda jika
dipandang dari sudut yang berbeda-beda pula, karena kesemuannya merupakan
kebenaran juga. Jika dunia dipandang dari mujud saat ini adalah benar adanya
karena dunia saat ini dapat memberikan kenyamanan, ketenangan dan segala
kebutuhan secara riil, segala yang hidup terbawa dalam alur kehidupan yang
sebenarnya saat ini dirasakan adalah benar. Sehingga dari sudut pandang
sekarang Tuhan memiliki sifat sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur segala
yang ada saat ini baik manusia dan segala ciptaanya akan mengikuti kebenaran
tersebut, seolah-olah tidak dapat menghindarkan diri dari kebenaran tersebut
seperti hidup dan mati, sakit dan sehat, susah dan senang maka itu juga
dipandang sebagai kebenaran.
Sedangkan padangan selanjutnya yang melampaui
batas kebenaran di atas menyatakan bahwa kebenaran tersebut tidaklah demikian
adanya karena kebenaran saat ini adalah sandiwara atau pertunjukkan belaka dari
kehidupan terdahulu yang sebenarnya dapat dihindari dan sadari. Inilah permulaan
dari ajaran Karma phala yaitu segala sesuatu yang dirasakan dan dinikmati saat
ini adalah hasil perbuatan di masa lalu yang tidak benar demikian adanya pada
masa ini. Orang yang menyadari hal ini adalah orang yang menempatkan dirinya
sebagai bagian dari Brahman yang terbebas dari kekuatannya sendiri yaitu maya
yang tidak ternodai oleh keinginan dan Guna, dan yang lain menyatakan Tuhan
yang bersifat adalah mewujudkan Tuhan sebagai pemilik maya itu sendiri sehingga
seolah-olah Tuhan memiliki sifat dan ego yang sebenarnya itu adalah berada di
dalam ruang lingkup maya.
4. Konsepsi Sankara Tentang Belenggu dan
Kelepasan
Sankara percaya pada monisme yang tanpa
kualifikasi, semua perbedaan antara objek dengan objek, atara subjek dengan
objek, antara jiwa dengan Tuhan adalah ciptaan ilusi dari maya. Manusia tampak
terdiri dari badan jasmani dan jiwa, tetapi badan yang kita lihat ini, seperti
halnya tiap-tiap objek material lainnya adalah hanya penampilan ilusi belaka.
Kalimat Tat Twam Asi (engkau adalah itu) berarti bahwa ada
suatu identitas tanpa kualifikasi antara jiwa, yang melatarbelakangi secara
kelihatan belaka manusia yang terbatas dengan Tuhan. Kata Twam (engkau)
hanya dalam artian individual empiris terbatas dan tergantung pada kondisi
bandanya belaka, serta kata Tat (itu) sebagai realitas di luar dunia,
maka tidak akan ada identitas anatara Twam dan Tat (Pendit,
2007:231).
Jiwa yang dipandang terpisah dari
kondisi-kondisi yang memisahkannya dari kesadaran murni adalah indentik dengan
Tuhan yang dipandang terpisah dari atribut-atribut yang memisahkan-Nya dari
kesadaran murni. Badan tidaklah hanya dibuat dari pada yang kita dapat saksikan
melalui indria tetapi juga terdapat badan halus yang terdiri dari indria
dan alat pengerak, unsur vital (prana)
dan mekanisme tentang pengetahuan dalam (antahkarana) atau juga batin.
Kalau badan kasar hancur saat mati, maka badan halus tidak demikian tetapi
bersama jiwa berpindah kebadan berikutnya karena badan itu produk maya yang
nantinya menjadi karma phala manusia. Kesadaran jiwa juga menjadi terbatas oleh
kondisi-kondisi beada.
Indria dan antahkarana (organ
internal dari pengetahuan) menjadi instrumen untuk memperoleh kesadaran akan
objek-objeknya. Kesadaran itu seperti tatkala manusia tidur pulas tanpa
mimpi-mimpi sebenarnya manusia berhenti memiliki suatu ide tentang objek
apapun. Tetapi sebenarnya kesadaran yang utama lebih dari sekedar tidur pulas
tanpa mimpi-mimpi tetapi menyadari setiap gerak indria, emosi, kesabaran,
keadaan dimana sedang berada, ucapan setiap langkah serta mngetahui diri sedang
dalam keadaan bersedih atau berduka, bahagia atau damai serta mengetahui diri
dalam keadaan bimbang itulah kesadaran jiwa yang mana badan atau maya ni
mempengaruhi jiwa namun tidak megendalikan jiwa.
Konsep belenggu menurut sankara yaitu
terbatasnya kondisi kesadaran jiwa akibat tertutupnya kesadaran oleh badan yang
menyelimuti sang jiwa. Badan yang terdiri dari badan kasar dan badan halus yang
memiliki sifat dan bentuk yang berbeda-beda, badan kasar yang tersusun oleh unsur
material Panca maha bhuta akan kembali keasalnya dan tidak lagi mempengaruhi
jiwa tetapi badan yang halus akan terus mempengaruhi sang jiwa setelah kematian
badan kasar manusia. Badan halus inilah yang terus mengikuti sang jiwa dan
mempengaruhi perjalanan sang jiwa. Belenggu yang disebabkan oleh badan kasar
yaitu belenggu rasa sakit, rasa ngantuk, lapar, perubahan bentuk, mati dan
sebagainya. Sedangkan belenggu oleh badan halus adalah keinginan, kebencian,
rasa malu, keberanian, egois, emosi, keahlian, kecerdasan, rejeki, dan
sebagainya yang bersifat sangat halus dan tidak diketahui dari mana asalnya.
Belenggu-belenggu inilah yang menyebabkan sang jiwa susah merefleksikan diri
atau menampakkan diri dalam diri manusia sehingga manusia terbawa dalam belenggu
tersebut, manusia akan merasakan sakit bila dilukai, sedih bila disakiti, sedih
bila meninggalkan atau ditinggalkan, jatuh cinta kepada lawan jenis, rasa
persaudaraan, kebencian kepada musuh, dan sebagainya. Inilah yang memyebabkan
perbedaan manusia satu dengan manusia lainnya yaitu disebabkan besar kecilnya
belenggu yang disebabkan oleh perbuatannya di kehidupan terdahulu menggunakan
badan kasar dan badan halusnya menikmati objeknya atas perintah dari keinginan
badan kasar dan badan halusnya.
Keterikatan kesadaran kepada kedua
badannya tersebut sehingga manusia tidak bisa menerima kematiannya dan selalu
menginginkan umur panjang yang sebenarnya umur panjang adalah keinginan dari
sifat sesungguhnya badan kasar itu sednagkan rasa sayang, cinta, sedih adalah
sifat sesungguhnya badan halus manusia. Dengan demikian dapat diketahui belenggu
sebenarnya manusia adalah sifat-sifat materialistik dari badanya. Dari badan
inilah banyak bermunculan interpretasi terhadap kebenaran-kebenaran yang ada,
kesalahan-kesalahan yang maksudnya adalah karena keinginan dari badan-badan
tersebut sehingga jiwa membantu badan untuk mendapatkan segala keinginan badan
dengan meninterpretasikan yang bersifat tidak nyata atau palsu menjadi nyata. Manusia
akan secara sengaja mengkaburkan kesalahan menjadi benar, yang palsu menjadi
nyata karena kebutuhan dari badan-badanya yang semakin diberikan akan semakin
susah dihentikan dan justru akan semakin besar permintaannya. Hal inilah yang
menyebabkan manusia susah menyadari sejatinya karena semakit tertutup jendela
kesadaran diri di dalam badan manusia dengan itu manusia perlu membatasi
keinginan badan tersebut sesuai dengan keutuhan mencapai kesadaran badan yaitu
badan yang sehat, bersih, cerdas, berperasan dan sensitif dengan belajar dari pengalaman
serta alam.
Belajar mempelajari kesadaran adalah bukan
berarti memberikan keleluasan kepada badan untuk memrintah kesatuan badan untuk
menikmati segala keinginannya tetapi kesatuan badan secara bersama-sama mencari
kebutuhan badan untuk hidup bersahaja seimbang yaitu dengan menyadari apa yang
dilakukan, di mana dilakukan, dengan siapa, bagaimana perasaan diri sendiri dan
orang sekitar, bagaimana alam sekitar dan tidak menguraingi kebenaran dari
kebutuhan atau egois badan itu. Inilah kelepasan yang dimaksud yaitu menyadari
keberadaan jiwa dan badan serta kesatuan antara badan dan jiwa sedang
beraktivitas di dunia, sedang melakukan apa, bagaimana, dengan siapa, serta
menyadari sifat utama jiwa dan badan yang keduanya memiliki peranan yang
penting dalam mencapai tujuan tertinggi. Dengan itu manusia akan dapat
membedakan mana keinginan dan mana kebutuhan yang baik, melepaskan interpretasi
yang berlebihan terhadap segala sesuatu dengan kedok kebutuhan badaniah.
5. Konsepsi Teori Sankara Tentang Jiwa
Jiwa dalam sifat dan waktaknya yang
hakiki, terisolasikan dari semua objek seperti ia dalam tidur nyeyak tanpa
mimpi, ternyata memiliki eksistensi berikmah atau penuh damai, demikian juga
dapat dikatakan ikmah dalam kesadaran. Jiwa dapat dijelaskan sebagai sumber
tertinggi dari semua kebahagiaan. Kebahagiaan ini biasanya terbatas dan tidak
tahan lama karena jiwa membatasi dirinya dengan jalan menidentifikasikan
dirinya dengan objek-objek yang terbatas dan terapung-apung mengambang.
Kesedihan dihubungkan dengan kekurangan-kekurangan tetapi tatkala jiwa
dapat menyadari dirinya apa sebenarnya
dia yaitu kesadaran murni yang tidak terbatas maka ia adalah satu dengan
intisarinya atau jiwa universal. Maka ia lalu dapat mengatasi segala kekurangan
dan mencapai hikmah yang tidak terbatas. (Pendit, 2007:238).
Jiwa tidak ubahnya seperti refleksi yang
beraneka warna dan sifat dan watak air yang merefleksikannya, apakah
kelihatannya bersih atau kotor, bergerak
atau diam sesuai dengan sifat dan waktak genagan air tersebut, demikian pulalah
dengan jiwa manusia adanya refleksi yang tidak terbatas beraneka warna sesuai
dengan sifat dan waktak ketidaktahuan masing-masing individu. Dengan demikian
terdapat persiapan yang diperlukan untuk mempelajari Vedanta menurut sankara
yanitu terdiri dari 4 macam yaitu:
a. Orang harus mempu membedakan antara apa
yang langeng dan tidak langeng (nityanitya-vastuviveka).
b. Orang harus mampu memberhentikan semua
keinginan untuk menikmati objek-objek dalam hidup ini maupun nanti setelah
hidup ini (ihmutrartha-bhogaviraga).
c. Manusia harus mengontrol manah dan
indrianya serta menumbuhkan kualitas-kualitas seperti tanpa ikatan motif,
kesabaran, kekuatan konsentrasi (samadamadisadhana-sampat).
d. Manusia harus memiliki suatu kemauan kuat
untuk kelepasan (mumuksutva). (Pendit, 2007:243).
Dengan persiapan intelak, emosi dan
kemauan yang demikian, orang harus mulai belajar Vedanta pada seseorang guru
yang telah merealisasikan Brahman yang terdiri dari: (1) Mendengarkan
instruksi-instrusi guru (sravana), (2) Mengerti maksud instruksi
tersebut agar semua keragu-raguan terhapus dan tumbuh keyakinan (manana),
(3) Meditasi berulang-ulang tentang kebenaran-kebenaran yang diterima (nidihyyasana).
Selain itu jiwa yang memiliki karma
dapat dibedakan karma tersebut menjadi tiga macam yang dapat dibeda-bedakan
yaitu karma-karma yang membahwakan akibatnya (prarabdha karma)
dan yang masih tinggal terakumulasi (sancita karma) dan karma
yang terkumpul dalam hidup ini (sanciyamana).
6. Pandangan Sankara Terhadap Pengetahuan
Menurut Sankara ada enam macam alat-alat
pengetahuan (pramana) yaitu pengamatan, penyimpulan, perbandingan,
kesaksian, persangkaan dan tiada pengetahuan atau persepsi. Mengetahui
pengetahuan diajarkan bahwa ada dua macam pengetahuan yaitu pengetahuan yang
lebih tinggi (para widya) dan pengetahuan yang rendah (apara
widya). (Adiputa, 1990:77).
Tujuan hidup manusia adalah untuk
mengetahui dan menganalisis kebenaran atau kelepasan. Maka terdapat sarana
untuk mencapai kelepasan atau menuggalnya dengan Brahman yaitu: (1) Melakukan
disiplin yang praktis yang disebut dengan Wairagya yaitu sikap yang
tidak tertatik pada duniwai. Hal tersebut akan mendapatkan kecakapan untuk
dapat membedakan antara hal-hal yang bersifat sementara dan bersifat kekal.
Dengan demikian hindari kesusahan tetapi kesederhanaan dan merindukan
kesejatian diri dan (2) Berusaha mendapatkan pengetahuan tentang kebenaran yang
tertinggi dan mengubah pengetahuan itu menjadi pengalaman yang langsung yaitu
dengan belajar pada guru. Maka pengetahuan yang utama adalah pengetahuan yang
memiliki kebenaran yaitu tidak adanya ikatan untung dan rugi, atau bersifat
pemenuhan badaniah semata melainkan pengetahuan yang dapat membuat jiwa dan
badan merasa mendapat makanan seperti halnya rasa ingin tahun dengan ketenangan.
Rasa ingin tahu merupakan laparnya pengetahuan duniawi yang harus segera
dipenuhi karena jika tidak akan terjadi beban serta tidak konsentrasinya
pikiran pada salah satu objek utama. Sedangkan kedamian dan ketenangan dari
pengetahuan adalah rasa laparnya jiwa mengharapkan pengetahuan yang dapat
menenangkan alur pikiran dan jiwa dapat merefleksikan diri atau mempengaruhi
pikiran agar selalu tenang itulah makanan jiwa.
Berangkat dari pandangan tersebut
sebenarnya pengetahuan menurut Sankara bukan hanya semata mengetahui apa yang
belum diketahui, dapat menjawab pertanyaan, dapat mendeskripsikan suatu objek
melainkan mendapatkan ketenangan dari pengetahuan itu. Dengan demikian
pengetahuan itu berupa pengetahuan yang didapatkan dengan cara menjauhkan diri
dari harapan duniawi dari hasil mendapatkan pengetahuan itu melainkan
ketenagan, baik dari konsentrasi, meditasi, dan menyadari diri secara utuh.
VASISTADVAITA VEDANTA

A. Pemahaman Visistadevaita Vedanta
Filsafat ini disebut Visistadevaita karena
ia menanamkan pengertian Advaita atau kesatuan dengan Tuhan, dengan Visesa
atau atribut, sehingga ia merupakan filsafat monisme terbatas. Ia menyatakan
hanya Tuhan saja yang ada sedangkan semua yang lainnya yang terlihat merupakan
perwujudan atau atribut-nya. Tuhan atau Narayana dari Ramanuja merupakan satu
keseluruhan dasar yang kompleks atau Visista, walaupun kenyataan satu sehingga
dinamakan Visistadvaita.
Menurut Sankara segala sifat atau
perwujudan itu tidak nyata atau sementara yang merupakan hasil avidya
atau kegelapan, sedangkan menurut Ramanuja atribut tersebut nyata dan tetap,
tetapi tergantung pada pengendalian diri satu Brahman. Tuhan dapat menjadi satu
walaupun adanya atribut-atribut, karena mereka dapat terjadi dengan sendirinya
dan mereka bukan merupakan kesatuan yang bebas yang benar-benar ada.
Filsafat ini merupakan Vaisnavisme yang
mengakui kejamakan di mana Brahman atau Narayana dari Ramanuja hidup dalam
kejamakan bentuk sebagai roh-roh (cit) dan materi (acit).
Filsafat Ramanuja terlalu tinggi, halus dan abstrak bagi kebanyakan orang
tetapi sangat sesaui dengan mereka yang unsur bhaktinya lebih berpengaruh.
Dalam filsafat Ramanuja terdapat 2 prakara atau ragam yang terpisah
yaitu alam dan Dunia yang dihubungkan dengan badan dan roh mereka terpisah
tetapi menyatu.(Pendit, 2007:186).
Menurut Ramanuja apapun semuanya adalah
Brahman tetapi Brahman di sini bukanlah sesuatu yang bersifat serba sama namun
dalam diri-Nya terkandung unsur-unsur kejamakan yang menyebabkan-Nya
benar-benar mewujudkan dirinya dalam alam yang beraneka warna ini. Brahman di
sini adalah merupakan benar-benar Tuhan berpribadi, pengatur yang maha kuasa
dan maha bijak dari alam yang nyata, diresapi dan dihidupi oleh jiwa-Nya.
Alam dengan berbagai wujud material dan
roh-roh pribadi bukanlah maya atau tidak nyata, tetapi bagian nyata dari
hakekat Brahman dan merupakan badan Tuhan. Materi itu nyata yang merupakan Cit
atau substansi yang tanpa kesadarqan yang mengalami evolusi atau Parimana.
Alam atau prakerti memiliki memiliki 3 guna yaitu Sttvam, rajas
dan tamas, tetapi Suddha tattwa hanya memiliki sifat sattvam
saja yang merupakan materi murni yaitu substansi penyusun badan Tuhan yang
disebut dengan Nitya-vibhuti sedangkan yang berwujud merupakan Lila-vibhuti-Nya.
Roh adalah prakra Tuhan yang lebih
tinggi dari pada meteri, karena ia merupakan kesatuan yang sadar, yang
merupakan inti dari Tuhan. Menurut Ramanuja bahwa Tuhan, roh dan alam merupakan
kesatuan-kesatuan yang abadi, yaitu roh adalah sadar sendiri, tidak berubah,
tidak terbagi yang bersifat mutlak. Terdapat 3 golongan roh yaitu a) Nitya
atau abadi, b) mukta atau bebas, c) baddha atau
terbelenggu.selanjutnya ramanuja menjelaskan bahwa moksa adalah berlalunya roh
dari kesulitan hidup duniwi menuju semacam surga (Vaikuntha) di mana ia
akan tetap selamanya dalam kebahagiaan pribadi yang tenang bersama Tuhan. (Pendit, 2007:189).
Tuhan menurut Ramanuja kembali ditegaskan
bahwa Tuhan adalah asas yang immanen yang menjiwai cit dan acit
menimbulkan tiga kualitas yaitu berubah, tumbuh dan mati. Pertemuan cit
dengan acit menimbulkan secara berturut-turut dari yang halus sampai
kepada yang kasar yaitu citta atau buddhi, manas, sepuluh
indria, panca tanmatra, panca mahabhuta dan alam
semesta beserta isinya. Pada sat pralaya semuanya kembali pada acit
ke dalam Tuhan dan proses penciptaan alam semesta ini bukan suatu bentuk ilusi
melainkan kenyataan yang benar-benar terjadi. (Sumawa, 1996:237).
Dengan demikian pemikiran Ramanuja
berlainan dengan pemikiran Sankara tentang alam Brahman, jiwa dan alam semesta.
Jika Sankara menyatakan Brahman adalah kesadaran tertinggi sedangkan jiwa atau
roh adalah kesadaran yang sudah terbelenggu kepalsuan atau maya begitu juga
dengan alam semesta tercipta dari ilusi Tuhan atau kekuatan maya tuhan yang terlihat
adan tetapi sebenarnya tidak ada. Melainkan dengan pandangan Ramanuja bahwa
segalanya adalah Brahman baik itu Atman atau kesadaran tertinggi maupun
material penyusun alam semesta, sebab segalanya adalah Brahman tidak berbeda
hanya pada fungsi yang berbeda. Ramanuja menyatakan penciptaan dan segala yang
ada adalah nyata seperti nyatanya Tuhan dan yang intinya menyatakan Tuhan
memiliki mahakuasa menciptakan alam semesta dari berbagai belenggu dan maya
yang merupakan bagian dari Tuhan. Ilusi yang disampikan Sankara menurut
Ramanuja adalah nyata demikian seperti Brahman hanya kesadarannya berbeda yaitu
kesadaran murni dan kesadaran material tetapi keduan adalah sama sedang berada
dalam keberbedaan sementara. Dengan
demikian bahwa Brahman, jiwa dan alam semesta memang berbeda tetapi tidak dapat
dipisah-pisahkan karena ketiganya sama-sama kekal yang dapat dikatakan bahwa
berbeda tetapi berhubungan yang sangat erat. (Adiputra, 1990:79).
Filsafat ini mengenal tiga jenis pramana
atau alat pengetahuan yaitu pratyaksa atau pengamatan, anumana
atau penyimpulan dan sabda atau kesaksian. Pengamatan memiliki dua jenis
yaitu Nirwikalpa atau pengamatan tanpa penilian dan sawikalllpa
yaitu pengamatan dengan ciri-ciri atau penilaian. Anumana adalah
penyimpulan tentang pengetahuan yang ada dengan pengetahuan yang baru ada dan
semestinya ada tiga syarat yang dipenuhi yaitu Paksa atau suatu
kesimpulan yang akan ditarik, sadhya atau objek yang akan ditarik kesimpulannya
dan lingga atau tanda yang tidak terpisahkan dengan benda dan
kesimpulannya.
Kesimpulan itu dapat diambil karena adanya
dalil umum yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara api dengan asap
yang didasarkan atas pengalaman yang telah ada degan demikian penyimpulan memerlukan
prantara atau bantuan pengetahuan lain di mana penyimpulan ini dilakukan untuk
menyakinkan orang lain dan diri sendiri. Sedangkan mengenai sabda atau
kesaksian dinyatakan bahwa mengandung kebenaran yang mutlak seperti yang
dinyatakan dalam kitab Suci Weda, dimana Weda dibagi atas Brahmana dan Upanisad
yaitu kitab Brahmana berhubungan dengan upacara keagamaan dan cara memuja
sedangkan Upanisad berhubungan dengan Brahman dengan sasaran pemujaan yang
keduanya merupakan kesaksian yang mutlak. (Sumawa, 1996:243).
Dengan demikian sebenarnya segala
pengetahuan adalah benar sekalipun ada tingkatan-tingkatan kebenaran yaitu
kurang benar, cukup benar, sangat benar dan lain sebagainya. Semua pengetahuan
menujuk kepada adanya objek pengetahuan yang kompleks yang tidak sederhana,
suatu keruwetan yang telah diberi kuaifikasi, yang telah ditentukan
sifat-sifatnya yang menjawab tersebut adalah pengalaman. Secara umum Vaisesika
membicarakan soal dharma yaitu apa yang memberikan kesejahteraan di Dunia ini
dan yang dapat memberikan kelepasan. Ajarannya yang terpenting ialah tentang
katagori (unsur) yang menjadikan segala sesuatu yang ada di alam ini. Waisesika
menyatakan bahwa ada tujuh unsur (katagori) yang menjadikan alam ini yaitu:
1. Substansi (drawya)
Substansi adalah zat yang ada dengan
sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-unsur lain. Namun unsur lain tidak
dapat apa tanpa substansi. Substansi (drawya) dapat menjadi sebab
yang melekat pada apa yang dijadikannya. Atau drawya dapat menjadi tidak
ada pada apa yang dihasilkannya. Ada
Sembilan substansi yang dinyatakan oleh Waisesika:
1.
Bumi 6. Waktu (kala)
2.
Api
(panas) 7. Ruang (tempat)
3.
Air
(zat cair) 8. Akal (manas)
4.
Udara
(hawa) 9. Pribadi (jiwa / atma)
5.
Akasa
(ether)
Semua substansi
tersebut di atas, riel, tetap dan kekal, namun hanya hawa, waktu dan akasa
bersifat tak terbatas. Kombinasi dari Sembilan substansi itulah membentuk alam
semesta beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua
yang ada di alam ini baik bersifat physik maupun yang bersifat rokhaniah.
Adapun yang
termasuk substansi badani (physik) ialah: bumi, air, api, udara, ruang,
waktu dan akasa. Sedang yang tergolong substansi rokhaniah terdiri dari akal
(manas/pikiran) dan pribadi (jiwa/atam). Kedua substansi rokhaniah ini bersifat
kekal dan pada setiap makhluk (manusia) hanya terdapat satu jiwa dan satu
manas. Demikianlah pribadi (jiwa) itu bersifat individu dan menjadi sumber
kesadaran setiap makhluk yang senantiasa berhubungan dengan kegiatan badani (physik).
Setiap pribadi (atma) memiliki manas tersendiri yang dipakai sebagai alat untuk
mengenal dan mengalami sesuatu melalui alat physik termasuk juga dipakai
sebagai alat untuk mencapai kebebasan. Namun di lain pihak manas juga diakui
dapat menyebabkan kelahiran kembali. Oleh karena setiap makhluk (manusia)
dijiwai oleh pribadi (jiwa/atma) maka pandangan Waisesika terhadap jiwa tidak
mungkin dipisahkan karena keduanya senantiasa mewujudkan satu kesatuan
2. Aktifitas (karma)
Tidak semua substansi (zat) dapat bergerak. Hanya
substansi yang bersifat terbatas saja dapat bergerak atau mengubah tempatnya.
Sedangkan substansi yang tak terbatas (atma, hawa dan akasa) tidak dapat
bergerak karena telah memenuhi segala yanga ada. Karena Tuhan sebagai sumber
gerakan alam ini maka Tuhan Maha mengetahui segala gerak dan perilaku benda-benda
di alam ini termasuk mengetahui benda perilaku (karma) manusia. Atas dasar itu
maka jelaslah Waisesika meyakini adanya Tuhan secara anumana. Diyakini Tuhan
adalah maha tahu, menjadi sumber kesadaran tertinggi dan Waisesika meyakini
bahwa Tuhan menciptakan alam ini dengan jalan mengatur komposisi atom-atom yang
ada.
3. Samanya
Sifat umum (samanya) ialah sifat terdapat
pada sekelompok atom yang sudah tentu berbeda-beda dnegan sifat atom yang lain,
seperti sifat kelompok atom air akan berbeda dengan sifat kelompok atom bumi
maupun dengan sifat kelompok atom manas, dan sebagainya
4. Wisesa
Sifat perorangan (individu) ada banyak dan
beraneka ragam karena setiap benda atau orang memiliki sifat tersendiri dan
benda antara yang satu dengan yang lain. Karena setiap benda (substansi)
memiliki wisesa maka wisesa ini bersifat kekal, oleh Karen alam ini terjadi
dari substansi yang kekal.
5. Samawaya
Pelekatan juga bersifat kekal dan hanya ada satu
yang disebut Samawaya. Pelekatan dikatakan kekal karena pelekatan ini tentu
terjadi pada benda-benda yakni pelekatan antara benda (zat) dengan kualitasnya
seperti: api-panas, kapur-putih, tinta-hitam, es dingin dan sebagainya. Api,
air, dan tanah terjadi dari substansi yang atomnya bersifat kekal, maka tentu
kwalitasnya pun kekal termasuk hubungan yang tak terpisahkan (Samawaya/pelekatan)
keadaanya kekal pula. Namun sifat kekekalan itu hanyalah satu walaupun terdapat
pada bermacam-macam substansi.
6. Abhawa
Abhawa dikatakan katagori yang bersifat negatif karena
menyatakan ketidak adaan dari seuatu. Jadi abhawa pun ternyata menyebabkan
terjadinya sesuatu yakni ketidak adaan. Ketidak adaan disini bukanlah mutlak (absolut)
melainkan ketidak adaan yang bersifat khusus dan berlaku pda ruang waktu
tertentu dan terbatas.
B. Etika Vasistadvaita Vedanta
Jiwa manusia dibedakan menjadi jiwa yang
tidak terbelenggu oleh benda, jiwa yang bebas dari belenggu, dan jiwa yang
masih terbelenggu oleh benda sehingga masih mengalami punarbawa atau
lahir berulang-ulang. (Sumawa, 1996:249). Jiwa yang masih terbelenggu tersebut
dapat menderita dilahirkan kembali karena karma yang ada pada dirinya masih
ada. Dengan demikian tujuan hidup manusia adalah mencapai Narayana yang bebas
dari belenggu untuk menikmati kebahagiaan yang sempurna degan jalan prapatti
dan bhakti.
Prapatti adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan
sebagai satu-satunya tempat untuk berlindung. Penyerahan diri hendaknya
disertai dengan kepercayaan yang sempurna bahwa Narayana bersifat maha kuasa,
cinta kasih, maha pemurah. Sedangkan bhkati memiliki tiga tahap yaitu Karma
yoga, jana yoga, bhakti yoga dan Raja
yoga. Karmayoga dengan upacara kegamaan dilakukan menurut Weda
yang terdiri dari upacara kepada para Dewa atau Dewa yajna, para Rsi (Rsi
yajna) atau orang suci, kepada leluhur
atau pitra yajna, manusa yajan dengan menolong kepada
mereka yang memerlukan dan bhuta yajna dengan memelihara
lingkungan dan sebagainya.
Jnanayoga adalah usaha untuk merenungkan diri sendiri yang
berhakekat rohani dan jasmani yang berasal dari Tuhan, hal ini untuk membantu
merealisasikan keadaan yang sebenarnya dari sang diri yang sejati. Bhaktiyoga
adalah dengan melakukan meditasi kepada Tuhan yang bertujuan untuk menguatkan
ingatan bukan untuk menuju kepada pengamatan Tuhan. Ingatan di sini adalah ingatan
yang teguh yang penuh kasih sayang dan cita kasih kepada objek yang
direnungkan. Dengan menjalankan bhakti tersebut dengan penyerahan mencapai
moksa di mana moksa adalah keadaan yang bebas bersatu dengan Brahman.
C. Konsep Kesempurnaan Menurut Ramanuja
Pendiri filsafat Visistadvaita adalah Rsi Ramanuja, disebut filsafat Visistadvaita
karena penanaman pengertian Advaita atau kesatuan dengan Brahman, dengan wisesa
atau atribut. Sehingga dianggap sebagai filsafat monisme terbatas. Hanya
Brahman yang ada, sedangkan yang lainnya merupakan perwujudan atau atributnya,
Beliau merupakan satu keseluruhan yang komplek walau kenyataannya satu. Apabila
Sri Sankara menganggap bahwa segala bentuk perwujudan dianggap tidak nyata dan
sementara, sifatnya hanyalah hasil dari awidya atau kegelapan, maka
menurut Sri Ramanuja atribut itu nyata dan tetap, namun bergantung pada
pengendalian satu Brahman.
Tujuan hidup manusia adalah mencapai
Narayana yang bebas dari belenggu untuk menikmati kebahagiaan yang sempurna
dengan jalan prapatti dan bhakti. Prapatti adalah
penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan sebagai satu-satunya tempat untuk
berlindung. Penyerahan diri hendaknya disertai dengan kepercayaan yang sempurna
bahwa Narayana bersifat mahakuasa, cinta kasih, maha pemurah. Sedangkan bhakti
memiliki empat tahap yaitu catur Marga
Yoga. Karma yoga dengan upacara keagamaan dilakukan menurut Weda yang terdiri
dari upacara kepada para Dewa, para rsi, leluhur, dan manusia. Dengan menolong
kepada mereka yang memerlukan dan kepada bhuta dengan memelihara lingkungan (panca
yadnya). Jnana yoga adalah usaha untuk merenungkan diri sendiri yang
berhakikat rohani dan jasmani yang berasal dari tuhan, hal ini untuk membantu
merealisasikan keadaan yang sebenarnya dari sang diri yang sejati. Bhakti yoga
adalah dengan melakukan meditasi kepada tuhan yang bertujuan untuk menguatkan
ingatan bukan untuk menuju kepada
pengamatan Tuhan. Ingatan di sini adalah ingatan yang teguh yang penuh kasih
sayang dan cinta kasih kepada objek yang direnungkan. Dengan menjalankan bhakti
tersebut dengan penyerahan mencapai moksa di mana moksa adalah keadaan yang
bebas bersatu dengan Brahman.
Moksa dalam konsep Visistadvaita
berarti berlalunya belenggu dari kesulitan hidup duniawi menuju semacam surga (Waikuntha),
di situ ia akan ada selamanya dalam kebahagiaan pribadi bersama Tuhan, namun
tetap tidak pernah menjadi identik dengan Tuhan. Pembebasan akhir ini dicapai hanya dengan
bhakti, karunia Tuhan datang melalui kepatuhan (prapatti) atau
penyerahan diri secara mutlak. Pembebasan diri melalui bhakti, berkembang dua
konsep, yaitu (markata nyaya) atau teori kera, bahwa seorang bhakta
harus seperti anak kera yang harus mengusahakan dirinya tetap bergantung pada
induknya (roh pribadi – Narayana), dan yang kedua adalah (marjara nyaya)
atau teori anak kucing, penyerahan diri ketika dibawa induknya tanpa usaha bagi
dirinya sendiri.
DVAITA VEDANTA

A. Pemahaman Dvaita Vedanta
Tokoh pendiri sistem Dvaita Vedanta adalah
Maharsi Madhwa yang diperkirakan lahir pada akhir abad ke 12 antara tauhn
1199-1278 M yang lahir di Udipi Distrik Kenara Selatan (Adiputra, 1990:85) dan
(Sumawa, 1996:261). Madhawa mengembangkan filsafat ini yang bersumber dari Prasthana
Traya yaitu Upanisad Bhagavadgita dan Brahma Sutra yang merupakan sistem
filsafat Dvaita atau dualis tidak terbatas (Maswinara, 1999:191).
Mula-mula Dvaita berpengaruh di bagian
Barat India akan tetapi kemudian berpengaruh kebagian yang lebih luas. Di mana
sistem Dvaita atau dualisme sebuah pokok ajaran
filsafatnya adalah perbedaan yang disebut realistis mengakui bahwa alam
semesta ini adalah nyata, dan menerima adanya Tuhan yang berpribadi sebagai
kenyataan yang tertinggi dalam Dvaita segala yang bersumber dari Tuhan disebut
Wisnu. Madhva membuat perbedaan mutlak antara Tuhan, objek-objek yang bergerak
maupun tidak bergerak dan hanya Tuhan saja yang merupakan realitas yang
merdeka. Dalam ajaran Atyanta Bheda Darsana yang
menegaskan 5 perbedaan besar (pancabheda) yaitu: a) Perbedaan antara
Tuhan dengan roh pribadi, b) Perbedaan Tuhan dengan Materi, c) Perbedaan antara
roh pribadi dan materi, d) Perbedaan antara roh degan roh lainnya dan e)
Perbedaan antara materi satu dengan materi yang lain (Maswinara, 1999:191).
Realitas objektif ada dua jenis yaitu yang
berdiri sendiri (svatantra) dan yang bergantung (paratantra), dan
Tuhan adalah realitas yang berdiri sendiri sedangkan roh dan alam semesta
merupakan realitas bergantung kepada Tuhan. Mahkluk yang bergantung terdapat
dua jenis yaitu yang positif dan negatif, yang positif yaitu roh-roh sadar (cetana)
dan kesatuan tidak sadar seperti waktu dan materi (acatana), sedangkan
yang negatif yaitu kesatuan yang tidak sadar seperti hasil-hasil dari prakerti
dan hasil dari ruang dan waktu.
Terdapat tingkatan jiwa yaitu: a)
Jiwa-jiwa yang bekas atau yang tidak pernah terbelenggu (nitya) misalnya
Dewi Laksmi yaitu saksi dari Wisnu, b) Jiwa-jiwa yang telah mencapai kelepasan
dari penderitaan (murka) yaitu pada Dewata dan para roh nenek moyang dan
c) Jiwa-jiwa yang terbelenggu (baddha) seperti jiwa jiwa-jiwa yang
terikat putaran renkarnasi dan jiwa-jiwa yang dihukum di neraka. Jiwa juga dipengaruhi oleh tiga guna
yaitu Sattva, rajas dan tamas (Sumawa, 1996:263).
Tuhan merupakan penyebab efesien dan bukan
penyebab material dari alam semesta karena prakerti yang merupakan
substansi berbeda dengan Tuhan dan penyebab material dari alam atau semua
objek. Tiga aspek prakerti yaitu Laksmi, Bhu dan durga.
Lima unsur modifkasi prakerti yaitu mahat, ahamkara
(keakuan), budhi, pikiran, sepuluh indria. Prakerti yang
merupakan asas kebendaan yang tidak memiliki kesadaran yang juga bergantung
pada Tuhan, dengan prantara Laksmi atau sakti Tuhan bertindak dalam prakerti
kemudian dari prakerti keluarlah segala isnya. Yang pertama dilahirkan
yaitu guna terdiri dari sattwa, rajas dan tamas dari ketiganya muncul segala
isisnya.
Kerja sama ketiga guna laksana minyak
bersama sumbu dan api yang bersama-sama menyebabkan adanya nyala lampu walaupun
masing-masing elemen itu berbeda-beda yang sifatnya bertentangan. Ketiga guna
berubah terus menerus yaitu perubahan pada waktu pralaya disebut Swarupaparinama
dan perubahan akibat adanya penguasaan guna yang satu dengan guna yang lain
terjadilah suatu penciptaan disebut dengan wirupaparinama.
Dari segi kejiwaan mahat adalah benih dunia ini yang
disebut budhi yang memiliki sifat bijaksana, pengetahuan, tidak bernafas
dan ketuhanan atau dharma, jnana, wairagya dan aiswarya. Perbedaan mahat dengan bhudi
adalah mahat asas kosmis dan budhi adalah asas kejiwaan, tetapi budhi
bukanlah jiwa yang bersifat kebendaan tetapi bhudi adalah zat halus dari
segala mental, kecakapan untuk membedakan segala hal yang menerima sesuatu
seperti apa adanya yang memiliki fungsi mempertimbangkan serta memutuskan segala
hal yang dianjurkan oleh alat-alat yang lebih rendah dari padanya.
Dari budhi muncullah ahamkara
yaitu asas individualisme yang menimbulkan segala sesuatu dengan
sendiri-sendiri yang juga memiliki kosmis dan bersifat kejiwaan yang nantinya
menimbulkan subjek dan objek yang berdiri sendiri dari segi kejiwaan timbul
rasa aku manusia. Setelah itu munculah manas atau alat pusat yang kerja
sama dengan indria-indria untuk mengamati kenyatan-kenyataan di luar diri
manusia yang sering disebut pikiran. Tugas manas adalah untuk megkoordinir
perangsang-perangsang keindraan, mengatur sehingga menjadi petunjuk-petunjuk
dan meneruskannya kepada ahamkara dan budhi, dan setelah itu dikembalikan
kembali pada indria-indria di bahwanya. Dan gabungan dari budhi, ahamkara
dan manas disebut antahkarana atau alat batin.
Setelah itu berlanjut pada yang lebih
rinci yaitu pelaksana atau pengerak dari manas yang disebut dengan panca
budhendriya yaitu seperti pengelihatan, pendengaran, penciuman, perasa
dan peraba. Selanjutnya muncul panca karmendriya yaitu seperti
berbicara, daya memengang, daya untuk berjalan, daya membuang kotoran dan daya
mengeluarkan seperma. Setelah itu berlanjut pada susunan di bawahnya yaitu panca
tanmatra seperti sari suara, sari sentuhan, sari warna, sari rasa dan
sari bau.
Dari susunan yang halus di atas maka
timbul susunan yang kasar yang disebut dengan panca mahabhuta
seperti akasa dari susunan suara, dari suara muncullah agni, dari
suara, sentuhan, warna dan rasa
muncullah air atau apah, dari gabungan suara, warna, sentuhan, rasa dan
bau muncullah pratiwi atau Bumi. Dengan demikian maksudnya adalah ruang
memiliki sifat suara, hawa memiliki sifat raba, api memiliki sifat warna, air
memiliki sifat rasa dan bumi memliki sifat bau.
B. Epistemologi Dvaita Vedanta
Dvaita Vedanta mengajarkan cara memperoleh
pengetahuan yang benar yaitu dengan dua jalan diantaranya alat primer yang
disebut dengan kewalapramana dan alat yang skunder yaitu anupramana.
Kewalapramana adalah pengetahuan yang benar yang menunjuk langsung
kepada suatu peristiwa bukan alat untuk mendapatkan pengetahuan. Sedangkan
pengetahuan skunder yaitu anupramana yaitu alat-alat yang digunakan guna
mendapatkan pengetahuan melalui prantara yang dibagi menjadi pengamatan penyimpulan dan kesaksian
yang dominan dengan kitab suci Weda dan Purana (Sumawa, 1996:271).
Pengamatan hanya terjadi melalui indria
bukan dari luar pada itu, di mana indriya dibagi menjadi 7 indria yaitu lima
indria yang ditambah dengan manas dan saksin yang dimaksud dengan saksin
adalah pribadi manusia yang pada hakekatnya sama dengan jiwa. Saksin
dipandang sebagai salah satu alat pengamatan karena mengenal segala sesuatu
yang dihadapkan indria yang lain kepadanya dan mengadung secara langsung yang
mengenal kesenangan, kebahagiaan, kesusahan, waktu dan ruang.
Proses terjadinya pengetahuan yaitu adanya
perubahan bentuk dari manas sehingga pengetahuan itu memberikan sifat
kepada manas bukan kepada pribadi manusia. Tetapi pribadi manusialah
yang menjadi pengolahnya, sebab ia yang memperakarsai proses itu seningga ada
hubungan yang erat antara pribadi manusia.
C. Eika Dvaita Vedanta
Tujuan tertinggi dari Dvaita adalah untuk
mecapai kelepasan, kelepasan dalam hal ini adalah peniadaan awidya
secara sempurna karena awidyalah munculnya samsara atau penderitaan
dalam hidup ini. Penderitaan yang dimaksud adalah seperti kelahiran, umur tua,
penyakit, ketidak harmonisan, keputusan dan sejenisnya yang merupakan belenggu
bagi setiap orang untuk mencapai kelepasan. Awidya tersebut ada
dikarenakan ketidak tahuan manusia terhadap hakiki Tuhan dan dirinya sendiri,
maka hendaknya penderitaan dipandang sebagai suatu gejala dan penyakit seperti
cacat rohani maupun rohani seperti kecenderungan berbuat jahat dan membuat
penderitaan. (Maswinara, 1996:277).
Semua bentuk penderitaan dalam hidup ini
kelihatannya selalu diimbagi oleh kesenangan tetapi kesenangan tersebut
sebenarnya akar dari kesengsaraan. Sebab penderitaan lahir dari kelimpahan
kesenangan seperti setelah bahagia tentunya setelah itu akan susah atau
bersedih atau juga setelah tertawa maka akan menangis. Dari awidya
tersebut muncul nafsu-nafsu yang serakah yang ingin dipusatkan di sana-sini,
keinginan kepada kesukaan, kemewahan hidup dan keinginan kepada kekuasaan. Yang
menyebabkan orang menderita adalah karena keinginan hidup yang dikaitkan dengan
nafsu kepada hal-hal yang bersifat duniawi berupa kesukaan, kemewahan,
kekuasaan, dan birahi.
Dengan demikian untuk mencapai kelepasan
Dvaita mengajarkan beberapa jalan diantaranya dengan karma yoga, srawana,
manana dan dhyana atau meditasi. Karma yoga mengajarkan
bahwa orang harus melaksanakan tugasnya tanpa mengharapkan phalanya termasuk
dalam segala kegiatan baik upacara keagamaan, srawana adalah
mendengarkan petuah-petuah Guru tentang kitab suci Weda, Purana dan kitab suci
lainnya. Mananam yaitu memahami, membahas dan menguji yang didengar itu
sehingga muncul keyakinan yang mendalam mengenai kebenaran yang didukung oleh
kitab suci dan yang terakhir hendaknya
dilakukan dhyana atau meditasi yaitu perenungan secara mendalam sehingga
orang akan mendapatkan pengetahuan yang benar tentang hakekat Tuhan dan dirinya
sendiri. Pengetahuan ini melahirkan cinta kasih kepada Tuhan, kepada sesama dan
kepada semua mahkluk hidup dan hendaknya selalu dipelihara. Dengan demikian
tujuan mencapai kelepasan akan tercapai bila disiplin dilakukan secara
sungguh-sungguh dari dalam diri.
C. Konsep Kesempurnaan menurut Madvacarya
Tujuan tertinggi dari Dvaita adalah untuk mencapai pelepasan. Kelepasan
dalam hal ini adalah peniadaan awidya secara sempurna karena awidyalah
munculnya samsara atau penderitaan dalam hidup ini. Penderitaan yang
dimaksud adalah seperti kelahiran, umur, penyakit, ketidak harmonisan,
keputusan, dan sejenisnya yang merupakan belenggu bagi setiap orang untuk
mencapai kelepasan. Semua bentuk penderitaan dalam hidup ini kelihatannya
selalu diimbangi oleh kesenangan tetapi kesenangan tersebut sebenarnya akar
dari kesengsaraan. Dengan demikian untuk mencapai kelepasan Dvaita mengajarkan
beberapa jalan diantaranya dengan: Karma Yoga, Srawana, Manana, dan Meditasi.
Karma yoga mengajarkan bahwa orang harus melaksanakan tugasnya tanpa
mengharapkan pahala srawana adalah mendengarkan petuah-petuah
guru tentang itab suci Weda, Purana dan lainnya. Manana yaitu memahami membahas
dan menguji yang didengar itu sehingga muncul keyakinan yang mendalam mengenai
kebenaran yang didukung oleh kitab suci. Dan meditasi yaitu perenungan secara
mendalam sehingga orang akan mendapatkan pengetahuan yang benar tentang hakikat
tuhan dan dirinya sendiri.
Madhwacarya menerima klasifikasi roh
menurut Ramanuja yang digolongkan menjadi 3, yaitu: Nitya (abadi), Mukta
(bebas), dan Baddha (terbelenggu). Roh yang abadi, selamanya bebas dari belenggu
hidup dengan Tuhan (Narayana) di Vaikuntha, roh yang terbebaskan sekali waktu
mengalami samsara tetapi telah mencapai pembebasan, sedangkan roh
terbelenggu terjerat samsara dan berjuang untuk mencapai pembebasan. Roh
yang terbelenggu oleh samsara memperoleh badannya sesuai dengan karma
masa lalu, yang berjalan dari kelahiran ke kelahiran berikutnya hingga mencapai
pembebasan akhir atau Moksa. Roh yang terbelenggu juga dibagi menjadi 2, yaitu
Mereka yang layak untuk moksa (mukti yoga) dan Mereka yang tidak layak
untuk pembebasan. Mereka yang tidak layak untuk pembebasan dapat digolongkan
menjadi 2, yaitu: mereka yang selamanya terikat siklus samsara (nitya-samsarin),
dan mereka yang karena karmanya akhirnya harus ada di neraka, wilayah kegelapan
yang membutakan (tamo-yogya).
Sri Visnu, Krishna atau Narayana merupakan penyebab
pertama yang berpribadi, penguasa atas kecerdasan alam semesta, Beliau tinggal
di Alam Rohani yang disebut juga Vaikuntha bersama-sama dengan Laksmi dan
roh-roh yang telah mencapai pembebasan. Beliau mewujudkan diri melalui berbagai
wyuha dan melalui Awatara. Visnu merupakan antaryamin (pengendali
batin dari semua roh), menjadi pencipta, pemelihara, dan pelebur alam semesta.
Laksmi merupakan perwujudan dari daya energi penciptaan-Nya.
NYAYA DARSANA

A. Pendahuluan
Sumber utama ajaran Nyaya adalah
Nyayasutra buah karya Maha Rsi Gotama. Selain itu ada beberapa kitab komentar
dan Nyayasutra diantaranya Nyayabhasya, hasil komentar Wastyayana (Adiputra,
1990:21). Pembuktian Theologi Pembuktian ini menyatakan bahwa di Dunia ini ada
sesuatu tata tertib dan aturan tertentu sehingga Dunia ini menampakan sesuatu
rencana yang berdasarkan pemikiran dan tujuan tertentu, tentu ada yang
mengadakan rencana dan tujuan tersebut yang mengadakan itulah Tuhan. Tuhan
menjadi sebab pertama adanya alam semesta dan pada akhirnya Tuhanlah akan
melebur Dunia ini.
Dalam sistem Nyaya ada dua pemikiran
tentang penyebarluasan cita-cita yang ada dalam kitab Nyaya-sutra yang berasal
dari dua sekolah yang berbeda, yaitu sekolah kuno dan modern dari Nyaya.
Sekolah kuno dari Nyaya mengajarkan tentang cara mengembangkan cita-cita yang
ada dalam Nyaya sutra. Gotama itu melalui beberapa proses yaitu: menyerang,
membalas serangan, dan bertahan disebut pula dengan nama Pracina-Nyaya.
Sedangkan dalam sekolah modern dari Nyaya yang juga disebut dengan
Nawya-Nyaya,menyebarkan cara penyebarluasan cita-cita yang ada dalam
Nyaya-sutra itu melalui bentuk pemikiran yang logis yaitu perpaduan antara
konsep, waktu dan cara pemecahannya. Dalam perkembangannya kedua ajaran dari
sekolah Nyaya yang berbeda itu dipadukan menjadi satu sistem yang disebut
Nyaya-Waisasika. (Sumawa, 1996:40).
Selanjutnya sistem Nyaya mengemukakan ada
16 pokok pembicaraan (padartha) yang perlu diamati dengan teliti, yaitu:
pramana, prameya, samsaya, prayojana, drstanta,
siddhanta, awayaya, tarka, nirnaya, wada, jalpa,
witanda, hetwabhawa, chala, jati, dan nigrahastana.
Penjelasan singkat dari setiap padartha ini adalah sebagai berikut :
1.
Pramana adalah suatu jalan untuk mengetahui
sesuatu secara benar.
2.
Prameya adalah sesuatu yang berhubungan dengan
pengetahuan yang benar atau obyek dari pengetahuan yang benar, yaitu kenyataan.
Di dalamnya terdapat bagiannya yaitu Atman atau diri sendiri, sarira atau badan, Artha atau objek, budhi atau
pengertian dan pengamatan, manas atau pikiran, prewerti atau aktivitas,
dosa atau kerusakan mental, pretyabhawa atau kelahiran kembali, phala
atau hasil perbuatan, dukha atau kesedihan dan apawarga atau bebas dari
penderitaan (Sumawa, 1996:41).
3.
Samsaya atau keragu-raguan terhadap suatu
pernyataan yang tidak pasti. Keragu-raguan ini terjadi karena pandangan yang
berbeda terhadap suatu obyek, sehingga pikiran tidak dapat memutuskan tentang
wujud obyek itu dengan jelas.
4.
Prayojana yaitu akhir penglihatan seseorang
terhadap suatu benda yang menyebabkan kegagalan aktivitasnya untuk mendapatkan
benda tersebut.
5.
Drstanta atau suatu contoh yang berasal dari fakta
yang berbeda sebagai gambaran yang umum. Hal ini biasa digunakan dan diperlukan
dalam suatu diskusi untuk mendapatkan kesamaan pandangan.
6.
Siddhanta atau cara mengajarkan sesuatu melalui
satu sistem pengetahuan yang benar. Sistem pengetahuan yang benar adalah sistem
Nyaya yang mengajarkan bahwa Atman atau jiwa itu adalah substansi yang memiliki
kesadaran yang berbeda dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.
7.
Awaya atau berfikir yang sistematis melalui
metode-metode ilmu pengetahuan. Berfikir yang sistematis akan melahirkan suatu
kesimpulan yang dapat diterima oleh rasio dan mendekati kenyataan.
8.
Tarka atau alasan yang dikemukakan berdasarkan
suatu hipotesa untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang benar. Ini adalah suatu
perkiraan, sehingga kadang kala kesimpulan yang diperoleh bertentangan atau
mendekati kenyataan yang sebenarnya.
9.
Nirnaya adalah pengetahuan yang pasti tentang
sesuatu yang diperoleh melalui metode ilmiah pengetahuan yang sah.
10. Wada adalah suatu diskusi yang didasari
oleh perilaku yang baik dan garis pemikiran yang rasio untuk mendapatkan suatu
kebenaran.
11. Jalpa adalah suatu diskusi yang dilakukan oleh suatu
kelompok yang hanya untuk mencapai kemenangan atas yang lain, tetapi tidak
mencoba untuk mencari kebenaran.
12. Witanda adalah sejenis perdebatan di mana lawan berdebat
itu tidak mempertahankan posisi tetapi hanya melakukan penyangkalan atas apa
yang dikatakan oleh lawan debatnya itu.
13. Hetwabhasa adalah suatu alasan yang kelihatannya masuk akal
tetapi sebenarnya tidak atau dapat diartikan sebagai suatu kesimpulan yang
salah.
14. Chala adalah suatu penjelasan yang tidak adil dalam
suatu usaha untuk mempertentangkan suatu pernyataan antara maksud dan tujuan, jadi
sesuatu yang perlu dipertanyakan.
15. Jati adalah suatu jawaban yang tidak adil yang
didasarkan pada analogi yang salah.
16. Nigrahasthana adalah sesuatu kekalahan dalam berdebat. (Pendit,
2007:3-9).
Dalam usahanya untuk mengetahui Dunia ini,
pikiran dibantu oleh indriya. Karena pendiriannya yang demikian, maka sistem
Nyaya disebut sistem yang realistis. Menurut Nyaya tujuan hidup tertinggi
adalah kelepasan yang akan dicapai melalui pengetahuan yang benar. Apakah
pengetahuan itu benar atau tidak hal itu tergantung dari alat-alat yang dipakai
untuk mendapatkan pengetahuan tadi.
B. Metafisika Nyaya
Dalam metafisika Nyaya membicarakan
tentang terjadinya alam semesta dan ketuhanan dalam ajaran Nyaya. Alam semesta
menurut Nyaya terjadi dari gabungan atom-atom catur bhuta yaitu tanah, air,
udara, dan api serta ditambah dengan akasa, waktu dan ruang yang merupakan
substansi yang abstrak (Sumawa, 1996:48). Tuhanlah yang menciptakan alam
semesta beserta isinya dengan menggabungkan atom-atom catur bhuta
dengan substansi yang abstrak itu. Tuhan bukan saja sebagai pencipta tetapi juga sebagai pemelihara dan
pelabur alam semesta. Tujuan diciptakan alam semesta ini menurut Nyaya adalah
untuk tempat sang jiwa menikmati karmawasananya yang berupa kedukaan dan
kesenangan.
Keberadaan Tuhan oleh Naiyayikas
disebutkan bahwa Tuhan bersifat pribadi atau imanen dalam artian wujud
Tuhan dapat ditangkap oleh pikiran, perasaan dan dapat diberi atribut. Dengan
adanya Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur semua ini termasuk sifat
Tuhan yang berpribadi (Personal God). Untuk menyakinkan tentang
keberadaan Tuhan itu Nyaya menunjuk beberapa bukti tentang hal tersebut yaitu;
adanya sebab dan akibat, adanya adrsta, dan adanya pernyataan dari kitab
suci Weda. Semua yang ada di Dunia ini merupakan akibat yang sebabnya adalah
Tuhan. Adanya perbedaan nasib seseorang di Dunia ini disebabkan oleh pahala
perbuatan dari suatu kehidupan ke kehidupan yang lain yang mesti mereka nikmati,
semua ini merupakan adrsta, pernyataan kitab suci Weda yang dipandang
sebagai wahyu Tuhan adalah sangat meyakinkan bahwa Tuhan itu benar-benar ada,
walupun dajam wujud yang sangat rahasia. Semua yang ada di alam semesta ini dan
sesudahnya tidaklah dapat dilepaskan dari Tuhan sebagai yang maha tahu, maha
kuasa dan maha mulia.
C. Epistemologi Nyaya
Dalam sistem Nyaya ada empat alat
untuk mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu, pratyaksa, anumana,
upamana dan sabda (Adiputra, 1990:21). Pratyaksa atau pengamatan
memberi pengetahuan kepada kita tentang sasaran yang diamati menurut ketentuan
dari sasaran itu masing-masing. Umpamanya, pohon itu tinggi, bola itu bulat dan
sebagainya. Pengetahuan semacam itu ada karena adanya hubungan indriya dengan
sasaran yang diamati. Pengamatan dapat pula terjadi tanpa pertolongan indria,
hal semacam ini disebut pengamatan yang bersifat transenden. Pengamatan transenden
hanya dimiliki oleh yogi yang sempurna yoganya, dengan demikian ia memiliki
kekuatan gaib yang memungkinkan ia dapat berhadapan dengan sasaran yang
membatasi indriya. Pengamatan ada dua macam yaitu nirwikalpa dan sawikalpa.
Nirwikalpa ialah pengamatan yang hanya sebagai sasaran tanpa penilaian,
sedangkan sawikalpa ialah pengamatan yang disertai dengan penilaian.
Sesuatu yang diamati bukan saja sifat-sifatnya, jenisnya, bahkan juga hal yang
tidak berada (abhawa). (Sumawa, 1996:57).
Anumana adalah pengetahuan yang diperoleh dengan
penyimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui anumana memerlukan
sesuatu yang berada diantara yang mengamati dan sasaran yang diamati. Dengan
kata lain pengetahuan dari anumana memerlukan bantuan pengetahuan lain,
tanpa itu tidak mungkin ia dapat mengemukakan suatu kebenaran. Tujuan dari
kesimpulan yang diambil adalah untuk meyakinkan orang lain atau diri sendiri (Maswinara,
1999:129).
Upamana adalah alat pengetahuan yang menyebabkan
seseorang tahu adanya kesamaan antara dua hal. Perbandingan menghasilkan
pengetahuan tentang adanya hubungan nama dengan sasaran yang diberi nama itu. Sabda
atau kesaksian merupakan pramana keempat dari Nyaya. Kesaksian ada dua
macam yaitu kesaksian manusia atau laudika dan kesaksian vaidika
atau Weda. Diantara kedua
kesaksian ini, kesaksian Weda dipandang sebagai yang paling sempurna dan tidak
dapat salah.
Selain pramana ada pula yang
disebut dengan apramana yaitu, smrti (ingatan), samsaya
(keragu-raguan), bhrama atau wiparyaya (kesalahan), dan tarka
(hipotesa). Yang menjadi obyek dari pengetahuan yang benar itu adalah jiwa atau
Atman, badan, indriya, budhi, pikiran (manas), perasaan, dosa
(perbuatan yang tidak baik), pratyabhawa (kelahiran kembali), phala
(buah perbuatan), dukha (penderitaan) dan apawarga (bebas dari
penderitaan). (Sumawa, 1996:59) dan (Maswinara, 1999:133-139).
D. Relevansi Etika Nyaya Dalam Kehidupan
Dalam etikanya Nyaya mengajarkan agar
seseorang berbuat baik dalam hidupnya sehingga dengan demikian akan terwujud
hidup yang harmonis. Mengenai ajaran ini telah diwujudkan melalui pelaksanaan Tri
Hita Karana yang pembagiannya adalah parhyangan, pawongan
dan palemahan. Parhyangan merupakan hubungan yang harmonis dengan
Tuhan. Hal ini diwujudkan dengan dibangunnya tempat suci untuk melakukan
pemujaan terhadap Tuhan yang maha esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut
dengan Pura. Hubungan yang harmonis juga dilakukan dengan pemujaan melalui
upacara yang dilaksanakan.
Pawongan merupakan hubungan harmonis yang dilakukan antara
manusia dengan manusia. Wujudnya adalah dengan pembentukan organisasi Desa
Pekraman, Sekaa Teruna dan sekaa-sekaa yang lainnya yang
merupakan wadah untuk melakukan interaksi antar manusia di Bali. Hal lain yang
dilakukan sebagai wujud dari pawongan adalah adanya tradisi suka-dukha.
Palemahan merupakan hubungan harmonis yang dilakukan oleh
manusia dengan lingkungan/alam. Wujudnya adalah dengan adanya penyelenggaraan tumpek
wariga, di mana tumpek ini merupakan hari untuk melaksanakan upacara
penghormatan terhadap tumbuh-tumbuhan (Jaman, 2006:20).
Nyaya mengakui adanya Atman atau jiwa
perorangan yang jamak, dan suci, tetapi setelah mereka berhubungan dengan tubuh
dan Dunia ini maka terjadilah karma wasana. Karmawasana ini akan dinikmati
dalam hidup di Dunia ini yang berupa kesengsaraan dan kesenangan. Maka atas
dasar itulah Dunia ini diciptakan dengan tujuan agar jiwa perorangan dapat
menikmati pahala dari karma yang baik dan buruk sesuai dengan perbuatannya
masing-masing.
Tujuan tertinggi dari ajaran Nyaya adalah
untuk mencapai kebebasan atau kelepasan. Jalan yang ditempuh untuk sampai
kepada hal tersebut adalah melalui upacara keagamaan yang sesuai dengan
petunjuk kitab suci Weda, perilaku yang baik dan meditasi kepada Tuhan.
Kebebasan dapat pula dicapai semasih manusia hidup di Dunia yang disebut dengan
mukti, tetapi kebebasan yang mutlak akan dicapai setelah Atman atau jiwa meninggalkan
badan jasmani. Hanya dengan perilaku yang baik, melakukan upacara keagamaan dan
meditasi seseorang akan melepaskan diri dari Mithya Jnana yaitu
kebodohan terhadap kebenaran, raga, dvesa, dan moha yang muncul
dari pikiran. Maka dari itu pikiran harus selalu diawasi dan disucikan. Upacara
keagamaan ini sangat relevan di Bali. Hal ini dapat dilihat dari cara-cara
masyarakat Bali yang beragama Hindu dalam mendekatkan diri dengan Tuhan adalah
melalui upacara yajna.
Upacara yajna yang dilaksanakan di Bali
terbagi atas lima macam yajna yang disebut dengan panca yajna.
Pembagian dari panca yajna ini yaitu; Dewa yajna,
yaitu korban suci secara tulus iklas kehadapan Tuhan; Pitra yadnya,
yaitu korban suci secara tulus iklas kepada para leluhur; Rsi yajna,
yaitu korban suci secara tulus iklas yang ditujukan kepada guru spiritual; manusa
yajna, yaitu korban suci secara tulus iklas yang ditujukan kepada sesama
manusia; Bhuta yajna,yaitu korban suci secara tulus iklas kepada
para bhuta (kekuatan alam, dan mahluk yang derajatnya di bawah manusia).
Nyaya Darsana merupakan merupakan dasar
dan pengantar dari seluruh pengajaran filsafat Astika yang dianut oleh umat
Hindu dewasa ini. Nyaya Sutra yang digunakan sebagai sumber dari filsafat Nyaya
ditulis oleh Rsi Gautama atau sering pula dikenal dengan nama Aksapada atau
Dirghatapas. Nyaya berarti ‘argumentasi’, sehingga sering pula disebut sebagai Tarka
vada atau diskusi tentang suatu Darsana atau pandangan filsafat. Nyaya Darsana
sendiri terkandung ilmu perdebatan (Tarka vidya) dan ilmu diskusi
(vada vidya) yang berarti bersifat analitik dan logis (Pendit,
2007:12). Dari konsep ini maka dapat diketahui bahwasannya Nyaya menekankan
pada aspek logika dan nalar dengan pendekatan ilmiah dan realisme.
Nyaya Darsana yang bertindak pada garis
ilmu pengetahuan, menghubungkan Vaisesika pada tahapan di mana materi-materi
spiritual (adhyatmika) seperti: jiwa (roh pribadi), jagat (alam
semesta), Isvara (Tuhan), dan Moksa (pembebasan), yang disebut Apawarga oleh
Vaisesika. Nyaya dan Vaisesika mempercayai Tuhan yang berpribadi, kejamakan
dari roh dan alam semesta yang berupa atom-atom. Nyaya Darsana mendiskusikan
kebenaran mendasar melalui bantuan 4 cara pengamatan (Catur Pramana)
menurut Maswinara (1999:128-135) sebagai beriku:
a. Pratyaksa Pramana
Pratyaksa Pramana atau pengamatan secara langsung
melalui panca indriya dengan obyek yang diamati, sehingga memberi pengetahuan
tentang obyek-obyek, sesuai dengan keadaannya. Pratyaksa pramana terdiri dari 2
tingkat pengamatan, yaitu: Nirwikalpa pratyaksa (pengamatan yang
tidak menentukan) pengamatan terhadap suatu obyek tanpa penilaian, tanpa
asosiasi dengan suatu subyek, Savikalpa pratyaksa (pengamatan
yang menentukan) pengamatan terhadap suatu obyek dibarengi dengan pengenalan
ciri-ciri, sifat-sifat dan juga subyeknya.
b. Anumana Pramana
Anumana Pramana merupakan hasil yang diperoleh
dengan adanya suatu perantara diantara subyek dan obyek, di mana pengamatan
langsung dengan indra tidak dapat menyimpulkan hasil dari pengamatan. Perantara
merupakan suatu yang sangat berkaitan dengan sifat dari obyek.
Proses penyimpulan melalui beberapa
tahapan, yaitu: Pratijna: memperkenalkan obyek permasalahan tentang
kebenaran pengamatan. Hetu: alasan penyimpulan Udaharana:
menghubungkan dengan aturan umum itu dengan suatu masalah. Upanaya:
pemakaian aturan umum pada kenyataan yang dilihat. Nigamana: penyimpulan
yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya.
c. Upamana Pramana
Upamana pramana merupakan cara pengamatan
dengan membandingkan kesamaan-kesamaan yang munkin terjadi atau terdapat dalam
suatu obyek yang di amati dengan obyek yang sudah ada atau pernah diketahui.
d. Sabda Pramana
Sabda Pramana merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui
kesaksian dari orang-orang yang dipercaya kata-katanya, ataupun dari
naskah-naskah yang diakui kebenarannya. Kesaksian terdiri dari 2 jenis: Laukika
sabda: kesaksian yang didapat dari orang-orang terpercaya dan
kesaksiannya dapat diterima akal sehat, Vaidika sabda: kesaksian
yang didasarkan pada naskah-naskah suci Veda Sruti.
E. Tuhan, Jiwa, Alam Semesta
Dalam konsep Nyaya, seluruh perbuatan
manusia di Dunia menghasilkan buah dari perbuatan yaitu adrsta. Adrsta
berada di bawah pengawasan langsung dari Tuhan, dan sekaligus berperan pada
nasib setiap individu. Tuhan merupakan kepribadian yang terbebas dari
pengetahuan palsu (mithya jnana), kesalahan (adharma),
kelalaian (pramada). Beliau adalah esa memiliki pengetahuan abadi (nitya
jnana), kehendak kegiatan (iccha kriya), beliau pula
bersifat meresapi segala (wibhu). Jiwa merupakan keberadaan nyata yang
keseluruhan dan kesatuannya abadi. Sifat-sifat jiwa adalah keengganan, kemauan,
kesenangan, derita, kecerdasan, dan intuisi. Obyek yang menyatakan ‘aku’ adalah
jiwa, dan ia bersifat abadi walau badannya telah hancur. Alam semesta merupakan
gabungan atom-atom yang abadi (paramanu), yang terdiri dari unsur-unsur
fisik, yaitu: tanah (prthiwi), air (apah), api (tejas),
dan udara (vayu) (Maswinara, 1999:235).
Dunia tersusun atas kesalah pengertian (mithya
jnana), kesalahan (dosa), kegiatan (prawrrti), kelahiran (janma),
dan penderitaan (duhkha). Mithya jnana merupakan awal dari
penderitaan yang menyebabkan kesalahan tentang suka dan tidak suka (raga-dwesa).
Dari raga-dwesa muncullah perbuatan yang baik dan jahat, sehingga terus
mengalami reinkarnasi, penghapusan raga-dwesa inilah yang menjadi pokok Nyaya
darsana untuk mencapai pembebasan atau pelepasan (apawarga). Pelepasan (apawarga)
dapat dicapai dengan mendapatkan pengetahuan yang sebenarnya, melepaskan
berbagai kesalahan yaitu:
kasih sayang (raga), keengganan (dwesa) dan
kebodohan (moha). Keengganan (dwesa) termasuk rasa kemarahan,
kebencian, iri hati dan dendam. Kebodohan (moha) termasuk rasa curiga, kesombongan, kelalaian, dan
pengertian salah. Pelepasan (apawarga) merupakan pembebasan mutlak dari
penderitaan namun bukan penghilangan sang Diri, ia hanya bersifat penghancuran
belenggu (Maswinara, 1999:137).
Menurut pemikir Nyaya, pemikiran
intelektual dan logika yang dijalankan dengan sungguh-sungguh serta mendalam
akan mampu membawa seseorang pada kesimpulan universal bahwa alam raya dan
segala isinya ini pasti ada penciptanya. Sekalipun demikian mereka berpendapat
bahwa pemahaman intelektual ada batasnya. Kalau ada persoalan yang tak dapat
dipecahkan dengan logika, maka seseorang wajib berpaling kepada Veda Sruti. Kearah
terakhir ini disebut Sabda Pramana (metode yang bersandar pada
wahyu yang disabdakan melalui kitab suci). Filosof Nyaya berpendapat bahwa
kenyataan hakiki di alam raya ini hanya satu, yaitu Siva atau Paramatman
(Jiwa Tertinggi). Paramatman adalah kesadaran maha agung dan maha
tinggi, kekal abadi dan hadir di mana-mana. Ia merupakan asas pertama terjadinya
alam raya dan makhluk-makhluk di dalamnya. Dalam menciptakan alam raya dan
seisinya, Dia memecah substansi dasar (dvarya) berupa zarrah atau atom (parama
anu) ke dalam dua, tiga dan seterusnya. Setelah Dunia tercipta, Paramatman
meresapi segala sesuatu yang ada dan menjadi penggerak utama Dunia ciptaan.
Jivatman (diri manusia) Yang Maha Tinggi
menganugerahkan asas utama kegiatan hidupnya yang disebut adrsta, yaitu
kemampuan terpendam berupa kecerdasan yang muncul dan berkembang apabila
manusia mengusahakannya dengan baik dan benar. Walaupun Paramatman tidak
mengubah adrsta seseorang, namun Dia memberi kemungkinan luas
terhadapnya untuk berkembang. Tuhan akan memberikan pahala kepada setiap
kegiatan yang didasarkan adrsta. Dalam hal ini adrsta harus
dipahami sebagai kecerdasan yang didasarkan pada iman dan kesadaran bahwa
kegiatannya bersumber dari perintah agama. Ringkas kata, adrsta adalah
kecerdasan yang lahir karena ketaatan seseorang pada Penciptanya.
Nyaya berpendapat bahwa Tuhan adalah Jiwa
Khusus, Wujud yang memiliki pribadi agung, bebas dari pengetahuan rekaan (mithya
jnana), kesalahan (dosa) dan kelalaian. Sebagai Wujud Tertinggi yang
memiliki pribadi, Tuhan memiliki daya yang mendorongnya turun ke Dunia penciptaan.
Tiga daya itu ialah (1) Jnana (ilmu); (2) Iccha (kehendak, isadat)
dan (3) Prayatna (kemauan, hasrat) (Maswinara, 1999:136).
Dalam upaya menerangkan Wujud Tertinggi
dan hubungannya dengan alam raya,
filosof Nyaya menggunakan
bukti-bukti ke alaman (kosmologis)
dan asas kebertujuan segala sesuatu (teleologis). Alam raya ini
merupakan akibat dari gerak Paramatman, yaitu Tuhan. Karena itu Tuhan disebut
sebagai penyebab pertama (causa prima) terjadinya segala sesuatu.
Bahwa alam dicipta dengan tujuan tertentu oleh Sang Pencipta, tampak dalam
tatanan yang ada di dalamnya. Keteraturan yang ada dalam perputaran alam raya,
jelas membuktikan adanya rancangan yang didasarkan atas pemikiran dan tujuan
tertentu.
a. Penciptaan Dunia.
Mula-mula Paramatman menciptakan
maya loka samastha (alam raya buatan) dengan segala tatanan dan
aturannya. Setelah alam tercipta, Paramatman meresapi segala sesuatu
dari ciptaannya. Setiap pribadi yang diresapi atau mendapat pancaran sinar-Nya,
lantas sanggup berperan serta dalam perputaran kehidupan di alam raya ini.
Pancaran sinar-Nya dalam diri manusia disebut jivatman (jiwa ruhani).
Setiap jivatman memiliki 16 kala: (1) Prana atau daya hidup; (2) sraddha
atau keyakinan; (3) kham atau angkasa, ether; (4) vayu atau
udara; (5) jyotir atau cahaya, sinar; (6) apah atau air; (7) prthivi
atau tanah; (8) indriya atau sarana pengamatan, panca indra; (9) manas
atau pikirn; (10) annam atau makanan; (11) annadvirya atau
kekuatan; (12) tapa atau pengendalian; (13) mantrah atau doa
Veda; (14) karma atau perbuatan; (15) lokalokesu atau Dunia, alam
planet; (16) nama atau nama bagi wujudnya (Maswinara, 1999:136).
Menurut Vatsyayana, dunia di luar manusia
merupakan keberadaan yang terpisah dari pikiran, dibantu pengamatan dan
penyerapan indria. Pengetahuan dapat disebut benar atau salah tergantung pada
sarana yang digunakan dalam mendapat pengetahuan. Lima indria mampu pula
mengindria lima sifat (guna) yaitu rupa (wujud, bentuk, warna),
rasa (cecap), gandha (bau), sparsa (sentuhan, rabaan) dan sabda
(suara, bunyi).
Ilmu Pengetahuan modern mula-mula mengangap bahwa
angin dan udara Mampu menghasilkan suara. Tetapi setelah penemuan alat
transmisi melalui kabel secara perlahan disadari bahwa suara sebenarnya
merupakan sifat dari akasa atau ruang. Karena itu transmisi suara bisa
dilakukan tanpa bergantung pada aliran udara atau angin. Empat dravya
lain yaitu waktu (kala), ruang (dis), jiwa (atma) dan manas
keterangannya sebagai berikut:
1. Waktu berkenaan dengan
sekarang, kemarin, besok, tahun, hari dan jam.
2. Ruang
berkenaan dengan atas, bawah, samping, sana, sini, dan sebagainya.
3. Atma
menyebabkan pikiran dapat menggamarkan prinsip-prinsip kehidupan.
4. Manas adalah hasil dari
atma yang bekerja membangun pikiran dan gagasan
menggunakan akal atau buddhi.
Dalam falsafah Nyaya, atma dibagi dua
menjadi jivatma (roh atau jiwa
Perorangan) dan paramatma (Jiwa tertinggi atau roh semesta). Jiwa
perorangan itu banyak, sedang roh semesta itu tunggal. Para filosof Nyaya berpendapat bahwa manusia
dapat memiliki kecerdasan (adrsta) dan dapat mengembangkannya dengan
baik melalui bantuan dari petunjuk ilahi. Adrsta yang bertindak di bawah
petunjuk Tuhan dapat mempengaruhi nasib manusia.
b. Jiwa dan Pengetahuan Palsu
mencapai Pembebasan
Menurut para filosof keberadaan jivatman
itu nyata dan abadi. Ia memiliki sifat-sifat utama seperti keinginan,
keengganan, kemauan, kesenangan, penderitaan, kecerdasan dan prajna
(intuisi). Segala sesuatu yang diamati oleh panca indria sebenarnya adalah pekerjaan
jiwa, sedangkan panca indria adalah sarananya belaka. Demikian juga budhi atau
akal pikiran hanyalah sarana dari jiwa. Jika seseorang dikatakan berpikir, maka
yang berpikir sebenarnya adalah jiwanya. Bila tubuh hancur, jiwa tetap ada.
Tetapi jiwa individual itu banyak.
Alam semesta disebut sebagai jagat raya
yang khayali (mayaloka samastha). Ia tersusun dari pengetahuan
palsu (mithya jnana), kesalahan (dosa), kegiatan (pravrti),
kelahiran (janma) dan penderitaan (duhkha). Pengetahuan palsu
timbul sebagai akibat dari adanya dosa. Dosa bersangkut paut dengan cinta, suka
dan benci yang berlebihan terhadap sesuatu (raga-dvesa).
Raga-dvesa melahirkan kegiatan yang baik dan buruk. Kegiatan menentukan
bentuk-bentuk renkarnasi, pahala dan hukuman yang akan diterima oleh
seseorang. Tujuan falsafah, menurut filosof Nyaya, alah untuk menghapuskan
pengetahuan palsu (mithya jnana).
Bagamana cara melepaskan diri dari
pengetahuan palsu. Caranya alah dengan mengetahui 16 substansi dasar segala
sesuatu (dvarya) dan 16 tangga atau tahapan pengenalnya, masing-masing
sebagai berikut:
(1) Pramana,
menetapkan metode pengetahuan yang benar.
(2) Prameya,
menetapkan obyek pengetahuan yang benar.
(3) Samsaya,
mengajukan keraguan pada sesuatu yang dianggap benar.
(4) Dsrtanta,
mengemukakan contoh yang benar
(5) Prayojana,
menetapkan tujuan pengamatan secara benar.
(6) Tarka,
menggunakan argumentasi/hujah yang benar.
(7) Siddhanta,
menegakkan ajaran dan pengetahuan.
(8) Awayawa,
menetapkan tahapan-tahapan pengetahuan
(9) Nimaya,
membuat ketentuan yang seksama
(10) Vada,
melakukan diskusi yang mendalam
(11) Jalpa,
membantah yang tidak benar
(12) Vitanda
melakukan kritik secara cerdas
(13) Hetva-bhasa.
Mencela cacat dan
kekurangan dari penalaran
(14)
Cala, memuat argumentasi
(15)
Jati, ketanpatujuan
(16) Nigraha-sthana,
mengiritik secara tuntas pengetahuan yang diperoleh selama ini.
Dapat ditambahkan di sini bahwa bagi
filosof Nyaya itu, jiwa merupakan pelaku utama dari perbuatan dan kegiatan,
karena itu baik buruknya perbuatan mencerminkan baik buruknya jiwa. Tanpa jiwa, mata tidak dapat melihat
benda-benda dan menentukan hakekat benda-benda. Selanjutnya filosof Nyaya
berpendapat bahwa pikiran bukanlah jiwa. Ia hanya sarana bagi jiwa untuk
berpikir. Kualitas pikiran ditentukan oleh sikap jiwa, bagaimana jiwa melatih,
membimbing dan mengarahkan pikiran.
Manusia pada umumnya tidak memahami dan
mengenal hakikat dirinya serta Tuhannya. Hal ini disebabkan karena ia berpegang
pada mithya jnana (pengetahuan palsu). Pengetahuan palsu membuat
manusia menderita, lalai, berbuat salah (dosa). Dosa atau kesalahan melahirkan
raga dvesa, yaitu perbuatan yang semata-mata didasarkan kesenangan dan
kebencian pribadi. Raga dvesa memunculkan karma, perbuatan baik dan
buruk.
Untuk mencapai kebahagian manusia harus
melakukan apa yang disebut apawarga (kelepasan). Apawarga dicapai
setelah seseorang dapat menghilangkan mithya jnana (pengetahuan
palsu) dan menggunakan pengetahuan yang benar. Salah seorang tokoh utama
falsafah Nyaya ialah Vatsyayana. Menurut filosof ini, Dunia di luar manusia
merupakan keberadaan yang terpisah dari pikiran. Pengetahuan tentang Dunia diperoleh
melalui pikiran, dibantu oleh pengamatan dan pencerapan indria. Pengetahuan
dapat disebut benar atau salah tergantung pada sarana yang dipergunakan dalam
mendapat pengetahuan. Secara sistematis pengetahuan menyatakan empat keadaan:
(1) Pramata atau si pengamat, yaitu keadaan jiwa, pikiran dan kesadarannya;
(2) Prameya atau obyek yang diamati; (3) Pramiti atau hasil dari
pengamatan, yang ditentukan oleh keadaan si pengamat dalam hubungannya dengan
obyek yang diamati; (4) Pramana atau cara, kaedah, metode pengamatan
atau model pendekatan yang digunakan.
Vatsyayana juga mengatakan setiap benda
memiliki ciri khusus (visesha) yang membuatnya berbeda dari benda lain.
Pembedaan merupakan dasar utama dari pengamatan. Karena itu kelanjutan dari
sistem falsafah Nyaya disebut Vaishesika. Seperti Nyaya Darsana, Vaishesika
Darsana menggunakan logika (tarka) dan pemikiran rasional (tattva)
dalam mencapai kebenaran sehubungan obyek pengamatan dan hasil-hasilnya. Maka
itu dapat dikatakan bahwa sebagai Darsana, Nyaya dinyatakan melalui proses
logika dan penalaran diskusif.
Menurut Vatsyayana, dalam mencapai
kebenaran rasional tentang sesuatu hal, diperlukan bantuan 4 atau empat kaedah
pengamatan:
1. Pengamatan langsung (pratyaksa pramana).
2. Penyimpulan (anumana pramana).
3. Perbandingan (upamana pramana)
4. Penyaksian (sabda pramana).
Nyaya juga sering digambarkan sebagai
sistem falsafah realisme majemuk (pluratistics realism). Mereka
membagi obyek pengetahuan ke dalam kelas-kelas berperingkat yang disebut dravya
(substansi; jawhar), yaitu: (1) Tanah, bumi (prathivi),(2) Air (apah),
(3) Api, cahaya (teja), (4) Udara, angin (vayu), (5) Langit, angkasa (akasa), (6) Waktu (kala),
(7) Ruang (dik), (8) Diri, jiwa (atman) dan (9) Pikiran yang
diekspresikan (manas). Bersama berbagai sarananya dan
hubungan-hubungannya satu dengan yang lain, kesemua dravya tersebut
dapat keberadaan, kenyataan dan hakikat alam semesta.
Filsafat Nyaya adalah suatu filsafat hidup yang
mencari dan membimbing seseorang untuk menuju kepada kebenaran dan kebebasan.
Pada dasarnya semua sistem filsafat India bertujuan untuk mencapai mukti
atau kebebasan bagi setiap jiwa individu dari ikatan keduniawian. Untuk
mencapai kebebasan itu sistem Nyaya
memberikan kepada kita suatu pengetahuan yang benar untuk merealisasikan tujuan
yang tertinggi itu dalam hidup ini yang juga disebut dengan istilah summum bonum. Setiap sistem filsafat India
untuk mencapai tujuan trtinggi itu bervariasi, yang semua itu memberikan
keleluasaan kepada kita untuk memilih yang sesuai dengan kemampuan dan
kepercayaan kita sendiri. Sistemnya berbeda tetapi tujuannya sama.
Kebebasan menurut Niyayikas tidaklah berarti
kebebasan yang mutlak yang lepas sama sekali dari penderitaan dan kesengsaraan.
Sehubungan dengan ini dalam ajaran Nyaya ada salah satu obyek pengetahuan yang
benar yaitu obyek apawarga yang
berarti terlepas dari penderitaan dan kesengsaraan. Sesungguhnya apawarga
bukanlah kebahagiaan yang sejati, sebab tidak mungkinlah seseorang akan
mengalami semua itu semasih jiwa dan badan ini bersatu. Niyayikas menyatakan
tidak akan ada kesenangan tanpa kesusahan, seperti halnya tiada sinar tanpa
bayang-bayang. Maka menurutnya apawarga adalah pembebasan orang dari
penitaan (rasa sakit) dan kesengsaraan dalam hidup ini, bukan kebahagiaan.
Bila jiwa memisahkan diri dari badan jasmani maka
ia akan membawa semua wasana dari perilaku yang dilaksanakan oleh
seseorang dalam hidupnya. Wasana dari perbuatan baik dan buruk akan
bersama dengan sang jiwa, yang kemudian semua ini akan menentukan jiwa
seseorang untuk bersatu dengan Tuhan atau kembali menjelma ke Dunia ini.
Menurut Nyaya Dunia ini diciptakan adalah semata-mata untuk sang jiwa menikmati
wasananya.
Kebebasan yang mutlak tidak akan dicapai oleh jiwa
individu selama ia berada badan jasmani atau dalam waktu yang singkat untuk
mencapai kebebasan itu. Semua itu akan memerlukan waktu yang cukup lama serta
perilaku yang luhur. Kebebasan sejati akan dicapai oleh jiwa setelah memisahkan
diri dari badan jasmani. Sang jiwa setelah mencapai kebebasan sejati ia bebas dari semua ikatan
yang berwujud penderitaan dan kesengsaraan. Pada tingkat yang seperti inilah
sang jiwa dilukiskan telah berada dalam keadaan abhayam (bebas dari segala bahaya), ajaram (bebas dari kehancuran), dan Amrtyupadam (bebas dari kematian). Yang semua ini berarti bebas
dari hukum karma dan punarbhawa, dengan demikian sang jiwa mencapai
kebahagiaan yang kekal dan abadi atau moksa. Inilah yang merupakan tujuan
terakhir dan tertinggi dari ajaran Nyaya dan pula semua filsafat India, kecuali
Carwaka.
Untuk mencapai kebebasan itu seseorang hendaknya
mempergunakan pengetahuan yang benar atau tattwa jnana yaitu
pengetahuan tentang atman atau jiwa dan pengetahuan tentang hidup ke duniawian
yang luhur. Seseorang hendaknya merasakan adanya atman melaui badan jasmani dan
pikirannya. Untuk sampai kepada hal ini hendaklah seseorang membaca kitab suci
dan melakukan upacara, kemudian mewujudkan ajaran itu dalam kehidupan melalui
pola pikir dan perilaku yang luhur, dan yang terakhir adalah melakukan meditasi
yaitu menghubungkan diri melalui pemusatan pikiran dengan Tuhan. Ketiga cara
ini diajarkan oleh Nyaya untuk tujuan mencapai kebebasan yang mutlak. Semua
petunjuk-petunjuk ini akan membantu seseorang dalam merealisasikan sang diri
dari ikatan-ikatan ke duniaan dan nafsu-nafsu rendah dengan terealisasinya sang
diri sejati atau jiwa itu, maka Mithaya Jnana yaitu kebodohan
terhadap kebenaran, raga dwesa dan moha yang muncul dari pikiran
akan terhapus sama sekali. Setelah mencapai seseorang bebas dari karma, lahir
kembali, penderitaan dan kesengsaraan kemudian ia mencapai kebebasan.
SAMKHYA DARSANA

A. Pemahanam Samkhya Darsana
Perkataan Samkhya terdiri dari dua kata
yaitu "sam” yang artinya bersama-sama atau dengan dan "khya"
yang artinya bilangan. Jadi Samkhya berarti susunan yang berukuran
bilangan. Perkataan Samkhya juga berarti pengetahuan yang sempurna, yang
dimaksud adalah filsafat tentang sesuatu yang memberi pelajaran untuk mengenal diri
sendiri secara metafisik. Ajaran Samkhya disebut realistis, dualitis dan
pluralitas, disebut realistis karena mengakui realitas Dunia ini yang bebas
dari roh. Disebut dualistis karena prinsip ajarannya ada dua realitas yang
berdiri sendiri saling bertentangan dan dapat dipadukan, yaitu purusa
dan prakerti dan Samkhya disebut pluralisms karena mengajarkan bahwa
purusa itu baranak sekali. Menurut Samkhya tentang kebenaran Tuhan tidak
perlu dibuktikan lagi karena itu pula ajarannya disebut Nirisuara Samkhva.
Sumber pokok ajaran Samkhya adalah Samkhya
Sutra atau disebut juga Samkhya Prawacana Sutra buah karya Maha Rsi Kapila.
Ajaran pokok dari Samkhya adalah adanya dua realitas asasi yaitu Purusa
dan Pekerti atau asas kejiwaan dan asas kebendaan yang merupakan asal
mula dari segala sesuatu. Menurut ajaran Samkhya ada tiga sumber pengetahuan
yang benar yaitu Pratyaksa. Anumana dan Sabda pramana.
Sedangkan pengamatan ada dua yaitu nirwakalpa dan sawikalpa. Nirwikalpa
adalah pengamatan yang tidak menentukan yang ada hanya pengenalan obyek
sebagai sesuatu bukan sebagai benda yang jelas identitasnya, sedangkan sawikalpa
adalah pengamatan yang menentukan ia merupakan hasil analisis sintesis dan
interprestasi alam pikiran. Dalam ajaran samkhya kelepasan itu adalah
penghentian yang sempurna dari semua penderitaan, inilah tujuan akhir dari
hidup kita. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi memperingan hidup kita,
namun tidak bisa melepaskan kita dari penderitaan yang sepenuhnya. (Sumawa,
1996:151).
Sri Kapila Muni merupakan pendiri dari sistem
filsafat Samkhya, beliau sering pula disebut sebagai putra dari Brahma dan
awatara dari Sri Visnu. Kata ‘Samkhya’ berarti jumlah, dan sistem dari filsafat
Samkhya memberikan prinsip dari alam semesta yang berjumlah 25 prinsip (tattwas).
Istilah Samkhya juga dipergunakan dalam pengertian ‘vicara’ yaitu
perenungan filosofis. 25 prinsip (tattwas) yang diberikan oleh Samkhya
Darsana apabila dibagankan adalah sebagai berikut:




Sumber,
Pendit: 2007:88)
Dalam
Samkhya Darsana menggunakan 3 sistem pembuktian yang disebut dengan tri pramana,
yaitu: (1). Pratyaksa pramana (pengamatan), (2). Anumana pramana
(penyimpulan), (3). Apta wakya (benar, sesuai dengan Weda dan
guru yang mendapatkan wahyu). Samkhya Darsana bersifat dualistik dan pluralitas
karena mengajarkan bahwasannya purusa sebagai asas roh yang jumlahnya banyak
sekali. Prakrti dan purusa merupakan asas yang sifatnya tanpa
awal (anadi), tanpa akhir dan tak terbatas (ananta). Ketidak
berbedaan diantara purusa dan prakrti merupakan penyebab dari
kelahiran dan kematian, dan pembedaan dari keduanya akan memberikan pembebasan
(mukti). Purusa bersifat tidak terikat (asanga) dan
merupakan kesadaran yang meresapi segalanya dan abadi, sedangkan Prakrti
merupakan pelaku dan penikmat. Purusa bersifat abadi dan tidak berubah, purusa
hanya menjadi saksi namun pernyataan kehadirannya seolah-olah terlibat dalam
hukum reinkarnasi, hal ini tidak lain karena kemelekatannya dengan prakrti
(Maswinara, 1999:156).
Prakrti
berasal dari akar kata ‘pra’ (sebelum, ‘kr’ (membuat), jadi prakrti
artinya ‘yang mula-mula’ prakrti sering pula disebut dengan pradhana
(pokok) karena semua akibat ditemukan padanya dan merupakan sumber dari alam
semesta. Prakrti merupakan ada yang tanpa penyebab, sedangkan
hasil-hasilnya disebabkan dan bergantung padanya. Prakrti merupakan
ketiadaan dari kecerdasan yang hanya bergantung pada unsur pokok gunanya
sendiri, yang terdiri dari 3 guna yaitu: (1). Sattwa (kemurnian,
sinar, selaras), (2). Rajas (nafsu, kegiatan, gerak), (3). Tamas
(kegelapan, kemalasan, tanpa kegiatan). Kata guna sendiri berarti tali yang nantinya menjadi pembelenggu dari roh.
Ketiga guna ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena sifatnya saling
menunjang (Maswinara 1999:156).
Pertemuan antara purusa dan prakrti
membuat prakrti berkembang di bawah pengaruh purusa, pertemuan
ini mulai mengguncang guna yang ada dalam prakrti sehingga
membuatnya beraktifitas. Dari prakrti muncullah benih besar alam semesta
yang maha luas (Mahat). Kesadaran roh membuatnya sebagai sesuatu yang
sadar, sebagai kebangkitan alam dari kandungan kosmis, dari penampakan pikiran
pertama ini pula disebut dengan intelek (buddhi). Produk yang kedua adalah ahamkara, sebagai
rasa aku dan milikku (abhimana). Dari ahamkara melalui ekses
elemen satwa muncullah pikiran (Manas), lima organ pengetahuan (panca
budhindriya) yang terletak di telinga, kulit, mata, lidah, hidung
(srotendriya, twagindriya, cakswindriya, jihwendriya,
ghranendriya), lima organ tindakan (panca karmendriya)
yaitu: mulut, tangan, kaki, dubur dan kelamin (wagindriya, panindriya,
padendriya, paywindriya, upasthendriya), dan lima elemen
halus (panca tan matra) yang merupakan potensi dari suara,
sentuhan, warna, rasa, bau. dari elemen halus (panca tan matra)
muncul lima elemen kasar (panca maha bhuta) yaitu akasa,
udara, api, air dan tanah (Pendit, 2007:86). Akhirnya dari evolusi ini ada alam
semesta beserta isinya. Seluruh unsur dari pertemuan purusa dan prakrti
akan selalu ada sepanjang zaman, walau dalam bentuknya yang berbeda-beda.
Seperti halnya manusia ketika mati terurai kembali jasadnya menjadi mahabhuta.
Hingga diyakini pada akhir zaman terjadi peleburan alam semesta maka dari
pergerakan evolusi, bergerak secara terbalik dan berlawanan dan pada akhirnya
semua masuk kembali kedalam prakrti, inilah yang disebut dengan proses
penyusutan atau penguncupan.
B. Etika dan Konsep
Kesempurnaan
Dalam etikanya Samkhya tidak membedakan seseorang
atas golongannya untuk mempelajari kitab suci Weda. Semua orang dapat
mempelajari kitab suci Weda tanpa kecualinya karena pada hakekatnya Weda adalah
untuk semua orang. Dalam hubungan seseorang dengan orang lain, Samkhya
menganjurkan agar seseorang dapat mengendalikan pikiran yang jahat dan
mengarahkan kepada pikiran-pikiran baik. Karena pada pikiran yang baik akan
dapat membawa seseorang pada keseimbangan lingkungan dan dirinya sendiri.
Kekuatan pikiran itu hendaklah di jaga agar dapat di arahkan kepada hal-hal
yang baik.
Kesucian bagi seseorang adalah jika orang tersebut
dapat melepaskan dirinya dari ikatan-ikatan yang berpangkal pada; awidya
(ketidaktahuan), Astika (kelakuan yang buruk), raga (nafsu serakah), Dwesa
(kebencian) dan Abhinewesa (ketakutan). Semua ini disebabkan oleh Asakti
yang menguasai manas dan budhi, maka itu hendaknya seseorang memahami akan hal
ini agar ia dapat melepaskan dirinya (purusa) dari ikatan Prakerti.
Dalam ajaran Samkhya pribadi itu sebenarnya tidak
ada. Perasaan adanya pribadi itu merupakan perpaduan dari beberapa faktor yang
pada hakekatnya tidak lain dari suatu rangkaian proses yang tidak pantang
berhenti yang disebut badan jasmani. Badan
jasmani itu adalah badan yang tidak kekal, oleh karena itu pada proses
penghakhirannya ia akan lenyap. Semua yang ada di alam ini tidak ada yang
kekal, Karena pada saatnya semua akan berakhir. Karena semua itu mempunyai masa
kelahirannya, berkembangnya, dan masa pengakhirannya walaupun proses ini
berlangsung pada waktu yang lama.
Samkhya juga mengajarkan bahwa pada hakekatnya
tidak ada punyaku, semua ini adalah di luar punyaku biarlah ia pergi. Yang
dalam hal ini adalah badan kita yang terdiri dari Panca Maha Bhuta,
tidak perlu dirisaukan jika mereka pada saatnya hancur karena jiwa tidak ikut
hancur. Unsur Panca Maha Bhuta yang ada di dalam diri cara
kerja dan keaadaannya sama dengan yang ada di luar, karena ia berasal dari
sumber yang sama. Apabila seseorang paham akan hal ini, maka lepaskanlah purusa
dari ikatan prakerti dan orang itu akan mencapai kelepasan. Hidup di Dunia
ini adalah campuran antara senang dan susah. Banyak kesenangan yang dapat
dinikmati, banyak pula kesusahan dan sakit yang diderita orang. Bila seseorang
dapat menghindar dari kesusahan dan sakit, maka ia tidak dapat menghindarkan
dirinya dari ketuaan dan kematian.
Ada 3 macam sakit dalam hidup ini yaitu; adhyatmika, adhibautika, dan adhidaiwika. Adhyatmika adalah sakit
karena sebab-sebab dari badan sendiri seperti kerja alat-alat tubuh yang normal
dan gangguan perasaan. Dengan demikian ia merupakan gangguan jasmani dan rohani
seperti sakit kepala, takut, marah dan sebagainya. Dan adhidaiwika adalah sakit
karena tenaga gaib seperti setan, hantu, dan sejenisnya. Tiada seseorangpun
yang ingin menderita sakit, semuanya ingin hidup bahagia lepas dari susah dan
sakit. Sedangkan Adhibautika adalah
sakit yang disebabkan oleh faktor luar tubuh, seperti terpukul, kena gigitan
nyamuk, dan sebagainya.
Kebahagiaan yang diinginkan oleh seseorang di dunia
ini adalah sangat sulit karena selalu diikuti oleh susah dan sakit. Selama
orang masih berbadan lemah, selama itu pula suka dan duka, sakit dan sehat
selalu berdampingan. Dengan demikian kiranya tidak perlu kita selalu
bercita-cita hidup bersenang-senang, cukup hidup yang biasa-biasa saja dengan
berusaha melepaskan penderitaan atas dasar pikiran yang sehat. Inilah tujuan
terakhir dari hidup kita. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memperingan
hidup kita, namun tidak dapat melepaskan kita dari penderitaan sepenuhnya.
Samkhya mengajarkan bahwa cara mencapai kelepasan itu ialah melalui pengetahuan
yang benar atas kenyataan Dunia ini. Tiadanya pengetahuan itulah yang
menyebabkan kita menderita. Dalam banyak hal orang-orang yang tidak punya
pengetahuan dengan hukum alam dan hukum kehidupan terbentur pada masalah yang
membawanya pada kesedihan. Berbeda dengan halnya dengan orang-orang yang
berpengetahuan akan menerima dan menikmati kenyataan hidup ini. Namun karena
pengetahuan orang akan kenyataan itu tidak sempurna. Kelepasan itu akan hanya
dicapai bila pengetahuan orang akan pengetahuan itu sudah sempurna.
Menurut ajaran Samkhya kenyataan itu adalah roh
yang berjumlah banyak dan Dunia obyek yang hadir padanya. Roh itu adalah azas
kesadaran yang bebas dari ruang, waktu dan sebab akibat. Ia mengetahui Dunia obyek,
pikiran, perasaan dan rasa aku. Semua perubahan, aktivitas, perasaan, senang
dan susah tergolong badan pikiran. Roh itu sendiri adalah berbeda dengan badan
pikiran, ia berada di luar kesenangan dan kesusahan. Pikirkanlah yang dirasakan
senang dan susah itu. Demikian pula tentang hal-hal itu yang berhubungan dengan
moral adalah tergolong pada rasa aku yang menjadi pekerja dan pelaksanaan semua
tindakan. Roh berbeda dari rasa aku atau pelaksanaan moral yang berbuat baik
atau buruk dan dinikmati hasilnya.
Roh itu menjadi saksi perubahan mental dan badan.
Ia kekal abadi, tidak mengalami kematian karena ia tidak dihasilkan oleh suatu
sebab dan tidak dapat dihancurkan oleh apapun juga. Namun karena kebodohan ia
gagal membedakan dirinya dari pikiran dan memandangnya sebagai bagian dari
dirinya sendiri. Akibatnya ia menjadi sesuatu dengan suatu sebutan seperti
pribadi yang sosial, pribadi yang lapar, pribadi yang ingin dan sebagainya. Menurut
ajaran Samkhya semuanya ini bukanlah roh.
Menyamakan roh dengan badan pikiran inilah yang
menimbulkan kekalutan hidup dalam hidup ini. Kita menderita sakit dan
menikmati suatu kesenangan adalah karena subyek yang mengalaminya menyamakan
dirinya dengan obyek yang dialaminya. Sebab penderitaan itu ialah suatu
kebodohan yaitu ketidakmampuan membedakan antara roh dengan yang bukan roh.
Kelepasan dari penderitaan, akan tercapai bila orang menyadari akan perbedaan
dari keduanya itu.bila orang telah menyadari bahwa roh itu tidak hadir dan
tidak mati ia bebas dari penderitaan.
Untuk menginsafi
tentang hakekat roh itu memerlukan latihan kerohanian dan renungan kebhatinan
terus menerus tentang kebenaran bahwa roh itu bukan badan ini dan bukan badan
pikiran. Ajaran yang demikian itu hendaknya selalu dilakukan. Ada dua macam kelepasan yaitu jiwamukti
dan widehamukti. Jiwamukti adalah kelepasan roh selama ia hidup
dalam badan ini, sedangkan widehamukti adalah kelepasan roh dari badan
kasar dan badan halus. Dari semua ini pada hakekatnya Samkhya memilih jalan wiweka
atau kebijaksanaan mendalam untuk melepaskan purusa dari jebakan prakerti.
VAISESIKA
DARSANA

A. Pemahanan Vaisesika Darsana
Vaisesika adalah salah satu bagian dari
filsafat India atau Sad Darsana yang usianya lebih tua dari sistem filsafat
Nyaya. yang timbul pada abad 4 SM. Dengan tokohnya adalah Maha Rsi Kanada.
Beliau juga dikenal dengan nama Ulaka. Sistem filsafat Vaisesika bersifat
metafhisis dengan tujuan pokok ajarannya adalah bersifat Dharma yaitu tentang
kesejahteraan di duniawi dan kelepasan. Sumber ajaran Vaisesika kitab Vaisesika
Sutra. Kitab ini terdiri atas 10 Adhyayasatau atau jilid dan setiap jilid
terdiri dari dua Ahnikas atau bab (Sumawa, 1996:75). Kesepuluh bab kandungan kitab karangan Rsi
Kanada itu ialah sebagai berikut: Bab I membicarakan kategori-kategori atau Padharta
yang jumlahnya semua ada 7. Bab II membicarakan obyek-obyek pengamatan. Bab III
membicarakan jiva dan indria batin. Bab IV membahas tentang jasmani dan
unsur-unsur yang menyusun badan jasmani. Bab V membicarkan karma, yaitu
kegiatan atau perbuatan seseorang dalam hidupnya. Bab VI membicarakan Dharma atau
kebajikan rohani sebagaimana dimaksudkan dalam kitab Weda. Bab VII membicarakan
sifat-sifat khusus (visesa) dari segala sesuatu yang ada di alam Dunia ini.
Bab VIII menguraikan masalah wujud dan bentuk-bentuk pengetahuan. Bab IX
menguraikan masalah pemahaman. Bab X membicarakan perbedaan sifat-sifat dari jivatman.
Isi pokok ajaran Vaisesika adalah
menerangkan tentang Dharma. yaitu apa yang memberikan kesejahteraan di dalam Dunia
ini dan yang memberikan kelepasan yang menentukan. Yang terpenting dari ajaran Vaisesika
adalah ajaran tentang katagori-katagori dan semua yang ada di Dunia ini.
Kata-kata visesa yang dijadikan dasar bagi penamaan sitem falsafah ini
berarti kekhususan atau partikularitas. Sesuai dengan namanya sistem falsafah
ini memusatkan perhatian pada menonjolnya ciri-ciri khusus dari obyek-obyek
pengamatan di alam semesta. Sebagai sistem kearifan yang tua dalam jajaran
falsafah India, Vaisesika lebih dikenal sebagai falsafah fisika dan metafisika.
Sebagai falsafah fisika, Darsana ini diawali dengan pembahasan mengenai tujuh
kategori benda-benda yang disebut padharta. Dari pembicaraan mengenai
masalah fisika kemudian beranjak kepada masalah metafisika, dengan
membincangkan masalah-masalah berkenaan dengan jiwa dan arti spiritual daripada
karma dan Dharma, yang dtentukan oleh tingkat pengetahuan manusia
tentang dunia dan obyek-obyek yang diamatinya dalam kehidupan.
Sebagai sistem falsafah fisika, Vaisesika
sebenarnya lebih merupakan perumusan terhadap padharta (kategori
benda-benda). Pengetahuan tentang padharta sangat penting dasar mencapai
kebenaran tertinggi, yaitu pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu.
Perumusan terhadap kategori benda-benda itu didasarkan atas perbedaan atau
ciri-ciri khusus menggunakan empat metode (pramana) pengetahuan, yaitu Pratyaksa
Pramana, Anumana Pramana, Upamana Pramana
dan Sabda Pramana. Arti dari perkataan ’vaisesika’ sendiri
ialah ciri atau kekhususan yang membedakan sesuatu dari sesuatu yang lain.
Kekhususan yang dimaksud ialah ciri khusus padharta yang dimiliki oleh
sesuatu sebagai obyek pengamatan indria dan akal.
Menurut Vaisesika ada 7 (tujuh) katagori (padharta)
yaitu: 1. Drauya (substansi) 2. Guna (kwalitas) 3. Karitia
(Aktivitas) 4. Samaya (sifat umum) 5. Wisesa (keistimewaan) 6. Samaya
(pelekatan) 7. Abhawa (ketidakadaan). Padartha dalam Vaisesika
Darsana berjumlah 7 kategori, yaitu:
a. Drawya: benda-benda atau substansi yang berjumlah 9
substansi, yaitu: tanah (prthivi), air (apah), api (tejah),
udara (vayu), ether (akasa), waktu (kala), ruang (dis),
roh (jiwa), dan pikiran (manas). Empat drawya pertama dan drawya
terakhir (pikiran) merupakan substansi abadi yang tidak meresapi
segalanya namun dalam persenyawaan sifatnya tidak abadi.
b. Guna: sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi,
terdiri dari: rupa atau warna, rasa, bau (gandha), sentuhan (sparsa),
jumlah (samkhya), ukuran (parimana), keanekaragaman (prthaktva),
persekutuan (samyoga), keterpisahan (vibhaga), keterpencilan (paratva),
kedekatan (aparatva), bobot (gurutva), keenceran (dravatva),
kekentalan (sneha), suara (sabda), sifat pembiakan sendiri (samskara),
budhi (pemahaman), sukha (kesenangan), penderitaan (duhkha),
kehendak (iccha), kebencian (dvesa), usaha (prayatna),
kebajikan (dharma), kekurangan/cacat (adharma). 8 guna yang
terakhir merupakan sifat dari roh, sedangkan yang lain milik dari substansi
material.
c. Karma: kegiatan yang terkandung dalam gerakan, terdiri
dari gerakan keatas (utksepana), gerakan kebawah (avaksepana),
gerakan membengkok (A-kuncana), gerakan mengembang (prasarana),
gerakan menjauh dan mendekat (gamana).
d. Samanya: bersifat umum yang menyangkut 2 permasalahan: 1)
sifat umum yang lebih tinggi dan lebih rendah, 2) jenis kelamin dan spesies.
e. Visesa: kekhususan yang dimiliki oleh 9 substansi abadi
(drawya) Samawaya: keterpaduan satu jenis, yaitu keterpaduan
antara substansi dengan sifatnya.
f. Abhava: ketidakadaan dan penyangkalan terdiri dari 4
jenis, yaitu: 1). Pragabhava: ketidakadaan dari suatu benda sebelumnya,
2). Dhvasabhava: Penghentian keberadaan, 3). Atyantabhava:
ketidak adaan timbal balik, 4). Anyonyabhava: ketiadaan mutlak. Vaisesika
seperti halnya Nyaya darsana menyatakan bahwa penciptaan alam semesta
didasarkan pada dua penyebab, yaitu nimita sebagai penyebab efisien dan upadana
sebagai penyebab material. Isvara sebagai nimita karana
menciptakan alam semesta dengan penggunaan upadana. (Maswinara,
1999:143-144).
Demikianlah ketujuh katagori itu
menjadikan segala sesuatu didalamnya sehingga manusia menyaksikan adanya segala
sesuatu yang beraneka ragam keaneka ragaman itu terjadi justru karena kombinasi
dan ketujuh katagori yang diajarkan waisesika. Kembali ditegaskan bahwa tujuh padartha
dalam falsafah Vaisesika dapat dibandingkan dengan 16 kategori yang dinyatakan
dalam falsafah Nyaya. Ketujuh padarha atau kategori dasar yang
membedakan sesuatu dari sesuatu yang lain itu ialah sebagai berikut:
a. Dvarya, artinya substansi kekal karena bersifat tunggal.
Substansi kekal ada sembilan, yaitu: tanah (prthivi), air (apah),
api atau sinar (teja), udara atau angin (vayu), angkasa (akasa),
waktu (kala), ruang (dis), roh (jiva) dan pikiran (manas).
Lima substansi pertama (tanah, air, api, udara dan angkasa) disebut panca
mahabhuta atau lima unsur kasar yang mendasari kejadian dan keberadaan
obyek-obyek di alam semesta. Tanah, air, api, udara dan manas (pikiran yang
diekspresikan) mengambil wujud sebagai atom-atom abadi dan apabila dvarya
ini bersenyawa dengan dvarya lain maka melahirkan suatu obyek lain yang
keberadaannya tidak kekal. Manas berbeda dari jiva, sebab ia tidak mampu
meresapi segala sesuatu dan bersifat atom, serta dapat diketahui pada saat
orang berpikir. Jiva atau roha adalah sebaliknya, ia dapat
meresapi segala sesuatu, namun tidak dapat bercampur dengan substansi lain
karena keberadaannya bersifat rohaniah. Begitu
pula ruang, waktu dan angkasa tidak dapat bercampur
dengan substansi yang lain. Sejak awal semua itu merupakan
substansi tunggal yang kekal, walaupun lebih bersifat jasmani berbanding
rohani.
b. Guna, sifat atau ciri dari subastansi yang ada. Semuanya
berjumlah 24: (1) rupa atau warna; (2) rasa; (3) ghanda atau bau;
(4) sparsa atau sentuhan, rabaan; (5) Samkhya atau jumlah,
bilangan; (5) parimana atau ukuran; (7) prthaktva atau
keanekaragaman; (8) samyoga atau perpaduan, hubungan, keterkaitan; (9) vibhaga
atau keterpisahan; (10) paratva atau keterasingan; (11) aparatva
atau kedekatan; (12) gurutva atau bobot; (13) dravatva atau
kecairan, keenceran; (14) sneha atau kekentalan; (15) sabda atau
bunyi, suara, ucapan; (16) buddh atau jnana, pemahaman atau
pengetahuan; (17) sukha atau kegembiraan, kesenangan, kenikmatan; (18) duhkha
atau penderitaan; (19) iccha atau kehendak; (20) dvesa atau
kebencian, keengganan; (21) prayatna atau usaha; (22) dharma atau
kebajikan, manfaat; (23) adharma atau kekurangan, cacat; (24) samskara
atau sifat berbiak atau berkembang dengan sendirinya.
c. Karma atau keinginan yang terkandung dalam gerakan atau
kegiatan, jumlahnya ada 5 yaitu (1) gerakan ke atas; (2) gerakan ke bawah; (3)
gerakan membengkok; (4) gerakan mengembang; dan (5) gerakan menjauh dan
mendekat.
d. Samanya atau sifat umum berhubungan dengan kedudukan,
lebih tinggi atau lebih rendah; dan jenis kelamin.
e. Visesa, atau kekhususan yang merupakan milik 9 dravya.
f. Samavaya atau keterpaduan satu jenis, yaitu keterpaduan
antara substansi dengan sifatnya, antara jenis kelamin dan pribadi subyek;
antara pemikiran dengan obyek pemikiran; kain dengan benang, binatang satu
species seperti sapi, kerbau, banteng dan lain sebagainya.
g. Sebenarnya hanya enam kategori yang telah
disebutkan pada mulanya diasaskan oleh para filosuf Vaisesika. Tetapi kemudian
mereka merasa perlu menambahkan kategori ketujuh sebagai landasan pemikiran
falsafahnya. Dengan penambahan kategori ketujuh maka landasan pemikiran mereka,
khususnya dalam memecahkan masalah-masalah logis dari keberadaan, akan menjadi munasabah.
Kategori ke-7 itu disebut abhava. Abhava, merupakan kategori
berkenaan dengan ada dan tidak adanya suatu obyek, atau lebih tepatnya mengenai
keberadaan dan ketak-beradaan suatu obyek. Filosof Vaisesika membagi abhava menjadi empat
sebagai berikut:
(1) Pragabhava,
ketidakadaan sebelumnya dari suatu benda; periuk tidak ada sebelum dibuat
tukang periuk.
(2) Davansabhava, terhentinya keberadaan
periuk setelah dipecahkan.
(3) Atyantabhava,
ketiadaan timbal balik sebelum dan sesusahnya: udara sejak dulu sampai sekarang tidak berwarna;
waktu datang dan pergi, sejak dulu tak kelihatan dan tak kedengaran, begitu
pula sekarang dan nanti. Anyonyabha, ketiadaan mutlak. Periuk tidak memiliki
ciri dan sifat yang sama dengan kain. (Pendit, 30-50).
Aasas-asas perbincangan falsafah yang
dikemukakan Rsi Kanada terlihat pada pernyataannya pada bagian awal dari
bukunya itu. Ia menekankan betapa pentingnya dharma. Dia mengatakan
misalnya:
1.
Sekarang akan dijelaskan masalah dharma.
2. Dharma
ialah sesgala sesuatu yang lahir dari perbuatan mulia dan kebajikan tertinggi.
3.
Kewenangan kitab Weda (berasal dari) kehadirannya sebagai Sabda Ilahi (yang di dalamnya memaparkan persoalan dharma).
4.
Kebaikan Tertinggi yang merupakan buah dari Dharma tertentu, dihasilkan dari
pengetahuan tentang essensi segala sesuatu mencakup substansi dasar kejadian (dvarya),
sifat (guna), perbuatan (karma), genus (samanya), jenis (visesa)
dan gabungan (abhava, yang melekat pada sesuatu), yaitu penyebab
terjadinya persamaan dan perbedaan.
Penekanan pada Dharma bertolak dari kenyataan
bahwa dalam kitab Weda masalah Dharma merupakan
sesuatu yang sangat penting. Ini terlihat dalam sloka dalam Weda yang berbunyi:
Yato nhyudayanihsreyasa siddhih sa darmah
Yang artinya ialah,
”Dharma memuliakan dan kebaikan
tertinggi”.
Yang dimaksud dengan kebaikan tertinggi
ialah mokhsa, pembebasan jiwa dari lingkaran samsara yaitu
keterikatan pada benda-benda dan Dunia. Tanpa pengetahuan yang disertai
kearifan tentang benda-benda, Dunia dan kedudukan jiwa manusia, manusia tidak
akan dapat melakukan perbuatan yang baik dan dengan demikian tidak menjalankan Dharma
atau kebajikan spiritual sebagaimana diajarkan oleh kitab Weda. Esensi segala
sesuatu dan kategori-kategorinya, yaitu padharta, itulah harus diketahui
oleh orang yang ingin menjcapai kebajikan tertinggi. Uraian tentang padharta
inilah yang kelak dirinci Sri Uluka dalam sistem falsafahnya. Dalam Vaisesika
Sutra Rsi Kanada mengatakan bahwa alam semesta ini terjadi disebabkan adanya
suatu kekuatan tersembunyi yang memiliki kecerdasan mengarahkan suatu karma
atau kegiatan/perbuatan. Kekuatan tersembunyi itu disebut adrsta.
Tampak bahwa sistem falsafah ini tidak
membicarakan masalah Tuhan atau kekuatan transenden yang berdiri di balakang
segala kejadian secara langsung. Kegiatan zarrah atau atom misalnya ditelusuri
oleh para filosof Vaisesika kepada adsrta, kecerdasan tersembunyi yang
menyebabkan atom melakukan gerakan tertentu. Namun demikian para pengikut
aliran falsafah ini di kemudian hari merasa perlu menambahkan persoalan
ketuhanan disebabkan kitab Weda mengajarkan adanya Tuhan.
Dalam perkembangannya itulah kemudian
lantas diyakini bahwa Brahman, Tuhan yang Maha Tinggi, merupakan klausa
effisiensi atau penyebab efisien dari terjadinya alam semesta. Sedangkan zarrah
berfungsi sebagai bahan material yang telah ada sebelum Brahman bertindak
melakukan penciptaan. Sebelum terjadinya alam semesta dan segala isinya,
zarrah-zarrah itu merupakan unsur-unsur yang berada dalam keadaan kacau, tidak
dapat dibayangkan oleh siapa pun. Zarrah-zarrah itu juga tidak memiliki
kekuatan dan kepandaian mengatur perjalanan alam dan tidak bisa menata dirinya
sebagai kekuatan untuk menata alam. Maka Brahman atau Paramatman
kemudian muncul untuk mengendalikan dan menciptakan segala sesuatu dengan
mengolah zarrah-zarrah itu menjadi sesuatu yang mimilik tatanan yang pasti.
Jadi yang membuat adsrta itu
bekerja bukanlah dirinya sendiri, melainkan Barhman. Lima unsur kasar atau panca
mahabhuta yang telah ada itu sebenarnya juga merupakan akibat dari
kegiatan Brahman. Sebagai penyebab efisien segala sesuatu, Brahman merupakan
keberadaan yang mendahului keberadaan yang lain. Keberadaan-Nya ditandai dengan
ilmu pengetahuan yang dimilikinya tentang segala sesuatu. Dengan demikian
Brahman dapat disebut sebagai Zat Maha Tinggi dan Maha Tahu.
Seperti halnya dalam falsafah Nyaya, dalam
falsafah Vaisesika terdapat keyakinan bahwa zarrah-zarrah itu tidaklah
terhitung jumlahnya dan bersifat abadi. Dan secara abadi pula, dengan
mengulang-ulang dirinya, zarrah-zarrah itu saling berkumpul dan berpadu berkat
Brahman melakukan kegiatan untuk mencampurkannya. Setelah berpadu zarrah-zarrah
itu bercerai berai dan mengalami kehancuran. Proses itu berlangsung terus
menerus dan merubakan akibat dari bekerjanya adrsta yang digerakkan oleh
Brahman. Zarrah atau atom merupakan ’kecerdasan abadi tanpa penyebab’, atau
dengan perkataan lain terjadi dengan sendirinya. Setiap zarrah, begitu pula
bagian-bagian paling kecil daripada zarrah, tidak dapat diubah dan tidak pula
terlihat, sehingga tidak dapat diamati langsung melalui indria biasa.
Masing-masing pula memiliki kekhususan atau visesa. Dengan demikian visesa
merupakan inti yang kekal dari zarrah-zarrah yang ada di alam semesta.
Tampak bahwa asas pemikiran Vaisesika
Darsana bercorak dualistik. Mereka memandang bahwa asas kejadian ialah
zarrah-zarrah yang telah ada di alam semesta, namun keadaannya masih kacau
balau. Brahman muncul sebagai asas kerohanian dengan menggerakkan adrsta,
kekuatan potensial yang tersembunyi di belakang zarrah-zarrah itu. Demikian
unsur rohani atau purusa dari kejadian diartikan sebagai Brahman yang
menggerakkan adrsta dan unsur prakrti-nya ialah zarah-zarrah yang
banyak, yang dapat dibagi menjadi sejumlah kategori sesuai substansi kekalnya.
Walaupun para filosof Vaisesika berpendapat
bahwa roh dan jasmani, ide dan materi dapat saling berpadu membentuk realitas
baru dari obyek-obyek, namun keduanya merupakan zat yang sepenuhnya berbeda.
Pada waktu obyek-obyek mengalami kehancuran, masing-masing kembali kepada
zatnya yang asal. Unsur-unsur bendawi kembali menjadi zarrah-zarrah dengan dvarya
dan sifatnya masing-masing. Ambil contoh ketika seseorang mengalami proses
kematian. Badan mengalami proses penyusutan dan penghancuran, lambat laun
mengecil dan akhirnya menjadi kian halus. Ini berbeda dengan saat-saat ketika
manusia tumbuh dari setitik air mani, yang lambat laun kian membesar dan kasar.
Setelah datang masa kematian berubah menyusut dan menjadi halus. Sementara
unsur-unsur jasad kembali kepada zatnya yang semula, roh tetap abadi dan tidak
mengalami penguarangan atau penyusutan sedikit pun.
B. Pokok-Pokok Pandangan
Dalam uraian ini dapat dikemukakan
beberapa pokok pandangan para filosuf Vaisesika, khususnya sebagaimana
diajarkan Rsi Kanada dan Sri Uluka, yang dipandang sebagai pengasas awal dan
utama sistem falsafah ini, sebagai berikut:
1. Kelahiran manusia dan usianya, beserta
tempatnya lahir, keadaan yang dialami dan lingkungan keluarganya, telah
ditetapkan oleh adrsta masing-masing. Jadi adrsta berperan
sebagai ketentuan atau semacam takdir. Adapun atman (roh perorangan) yang
menempati badan seseorang bersifat kekal dan berbeda dari atman orang lain. Roh
orang yang satu terpisah dan terasing dari roh orang yang lain. Adalah atman
yang memberikan kemampuan batin kepada manusia dalam hidupnya sehingga ia mampu
pula memberi tanggapan kepada kehendak, pengetahuan, keinginan, kebencian,
kesenangan dan derita yang muncul dalam dirinya. Apabila badan jasmani dibatasi
oleh ruang dan waktu, maka badan rohani yang disebut atman itu tidak dibatasi
ruang dan waktu.
2. Karena sifat roh yang demikian itu maka
bersama-sama pikiran, roh tidak dapat
menjadi obyek pengamatan indria. Ia hanya dapat menjadi obyek pengamatan
pikiran, melalui isyarat-isyarat yang dihasilkan dari pikiran sendiri.
3. Perpaduan dan kerjasama antara atman dan
badan jasmani, antara sarana batin dan panca indria, dapat terjadi disebabkan
kegiatan Dharma dan Adharma, yaitu kebajikan dan kenistaan.
4. Kesenangan dan penderitaan (dukkha)
merupakan hasil atau akibat adanya hubungan antara roh, pikiran, panca indria
dan obyek-obyek pengamatan. Jika roh/jiwa dan pikiran tidak memerintahkan indria
agar terpaut pada obyek-obyek yang menyebabkan munculnya kesenangan dan
penderitaan, maka tidak akan ada kesenangan dan penderitaan. Dari kesenangan
yang diperoleh melalui kenikmatan (kama) atas suatu obyek, maka
muncullah keinginan untuk memperoleh obyek itu. Keinginan memperoleh obyek
disebut raga, artinya keterikatan. Dari suatu penderitaan, misalnya disebabkan
sengatan lebah, hardikan seorang polisi, maka akan muncul rasa benci terhadap
penderitaan dan sumber penderitaan. Ini juga disebut raga.
5. Disebabkan kuatnya pengaruh dari pengalaman-pengalaman
tertentu yang mendatangkan kesenangan atau penderitaan, seseorang akan menjadi
terikat pada obyek-obyek tertentu. Seorang pencinta yang gagal memperoleh cinta
dari seorang wanita, akan selalui melihat bayangan orang dicintainya itu pada
setiap obyek yang indah. Orang yang pernah dipatuk seekor ular akan merasakan
bahwa di mana-mana ada ular. Dengan demikian ingatan itu dibentuk oleh
pengalaman dan sangat berpengaruh pada pandangan manusia terhadap sesuatu.
6. Keterikatan pada sesuatu, terutama
keinginan (raga), kebencian (dvesa) dan kebingungan (moha)
merupakan dosa (kesalahan). Hal ini dikarenakan semaya perkara itu dapat
membuat seseorang terikat pada Dunia.
7. Pengetahuan palsu (mythia jnana)
timbul sebagai akibat dari kesalahan atau dosa. Untuk menyingkirkan pengetahuan
palsu diperlukan kekuatan pengetahuan intuitif tentang Sang Diri (jivatman).
Pengetahuan tentang diri hakiki ini diperoleh melalui renungan yang dalam (samadhi),
pemeriksaan diri (introspeksi) dan meditasi (dhyana). Karena alasan
inilah falsafah Samkhya dipasangkan dengan Yoga Darsana yang mengajarkan sistem
meditasi dan disiplin diri secara praktis, sedangkan Samkhya sendiri tidak
menguraikannya secara rinci.
8. Karena alam Dunia mendatangkan banyak dosa
dibanding kebajikan, dan juga karena pesonanya menimbulkan pengetahuan palsu,
maka alam Dunia ini disebut maya (khayali).
9. Alam semesta diciptakan berdasarkan dua sebab musabab, yaitu:
(a) Nimitta,
penyebab efisiensi atau
penyebab yang secara
efisien menyebabkan terjadinya Dunia. Nimitta juga disebut
sebagai instrumental dan bersifat kerohanian; (b) Upadana, yaitu
penyebab jasmani. Penyebab instrumental (nimitta karana) ialah
Isvara (Tuhan) dan penyebab jasmaninya ialah zarrah-zarrah yang kacau balau dan
tidak terhitung banyaknya yang disebut prakrti. Apabila kita umpamakan
dengan kendi, maka nimitta karana-nya ialah pembuat kendi dan upadana-nya
ialah tanah liat.
10. Pengetahuan atau jnana yang benar disebut
prama, pengetahuan yang salah disebut bhrama. Falsafah Samkhya
juga menggolongan pengetahuan menjadi dua macam: pengetahuan yang meragukan (samsaya
jnana) dan pengetahuan yang pasti (niscaya jnana).
Pengetahuan yang benar diperoleh melalui pembuktian yang benar dan mendatangkan
kebaikan (pramanya grha jnana). Pengetahuan yang salah
menimbulkan keburukan dan merupakan mythia jnana.
C. Etika dan Konsep Kesempurnaan
Sistem
filsafat Vaisasika sebagai juga sistem filsafat India yang lainnya mencari
atman atau sejati dalam badan yang merupakan gabungan dari atom-atom catur
bhuta, sedangkan pikiran adalah sesuatu yang sangat halus yang sulit di
ketahui, tak dapat dilihat abstrak yang dengan kata lain disebut anu.
Ia merupakan alat dari pada jiwa yang dipergunakan untuk merasakan bermacam-macam
perasaan, perasaan senang, susah dan sebagainya. Pikiran itulah yang disebut
antara rasa dan bahya rasa karena ia dapat merasakan getaran kebahagiaan dan
kesusahan dalam tubuh.
Atman merupakan unsur lain
yang sangat berbeda dengan manas, indria dan tubuh. Keberadaan atman hanya
dapat di buktikan dengan melalui tubuh dan manas yang dimiliki oleh setiap
orang. Hal ini dapat di bandingkan dengan aliran listrik, kita baru dapat
membuktikan adanya aliran listrik bila kita memegang kawat yang dikenai aliran
itu. Demikian pula adanya atman hanya dapat di buktikan keberadaanya melalui
badan dan manas. Seseorang dapat hidup, berpikir, berbicara dan sebagainya semua
itu menunjukan adanya atman.
Dalam ajaran Vaisasika
atman dikatakan berjumlah banyak atau jamak dan merupakan bagian dari pada
Brahman, maka itu atman pada dasarnya adalah suci. Setelah atman bersatu dengan
badan kasar ini maka terjadilah beraneka kebahagiaan, kegembiraan, kesenangan,
penderitaan, kesengsaraan, kesedihan dan sebagainya. Adanya perasaan suka dan
duka itu adalah sesungguhnya disebabkan oleh manas melalui indria yang
dirasakan kepedihannya oleh badan. Adapun klesa- klesa yang muncul dalam
pikiran itu adalah awidhya yaitu
suatu pengetahuan yang salah terhadap suatu kebenaran, asmita yaitu pandangan yang keliru yang menganggap bahwa atman itu
sama dengan budhi, dan manas, raga
yaitu keinginan yang didorong oleh nafsu yang berlebihan untuk memuaskan
indria, dan yang terakhir adalah abhiniwesa
yaitu ketakutan menghadapi
penderitaan dan kematian. Kelima klesa ini disebut mithyajnana yang memaksa badan untuk bekerja dengan segala
konsekuensinya.
Selama adanya goncangan
dalam pikiran maka selama itu pula atman akan direfleksikan pada
perubahan–perubahan pikiran itu sendiri. Dengan tidak adanya pengetahuan yang
benar dalam diri seseorang, maka ia akan menyamakan atman dengan badan atau
benda yang selalu mengalami perubahan. Akibatnya atman merasakan susah, senang,
benci dan sebagainya sesuai dengan perubahan dari pikiran itu sendiri. Ini
merupakan ikatan bagi jiwa yang pada akhirnya menimbulkan penderitaan. Bila
seseorang ingin bebas dari ikatan itu dan ingin mendapatkan kelepasan, maka ia
harus dapat menguasai aktivitas indria dan pikirannya. Dengan demikian maka
goncangan pada pikiran akan dapat diatasi. Sehingga dengan demikian maka sang
jiwa akan menyadari dirinya sebagai sang suci yang berbeda dengan badan, indria
dan pikirannya. Untuk mendapatkan ini Vaisasika mengajarkan agar sesorang
menguasai manas dan indrianya dengan baik dengan selalu mengikuti ajaran
Weda untuk kemudian sampai pada tujuan
yang tertinggi yaitu kelepasan.
Jalan yang di tunjuk ole Vaisasika
untuk mencapai kelepasan itu adalah melalui tattwa
jnana,srawana, manana dan meditasi. Melalui tattwa jnana hendaklah seseorang memahami bahwa sesungguhnya atman
adalah berbeda dengan badan, indria dan pikiran. Atman adalah bagian dari
Brahman pada hakekatnya adalah suci. Semua yang ada di alam semesta ini tidak
terlepas dari kemahakuasaan Tuhan. Tuhanlah yang menentukan kehidupan semua
makhluk dan Beliau pula yang menuntun makhluknya untuk mencapai kesempurnaan.
Tapi semua itu tidaklah terlepas dari adrsta
yaitu kumpulan pahala baik atau buruk dari kehidupan seseorang pada
beberapa fase kehidupan yang terdahulu. Perimbangan dari adrsta inilah Tuhan memberikan anugerah pada seseorang. Tuhan dalam
ajaran Vaisasika disebut Siwa yang
bersifat transenden yang terpencar pada hukum sebab akibat, pada isinya merupakan bukti adanya Tuhan
sebagai yang maha kuasa dan meliputi
segalanya. Mengetahui semua ini dapat di artikan bahwa seseorang dalam hidupnya
selalu menegakkan dan mengikuti Dharma. Karena Tuhan merupakan asal dan
berakhirnya segala sesuatu maka sudah sewajarnya seseorang di anjurkan oleh Vaisasika untuk memuja beliau dan
mengikuti ajaran-Nya melaui srawana, manana, dan meditasi
untuk mencapai kelepasan.
Srawana adalah senang mendengarkan kata-
kata yang ada dalam kitab suci yang disampaikan oleh Guru kerohanian atau orang
yang dapat dipercaya. Membaca kitab suci dan mendengarkan dan mendengarkan hal–hal
spiritual dari Guru kerohanian termasuk pula dalam ruang lingkup srawana. Hal semacam adalah sangat penting untuk
menuntun, meningkatkan kualitas keimanan, perilaku dalam kehidupan beragama dan
bermasyarakat yang harmonis. Sedangkan manana
adalah melaksanakan apa yang didengar, dibaca dari kitab-kitab suci di
masyarakat melalui pikiran, perkataan dan perbuatan yang dilandasi oleh cinta
kasih terhadap sesama. Dan yang terakhir adalah meditasi yaitu melakukan pemusatan pikiran terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dengan tujuan menenangkan pikiran dan merealisasikan sang diri sejati.
Dalam hubungan ini Vaisasika menunjuk cara-cara praktek Yoga untuk membebaskan
diri dari ikatan-ikatan ke duniaan dan nafsu-nafsu rendah lainnya. Dengan
melakukan jalan yang ditunjuk oleh sistem Vaisasika secara bersungguh-sungguh
dengan penuh keyakinan seseorang akan mendapatkan kebebasan yang sejati yang
ada pada Brahman (Sumawa,1996).
YOGA DARSANA

A. Pengertian
Kata Yoga berasal dari urat kata "Yuj"
yang artinya berhubungan. Kata yoga berarti hubungan atau berhubungan, di mana
maksudnya adalah pertemuan roh individu (atma purusa) dengan roh
universal yang tidak berpribadi (mahapurusa/paramaatma). Maha Rsi
Patanjali mengartikan yoga sebagai "Cittawrttinirodha" yaitu
penghentian geraknya pikiran (Maswinara, 1999:163). Ajaran yoga sangat popular
dikalangan umat Hindu dengan tokoh pendirinya adalah Maha Rsi Patanjali.
Tulisan pertama tentang ajaran yoga adalah kitab Yoga Sutra karya Maha Rsi
Patanjali. walaupun unsur-unsur ajarannya sudah ada jauh sebelum itu. Kemudian
munculah buku-buku komentar atas ajaran beliau, seperti Yoga Bhasyaatau
Wyasabhasya yang ditulis oleh Wyasa. Yoga Maniprabha ditulis oleh Bhojaraja
dll. Komentar-komentar ini menguraikan ajaran yoga karya Patanjali yang
berbentuk sutra berupa kalimat-kalimat pendek dan padat isinya.
Berbeda dengan Samkhya, yoga mengakui
adanya Tuhan. Adanya Tuhan dipandang lebih bernilai praktis dari pada bersifat
teori dan merupakan tujuan akhir semadi yoga, dengan demikian maka
yoga dikatakan bersifat teori dan praktek dalam hubungan Tuhan. Ajaran yoga
juga bersifat teoretis dan mengakui kewenangan Weda. Kebenaran Tuhan dipandang
sebagai suatu yang lebih tinggi dari purusa dan prakerti.
Pokok-pokok ajaran yoga ada dalam kitab Yoga Sutra Karya, Maha Rsi Patanjali
yang dibagi atas empat bagian dengan 194 Sutra, adapun keempat bagian tersebut adalah:
a) Bagian Samadhi Pada, isinya
ialah tentang sifat, tujuan dan bentuk ajaran yoga, dibagian ini
diterangkan tentang perubahan-perubahan pikiran dan cara pelaksanaan
ajaran yoga.
b) Bagian Sdhana Pada, isinya
tentang pelaksanaan ajaran yoga seperti cara mencapai semadhi, tentang kedudukan,
karma phala.
c) Bagian Wibhuti Pada, isinya
tentang segi ajaran batiniah yoga juga tentang kekuatan gaib yang terdapat
karena melakukan praktek yoga,
d) Bagian Kailwalya Pada.
isinya melukiskan alam kelepasan dan mengatasi roh yang mengatasi alam Dunia.
Menurut filsafat yoga kelepasan itu dapat dicapai melalui pandangan
spiritual pada kebenaran roh sebagai suatu daya hidup yang kekal yang
berbeda dengan badan dan pikiran. Pandangan spiritual seperti tersebut di
atas hanya dapat dimiliki bila pikiran itu bersih, tenang dan tak
tergoyahkan oleh sesuatu apapun juga (Pendit, 2007:110).
B. Pemahaman Tentang Yoga
Akar yoga dapat
ditelusuri kembali 5.000 tahun. Referensi paling awal yoga juga ditemukan
selama penggalian arkeologi lembah Indus. Budaya. Para arkeolog telah menemukan
potret manusia dalam bermeditasi seperti postur yoga. Rig-Veda menggambarkan
postur Yoga yang berbeda dan itu adalah suatu periode 3000-5000 SM. Yoga telah melalui masa evolusi dari 5000
tahun. Yoga Veda berkisar pada pemikiran menyatukan Dunia material terlihat
dengan Dunia spiritual tak terlihat. Hal ini diperlukan untuk memfokuskan
pikiran ke tingkat yang sangat tinggi. Proses fokus batin untuk meningkatkan
kemampuan manusia adalah akar dari semua yoga. Secara garis besar Yoga ada 4
jenis, yaitu: Karma Yoga, Bakti
Yoga, Jnana Yoga, dan Raja
Yoga. Adapun Mantra Yoga, Japa
Yoga, Hatha Yoga, Kundalini Yoga, Kriya Yoga, dll. dikatagorikan sebagai Raja Yoga.
Karma Yoga, yoga yang
dilakukan melalui kehidupan tanpa pamrih. Para praktisinya tidak pernah
mengeluh menghadapi persoalan. Semua masalah dipandang
merupakan akibat dari karma, maka harus diterima dan dihadapi. Konsep ini banyak disalahpahami sebagai konsep hidup pasif, padahal
konsep ini justru membawa manusia menjadi aktif dalam menghadapi kehidupan.
Karma Yoga mengajarkan pada manusia untuk menghadapi
dan menyelesaikan persoalan, bukan melarikan diri dari persoalan.
Bila anda praktisi Karma Yoga, maka
persoalan apapun yang terjadi harus anda terima, tidak melarikan diri. Melarikan diri bukan solusi, tapi justru menimbun persoalan dan
membuat persoalan baru. Persoalan tidak akan
pernah hilang, yang ada hanyalah penundaan dan penumpukan. Untuk
menyelesaikannya, mau-tidak mau, suka dan terpaksa, semua harus dihadapi.
Entah kapan, yang jelas semua persoalan perlu penyelesaian.
Banyak penderita stress, bahkan yang bunuh diri, dikarenakan
tidak mau menerima suatu persoalan sebagai kenyataan dan menyelesaikannya,
kemudian melarikan diri tanpa mau menghadapi dan menyelesaikannya.
Bhakti Yoga, yoga yang dilakukan dengan berbakti
kepada Tuhan, yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Semuanya
dilakukan dengan cinta tanpa memiliki pamrih apa pun
(termasuk ingin masuk sorga). Kecintaan praktisi Bakti Yoga (Bakta)
bermakna luas. Bukan hanya pada Tuhan, namun juga pada
semua mahluk ciptaan-NYA. Mencintai ciptaan-NYA
merupakan manifestasi dari mencintai Sang Pencipta. Cinta
seorang Bakta tidak membeda-bedakan ras, suku, bangsa, dan agama. Tidak membenci yang miskin-yang kaya, yang indah-yang buruk, yang
pintar-yang bodoh, yang beriman-yang kafir. Semuanya
dicintai, bahkan binatang, tumbuhan, dan batu-batuan pun tidak luput dari
kecintaan seorang praktisi Bakti.
Jnana Yoga, yoga yang dilakukan dengan jalan
pengetahuan. Praktisi yoga ini adalah para intelektual, dengan cara mengkikis kebodohan manusia. Dengan
terkikisnya kebodohan, maka manusia semakin pandai. Semakin
pandai manusia, terhapuslah kemiskinan, ketidakadilan, dan kesewenangan.
Dengan demikian semakin damai rasanya Dunia. Semua itu
dikarenakan manusia tahu akan hakekat dirinya. Manusia yang tahu hakekat dirinya, maka
dia akan tahu hakekat Tuhannya. Itulah
tugas para praktisi Jnana Yoga.
Raja Yoga, yoga yang dilakukan dengan cara mempraktekkan secara langsung tata cara pengedalian
pikiran dan kesadaran indria-indria manusia (Adiputra, 2004:123-137). Raja Yoga memuat berbagai disiplin fisik dan pikiran, semua
dilakukan dalam rangka menuju kepenyatuan seorang hamba dengan Tuhan. Hasil dari semua itu disebut Pencerahan, Bagi praktisi yoga, yang
penting adalah pelaksanaannya.
C.
Yoganga
Darsana
Patanjali, seorang yogi (praktisi yoga), menerangkan bahwa
yoga memiliki 8 bagian yang tidak terpisahkan, yaitu: Yama
(mengendalikan diri), Niyama (ketaatan), Asana (Sikap badan), Pranayama
(pengaturan nafas), Pratyahara (Pengaturan diri/indria), Dharana
(Konsentrasi), Dhyana (Meditasi), dan Samadhi (Keseimbangan)
(Maswinara, 1999:165). Bagian-bagian yoga tersebut
tidak dapat dipisahkan,
sebagaimana bagian tubuh manusia yang juga tidak dapat dipisah-pisahkan.
Pengaturan nafas tanpa pengaturan diri, bukanlah Yoga,
demikian seterusnya. Kedelapan bagian tersebut adalah
satu kesatuan.
1. Yama berarti menghindari kekerasan (Ahimsa), mantap
dalam kebenaran (satya), mantap dalam kejujuran (asteya), Hidup
dalam Tuhan (Brahmacharya), tidak tamak (Aparigraha).
2. Niyama
berarti menjaga kebersihan dan kesucian diri (sauca), merasa puas dengan
apa adanya (samtosa), sederhana (tapah), mempelajari diri sendiri
(swadaya), dan menyerahkan segalanya pada Tuhan (Iswara pranidhana).
3. Asana tidak hanya berarti sikap yang nyaman dalam
postur-postur yoga, tapi pola hidup yang nyaman, yaitu pola hidup yang
seimbang. Makan tidak berlebihan, puasa juga tidak
berlebihan. Mencintai tidak berlebihan, membenci juga
tidak berlebihan, dan seterusnya. Rasa nyaman ini harus
permanent tidak temporer.
4. Pranayama yaitu menyadari proses pernafasan. Menyadari
proses pernafasan berarti menyadari tipisnya jarak antara kehidupan dan
kematian. Bermula dari sini manusia akan mencapai
tingkatan kasih tanpa pamrih. Tingkatan inilah yang
membedakan antara manusia dengan hewan.
5. Pratyahara berarti menyadari
pola-pola berpikir. Pola pikir terkendali
maka kontrol diri (indria-indria) juga terkendali. Dengan demikian seseorang tidak akan tergoda oleh objek-objek duniawi. Pengharaman atas
objek-objek Dunia, seperti sex bebas, narkoba, dsb. Tidak akan
banyak membantu. Justru, pelarangan tersebut seringkali
membuat seseorang terobsesi. Ajaran yoga tidak
mengharamkan sesuatu apapun, tapi menuntut pengendalian/pelepasan diri terhadap
objek-objek duniawi tersebut. Demikianlah yoga,
menuntut pelepasan ego secara luas. Selama seseorang
belum dapat mengendalikan dirinya, maka tidak dianjurkan melakukan yoga (jalan
spiritual). Karena tujuan yoga adalah menenangkan
danau pikiran manusia sehingga bayangan ilahi nampak terlihat dengan sangat
jelas. Oleh sebab itu, supaya pikiran tidak kacau maka
dibutuhkan niat yang kuat dalam melaksanakan yoga.
6. Dharana (konsentrasi),
mencapai konsentrasi berarti seseorang telah mencapai ketenangan yang alami. Ketenangan yang
permanen bukan dibuat-buat. Pada bagian ini seseorang
mencapai kedamaian Ilahi sekaligus memancarkan cahaya ilahi pada lingkungannya.
Tidak ada lagi gundah-gulana, sedih-gembira, baik-buruk, yang
dapat mempengaruhinya.
7. Dhyana (meditasi yang
mendalam), menyadari sesuatu tanpa ada gangguan lagi.
8. Samadhi (tujuan akhir
meditasi), kondisi ini tidak dapat lagi dijelaskan. Inilah
pencerahan, tempat pertemuan antara kekasih dengan yang dikasihi, pertemuan
antara hamba dengan Tuan, pertemuan antara Khalik dengan mahluk (Pendit,
2007:115-117).
Demikian sekilas penjelasan tentang 8 bagian yoga yang diajarkan oleh
Patanjali. Kedelapan bagian tersebut berkaitan tidak bisa dipisahkan. Pelaksanaan dari 8 bagian tersebut itulah yang disebut yoga dalam
arti yang sesungguhnya. Ini perlu dijelaskan karena bagi masyarakat
Indonesia, yoga seringkali disalahartikan sebagai “akrobat” atau semacam
“praktek-praktek klenik”, dan lain sebagainya.
D. Relevansi Ajaran yoga
1. Yoga sebagai jalan
menyatunya atma dengan Tuhan
Ganapati Tatwa merupakan salah satu lontar tatwa
yang mengandung nilai-nilai filsafat Siwa yang ditulis dalam 37 lembar daun tal
dan disusun dalam 60 bait anustubh sansekerta dalam bentuk tanya-jawab
yang digubah dalam bahasa asli sansekerta yang dilengkapi pula bahasa kawi dan
dengan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia (karya asli dalam bentuk bahasa
sansekerta). Dalam tattwa ini adalah
Dewa Ganapati sebagai putra Dewa Siwa sebagai penanya yang cerdas tentang
nantinya melahirkan ajaran Jnana yang
merangkum misteri alam semesta beserta seluruh isinya dan Dewa Siwa dalam tatwa
ini bermanifestasi sebagai Dewa Maheswara yang nantinya menjawab pertanyaan
Ganapati.
Isi ringkasnya adalah sebagai berikut:
OM adalah sabda sunya, nada Brahman, asal
mula Pancadaiwatma (Brahma, Wisnu, Iswara, Rudra dan Sang Hyang Sadasiwa)
dilahirkan. Sedangkan Panca Daiwatma itu sendiri merupakan sumber
Panca Tan-matra (Ganda: unsur bau, Rasa: unsur
rasa/kenikmatan, Rupa: unsur bentuk/wujud, Sparsa: unsur rabaan, dan Sabda:
unsur suara). Panca Tan-matra ini nantinya merupakan
sumber dari Panca Maha Bhuta (Pertiwi: zat padat, Apah:
zat cair, Teja: zat panas/sinar, Bayu: zat angin/udara, dan Akasa:
zat ether). Panca Maha Bhuta inilah sumber asal dan dasar
diciptakannya alam semesta beserta seluruh isinya, dan yang menjadi sumber
hidup yang menggerakan segala ciptaan-Nya ada Sang Hyang Siwatma
(sloka 1-2, 25-39).
Untuk ajaran Yoga sendiri terdiri dari Sad Anggayoga yaitu 6 (enam) jalan
spiritual untuk mencapai kelepasan abadi atau moksa namun dalam kaitannya
dengan tulis ini, penulis hanya akan mengambil petikan dari sloka 7-10 tentang bagian tubuh jasmani yang sangat
berkaitan erat dengan pelaksanaan Yoga karena akan berhubungan dengan potensi
dalam diri dalam pengendalian dan penyatuan kepada Tuhan, yaitu sebagai berikut:
7. Ganapati uwaca, sampun kagraha
sapawarah Bhatara, ri kandaning bhuwana mwang manusya, mangke mwah waraha ranak
Bhatara, ri sthana ning daiwatma ring sarira, mwang hana ring bhuwana.
8. Iswara uwaca, kaki anaku sang
Ganadhipa, mangke pirengwakena pawarah kami ri kita, ri kahanan ing daiwatma
ring sarira, apang tunggal ikangjanma kalawan bhuwana, yajanma, ya bhuwana. Apa
ta lwirnyan, yapwan ing bhuwana Brahmakayangan ing daksina, rumkasa bhumi.
Wisnu akayangang ing uttara, rumaksa jala. Rudrakayangan ing pascima, rumaksa
Surya, Candra, Lintang. Kami akayangang ing purwa, rumaksa wayu. Sang Hyang
Sadasiwa akahyanganing Madhya rumaksakasa, mwah yapwan ing jadma, Brahma
mangasthana ring muladhara mangraksa raga, ababahan ring irung, mangulahaken
gandha, Wisnu mangasthana ring nabhi, mangraksa sarira, ababahan ring jihwa,
mangulahaken rasa, Rudra mangasthana ring hati, mangraksa jagra, ababahan ring
tingal, mangulahaken idep, Kami mangasthana ring kantha, mangraksa turu,
ababahan ring tutuk, mangulahaken sabda, Sang Hyang Sadasiwa mangasthana ring
jihwagra, mangraksa sarwajnana, ababahan ring karna, mangulahaken swara.
Mangkana lwirning Daiwatma ring sarira mwah ring bhuwana agung.
9. Ganapati uweca, sembah ning tanaya ra
sanghulun, mangke mwah hana waraha patik sanghulun ri patunggalan ikang
sinenggah muladhara mwang ikang nabhi, hati, kantha, jihwagra, lamakane wruha
ranak Bhatara.
10. Iswara uwaca, anaku sang Ganapati,
mangke den pahenak rumengwakena pawarah Kami, ri katatwan iakng sinengguh
muladhara, unggwan ira ri pantara ning payupastha, warna kadi aruna, caturkona
padu pat, ri jeronya wenten sekar trate lawa 8, ri jeroning sekar trate hana
manic warna kadi kilat, ri jeroning manic kadi kilat hana Omkara, witniing
wayu, anerus tekeng nguddha ring Siwadwara, sakeng Siwadwaranerus tekeng nasika, sakeng nasika
anerus ring jihwagra, amepek ing saptadwara, pasalahanya haneng kantha, sakeng
kantha masuk tekeng hati, amepeking sarira kabeh, mangkana lwir ning muladhara.
Luhur ing muladhara ngaran nabhi, mahelet rwawlas angguli dohnya, warna skadi
sekar trate lawe 10, jeroning sekar trate hana kadi Surya wawu mijil ri jero
ring Surya wawu mijil nga amrta, panggangtunganing usus mwah panguritan, ri
luhur ing nabhi, maheled astangguli dahnya nga hati hati, warna kadi sekar
tunjung lawa 31, liniput dening agni, ring jeroning Candra
sukla warna kadi wintang,
ring jeroning sukla
hana pranawayu, ring jeroning prana
pranalingga nga, ring luhur ing hati, mahlet rwawlas angguli dohnya nga, warna
kadi sekar tunjung sweta lawa 10, ring jeroning sekar tunjung hana kadi winten,
mwah ring luhur ing kantha, mahlet rwawlas angguli nga, jihwagra, kadi tunjung
kucup mancawarna, ring jeroning tunjung kucup hana bindusara manic, ring jero
bindusara manic hana suddha-sphatika, ring jeroning suddha-sphatika hana sunya
nirwana, mangkana lwir ning pancawarna nga.
Terjemahan:
7. Ganapati berkata, “Sudah tertangkap
segala wejangan Bhatara mengenai hal alam semesta beserta manusia itu, kini
beritahukanlah lagi putra paduka Bhatara prihal statusnya Daiwatma itu dalam hubungan badan jasmani dan keadaannya di Dunia!”
8. Iswara bersabda, “Duhai putraku Sang
Ganapati, kini perhatikanlah penjelasanku padamu, dalam hal status/keadaannya
Daiwatma pada tubuh jasmani; sebab tunggal juga adanya manusia itu dengan alam
semesta. Bagaimana sih halnya, yakni: adapun pada alam semesta Brahma berstatus
di selatan, memelihara tanah/bumi; Wisnu berstatus di utara memelihara zat
cair/air; Rudra berstatus di barat, mengendalikan matahari, bulan dan bintang;
Daku (Iswara) berstatus di timur mengatur udara/angin; Sang Hyang Sadasiwa
berstatus di tengah, memelihara ether/atmosphere. Dan kalau dalam tubuh
manusia, Brahma berstatus di muladhara, menghidupkan indra/jasmaniah,
berhubungan dengan hidung, memerlukan bau; Wisnu berstatus di pusat/nawe,
memelihara badan jasmani, berhubungan dengan lidah, memerlukan unsur kepuasan
(rasa); Rudra berstatus di hati, mengatur kesadaran/tekad, berhubungan dengan
pandangan mata, menentukan pikiran; Daku (Iswara) berstatus di
kerongkongan/throat, mengendalikan ketiduran, berhubungan pada mulut, mengatur
nada-suara; Sang Hyang Sadasiwa berstatus di ujung lidah, mengetahui segala
pengetahuan, berhubungan dengan telinga, meneliti keadaan suara. Demikianlah
statusnya Daiwatma itu masing-masing dalam tubuh jasmani dan pada alam semesta.
9.
Ganapati berkata, “Sembahnya hamba putra paduka, kini ada lagi hendaknya
beritahukan pada hamba tuanku, mengenai koneksi daripada yang disebut
muladhara, beserta pusar/nawe, hati kerongkongan dan ujung lidah itu, supaya dapat mengetahuinya putra paduka Bhatara”.
10. Iswara bersabda, “Putraku Sang
Ganapati, kini perhatikanlah dengan baik-baik pemberitahuanku mengenai filsafat
dari yang dimaksudkan muladhara
itu, tempatnya diantara lubang dubur dan alat kelamin berwarna sebagai aruna
(kemerah-merahan) segiempat berpadu sudut, di dalamnya terdapat bunga
seroja/teratai berdaun helai 8, di dalam bunga seroja itu berada mutiara yang berwarna
sebagai tatit, di dalam mutiara seperti tatit itu ada OMkara, sumbernya tenaga
(wayu/udara/prana), menerus sampai ke atas pada Siwadwara, dari Siwadwara
menerus sampai pada hidung, dari hidung menerus hingga pada ujung lidah,
memenuhi ketujuh macam lubang persimpangannya terletak pada kerongkongan, dari
kerongkongan terpisahlah hingga di hati, memenuhi seluruh badan jasmani,
demikianlah yang dimaksudkan muladhara. Diatasnya muladhara
disebut pusar/nabi, berjarak dua belas jari jauhnya berupa sebagai bunga seroja
dengan 10 daun kelopak, ditengahnya kembang teratai itu berada bagaikan
matahari yang baru terbit, ditengahnya matahari yang baru terbit itu disebut
amerta, yaitu penggantunggannya usus dan dubur. Disebelah atasnya pusar nabi
itu berjarak delapan jari jauhnya adalah hati, berbentuk seperti bunga
teratai/lotus dengan kelopak 31 helai, terselubung oleh api, di dalamnya api
itu ada sinar/matahari, ditengahnya sinar/matahari itu ada bulan, ditengahnya
bulan itu warna bening bagaikan bintang, di dalam warna bening itu terdapat
energi hidup, ditengah energi hidup itu ada energi forma-hidup namanya. Di
atasnya hati itu sejauh dua belas jari jaraknya disebut kerongkongan, berupa
bagaikan bunga seroja putih dengan 10 helai kelopak di dalamnya kembang teratai
putih itu terdapat bagaikan intan rupanya. Dan di sebelah atas kerongkongan
itu, berjarak dua belas jari disebut ujung lidah, berbentuk bagaikan seroja
kuncup lima warna, di tengahnya teratai kuncup itu ada bintik sari permata, di
dalamnya bintik permata sari itu terdapat mutiara suci, di tengahnya mutiara
suci itu berada sorga niskala, demikianlah yang dimaksudkan jenisnya lima warna
itu.
Dari uraian terjemahan sloka di atas maka
status Daiwatma itu dalam hubungan badan jasmani dan keadaannya di Dunia
serta tunggal adanya. Dalam koneksi penyatuannya ada OMkara, sumbernya tenaga
(wayu/udara/prana), menerus sampai ke atas pada Siwadwara sampai
meneruskan seluruh jasmani. Dalam jasmani terdapat energi hidup dan energi
formal hidup. Disini dijelaskan status atma itu sendiri yang menghidupi seluruh
organ jasmani manusia yang akan dapat mempengaruhi peningkatan manifestasi
atma/jiwa dalam penyatuannya dengan Tuhan melalui wayu udara prana.
Sebelum melakukan pranayama dianjurkan untuk mengetahui segala lubang-lubang
dalam organ tubuh serta bagian-bagiannya karena sistem pelaksanaan pranayama
yaitu menutup segala lubang terlebih dahulu, kemudian konsentrasi dan bila
terasa tenang semua udara dikeluarkan melalui lubang hidung.
2. Yoga
sebagai salah satu jalan menyatunya atma
dengan Sang Hyang Atma menurut
Jnana Tattwa.
Jnana
Tatwa juga merupakan
salah satu tatwa yang bersumber dari Weda dan merupakan salah satu kerangka
agama Hindu yang berisi ilmu pengetahuan yang hakiki yang merangkum bagi
seseorang yang ingin bebas dari kesengsaraan penjelmaan atau punarbhawa
(reinkarnasi/kelahiran yang berulang). Kata Jnana memiliki arti
mengetahui, ingat, ingat akan kesadaran yang tidak berubah. Jnana Tattwa disusun dalam bahasa
Sansekerta dalam 74 bait. Penulis hanya akan menuangkan bait ke-63 yang
mengandung kaitan dengan pengaturan dan pengendalian diri itu sendiri, yaitu
sebagai berikut:
Muwah hana ta pratyaharayoga ngaranya,
ikang indriya kabeh wateken sakeng wisayanya, kinempeling citta buddhi manah,
tan winah maparan-paran kinempeling cittalila, yeka pratyaharayoga ngaranya.
Ikang jnana tanpa porwa, tanpa wikara, enak ikang hnang-hningnya, umideng tan
kaparanan, yeka dhyanayoga ngaranya. Tutup ikang dwara kabeh, irung, tutuk,
talinga, wayu rumuhun isepen, wetren ikang; wuwunan, kunang tanpa bhyasa ikang
wayu winehadalan ngkana, dadi adalanengirung, halon wtuning wayu, yeka
pranayama yoga ngaranya. Hana Ongkara sabda mungguh ring hati, yateka dharanan,
ya panghilang ikang karengo, ri kala ning yoga, yateka sunya ngaranya,
siwatmawak bhatawa siwa yan mangkana. Yatika dharana yoga ngaranya ndakasa
rakwa sanghyang paramartha, ndan pahenanira sakengakasa, tan hana sabda ri
sira, ya ta kalinganing paramartha, palenanira sakeng-awang-awang, padha
nirekang-alilang, yeka tarkayoga ngaranya. Ikang jnana tan pangupeksa, tan
pangalupa, Tanana kaharep nira, Tanana sinadhya nira mahilang, tan kahilangan,
tan kaparanan, tanpawastu ikang cetana, apan mari humidep ikang sarira, luput
sakeng catur kalpana, kinawruhan, mangwruhi, mangde wruh, ikang catur kalpana
ngaranya, ika ta kabeh, yan hana ri sang yogiswara, yapwanenak palungguh nikang
citta hning, yeka sinangguh mulih ringambek ngaranya yeka purusa ning
cetanapinratistha, lingungguhaken ingambek, ngaranika yan mangkana, kaping ro
ning tutur pinahayu, kumwa pwa lingnya, ikangambek ya ta waluyakna pramana,
umana dening umaluyakna kangambek pramana, nihan ikang citta buddhi manah, juga
wetwaken wehan makawakang tutur prakasa, sphangikopama, kadi manik sphatika,
yapwan enak tiksnanya, yeka sinangguh sphangikajnana ngaranya, yapwan enak
prakasa dilah sanghyang sphangikajnana gesenganira ikang sarwatattwa, lawan
subhasubha karma, apa dening
gumsengan subhasubha karma, mwang
sarwa tattwa, nihan pih sanghyang
sphangikajnana juga lungguhakna ring brahmasthana, yapwan enak-andel nira
ngkana, gseng bhasmibhuta kahidepan ikang sarwwa tattwa mwang subhasubhakarma,
yatika sinangguh mamuja, mahoma ring kundajati, ngaranya, umentyaken ikang
sarwa klesa kabeh, yeka sinangguh dharanayoga ngaranya.
Terjemahan:
Dan ada pratyaharayoga namanya. Semua
indria tarik dari obyek kenikmatannya, kumpulkan dalam citta, buddhi
dan manah. Janganlah biarkan ia pergi kesana-kemari, pusatkan ia pada
pikiran yang tak terganggu apapun. Yang demikian itulah Pratyaharayoga namanya.
Bathin yang tidak mendua, tidak berubah-ubah, jernih, dengan enaknya, tetap
teguh tanpa ditutupi apa-apa, yang demikian itulah dhyanayoga namanya.
Tutuplah semua pintu yaitu hidung, mulut dan telinga. Tariklah terlebih dahulu
nafas, keluarkan melalui ubun-ubun. Bila belum biasa nafas dibiarkan berlalu
disitu, boleh melalui hidung. Keluarkan nafas itu pelan-pelan. Yang demikian
itulah Pranayama yoga namanya. Ada Omkara
sabda bertempat dalam hati. Hendaknya itu pegang kuat-kuat. Itulah yang
menghilangkan apa yang didengar pada waktu melaksanakan yoga, itulah Sunya.
Dalam Keadaan demikian Bhatara Siwa berwujud siwatma. Yang demikian itulah
dharana yoga namanya. Sanghyang Paramartha (hakekat yang tertinggi)
adalah konon angkasa, bedanya dengan angkasa ialah tidak ada suara padanya.
Demikianlah hakekat paramartha itu, bedanya dengan awang-awang.
Persamaannya ialah sama-sama jernih. Yang demikian itulah tarkayoga namanya.
Bathin yang tidak mengenal, tidak lupa, tidak mengharap apa-apa, tidak ada
sesuatu yang ingin dicapai, jernih tanpa ada yang hilang, tidak ditutupi
apa-apa, maka sanghyang tanpa kesulitan, karena ia tidak lagi memikirkan badan
jasmaninya, bebas dari catur kalpana, dikenal, mengenal dan membuat kenal. Catur kalpana itu tidak terdapat pada sang yogiswara, maka dengan
mudahlah kehadiran pikiran yang jernih. Itulah yang disebut dengan kembali ke
dalam pikiran. Itulah awal cetana dihadirkan. Bila sudah demikian pikiran sudah
ditempatkan namanya. Kedua, kesadaran itu supaya dijaga baik-baik. Lalu
katanya: “Ambek (pikiran) kembalikan
ke dalam pramana”. “Bagaimanakah
caranya mengembalikan ambek ke dalam pramana?”.
Demikian citta, buddhi, manah supaya ditarik, biarkan ia
berwujud kesadaran yang terang, bagaikan sphatika
(permata putih), seperti permata sphatika. Bila tajamnya sudah tidak terganggu
lagi, maka yang demikian disebut sphatikajnana namanya. Bila cahaya sphatikajnana bersinar tanpa gangguan
apa-apa, maka akan dibakarnya sarwa tattwa (semua unsur), subhasubhakarma (perbuatan baik dan
buruk). Apa yang dipakai membakar subhakarma
dan sarwatattwa? Demikian. Sphatikajnana
tempatkan dalam brahmasthana. Bila
sudah bagus tempatnya, maka bayangkanlah bahwa sarwatattwa dan subhasubhakarma
telah hangus terbakar menjadi abu. Itulah yang disebut memuja, berhoma dalam
kundajati (tungku sejati) namanya, yang menghilangkan segala klesa (cemar). Yang
demikian itulah dharanayoga namanya.
E. Etika dan Konsep Kesempurnaan
Yoga berarti penghentian goncangan-goncangan
pikiran. Ada lima keadaan yang ditentukan oleh intensitas sattwam, rajas,
dan tamas. Kelima keadaan pikiran itu ialah:
1.
Mudha artinya tidak diam-diam.
Dalam keadaan ini
pikiran itu diumbangbingkan oleh rajas, dan tamas serta
ditarik-tarik oleh objek indria dan sarananya. Pikiran melompat-lotmpat dari
satu objek ke objek yang lain tampa
mengacu kepada satu objek
2. Mudaha artinya lamban atau malas.
Ini disebabkan oleh pengaruh tamas yang menguasai alasan pikiran.
Akibatnya orang yang alam pikirannya dimikian cendrung menjadi bodoh, senang
tidur dan sebagainya.
3.
Wiksipta artinya bingung atau kacau.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh rajas. Karena pengaruh ini pikiran
mampu mewujudkan semua objek dan mengarahkan pada kebijakan, pengetahuan dan
sebagainya. Ini merupakan tahap pemusatan pikiran pada suatu objek namun
sifatnya sementara sebab akan disusul lagi oleh kekuatan pikiran.
4.
Ekagra artinya terpusat.
Di sinilah citta
terhapus dari cemasnya rajas sehingga satwamlah yang menguasai pikiran.
Ini merupakan awal pemusatan pikiran pada sauatu objek yang menginginkan ia
mengetahui alam nya yang sejati sebagai persiapan untuk menghentikan
perubahan-perubahan pikiran.
5.
Nirudha artinya terkendalih semua pikiran, hanya ketenanganlah yang
ada.
Ekagra dan nirudha
merupakan Persiapan dan bantuan untuk mencapai tujuan. Lahir yaitu kelepasan. Ekagra
bila dapat berlangsung terus-menerus disebut samprajanata yoga atau
meditasi yang dalam, yang padanya ada perenungan kesadaran akan sesuatu objek
yang terang. Tingkatan nirudha juga disebut asamprajnata yoga,
karena semua perubahan dan goncangan pikiran berhenti, tiada satu pun diketahui
lagi oleh pikiran, dalam keadaan demikian tak ada riak-riak gelombang kecil
sekalipun pada permukaan alam pikiran atau citta itu. Inilah yang
dinamakan orang Samadhi dalam ajran yoga.
Ada empat macam samprajnata
dalam ajaran Yoga menurut jenis objek renungannya. Keempat jenis samprajnata
itu ialah:
1.
Sawitarka ialah bila pikiran itu dipusatkan pada suatu
objek yang benda kasar seperti arca dewa atau dewi.
2.
Sawicara ialah pikiran itu dipusatkan pada suatu objek yang halus
yang tidak nyata seperti tanmatra.
3.
Sananda ialah bila pikiran itu dipusatkanpada suatu objek yang
halus seperti rasa indria.
4.
Sasmita ialah bila pikiran itu dipusatkan pada asmita yaitu
anasir rasa aku yang biasanya Roh menyamakan dirinya dengan anasir ini.
Dengan
tahap-tahap pemusatan pikiran seperti yang disebut di atas maka ia akan
mengalami bermacam-macam alam objek dengan atau tanpa jasmani dan
meninggalkannya satu persatu hingga akhirnya citta meninggalkannya sama
sekali dan seorang mencapai tingkat asamprajnata dalam Yoganya. Untuk
mencapai tingkat ini orang harus melaksanakan praktek. Yoga dengan cermat dari
dalam waktu yang lama melalui tahap-tahap yang disebut astangga yoga.
Ajaran Yoga
mengatakan bahwa kelepasan itu dapat dicapai melalui pandangan spiritual pada
kebenaran Roh sebagai suatu daya hidup yang kekal yang berbeda dengan badan dan
pikiran. Pandangan spiritual seperti tersebut di atas ini hanya dapat dimiliki
bila pikiran itu bersih, tenang tak digoyahkan oleh suatu apapun juga. Untuk
meningkatkan kebersihan pikiran itu Yoga mengajarkan adanya delapan jalan yang
bertahap-tahap yang disebut astangga yoga.
Astangga Yoga adalah delapan tahapan Yoga, yaitu:
1. Yama.
Yang artinya
pengendalian diri yang terdiri dari lima
perintah
a. Ahimsa artinya tidak
membunuh-bunuh, tidak menyakiti makhluk hidup.
Tidak melakukan kekerasan, tidak melukai makhluk lain maupun dalam pikiran,
perkataan dan perbuatan termasuk dalam ahimsa.
b.
Satya artinya kebenaran dalam berkata-kata, perbuatan manapun dalam pikiran.
Seorang Yogin, pelajar kebenaran, mendapat kepuasan dari apapun yang
dipikirkan, dibicarakan dan dilakukan olehnya. Dengan demikian maka semua tindakannya
dikoordinasikan sepenuhnya dengan akibatnya.
c.
Asteya artinya pantang mengingini sesuatu yang bukan milikinya
sendiri atau pantang mencuri. Pantang ini haruslah berlaku dalam pikiran,
perkataan dan perbuatan. Seseorang yogin tidak akan merasa sulit untuk
memperoleh apa pun yang dikehendaki olehnya, tidak ada kekurangan baginya,
seolah-olah emas dan intan menjadi milikinya.
d.
Brahmacarya artinya pantang kenikmatan seksual atau mengendalikan nafsu asmara.
e.
Aparigraha artinya tidak menerima pemberian yang tidak penting dari orang lain.
Seorang Yogin tidak menghendaki hidup yang berlebihan, melainkan hidup yang
sedang sesuai dengan apa yang diperlukan. Disamping itu mereka hendaknya memahami makna
kehidupan dan kematian dalam Dunia ini.
Kelima Yama
sebagai yang disebut di atas merupakan suatu keharuskan bagi seorang yogin atau
pelajar Yoga. Patanjali sendiri menyebut kelima yama dengan nama mahavrata
atau janji-janji besar, kaul-kaul yang mengikat. Tidak diperkenankan untuk
melanggarnya, karena akan mengakibatkan kegagalan dalam Yoga.
Patanjali
mengatakan bahwa kelima yama itu wajib dilakukan dan dipertahankan dalam
tiap keadaan. Karena yama merupakan kode kelakuan yang universal (Sarvabhauma
mahavrata). Kelima perintah agung ini hendaknya diterima secara
universal dan tidak memerlukan penafsiran. Mereka merupakan kode alamiah untuk
makhluk manusia.
2. Niyama.
Niyama artinya
pengendalian diri lebih lanjut, ia terdiri dari:
a.
Sauca artinya suci lahir batin. Seorang siswa Yoga sangat
dianjurkan melakukan sauca untuk meningkatkan kesucian dirinya. Mereka
hendaknya memiliki pikiran, indria-indria yang bebas dari nafsu yang
bertentangan dengan kesucian. Sauca juga menganjurkan kebijakan yang berikut: Sattwasuddhi yaitu kesucian pikiran
untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Saumanasya
yaitu hati yang selalu gembira. Ekagrata
yaitu pemusatan budhi. Atmadarsana
yaitu realisasi diri. Kelima kebijakan itu akan dapat dicapai oleh seoarang yogin dengan melaksanakan sauca atau kesucian dalam pikiran,
perkataan dan perbuatan.
b.
Santosa artinya puas dengan apa yang datang dengan wajar. Kebijakan ini
mengantarkan pada kesenangan yang tak terkatakan. Sebaliknya ketidak puasan
mengakibatkan kegoncangan mental, sehingga apa yang telah tercapai, dimiliki
atau diwujudkan, kehilangan daya penarikannya dan kegoncangannya yang
diakibatkan itu menimbulkan rantai kesakitan. Kepuasan timbul dari kebiasaan
untuk mensyukuri segala yang didapat atau yang datang secara wajar. Seorang
yogin adalah seorang ateis yang mengnal batas-batas dan tidak pernah menganggap
diri tinggi, sehingga dengan demikian ia tidak pernah kecewa. Seorang yogin
adalah aktifitas yang dipribadikan karena itu tidak menjadikan non aktif,
bahkan membantunya dalam melakukan usaha-usaha yang baru. Kepuasan yang ada dalam
dirinya merupakan kesenangan yang transenden.
c. Tapa artinya tahan uji tergadap
ganguan-gangguan. Tapa menghasilkan kepuasan semua kebutuhan badan dan
alat-alatnya melalui pantangan badan
menjadi lebih kuat dan bebas dari noda-noda gangguan yang bertentangan
dengan dharma.
d. Swadhyaya artinya seseorang memplajari
buku-buku agama dengan teratur.
Melalui swadyaya
seseorang akan dapat mendekatkan dirinya kepada hal-hal yang bersifat ketuhanan
dan pula dapat memuaskan dirinya dalam hidup ini. Seseorang akan memperoleh
sesuatu dari apa yang dipelajarinya. Direnungkan dan dari siapa yang dipuja
olehnya. Hal
ini dikenal sebagai istadewata-suprayogah yaitu persatuan dengan apa yang
dicita-citakan.
e.
Iswarapranidhana artinya memusatkan pikiran dan bhakti kepada Tuhan.
Iswarapranidhana dapat mengantar seseorang untuk mencapai Samadhi
yaitu supra-sadar-transenden
3.
Asana
Asana aratinya sikap duduk
yang dituntun menjadi sikap yang kuat dan menyenangkan. Ada bermacam-macam asana seperti padmasana,
silaasana, wajarasana dan sebagainya. Untuk dapat melaksanakan
semuanya ini dengan baik perlu tuntunan seseorang guru. Kesehatan dan kesegaran
badan sangatlah penting dalam
mengendalikan pikiran. Dalam hubungan ini yoga mengajarkan bermacam-macam asana
untuk memelihara kesehatan dan menyucikan badan serta pikiran. Demikian pula asana
ini menyebabakan orang mampu mengendalikan kerja sistem syaraf terhindar dari
goncangan-goncangan pikiran. Sikap asana dalam ajaran yoga berjumlah
delapan yang perinciannya sebagai berikut; (1) rwnagan asana (sikap
berdiri di atas bahu), (2) Hala-asana (sikap bajak), (3) bhujangga
asana (sikap kobra). (4) Dhanuh-asana (sikap bujur). (5) Salabhu-asana
(sikap belalang). (6) Pascimotatana-asana (sikap melurus kemuka). (7) Padahasta-asana
(berdiri membungkuk ke muka). (8) arada-matsyendrana (sikap
berputar). (9) Wajra-asana (sikap busur tabah) (10) sputa wajra asana
(sikap punggul). (11) runuh wajara asana (sikap bujur tabah). (12)
mayura-asana (sikap merak). (13) padma asana
(sikap) (14) matsya-asana (sikap ikan). (15) badha padma asana
(sikap teratai guru). (16) kukkuta-asana (sikap ayam jantan). (17) uttanan-kumaka-asana
(sikap penyu) (18) Sirsa asana (sikap badan terbalik).
Semua sikap asana sebagai yang
tersebut di atas akan membantu seorang dalam usahanya untuk maju dalam bidang
yoga. Tetapi tidaklah mesti dilakukan semuanya, melainkan dapat dipilih sesuai
dengan kesenangan dan kemampuan seseorang.
Patanjali
tidak mengutamakan sikap-sikap asana tertentu. Ia berpendapat bahwa sikap
manapun untuk menguasai budhi, yang tidak terlalu memaksa anggota yang dapat
dipertahankan cukup lama oleh seorang yogin adalah baik baginya. Dengan
bertolak dari kondisi ini seorang yogin haruslah menentukan sikap asana
yang cocok baginya. Bila seorang yang
mulai berlatih merasa kesulitan maka janganlah ia bersusah hati tentang hal
itu, ia dapat menemukan sendiri sikap-sikap asana yang mana dapat
membantu untuk maju dalam latihannya. Hendaknyalah seorang menganggap bahwa
tiap asana sebagai sukha asana yaitu asana yang menyenangkan.
4. Pranayama
Pranayama
artinya pengaturan nafas. Pranayama ini terdiri dari puraka yaitu
pemasukan nafas, kumbhaka yaitu menahan nafas dan recaka yaitu
menggeluarkan nafas. Pengaturan nafas berguna untuk mengawasi pemusatan pikiran
sebab ia membantu menguatkan pikiran dan mengukuhkan pikiran.
5. Pratyahara
Pratyahara
artinya menarik indria dari wilayah sasarannya dan menempatkannya di bawah
pengawasan pikiran. Bila indria dapat diawasi oleh pikiran maka ia tidak akan kepikiran.
Hal ini bukanlah mudah, ia dapat dicapai melalui latihan yang lama dengan penuh
kesabaran. Alat-alat indria ini cenderung untuk mengejar nafsunya, mata
mengejar keindahan warna dan bentuk, telinga mengejar bunyi dan nada, lidah
menikmati rasa lezat, hidung mencari bau yang harum yang semerbak, peraba ingin
memegang dan memeluk apa yang halus. Tiap alat indria memiliki tugasnya
maing-masing. Tiap alat indria memiliki tugasnya masing-masing, tetapi semuanya
merindukan kenikmatan yang khas.
Seorang
yogin yang membebaskan diri dari pengaruh indrianya, bila ia melihat dan
mendengar sesuatu maka ia tidak akan terikat oleh semua itu. Yang harus ia
hindarkan ialah nafsunya, bukan pengelihatan atau pendengaran bahkan bukan
kemampuan menafsirkan apa yang dilihat atau di dengarnya itu. Dengan demikian
syarat pratyahara yang pertama ialah untuk melepaskan alat-alat indria
dari nafsunya masing-masing. Syrat pratyahara yang kedua menurut
patanjali, adalah upaya alat-alat indria itu dalam hubungannya dengan
nafsu-nafsu, disejajarkkan dengan aktivitas citta dalam bentuknya yang asli (swarupa)
melainkan citta yang bebas dari kegoncangan, itulah citta dalam bentuknya yang
murni.
Pratyahara
dalam hubungannya dengan yoga, selalu ditunjukkan kepada Tuhan dan dibimbing
oleh Tuhan. Tujuan seorang yogin yang melatih pratyahara adalah untuk
melepaskan alat-alat indrianya dari hasrat duniawi, agar ditujukan kepada Tuhan.
Dengan demikian hendaklah alat-alat indria itu dikuasai oleh budhi dan akhirnya
budhi itulah yang mesti dikuasai dan diarahkan. Dayananda mengatakan “bilamana
tercapai penguasaan budhi, dan budhi tidak berlari mengejar objek-objek,
melainkan hanya mencari Tuhan dan renungan beliau, maka terciptalah pratyahara
alat-alat indria dengan sendirinya”. Penundukan alat indrianya terletak pada
pendudukan budhi.
Penguasaan
budhi bukanlah suatu hal yang mudah, hal ini lebih jauh dikemukakan oleh Vivekananda
bahwa budhi manusia itu dibandingkan dengan kera. Yang ia maksudkan adalah
seekor kera yang tidak dapat diam seperti kera biasa. Kemudian seseorang itu
membuat kera itu mabuk dengan anggur dan akhirnya kera itu disengat oleh
kalajengking. Kini byangkanlah seekor kera yang mabuk dengan anggur dan
disengat kalajengking. Budhi manusia itu menyerupai itu. Budhi manusia itu
mabuk karena anggur, hasrat-hasrat yang bermacam-macam dan tambahan lagi budhi
itu disengat kalajengking, berupa kedengkian dan kebencian, kemudian setan
kesombongan juga sudah memasuki budhi itu. Sebaiknya anda harus mengontrol
budhi yang semacam itu. Dan perlu diingat bahwa anda tidak dapat mencapai dhyana
dan samadhi, bila budhi tidak dikuasai.
6. Dharana
Dharana
adalah memegang dan memusatkan pikiran pada sasaran yang diinginkan. Sasaran
yang diinginkan itu boleh bagian-bagian tubuh sendiri seperti dahi, boleh juga
objek luar seperti bulan, arca dan sebagainya. Kemampuan untuk memegang pikiran
tetap terpusat pada suatu objek adalah ujian memasuki tingkatan yoga yang lebih
tinggi.
7. Dhyana atau Kontemplasi
Dhyana
berarti alirran pikiran yang tenang pada objek tak tergoyahkan oleh gangguan
sekelilingnya. Hal ini menyebabkan orang memiliki gambaran yang jelas tentang
bagian- bagian objek renungannya. Patanjali dalam Yogasutra III.2 mengartikan dhyana
sebagai berikut: Tatra pradyaya ekatanata dhyanam”
artinya arus budhi yang tak terputus-putusnya menuju pratyahara atau tujuan,
itulah renungan atau dhyana. Seperti sungai mengalir terus kelaut, maka
segenp kesadaran diri mulai mengalir terus menerus ke arah tuhan atau diri
agung. Bila hal ini terjadi,maka itullah dhyana. Jadi wujudnya sebagai
pelenyapan segenap usaha diri rendah menuju tercapainya Tuhan. Jiwa melalui dhyana
telah tiba di pintu gerbang persemayamannya.
8. Samadhi
Tahap
terakhir dari astangga yoga adalah samadhi. Samadhi
juga disebut keadaan supra sadar transenden. Dalam samadhi pikiran telah
lebur menyatu dengan objek renungan dan tidak ada kesadaran akan dirinya
sendiri. Dalam dhyana antara gerak pikiran dengan objek renungan masih
terpisah. Namun dalam samadhi hal itu sudah tidak ad lagi. Maka yang ada
hanyalah objek renungan yang bercahaya dalam pemikiran dan seseorang tidak
menyadari lagi adanya proses pikiran. Dengan demikian samadhi bukan lagi
pengendalian pikiran seperti tahap-tahap sebelumnya. Tahap-tahap yang
mendahuluinya hanya sarana untuk meningkatkan pada tujuan akhir. Dari tingkat
yama sampai dengan pratyahara disebut bahirangga sadhana
artinya pertolongan dalam bentuk lahir menuju ajaran Yoga yang lebih tinggi,
sedangkan dari dharana sampai dengan samadhi disebut antar angga
saddhana artinya sarana batin.
Samadhi adalah persatuaan yang sempurna dari yang di
cintai, pencinta dan kecintaan. Seorang Yogin yang telah mencapai Samadhi
atau supra kesadaran transenden sepenuhnya teresap dalam Tuhan. Dalam Dunia
lahir, purusa yang ada dalam badan jasmani mempersamakan dirinya dengan prakerti,
walaupun sebenarnya ia berbeda. Sedangkan dalam keadaan supra sadar transendaen,
Purusa menyamakan dirinya dengan Brahman. Walaupun dalam ajaran Yoga hal
tersebut berbeda. Dalam hal ini Samadhi adalah suatu keadaan penyamaan,
bilamana ia bangun dari Samadhi ia berbeda lagi dengan Brahman.
Dalam Maitri Upanisad
VI.34. ada disebutkan tentang keadaan tertinggi yaitu Samadhi yang dicapai oleh
seseorang merupakan suatu kebahagiaan yang tak dapat diuraikan, yang dinyatakan
demikian:
Sebagai api, yang
kehabisan bahan bakar,
Terpadamlah dalam
sumbernya sendiri.
Demikiaanlah pikiran yang
kehilangan aktivitasnya,
Terpadamlah
dalam sumbernya sendiri.
Menjadi terpadam dalam
sumbernya sendiri karena budhi mencari yang sejati,
Bagi seseorang yang
terlibat oleh hal-hal indriya,
Menyusullah kekuasaan yang
palsu,
Dengan noda-noda budhi suci
hilang melalui pemusatan,
Alangkah bahagianya dia
yang memasuki Atman,
Tak mungkin menguraikannya
dengan bahasa,
Orang harus mengalaminya
sendiri dalam batin.
Dalam keadaan Samadhi
tercapailah penyelamatan karena wahyu Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam
Manduka Upanisad, III.1.3. sebagai berikut;
Bilamana penglihat
melihat yang cemerlang,
Pencipta,
Tuhan, Brahmana, Sumber,
Maka
sebagai pengenal yang baik dan jahat,
Tanpa noda, ia mencapai identitas
utama (samya).
Samadhi
dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu:
1) Samprajanata Samadhi yaitu Samadhi
yang disertai Prajna atau kesadaran. Dalam tingkat ini ada Samskara
yaitu sifat yang tinggal yang belum dihapuskan seluruhnya. Karena masih
mengandung benih Samskara, maka Samadhi yang demikiaan ini dapat
pula disebut Sabija Samadhi.
2) Asamprajnata Samadhi yaitu Samadhi
yang tidak disertai Prajna. Samadhi ini lebih tinggi tingkatnya
dari yang terdahulu, yang sering pula disebut Nirbija Samadhi,
karena masih mengandung benih Samskara
NASTIKA DARSANA

Nastika Darsana adalah bagian terakhir pembahasan filsafat Darsana.
Filsafat Nastika adalah filsafat yang menentang otoritas dan kewenangan Weda.
Filsafat ini dipelajari dalam filsafat Darsana bertujuan untuk lebih mengetahui
pemikiran-pemikiran yang menetang otoritas Weda. Astika merupakan aliran filsafat yang bersifat ortodoks yang
menerima otoritas Weda. Sedangkan Nastika merupakan aliran filsafat yang bersifat
hererodoks yang tidak menerima otoritas atau kewenangan Weda (Maswinara, 1999:6). Yang termasuk dalam kategori Astika adalah Mimamsa, Vedanta, Sankhya, Yoga, Nyaya dan Vaisesika. Sedangkan
filsafat yang dalam kategori Nastika
adalah Carvaka, Buddha dan Jaina.
Sehingga jumlah filsafat India terdiri dari sembilan filsafat, atau dikenal
dengan istilah Nava Darsana.
Kelompok
aliran heterodoks, tiga yang utama adalah aliran filsafat materialistis seperti
Carvaka, Buddha dan Jaina (Maswinara,
1999:6). Materialism adalah nama doktrin metafisika yang menyatakan bahwa
benda-benda material adalah satu-satunya kenyataan. Doktrin ini mencoba untuk
mengungkapkan bahwa akal pikiran dan kesadaran adalah produk Dunia material.
Pada dasarnya pandangan ini materialism ini menyatakan tendensi yang berusaha
untuk merendahkan nilai-nilai yang mulia, ke arah yang lebih rendah, atau
mengungkapkan gejala yang lebih mulia dengan gejala yang lebih rendah. Dalam
hal ini materialism bertentangan dengan interpretasi spiritual alam semesta
ini. Inilah arti materialism dalam pandangan Hindu (Pendit, 2005:43). Lebih jelasnya dipaparkan secara rinci dan
singkat berikut ini:
I Filsafat Carvaka
A. Pemahaman Filsafat Carvaka
Nama yang diberikan terhadap ajaran yang
memandang materi sebagai satu-satunya realitas, adalah materialisme. Ajaran ini
mencoba untuk menjelaskan pikiran dan kesadaran sebagai hasil dari materi.
Dalam anggapan umum, materialisme menyatakan kecendrungan-kecendrungan yang
berusaha untuk menurunkan yang lebih tinggi menuju yang lebih rendah atau
menjelaskan fenomena yang lebih tinggi dalam sinar penerangan yang lebih
rendah. Dalam hal ini ia bertentangan dengan penafsiran spiritual. Tentang alam
semesta.
Walaupun
materialisme dalam beberapa bentuknya selalu dimunculkan di India, dan
sekali-sekali referensinya dijumpai dalam kitab Weda, kepustakaan Bhudhiss,
kitab-kitab Epos, demikian juga dalam karya-karya filsafat belakangan ini, kita
tidak menemukan suatu karya sistematis mengenai materialisme ini atau pun suatu
aliran pemikiran para pengikutnya yang terorganisir seperti yang dimilki aliran
pemikiran filosofis lainnya. Tetapi, untuk menjaga nama baiknya hampir setiap karya aliran filsafat lain
menyatakan pantangan materialistis ini. Pengetahuan materialisme India terutama didasarkan pada hal ini.
‘Carvaka’ adalah sebuah kata yang umumnya
menyatakan ‘materialistis’. Tetapi makna aslinya terselubungi dalam kerahasiaan.
Menurut pandangan seseorang, kata ‘Carvaka’ aslinya merupakan nama seorang
bijak yang mengemukakan sistem materialisme ini. Nama umum ‘Carvaka’ diambil dari nama beliau dan
yang berarti para pengikut dari orang bijak tersebut, yaitu kaum
materialistis..
Menurut pandangan lainnya, kata ‘Carvaka’
aslinya bahkan merupakan suatu nama uraian umum yang diberikan kepada seorang
materialistis, apakah karena Ia menganjurkan ajaran tentang ‘makan, minum dan
menikah’ (carv-makan), ataupun karena kata-katanya menyenangkan dan
manis (caru-manis; vat-kata-kata). Beberapa orang penulis juga
mengangap brhaspati sebagai pendiri sistem materialisme ini. Pandangan
ini didasarkan pada kenyataan-kenyataan berikut: (a) Bahwa beberapa buah
puji-pujian Veda, yang secara tradisi dilukiskan Brhaspati, sebagai putra loka,
ditandai oleh semangat revolusi dan kebebasan berpikir, (b) Bahwa dalam kitab
Mahabharata dan dimanapun juga, pandangan materialistis dikatakan Bhraspati,
(c) Bahwa, kira-kira selusin sutra dan sloka dikutip dan diambil sebagai
referensi oleh berbagai penyusun yang berbeda-beda, sebagai ajaran
materialistic dari Brhaspati. (Pendit, 2005: 44-45). Bahkan beberapa orang mengatakan bahwa Brhaspati, sebagai gurunya para Dewa,
telah menyebar luaskan pandangan materialistis ini diantara para raksasa
(sebagai musuh para Dewa) sehingga dengan mengikuti ajaran-ajaran yang menarik
hati ini mereka sampai pada kehancurannya.
Tetapi, siapapun pendiri dari siatem
materialisme ini, ‘carvaka’ telah menjadi sinonim dari
materialistis. Kata yang dipergunakan untuk menyatakan materialisme juga adalah
lokayatamata yaitu pandanyan orang awam sehingga seorang
materialistis juga disebut lokayatika. Walaupun gagasan materialistis
terpencar-peccar di sana sini, mereka dapat disistimatisir dan disajikan atas
dasar tiga pokok utama yaitu epistemology, metafisika dan etika (Maswinara,
1999:26).
Keseluruhan
filsafat Carwaka dapat dikatakan secara logis bergantung pada epistemologinya
atau teori pengetahuan masalah pokok dari estimologi adalah seberapa dauh kita
mengenal realitas? bagaimana pengetahuan itu muncul dan berkembang? pertanyaan
terakhir ini meliputi seluruh permasalahan: apakah sumber dari pengetahuan
tersebut? permasalahan–permasalahan ini membentuk salah satu topik utama dari
epistemology India. Pengetahuan tentang realitas atau pengenalaan yang sah
disebut prama dan sumber pengetahuan semacam itu disebut pramana.
Carwaka memandang bahwa hanya persepsi sajalah satu-satunya pramana atau sumber
pengetahuan yang dapat dipercaya. Untuk menegakkan posisi ini ia mengkeritik
kemungkinan sumber lain dari pengetahuan, seperti: penyimpulan dan kesaksian yang dianggap
sebagai pramana yang sah oleh banyak filosuf (Maswinara, 1999:27).
Nama yang
diberikan terhadap ajaran yang memandang materi sebagai satu-satunya realitas,
adalah materialistis. Ajaran ini
mencoba untuk menjelaskan pikiran dan kesadaran sebagai hasil dari materi. Pada
dasarnya pandangan materialisme ini menyatakan tendensi yang berusaha untuk
merendahkan nilai-nilai yang mulia, kearah yang lebih rendah, atau
mengungkapkan gejala yang lebih mulia dengan gejala yang lebih rendah. Dalam
hal ini materialism bertentangan dengan interpretasi spiritual alam semesta ini
inilah arti materialisme (Pendit, 2005:43).
Para
ilmuwan dibidang filsafat beranggapan bahwa istilah Carvaka berasal dari
nama seorang guru (Rsi) yang menganjurkan paham ini. Kemudian kata ini
diartikan sama dengan orang yang menganut aliran ini, yaitu materialistis, yang
mengajarkan doktrin makan, minum dan bersenang-senang (carv = makan). Seperti misalnya ucapan kata-kata manis dan
menyenangkan (piva khada ca varalo cane).
Dalam hubungan ini, serperti istilah Carvaka,
lokayata adalah istilah Sanskerta untuk materialism. Kekayaan dan
kenikmatan merupakan tujuan hidup manusia. benda dapat berpikir. Tidak ada Dunia lain, kematian adalah
akhir segalanya (Pendit, 2005:44).
1. Penyimpulan yang Tidak Pasti
Bila penyimpulan itu dianggap sebagai
suatu pramana ia harus menghasilkan pengetahuan yang membuat kita tidak
ragu-ragu dan harus menjadi nyata bagi realita itu. Tetapi penyimpulan tak
dapat memenuhi kondisi ini karena mana kala kita umpamanya menyimpulkan adanya
api disebuah gunung dari persepsi adanya asap di sini maka kita akan menerima
sesuatu yang dikerjakan tanpa mengetahui bagaimana hasilnya nanti, dari asap
yang terlihat terhadap adanya api yang tak terlihat. Ahli ilmu logika seperti
kaum naiyayika, mungkin akan menunjukkan bahwa lompatan semacam itu
dibenarkan oleh pengetahuan sebelumnya tentang keserentakan yang tetap antara
asap dan api, dan bahwa penyimpulan yang dinyatakan sepenuhnya akan menjadi
segala permasalahaan tentang asap juga merupakan permasalahan api di mana
gunung itu merupakan satu kasus tentang asap, sehingga ia juga merupakan kasus
tentang api.
Carwaka
menunjukkan bahwa
pendirian ini hanya dapat diterima bila mana dalil utama yang menyatakan
hubungan yang tetap antara syarat menengah (asap) dan utama (api), benar-benar
meyakinkan. Tetapi hubungan yang tetap (vyapti)
hanya dapat ditegakkan bila kita memiliki pengetahuan tentang semua kasus
tentang asap dan kehadiran api. Bagimana pun
juga hal ini tak mungkin, karena kita tidak dapat mengetahui seluruh kasus
tentang asap dan api yang sekarang ada pada bagian Dunia yang berbeda-beda,
untuk tak mengatakan sesuatu pun tentang hal itu yang ada di masa lalu ataupun
yang akan ada nanti, oleh karena itu, ketidak tetapan hubungan universal (vyapti) dapat ditegakkan dengan
persepsi. Keduanya tidak dapat dikatakan sebagai dasar pada penyimpulan lain,
karena itu akan meliputi suatu ‘patitio
principii’ (menimbulkan pertanyaan lain), karena validitas dari penyimpulan
itu harus sama-sama dibutuhkan. Atau
vyapti ini tidak dapat didasarkan
pada kesaksian (sabda) dari yang
dapat dipercaya (yang menyatakan bahwa semua kasus asap adalah kasus api juga). Karena validitas kesaksian itu sendiri perlu di
buktikan dengan penyimpulan. Disamping itu, bila penyimpulan selalu bergantung
pada kesaksian, maka tak seorang pun dapat menyimpulkan sesuatu oleh dirinya
sendiri.
Tapi hal itu dapat dipertanyakan walaupun
tak mungkin untuk mengetahui segala kasus tentang asap dan api secara pribadi,
apakah tak mungkin untuk mengetahui watak kelompok tetap (samanya) seperti
‘sifat asap’ dan ‘sifat api’ yang harus hadir secara tetap dalam segala contoh
dari asap dan api? Bila demikian, tidak dapatkah kita mengatakan bahwa setidak-tidaknya kita memahami
hubungan antara sifat asap dan sifat api dan dengan bantuannya berkesimpulan
akan adanya api dimanapun kita melihat adanya asap.
Kaum Carvaka menjawab bahwa walaupun kita
mengakui persepsi dari hubungan antara sifat asap dan sifat api, kita tak dapat
mengetahui dari sana hubungan tetap antara semua kasus individual dari asap dan api. Untuk mampu menyimpulkan
api tertentu, kita harus tahu bahwa itu merupakan hubungan yang tak terpisahkan
terhadap asap tertentu yang terlihat itu. Dalam kenyataannya kita bahkan tak
mungkin untuk mengetahui dengan persepsi ‘sifat asap’ apa atau tingkat karakter
universal apa yang ada dalam semua contoh asap tertentu tersebut, karena kita
tidak menerima seluruh kasus asap itu. Apa yang dijumpai sebagai kehadiran
secara universal dalam memahami kasus asap tersebut mungkin tidak ada dalam
kasus yang tak diterima. Kesulitan pemahaman dari yang tertentu menuju yang
universal tetap ada di sini seperti sebelumnya.
Tetapi itu dapat dipertanyakan sebagai
berikut: bila kita tidak mempercayai pada hukum universal yang ditetapkan yang
mendasari fenomena Dunia ini bagaimana mungkin kita menjelaskan keseragaman
yang dimiliki obyek-obyek yang dialami itu? Mengapa api selalu dialami sebagai
panas dan air sebagai dingin. Kaum Carvaka menjawab hal itu disebabkan oleh
sifat bawaan (svabhava) dari benda-benda yang memiliki karakter
tertentu. Tak ada pengandaian supranatural yang diperlukan untuk memberikan
penjelasan tentang sifat-sifat dari obyek-obyek alam yang dialami. Dan juga tak
ada suatu jaminan bahwa keseragaman yang di pahami di masa lalu akan berlanjut
di masa depan.
Siswa modern tentang logika penyimpulan
akan tergoda untuk menanyai kaum Carvaka “Tidak dapatkah kita mendasarkan
pengetahuan kita tentang hubungan tetap antara asap dan api pada hubungan
kausal antara mereka?” Kaum Carvaka menjawab bahwa hubungan kausal hanya terjadi sebagai hubungan tetap dan tak
dapat dikukuhkan oleh persepsi kesulitan yang sama.
Kaum Carvaka selanjutnya akan menunjukkan
bahwa hubungan tetap kausal atau lainnya tak dapat dikukuhkan semata-mata oleh
persepsi berulang-ulang dari dua hal yang terjadi bersama-sama. Karena orang
harus yakin bahwa tak ada kondisi yang lain yang tak dipahami (Upadhi)
sebagai tempat bergantung hubungan tersebut. Umpamanya, bila seseorang
mengetahui beberapa kali adanya api yang disertai asap pada kesempatan lain ia
menyimpulkan adanya asap pada api yang dilihatnya, ia akan cenderung pada
kesalahan, karena ia gagal untuk memperhatikan suatu kondisi (Upadhi),
yaitu basahnya kayu bakar, karena hanya pada kondisi itulah api diselimuti oleh
asap. Selama hubungan antara dua fenomena itu tidak terbukti sebagai tak
terkondisikan, maka itu merupakan dasar yang tidak pasti bagi suatu
penyimpulan.
Dan tak terkondisikan atau absennya
kondisi itu tak dapat dikukuhkan mengatasi keragu-raguan dengan persepsi,
seperti beberapa kondisi yang mungkin selalu tersembunyi dan terlepas dari
perhatian. Penyimpulan atau penyaksian tak dapat dipergunakan untuk membuktikan
yang tak terkondisikan ini tanpa menimbulkan pertanyaan karena keabsenannya
juga akan dipertanyakan di sini.
Benar bahwa dalam kehidupan ini kita
sangat sering berbuat tanpa kecurigaan sama sekali terhadap penyimpulan. Tetapi
hal itu hanya menunjukkan bahwa kita bertindak tidak kritis pada kepercayaan
salah yang kita simpulkan sebagai benar. Itu merupakan suatu kenyataan bahwa
kadang-kadang penyimpulan kita benar dan menghantar pada keberhasilan. Tetapi
juga merupakan suatu kenyataan bahwa kadang-kadang penyimpulan itu membawa kita
pada kekeliruan. Kebenaran kemudian bukanlah suatu karakter yang tiada habis-habisnya
dari segala penyimpulan tetapi hanya merupakan suatu kecelakaan dan suatu
penyimpulan yang dapat dipisahkan, yang hanya kita jumpai dalam beberapa
penyimpulan. Oleh Karen itu, penyimpulan tak dapat dianggap sebagai suatu
pramana/suatu sumber pengenalan pasti yang sah (Maswinara, 1999:27-30).
2. Penyaksian Bukanlah Sumber Pengetahuan Yang
Aman
Tidak dapatlah kita menganggap penyaksian dari orang
yang berwenang sebagai sumber dari pengetahuan yang sah dan aman? Tidakkah kita
seringkali berbuat atas dasar pengetahuan yang diterima dari suatu otoritas?
Kaum Carvaka menjawab bahwa kesaksian terdiri dari kata-kata (sabda).
Sejauh kata-kata itu didengar melalui telinga kita, maka ia dapat diterima
(dipahami). Oleh karena itu, pengetahuan dari kata-kata melalui persepsi masih
tetap sah; tetapi seberapa jauh kata-kata ini terlintas atau tidak masuk dalam
pemahaman kita dan membantu dalam memberikan pengetahuan tentang obyek-obyek
yang tak diketahui itu kepada kita, mereka tidak bebas dari kesalahan-kesalahan
ataupun meragukan. Sangat sering kita disesatkan oleh otoritas-otoritas semacam
itu. umpamanya otoritas Veda, dipandang sangat berharga oleh banyak orang
tetapi dalam kenyataannya Veda merupakan karya beberapa orang pendeta licik
yang memperoleh penghidupan mereka dengan cara membohongi orang-orang bodoh dan
mereka yang mudah percaya. Dengan harapan janji-janji palsu, Veda membujuk
orang-orang untuk melaksanakan upacara-upacara Vedik, di mana manfaatnya yang
jelas hanya dinikmati para pendeta yang melayani dan mendapatkan upah dari
padanya.
Tetapi bukankah pengetahuan kita akan
sangat terbatas dan kehidupan praktis akan tak mungkin dijalani, apabila kita
tidak mengindahkan kata-kata dari mereka yang berpengalaman dan tidak
bergantung pada nasehat ahlinya? Carvaka menjawab bahwa selama kita bergantung
pada suatu otoritas karena kita berpikir bahwa itu dapat dipercaya, pengetahuan
yang diperoleh benar-benar di dasarkan pada penyimpulan karena kepercayaan kita
muncul oleh proses mental seperti ini, otoritas ini harus diterima karena ia
dapat dipercaya dan semua otoritas yang dapat dipercaya harus diterima. Dengan
mendasarkannya pada penyimpulan, pengetahuan yang diperoleh dari penyaksian
verbal atau otoritas itu sama bahayanya dengan penyimpulan. Dan seperti juga
halnya dalam penyimpulan, di sini kita sering bertindak berdasarkan pengetahuan
yang diperoleh dari otoritas pada kepercayaan yang sah, yang dapat dipercaya
tersebut. Kadang-kadang kepercayaan ini secara kebetulan memberikan
keberhasilan kadang-kadang tidak. Oleh karena itu otoritas atau penyaksian tak
dapat dianggap sebagai sumber pengetahuan yang sah dan aman. Karena baik
penyimpulan maupun otoritas dapat dibuktikan sebagai tak dapat dipercaya maka
persepsi harus dianggap sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang sah (pramana)
(Maswinara, 1999:31).
B. Metafisika Menurut Carvaka
Metafisika adalah teori tentang realitas.
Teori kaum Carvaka tentang realitas mengacu pada kesimpulan Epistemologi di atas.
Bila persepsi merupakan satu-satuya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya
secara rasional kita hanya dapat menyatakan realitas-realitas dari obyek yang
dapat di persepsi saja. Tuhan, roh surga, kehidupan sebelum lahir atau sesudah
mati dan hukum-hukum yang dapat dipahami (seperti adrsta) tak dapat
dipercaya, karena semuanya itu di luar penalaran. Hanya obyek-obyek materiallah
satu-satunya yang ada dan yang dapat dipahami dan yang realitasnya dapat
ditentukan. Dengan demikian, kaum
Carvaka memantapkan materialisme atau teori bahwa materi adalah
satu-satunya realitas.
Metafisika adalah teori kenyataan. Teori
kenyataan Carvaka selanjutnya menyatakan
kesimpulan epistemolognya yaitu bahwa persepsi adalah satu-satunya sumber ilmu
pengetahuan yang dapat dipercaya dan benda-benda materi yang dapat dipersepsi. Tuhan, juga jiwa (atman), sorga, dan hidup sebelum kelahiran ini, atau hidup sesudah
kematian dan undang-undang manapun tentang benda-benda materi yang tidak dapat
dipersepsi, tidak dapat dipercaya, sebab semuanya itu adalah di luar persepsi.
Hanya benda-benda materi merupakan objek yang kehadirannya dapat dipersepsi,
dan yang kenyataannya dapat dipastikan. Jadi kaum Carvaka mengambil kesimpulan bahwa materialism atau teori tentang
benda adalah satu-satunya kenyataan.
Pada
umumnya alam pikiran Hindu menyatakan bahwa Dunia materi ini terdiri dari lima
macam unsur asasi (panca mahabhuta),
(1) tanah (ksiti), (2) air (apah), (3) api (agni), (4) udara (vayu),
(5) ether (akasa). Keempat yang
pertama adalah benda-benda materi langsung dikenal pengalaman indria biasa,
sedangkan yang terakhir, ether (akasa)
adalah hasil pengamatan infrensi. Kaum Carvaka
hanya mengakui bukti langsung pengalaman indria, jadi menolak unsur kelima dan terakhir.
Dengan
alasan yang sama, kaum Carvaka
menolak adanya jiwa atau atman sebagai
satuan hidup. Jiwa hanya ada, berkat rangkaian khusus unsur-unsur tersebut,
yang lalu disebut badan jasmani hidup. Kalau hanya persepsi merupakan sumber
pengetahuan, bukankah kita tidak mempunyai suatu persepsi yang dinamakan ingsun
(internal) yang memberi pengetahuan langsung tentang keadaan mental kita? Dan
bukankah kita mempersepsikan dari padanya kesadaran yang tidak dapat dipersepsi
dimanapun juga dalam benda-benda materi luar? Kalau demikian, bukankah hal ini
memaksa kita untuk menerima dan percaya, bahwa pada diri kita ada substansi
yang non material sifatnya, yaitu kesadaran, substansi yang disebut jiwa atau atman?
Kaum
Carvaka mengakui adanya kesadaran
yang dibuktikan oleh persepsi, tetapi mereka menolak bahwa kesadaran adalah
sifat dari non materi yang tidak dipersepsi atau disebut satuan spiritual.
sebab, kesadaran dapat dipersepsi, yang terdiri dari unsur-unsur materi, maka
itu, ia adalah merupakan sifat badan tersebut. Kalau kesadaran milik badan
jasmani ini, maka ia harus bersifat hakiki atau insidentil. Bila hakiki, maka
ia tidak dapat dipisahkan daripadanya dan akan ada selama badan jasmani itu
ada. Tetapi tidak demikian kenyataannya. Sebab dalam keadaan pingsan atau tidur
tanpa mimpi-mimpi, ternyata badan tidak dengannya (Pendit, 2005: 52-53).
Bentuk
wajah badan jasmani, misalnya, dapat dipersepsi baik oleh kita sendiri maupun
orang lain. Tetapi pikiran, perasaan, kenangan dan mimpi adalah sebaliknya,
yang merupakan fakta langsung bagi seseorang, tidak dapat diketahui oleh orang
lain sebagaimana ia sendiri mengetahuinya. Pengetahuan tentang sakit gigi
seorang guru besar ahli filsafat yang menderitanya akan berbeda dengan
pengetahuan tentang sakit gigi itu sendiri dari dokter yang merawatnya.
Perbedaan yang penting ini mengisyaratkan kepada kita bahwa kesadaran bukanlah
milik badan jasmani, atau milik sesuatu, atau kesadaran itu sendiri adalah asas
yang merdeka yang hanya menampilkan dirinya dengan alat bantuan badan jasmani
ini.
Kesadaran mutlak terdapat dalam hubungan
dengan badan jasmani. Karenanya, itu adalah badan jasmani ini sendiri. Manusia
yang makan apa yang ia makan, bukan jiwa-nya. Apa yang dimaksudkan dengan
dengan jiwa atau atma adalah tiada
lain dari badan jasmani hidup yang sadar ini (caitanya visista deha eca atma). Jiwa yang non material tidak
pernah bisa dipersepsi. Sebaliknya kita mempunyai bukti-bukti langsung tentang
identitas jiwa dengan badan jasmani ini dalam kehidupan sehari-hari kita,
dengan ucapan-ucapan seperti, “Aku gemuk”, “Aku pincang”, Aku buta. Apabila
“Aku” dari jiwa ini dikatakan berbeda dengan badan jasmani ini, maka
ucapan-ucapan tesebut tidak akan ada artinya.
Atman
adalah badan itu sendiri yang dicirikan oleh atribut dinyatakan dalam
ucapan-ucapan “Aku kuat”, “Aku muda”, “Aku tua”, “Aku dewasa”, “Aku sakit”,
“Aku lapar” dan sebagainya. Kau tidak melihat dan tidak mempunyai bukti adanya
jiwa terpisah dari badan jasmani ini. “Siapakah yang bisa melihat jiwa harir
dalam keadaan terpisah dari badan jamani? Bukankah hidup ini akibat dari
konfigurasi asasi benda-benda?
Tetapi
kita tidak dapat mempersepsikan kesadaran dalam keempat materi yang manapun.
Bagaimanakah ia bisa memenuhi syarat untuk menjadi produknya, yaitu badan
jasmani ini? Kaum Carvaka menjawab:
sifat-sifat yang asalnya tidak terdapat dalam faktor komponen manapun bisa
muncul sebagai akibat apabila faktor-faktor tersebut dikombinasikan bersama.
Sebagai contoh: daun sirih, kapur, gambir dan pinang, yang semuanya asalnya
tidak merah, menjadi kemerah-merahan setelah dikunyah bersama (Pendit, 2005:54-55).
Berbagai
kecaman yang muncul dari berabagai tokoh filsafat hingga menyebabkan timbulnya
debat klasik yang terlalu sering diulang-ulang. Dalam debat tersebut dalam
Pendit (2005:56) menyatakan bahwasannya adalah tidak mungkin suatu objek tumbuh
berkembang jadi suatu subjek, karena tidak ada objek tanpa adanya suatu subjek
terlebih dahulu (pra-eksistensi suatu subjek). Kesadaran tidak bisa merupakan
akibat dari kekuatan-kekuatan alamiah. Teori yang menyatakan bahwa tidak ada
jiwa terpisah dari badan jasmani ini dikecam atas dasar: (1) ketidak mampuan
kita untuk menyatakan kesadaran terlepas dari badan jasmani, tidak berarti
bahwa kesadaran itu adalah suatu milik badan jasmani, sebab badan jasmani
mungkin hanya suatu bantuan pada realisasai kesadaran. Persepsi nyata tidak
mungkin tanpa nyata. Tetapi ini bukan berarti bahwa persepsi adalah nyata atau
milik dari padanya. (2) seandainya kesadaran itu milik badan jasmani, maka
tidak akan ada kesadaran tentang badan jasmani itu, sebab kesadaran tidak bisa
menjadi milik yang menyebabkan orang sadar melainkan hanya sadar itu sendiri. Dengan kata lain, subjek tidak bisa
dipersahajakan, disederhanakan, jadi objek atau miliknya. (3) seandainya
kesadaran itu milik badan jasmani, maka kesadaran itu harus mampu dipersepsi oleh
orang lain bukan pemilik badan jasmani itu, sebab kita tahu milik-milik
benda-benda materi dapat dipersepsi oleh orang lain. Tetapi kesadaran seseorang
adalah milik pribadinya sendiri, dan tidak bisa diketahui oleh orang lain
dengan cara yang sama seperti dirinya. (4) badan jasmanipun yang wataknya suatu
alat pengaturan, membutuhkan seseorang untuk mengawasinya. Kesadaran ini adalah
termasuk pengawas tersebut.
1. Dunia Terbentuk Dari Empat Unsur
Dengan menganggap sifat-sifat dari Dunia material,
kebanyakan para pemikir India lain berpendapat bahwa ia tersusun atas lima
unsur (Panca maha bhuta), yaitu ether (akasa), udara (Vayu),
Api (Agni), Air (Apah) dan tanah (Ksiti). Tetapi kaum
Carvaka menolak anggapan tersebut, karena unsur
ether keberadaannya tak dapat dirasakan. Mereka mengangap bahwa Dunia material
ini hanya tersusun atas empat unsur saja yang semuanya dapat dirasakan. Bukan
hanya obyek-obyek material mati saja, tetapi
organisme hidup seperti
tumbuh-tumbuhan dan badan
binatang, semuanya tersusun dari empat unsur yang dikombinasi sehingga
mereka dapat hidup dan yang nantinya terurai kembali ketika mati.
2. Tak Ada Jiva
Dalam hal ini, kemungkinan dapat
dipertanyakan bahwa sekalipun persepsi merupakan satu-satunya sumber
pengetahuan, tak punyakah kita sejenis persepsi batin yang memberikan
pengetahuan langsung dari keberadaan mental kita? Dan apakah kita tidak
merasakan dalam kesadaran ini bahwa dimanapun dalam obyek material eksternal
ini kita dapat memahaminya? Apabila demikian, bukankah itu akan mendorong kita
untuk mempercayai bahwa pada diri kita terdapat beberapa substansi non material
yang sifatnya adalah kesadaran, yaitu substansi yang disebut roh atau jiwa
(atma).
Kaum Carvaka mengakui bahwa keberadaan
kesadaran dapat dipahami, tetapi mereka menolak bahwa kesadaran itu merupakan
sifat dari suatu unsur spiritual atau nonmaterial yang tak terpahami. Karena
kesadaran itu dapat dipahami keberadaannya dalam tubuh mahluk yang dapat
dipersepsi dan yang tersusun atas empat unsur itu, maka seharusnya ia merupakan
sifat dari badan itu sendiri. Apa yang dimaksudkan orang dengan roh tersebut
tiada lain adalah badan hidup yang sadar ini (Caitanya visista deha
eva atma), dan roh non material tak akan pernah dapat dipahami. Sebaliknya
kita memilki bukti langsung tentang identitas diri dengan badan dalam
pengalaman dan pertimbangan kita sehari-hari seperti, ‘aku gemuk’, ‘aku
pincang’, ‘aku buta’ dan sebagainya. Bila sang aku disini sebagai sang diri
berbeda dengan badan, maka pernyataan tadi tak berarti sama sekali.
Tetapi, akan timbul sanggahan sebagai
berikut: kita tidak merasakan adanya
kesadaran dalam keempat unsur material manapun. Bagai mana mungkin ia
kemudian dapat berubah dalam susunannya sebagai badan ? dalam jawabannya kaum
Carvaka menunjukkan bahwa sifat-sifat tersebut aslinya tak ada pada setiap
komponen, namun akan segera muncul apabila komponen-komponen tersebut menyatu.
Umpamanya, daun sirih, kapur dan buag pinang, tak satupun dari padanya asalnya
berwarna merah, namun secara bersama-sama mereka akan menghasilkan warna merah
jika di tumbuk atau dikunyah menjadi satu. Atau, benda yang sama pun bila
ditempatkan dalam kondisi berbeda dapat menimbulkan sifat yang berbeda dengan
aslinya. Umpamanya gula tebu yang aslinya manis tak beralkohol akan menjadi
beralkohol apabila ia dibiarkan berfermentasi. Dengan cara yang sama kita dapat
berfikir bahwa unsur-unsur material yang berkombinasi dengan cara khusus akan
menimbulkan badan hidup yang sadar. Dengan demikian kesadaran merupakan hasil
sampingan dari materi dan tak ada bukti keberadaannya yang mandiri tehadap
badan.
Bila keadaan roh terlepas dari badan tidak
terbukti, maka tak mugkin untuk membuktikan kekekalannya. Sebaliknya, kematian
dari badan berarti akhir dari pribadi tersebut. Segala pertanyaan tentang
kehidupan masa lalu, kehidupan nanti, kelahiran kembali, menikmati buah
perbuatan di surga atau neraka, semuanya tiada artinya sama sekali.
3. Tak Ada Tuhan
Tuhan, yang keberadaannya tak dapat
dipersepsi, nasibnya tak jauh berbeda dengan keeradaan roh tadi. Unsur-unsur
material menghasilkan Dunia ini dan dugaan tentang adanya si pencipta
diperlukan sama sekali. Mungkin akan muncul sanggahan berikut: Dapatkah unsur-
unsur material itu dapat menimbulkan Dunia indah ini dengan sendirinya? kita
menyadari bahwa hasil dari suatu objek seperti periuh tanah, sebagai
tambahannya memerlukan tanah liat sebagai penyebeb material, seorang pengerajin
grabah yangmembentuk material tersebut menjadi bentuk yang diinginkan, sebagai
penyebab efisiensinya. Empat unsur yang dinyatakan di atas hanya menyediakan
penyebab material saja pada Dunia ini. Apakah kita tidak memerlukan penyebab
efisien semacam Tuhan, sebagai perencana dan membentuk, yang merubah unsure-unsur material tersebut
menjadi Dunia indah ini? Dalam jawabannya, kaum Carvaka menyatakan bahwa
unsur-unsur material itu sendiri telah memiliki sifat-sifat yang pasti (svabhava).
Bahwa dengan sifat dan hukum membentuk Dunia ini. Tak diperlukan tangan Tuhan di
sini. Tak ada apa pun. Mereka dapat dijelaskan lebih rasional sebagai hasil
secara kebetulan dari unsur-unsur
tersebut. Jelas di sini bahwa kaum Carvaka lebih condong pada atheisme.
Karena sejauh ini teori Carvaka mencoba
untuk menjelaskan Dunia hanya dengan sifatnya saja, maka ia kadang- kadang disebut
natularisme (svabhavavada). Ia juga disebut mekanisme (yadrccha-veda),
karena menolak keberadaan keperluan sadar dibalik Dunia ini menjelaskan sebagai
kombinasi unsur-unsur secara kebetulan atau mekanikal saja. Teori Carvaka
secara keseluruhan juga dapat disebut positifisme, karena ia percaya pada
kenyataan positif atau fenomena yang dapat di amati saja. (Maswinara,
1999:31-34).
C. Etika Dalam Carvaka
Etika adalah ilmu tentang moralitas yang membahas
masalah-masalah seperti: Apakah tujuan tertinggi kehidupan manusia itu dapat
dicapai? apakah yang seharusnya menjadi tujuan prilaku manusia? Apakah yang
merupakan standar pertimbangan moral itu? kaum Carvaka membahas masalah-masalah
etika ini dalam persesuaian dengan teori-teori metafisika mereka.
Beberapa orang filosuf India seperti para
pengikut Mimamsa percaya bahwa tujuan tertinggi manusia adalah surga (svrga)
yang merupakan keadaan bahagia yang tak terlukiskan, yang dapat dicapai
nantinya dengan melaksanakan upacara-upacara Vedik di sini (dalam kehidupan
ini) kaum Carvaka menolak pandangan ini, karena hal itu didasarkan pada
keberadaan kehidupan setelah mati dan tak dapat dibuktikan. ‘surga’ dan
‘neraka’ merupakan ciptaan para pendeta yang minat profesinya terkandung dalam
membujuk, mengancam dan membuat orang-orang mau melaksanakan upacara-upacara.
Orang-orang bijaksana akan senantiasa ditolak dan dibohonggi oleh mereka.
Banyak filosuf lain mengangap pembebasan
sebagai tujuan tertinggi kehidupan manusia dan jua merupakan penghancuran
segala penderitaan. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal itu hanya dapat
diperoleh setelah kematian, mana kala roh terlepas dari badan, sedngkan yang
lainnya percaya bahwa hai itu dapat dicapai bahkan dalam kehidupan ini juga.
Tetapi kaum Carvaka berpendapat bahwa tak satupun dari pandangan ini yang didasarkan atas nalar. Bila bebas merupakan
lepasnya roh dari ikatannya pada keberadaan fisik, maka hal itu tidak masuk
akal karena tak ada yang namanya roh itu. Tetapi, pembebasan disini maksudnya
adalah pencapaian keadaan yang terbatas dari segala penderitaan, dalam
kehidupan ini juga, maka hal itu pun merupakan angan-angan yang tak mungkin terjadi. Kita hanya dapat mengurangi
sekecil mungkin penderitaan dan menikmati kesenangan sebanyak mungkin. Pembebasan dalam arti pembebasan
sepenuhnya dari segala penderitaan hanya berarti kematian (maranam eva
apavargah brhasvati sutra).
Mereka yang mencoba untuk mencapai keadaan
bebas dari kesenangan dan penderitaan dalam kehidupan ini dengan menekankan
keinginan alami secara ketat dengan berfikir bahwa segala kesenangan yang
muncul dari pemuasannya bercampur dengan penderitaan, telah bertindak seperti
orang-orang tolol. Karena, tak seorang
bijaksana pun akan ‘menolak daging buah hanya karena ada kulit kasarnya’
ataupun ‘batal makan ikan hanya karena ada rulangnya’, atau pun ‘batal menanam
benih hanya karena ada binatang yang nanti akan merusaknya’, atau pun berhenti
memasak makanannya hanya karena kemungkinan para pengemis akan meminta
bagiannya’. Bila kita ingat bahwa keberadaan kita sekarang ini ditentukan pada
keberadaan badan dan terhadap kehidupan ini kita harus menganggap kesenangan
yang muncul pada badan hanya sebagai hal-hal baik yang kita dapat peroleh.
Kita hendaknya jangan melepaskan
kesempatan menikmati kehidupan ini juga, dan berharap dengan sia-sia akan
menikmati kehidupan nantinya. ‘lebuh baik seekor burung merpati sekarang ini
ketimbang burung merak besok paginya’. ‘sekeping uang receh yang pasti ada
ditangan lebih baik ketimbang kepingan uang emas yang meragukan perolehannya’.
‘siapakah yang demikian bodoh mempercayakan pengelolaan uangnya di tangan orang
lain’ (kama Sutra, bab. 2). karena itu, tujuan kehidupan manusia adalah
mencapai kesenangan sebanyak mungkin dalam kehidupan sekarang ini, dengan
melenyapkan penderitaan sejauh mungkin. Kehidupan yang baik adalah kehidupan
yang penuh kenikmatan. Kegiatan yang baik adalah kegiatan yang membawa pada
keseimbangan kesenangan dan kegiatan yang buruk adalah yang memberikan
penderitaan yang banyak ketimbang kesenangannya. Oleh karenanya, etika Carvaka
ini dapat disebut hedonisme atau teori bahwa kesenangan adalah tujuan
tertinggi.
Beberapa orang pemikir India menyatakan
tentang empat tujuan kehidupan manusia (purusa
artha) yaitu kekayaaan (arta), kenikmatan
atau (kama) kebijakan (dharma) dan pembebasan (moksa). Dari keempatnya itu kaum Carvaka
menolak dua hal terakhir. Pembebasan dalam pengertian penghancuran segala
penderitaan hanya dapat diperoleh dengan kematian dan tak seorang bijaksana pun
yang menginginkan bekerja demi untuk tujuan tersebut. Kebajikan dan kekejian
adalah perbedaan yang dibuat oleh kitab suci, yang otoritasnya tak dapat
diterima secara rasional. Oleh
karena itu, baik pembebasan maupun kebajikan bukan tujuan kehidupan kita.
Kekayaan dan kenikmatanlah satu-satunya tujuan yang mestinya dapat dicapai
orang bijaksana dengan sekuat tenaga. Tetapi kenikmatan merupakan tujuan
tertinggi, sedangkan kekayaan sendiri bukan sebagai tujuan tetapi alat untuk
mencapai kenikmatan itu.
Disamping menolak otoritas kitab suci,
pendapat tentang kebajikan dan kekejian serta pada kehidupan setelah mati, kaum Carvaka tentu saja juga menolak untuk
melaksanakan upacara-upacara keagamaan dengan tujuan pencapaian surga atau
menghindari dari neraka ataupun menghormati roh-roh leluhur. Mereka
menertawakan kebiasaan mengadakan upacara-upacara. Apabila makanan yang
dipersembahkan selama melaksanakan upacara kematian (Sraddha) bagi para roh leluhur
dapat meredakan rasa laparnya, apa gunanya si pengembara makan
bersamanya? Mengapa orang-orang ini tidak membuat beberapa persembahan atas
namanya sendiri di rumah untuk meredakan rasa laparnya? Sama halnya dengan
makanan yang dipersembahkan pada lantai bawah akan dapat memuaskan seseorang
yang tinggal di lantai atasnya. Bila para pendeta benar-benar percaya, seperti
yang mereka katakan, bahwa binatang-binatang yang dibantai pada saat upacara
kurban (yadnya) pasti mencapai surga, mengapa mereka tidak
membunuh orang tua mereka sendiri ketimbang binatang dan
memastikannya mencapai surga (Maswinara, 1999: 34-36).
Dengan demikian agama dirubah menjadi
moralitas dan moralitas untuk mendapatkan kesenangan. Etika kaum Carvaka
hanyalah berdasarkan logika yang berasal dari metafisika materialistisnya saja.
Seperti kaum Epicurean dari Yunani, kaum Carvaka
di India telah sangat dibenci ketimbang dipahami. Istilah Carvaka dibenak orang-orang secara luas dimaksudkan sebagai celaan.
Tetapi bagi para pelajar filsafat sangat berguna untuk selalu ingat, juga apa
yang diberikan filsafat India pada kaum
Carvaka. Skeptisisme ataupun
ketidakperdulian hanyalah pengungkapan dari pikiran bebas yang menolak untuk
menerima kebijaksanaan tradisional tanpa suatu kritik menyeluruh. Filsafat
sebagai suatu spekulasi kritis menuntut terutama untuk hidup pada pemikiran bebas
dan selebihnya ia dapat memuaskan yang tidak perduli, hal-hal yang lebih masuk
akal akan dapat terjadi. Dengan mempertanyakan kelogisan dari pendapat yang
popular, kaum skeptis akan mempersiapkan masalah-malah baru sehingga dengan
pemecahannya filsafat akan bertambah kaya. Kant, sebagai salah seorang filosuf
barat terbesar, menyadari keraguan-raguannya tentang skeptisisme ini ketika ia
menyatakan: “Skeptisisme Hume telah membangkitkanku dari kelelapan dogmatis”.
Dan kita dapat mengatakan bahwa kaum Carvaka
juga telah menyelamatkan filsafat India dari dogmatisme menuju tingkatan yang
besar. Seperti yang telah dinyatakan bahwa setiap pemikiran India mencoba untuk
lebih mengenal sanggahan kaum Carvaka dan membuat Carvaka sebagai batu ujian
bagi teori-teorinya. Oleh karena itu, nilai filsafat
Carvaka terkandung langsung pada penyediaan masalah-masalah filosofis segar
dan secara tidak langsung dalam mendorong para pemikir untuk melepaskan
dogmatisme dan menjadi kritis serta berhati-hati dalam berspekulasi, demikian
juga dalam mengemukakan pendapatnya. Akhirnya, dapat juga dicatat bahwa
kontribusi dari Epistemologi Carvaka
bukannya tidak penting. Kekritisan penarikan kesimpulan yang disampaikan kaum Carvaka oleh lawan-lawannya mengingatkan
kita tentang kekritisan yang dilontarkan pada zaman modern sekarang ini
terhadap kelogisan dari logika deduktif. Pandangan kaum Carvaka bahwa tak ada kesimpulan yang dapat mengahasilkan
pengetahuan yang pasti merupakan pandangan banyak pemikir Barat kontemporer
seperti kaum pragmatis dan kaum positif logis.
Apa yang telah dibuat kaum Carvaka mendapat nama yang sangat buruk
pada orang-orang, kemungkinan adalah etikanya tentang kesenangan. Pengejaran
kesenangan itu sendiri bukanlah obyek atau sasaran penolakan mereka; karena
kesenangan dalam beberapa bentuknya diakui sebagai suatu hal yang juga
diinginkan oleh para filosuf lainnya.
Yang ditolak hanyalah bila sifat
kesenangan itu kasar (tidak sopan) dan dimaksudkan hanya untuk dirinya sendiri.
Kenyataannya memang beberapa orang pengikut Carvaka
mempertahankan kehidupan sensual yang kasar tetapi, kadang-kadang dijumpai
perbedaan antara kaum Carvaka yang
licik (durta) dan yang berbudaya (susiksita) sehingga kemungkinan mereka
tidak semuanya berasal dari jenis yang tak berbudaya tadi. Terdapat bukti-bukti
bahwa kaum realistis juga mengabdikan dirinya pada pengejaran akan kesenangan
yang lebih baik, umpamanya dalam mengusahakan seni yang indah antara lain dalam
bidang seni enam puluh empat (Catur Sasti
Kalah), penyusun Kamasutra yang tersohor itu. kaum materialistis tidak
semuanya hedonic yang egois. Hedonisme
egoistis dalam bentuknya yang kasar tidak rukun dengan disiplin sosial
masyarakat kehidupan dalam masyarakat tidak mungkin berlangsung bilamana orang
tidak mau mengorbankan sebagian dari kesenangannya bagi orang lain. Kita
diberitahu bahwa beberapa orang pengikut Carvaka
bahkan menganggap raja sebagai Tuhan. Hal ini menunjukkan keyakinan mereka
yang besar pada keperluan akan masyarakat dan pimpinannya. Selanjutnya pendapat
ini diperkuat ketika kita mendapatkan bahwa filsafat dan ekonomi politis (dandaniti dan vartta) dalam beberapa
tahapannya ikut mewarnai filsafat Lokayatika tersebut. Akan tampak dari
kenyataan ini bahwa diantara kaum pengikut sistem materialistis India kuno ada
yang berbudaya sepert yang kita jumpai diantara kaum positifisme modern Eropa ataupun
pengikut Demokritus Yunani kuno.
Bukti positif terbaik dari hedonisme yang
diperbaiki dijumapi pada filsafat etis yang ditampilkan oleh Vatsyayana dalam bab ke-2 dari kitab kamasutra. Disinilah kita menemukan
hedonistis agung itu sendiri yang menyatakan dan mempertahankan pandangannya
sendiri walaupun Vatsyayana
mempercayai Tuhan dan kehidupan setelah mati, sehingga dalam pengertian umum
bukan termasuk golongan materialistis, namun pengertian istilah yang lebih luas
yaitu, orang yang mencoba untuk menjelaskan fenomena yang lebih tinggi dengan
fenomena yang lebih rendah, beliau dapat dianggap sebagai pengikut
materialistis. Vatsyayana mengakui
tiga tujuan kehidupan manusia yang diinginkan, yaitu dharma, artha,
dan kama (kebajikan, kekayaan, dan kenikmatan) yang harus di usahakan
secara harmonis ”parasparasya anopagatakam trivargan seveta” Kamasutra
1.2.1 kecendrungan matrealitisnya trerkandung dalam anggaannya bahwa dharma
dan artha dilaksanakan hanya sebagai jalan untuk kenikmatan sebagai tujuan tertinggi. Unsur perbaikan dalam
hedonistisnya terkandung dalam penekanannya pada pengendalian diri (brahmacarya) dan disiplin spiritual (dharma), demikian urbanitas (negrikavrtti) di mana tanpa hal ini
kenikmatan manusia akan kesenangan akan merosot pada tingkat kenikmatan hewani.
Carvaka menunjukkana bahwa semua
kenikmatan fisik (kama) pada akhirnya
dapat diturunkan pada grafitasi dari panca indra selanjutnya ia menyatakan
bahwa kepuasan indria-indria perlu demi keberadaan badan sarirastiti
seperti halnya pemuasan rasa lapar. Tetapi ia juga menegaskan indria-indria
harus dididik, di disiplinkan dan di budayakan melalui latihan pada seni enam
puluh empat. Pelatihan ini hanya diberikan setelah seseorang mengabdikan awal
kehidupannya pada kepercayaaan diri mutlak dan mempelajari Weda dan
cabang-cabang pengetahuan tambahannya. Ia menekankan bahwa tanpa budaya
kenikmatan manusia akan tak terbedakan dengan kenikmatan hewani. Terhadap kaum
hedonis yang tidak sabaran yang tidak mau mengurungkan kenyamannya sekarang dan
tidak mau mengusahakan secara keras kenikmatan masa depannya, Vatsyayana
menegaskan bahwa sikap demikian itu merupakan tindakan bunuh diri. Karena, hal
ini akan mencegah seseorang bahkan dari usaha keras dan penebaran benih pada
harapan akan panen kenikmatan masa depan. Sejalan dengan pengaturan keinginan
akan kenikmatan ia menegaskan dengan perumpamaan histories, bahwa keinginan
yang banyak sekali yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dharma dan artha
akan membawa pada hilangnya kesempatan terhadap segala kenikmatan. Dalam
mendukung studi ilmiah tentang kondisi dan cara kenikmatan, seperti seorang
ilmuwan modern, ia meminta dengan sangat bahwa beberapa ilmu pengetahuan berada
pada akar dari setiap pelaksanaan yang berhasil dan bahwa walaupun semua orang
mungkin tidak mempelajari ilmu pengetahuan, maka diuntungkan oleh
gagasan-gagasan yang secara tidak sadar dan tidak langsung merembes pada
orang-orang awam yang diantaranya terdapat para ilmuwan. Inilah barangkali yang
menyebabkan para pemikir semacam ini dijuluki ‘hedonistis yang berbudaya’(susiksita-carvaka).
Dalam kitab suci Buddhis awal kita juga
menemukan refrensi pendek mengenai beberapa orang spektis, agnostic, para
pemutar balikan fakta dan kaum materialistis yang harus ditentang pengikut
budha yang mungkin dianggap sebagai kaum Carvaka licik (dhurta). Dalam Samannaphala
Sutta dinyatakan sebagai berikut: (a). purana kassapa, salah
seorang yang menolak bertanggung jawab moral, kebajikan dan kekejian; (b). makkhali
gosali, orang yang menolak keinginan bebas, dan kemungkinan akan usaha
moral; (c). Ajita Kesakambali, yang mengajarkan sumber material
dan sifat mudah hancurnya manusia, kesia-siaan dari kegiatan baik dan
kemustahilan dari ilmu pengetahuan; (d). Sanjaya Belatthiputta yang tidak
menegaskan, maupun menolak, ataupun menegaskan dan menolak pada saat yang sama,
atau bahkan tidak mengakui bahwa ia tidak menegaskan ataupun menolak
sesuatupun.
Dalam sebuah manuscript yang diketemukan
baru-baru ini, yang disebut Tettvopaplavasimha, kita mendapatkan contoh menarik
tentang skeptisisme mutlak India. Penulisannya, Jayarasi, barangkali disekitar
abad ke-8 dipercaya sebagai seorang Carvaka (Lokayatika), tipe yang ekstrim.
Ia bersikap skeptisisme Carvaka umumnya pada kesimpulan logisnya dan menentang
keabsahan pengetahuan perceptual sekalipun dan menolak untuk menerima
keberadaan unsur-unsur fisik dengan dialektika penghancuran tak henti-hentinya
ia menyingkapkan kelemahan-kelemahan dari semua sumber pengetahuan yang umum
diterima. Bagaikan seorang pragmatis anti intlektual ia menyimpulkan bahwa
dengan menolak segala prinsip-prinsip teoritis dan doktrin-doktrin praktis
sekalipun, kehidupan akan tetap berjalan selamanya tanpa masalah perenungan.
(Maswinara, 1999:37-40).
Kaum Carvaka
menolak pandangan yang mengatakan bahwa tujuan tertinggi manusia adalah
sorga (Svarga) yang dapat dicapai
dengan upacara-upacara seperti tercantum di dalam kitab Veda setelah mati. Ini adalah mitos yang tidak dapat dibuktikan.
Sorga dan Neraka adalah ciptaan para Pendita yang untuk kepentingan profesi
mereka memberikan pelajaran menakut-nakuti dan menyusuh orang untuk membuat
upacara-upacara. Orang yang sadar akan menolak ajaran mereka.
Golongan
lain memandang bahwa kelepasan adalah menjadi tujuan hidup tertinggi, termulia,
itu berarti beban dari segala macam derita, azab dan sengsara. Sebagian percaya
bahwa kelepasan tersebut hanya dapat dicapai sesudah mati, tetapi yang lain
menyatakan bahwa kelepasan itu dapat dicapai dalam hidup ini.
Tetapi
kaum Carvaka berkata bahwa tidak satu
pun tanggapan ini berdasarkan akal, pikiran:
1. Apabila kelepasan ini diartikan bebasnya jiwa dari belenggu badan jasmani
kita, ini adalah tidak benar, karena jiwa memang tidak ada.
2. Tetapi kalau kelepasan diartikan sebagai suatu hasil dari suatu keadaan di mana
semua derita tidak ada lagi dalam hidup ini, maka ini adalah suatu idaman yang
tidak mungkin.
3. Adanya badan jasmani ini adalah terikat erat dengan kesenangan dan juga
derita.
4. Kita hanya dapat mengurangi penderitaan, dan sebanyak mungkin menikmati
kesenangan.
5. Kelepasan dalam arti kata terhentinya penderitaan sama sekali, hanya
berarti kematian.
Mereka
mencoba mencapai hidup dalam keadaan sepenuhnya bebas dari kesenangan dan penderitaan,
dengan jalan menekan sehebat-hebatnya selera yang wajar dalam hidup ini (karena
kita berpikir bahwa semua kesenangan yang timbul dari pemuasan akan kenikmatan
adalah bercampur dengan penderitaan), adalah orang-orang gila. Sebab tak
seorang cerdik pandai akan “menolak isinya karena kulitnya”, atau “berhenti
makan karena ikan itu ada tulangnya”, atau tak jadi menanam padi karena hama tikus”, atau “
berhenti memasak kaena khawatir ada pengemis datang”.
Hidup
ini adalah mencapai kesenangan yang paling maksimal. Suatu perbuatan yang baik
berarti membawa keseimbangan kenikmatan, dan suatu perbuatan yang jelek berarti
membawa penderitaan yang lebih banyak daripada kesenagan. Teori kaum Carvaka tentang kenikmatan kiranya
disebut hedonism. Kesenangan, kenikmatan adalah tujuan tertinggi (Pendit, 2005:
58-59).
II Filsafat
Buddha
A. Pendahuluan
Filsafat Buddha lahir dari ajaran-ajaran Buddha Gautama, pada abad
567 SM, ajarannya dapat dikatakan bersifat atheisme dan spiritual. Kata Buddha
merupakan sebutan yang diberikan kepada orang yang telah mendapatkan
pengetahuan langsung mengenai kodrat sejati dari segala hal. Di mana kata Buddha
berasal dari kata Bud yang artinya mengetahui, bangun, sadar dan Dha,
yang artinya yang sempurna (Stokes, 2001:1). Jadi Buddha merupakan
sebutan yang diberikaan sebagai tanda bagi pencapaian spiritual tertinggi dan
kebahagiaan abadi (nirvana). Ajaran Buddha menekankan pada etika, cinta kasih, persaudaraan,
menolak sistem kasta (penyimpangan sistem Varna), dan menolak otoritas Weda
dan pelaksanaan yajna. Tujuan akhir perjalanan hidup manusia adalah nirwana,
bukan sebagai karunia Tuhan dan Dewa-Dewa, namun diperoleh melalui usaha diri
sendiri. Ajaran Buddha sering pula disebut dengan ‘jalan tengah’ (madhyama
marga), ajaran-ajaran pokoknya dibukukan dalam tiga kitab suci (Tripitaka
yang berarti tiga keranjang pengetahuan), yang terdiri dari: Vinayapitaka
yang membahas tata laksana bagi masyarakat umum, Suttapitaka yang
membahas upacara-upacara dan dialog berkaitan dengan etika (wejangan dan
percakapan sang Buddha), dan Abhidhammapitaka
yang berisi eksposisi teori-teori filsafat Buddha.
Ayah dari Pangeran
Siddharta adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Sri Ratu Maha Maya
Dewi. Ibunda Ratu meninggal Dunia tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran.
Setelah meninggal, beliau terlahir di alam Tusita, yaitu alam sorga luhur. Sejak
itu maka yang merawat Pangeran Siddharta adalah Maha Pajapati, bibinya yang
juga menjadi isteri Raja Suddhodana.
Pangeran Siddharta
dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya berdiri memegang
dahan pohon sal. Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh
dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya angat. Arus tersebut
membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda,
berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, tempat yang
dipijakinya tumbuh bunga teratai. Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita
Kaladewala diramalkan bahwa Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja
Diraja atau akan menjadi seorang Buddha. Hanya
pertapa Kondana yang
dengan pasti meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha.
Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang
Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan
Sang Raja, para
pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam
peristiwa, atau ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam
peristiwa itu adalah: (1) Orang tua, (2) Orang sakit, (3) Orang mati, dan (4) Seorang
pertapa.
B. Ajaran Filsafat Budha
Ajaran Filsafat Buddha meliputi Catur
Arya Satyani yaitu empat kebenaran mulia meliputi: (1) Dukha.
Hidup adalah penderitaan, (2) Tresna, ada yang menyebabkan penderitaan, (3)
Nireda, ada jalan untuk mengatasinya, (4) Asta Marga,
jalan itu. Pratitya Samut adalah dua belas hal yang menyebabkan
penderitaan, yaitu: (1) Awidya, kebodohan, (2) Samkara, kesan di masa
lalu, (3) Wijnana, kesadaran awal, (4) Nama, rupa, pikiran dan
badan, (5) Sadayatana, enam anggapan, (6) Sparsa, kotak hubungan
dengan obyek, (7) Vedana, pengalaman yang lalu, (8) Tresna,
haus akan kenikmatan. (9) Upadana, perhatian yang lebih, (10) Bhaya,
keinnginan supaya terjadi, (11) Jati, kelahiran dan (12) Jara Marana,
umur tua dan kenikmatan (Maswinara, 1999:83). Prinsip-prinsip beragama,
seperti:
1)
Percaya pada diri sendiri dalam mengembangkan Ajaran
Sang Buddha;
3)
Segala
sesuatu tidak ada yang kekal abadi;
5)
Pikiran
dapat menjadikan seseorang menjadi Buddha, namun pikiran dapat pula menjadikan
seseorang menjadi binatang;
6)
Hendaknya
saling menghormati satu dengan yang lain dan dapat menghindarkan diri dari
segala macam perselisihan;
7)
Bilamana
melalaikan Ajaran Sang Buddha, dapat berarti belum pernah berjumpa dengan Sang
Buddha.
8)
Mara (setan) dan
keinginan nafsu duniawi senantiasa mencari kesempatan untuk menipu umat
manusia;
9)
Kematian hanyalah musnahnya badan jasmani;
10)
Buddha yang sejati bukan badan jasmani manusia, tetapi
Pencerahan Sempurna;
11)
Kebijaksanaan Sempurna yang lahir dari Pencerahan
Sempurna akan hidup selamanya di dalam Kebenaran;
12)
Hanya mereka yang mengerti, yang menghayati dan
mengamalkan Dharma yang akan melihat Sang Buddha;
13)
Ajaran yang diberikan oleh Sang Buddha tidak ada yang
dirahasiakan, ditutup-tutupi ataupun diselubungi.
Sang Buddha bersabda, "Dengarkan baik baik, wahai para
bhikkhu, Aku sampaikan padamu “Akan membusuklah semua benda benda yang
terbentuk, berjuanglah dengan penuh kesadaran!" (Digha Nikaya
II, 156) Seorang Buddha memiliki sifat
Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna) yang
diwujudkan oleh sabda Buddha Gautama, "Penderitaanmu adalah penderitaanku,
dan kegembiraanmu adalah kegembiraanku." Manusia adalah pancaran dari
semangat Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang dapat menuntunnya kepada Pencerahan
Sempurna.
Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas
oleh waktu dan selalu abadi, karena telah ada dan memancar sejak manusia
pertama kalinya terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara
yang disebabkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan batinnya. Jalan untuk
mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin
yang dimiliki oleh manusia. Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan
kehidupan duniawi, ia telah mengikrarkan Empat Prasetya yang berdasarkan Cinta
Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, yaitu:
1)
Berusaha menolong semua makhluk.
2) Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.
3) Mempelajari, menghayati dan mengamalkan
Dharma.
4)
Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.
Buddha Gautama pertama melatih diri untuk melaksanakan amal
kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan
yang diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan pikiran, yaitu
1)
Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, perbuatan
jinah.
2) Ucapan
(vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada
manfaat.
3) Pikiran
(citta): kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.
Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah
cinta kasih untuk kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai
anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka.
Bagaikan hujan yang jatuh tanpa membeda-bedakan, demikianlah "Cinta Kasih
seorang Buddha".
Akan tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau
dalam keadaan batin gelap, Sang Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan
Kasih Sayang-Nya, Sang Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan
yang benar dan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai
"Pencerahan Sempurna". Sang Buddha adalah ayah dalam kasih sayang dan
ibu dalam cinta kasih.
Sebagai Buddha yang abadi, Beliau telah mengenal semua orang dan
dengan menggunakan berbagai cara Beliau telah berusaha untuk meringankan
penderitaan semua makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat Dunia,
namun Beliau tidak pernah mau mengatakan bahwa Dunia ini asli atau palsu, baik
atau buruk. Beliau hanya menunjukkan tentang keadaan dunia sebagaimana adanya.
Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan
sesuai dengan watak, perbuatan dan kepercayaan masing-masing. Beliau tidak saja
mengajarkan melalui ucapan, akan tetapi juga melalui perbuatan. Meskipun bentuk
fisik tubuh-Nya tidak ada akhirnya, namun dalam mengajar umat manusia yang
mendambakan hidup abadi, Beliau menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran dan
kematian untuk membangunkan perhatian mereka.
Seorang Buddha memiliki
sifat-sifat luhur sebagai berikut:
1)
Bertingkah laku baik;
2)
Berpandangan hidup luhur;
3)
Memiliki kebijaksanaan sempurna;
4)
Memiliki kepandaian mengajar yang tiada bandingnya;
5)
Memiliki cara menuntun dan membimbing manusia dalam
mengamalkan Dharma.
Buddha Gautama memelihara semangat-Nya yang selalu tenang dan
damai dengan melaksanakan meditasi. Sang Buddha membersihkan pikiran mereka
dari kekotoran bathin dan menganugerahkan mereka kegembiraan dengan semangat
tunggal yang sempurna. Jangkauan pikiran Sang Buddha melampaui jangkauan
pikiran manusia biasa. Dengan kebijaksanaan yang sempurna, Buddha Gautama dapat
menghindarkan diri dari sikap-sikap ekstrim dan prasangka, serta memiliki
kesederhanaan. Oleh karena itu Beliau dapat mengetahui dan mengerti pikiran dan
perasaan semua orang dan dapat melihat yang ada dan yang terjadi di Dunia dalam
sekejap, sehingga mendapatkan julukan seorang yang telah Mencapai Pencerahan
Sempurna (Sammasam-Buddha) dan Yang Maha Tahu (Sugata).
Pengabdian Buddha Gautama telah membuat diri-Nya mampu
mengatasi berbagai masalah di dalam berbagai kesempatan yang pada hakekatnya
adalah Dharma-kaya, yang merupakan keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki
dari seorang Buddha. Sang Buddha adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci
dari semua yang suci. Karena itu, Sang Buddha adalah Raja Dharma yang agung.
Beliau dapat berkhotbah kepada semua orang, kapanpun
dikehendaki-Nya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi sering terdapat
telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau
memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka yang mendengarkan
khotbah-Nya, yang dapat mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Agung
Sang Buddha akan terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak akan dapat tertolong hanya karena
mengandalkan kepintarannya sendiri. Buddha Gautama bersabda, "Hanya dengan
jalan melalui kepercayaan, keyakinanlah, mereka akan dapat mengikuti ajaran-Ku.
Karena itu setiap orang hendaknya mau mendengarkan ajaran-Ku, kemudian
menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari".
Pada awalnya Budhha merupakan pembaharu dan guru etika dan bukan ahli metafisika.
Bila seseorang menanyakan masalah metafisika bahwa apakah roh itu berbeda
dengan badan, apakah yang mengatasi kematian, apakah dunia ini terbatas ataukah
tak terbatas, abadi atau tidak, dsb. Ia menghindari untuk membahasnya. Bagi Buddha
pembahasan tentang permasalahan guna pemecahan yang tidak cukup bukti hanya akan membawa pada pandangan sebagian
seperti pertengkaran antara orang-orang buta yang diberikan kesempatan untuk
meraba bagaian tubuh yang berbeda dari seekor gajah. Buddha mengatakan
pandangan metafisika semacam itu yang dikemukakan oleh para pemikir menunjukkan
bahwa semua itu tidak cukup karena didasarkan atas pengalaman indria yang tidak
pasti, ketagihan, harapan dan ketakutan. Spekulasi semacam itu harusnya
dihilangkan karena tidak akan dapat mengantarkan manusia mendekat pada
tujuannya yang bagi Buddha disebut dengan kearhatan atau vimutti,
yaitu keadaan bebas dari segala penderitaan. Bagi mereka yang melibatkan diri
dalam spekulasi teoritis tentang roh dan Dunia bagaikan orang tolol dengan
panah beracun tertancap dipinggangnya yang mengahabiskan waktunya pada
spekulasi tak berguna yang berkaitan dengan asal, si pembuat dan yang
melepaskan anak panah tersebut, bukanya mencoba untuk mencabutnya segera.
Bagi Buddha ketimbang
membicarakan pertanyaan metafisika yang secara etis tak ada gunanya dan secara
intelektual tak ada kepastiannya, lebih baik mencoba menjelaskan pertanyaan-pertanyaan
yang paling penting tentang penderitaan, asalnya, penghentiannya, dan kalan
yang menghantar pada penghentian itu. Dan jawaban dari keempat inti pertanyaan
tersebut kemudian membentuk inti dari pencerahan dari Buddha, yang
kemudian dikenal sebagai empat kebenaran mulia (catvari atyasatyani),
yaitu:
1) Kebenaran
bahwa ada penderitaan.
2) Kebenaran
bahwa ada penyebab penderitaan.
3) Kebenaran
bahwa ada penghentian penderitaan.
4) Kebenaran bahwa ada jalan yang
menghantarkan pada penghentian penderitaan (duhkha-nirodha-marga). Semua
ajaran Gautama berpusat disekitar keempat hal ini (Maswinara,1999:81).
Semua
ajaran Gautama berpusat pada keempat kebenaran mulia ((catvari atyasatyani)).
Untuk mengetahui lebih jelasnya tentang ajaran Gautama Tentang kebenaran mulia
maka akan di bahas satu persatu yakni:
a.
Kebenaran Mulia Pertama tentang Penderitaan.
Pemandangan penderitaan yang membingungkan
Pikiran Siddhartha muda adalah penyakit, usia tua dan kematian. Tapi,
bagi pikiran Buddha yang tercerahi hal tersebut serta semua yang berasal
dari keterikatan adalah penderitaan. Tentu saja kaum materialistis Carvaka
akan keberatan terhadap tuduhan menyeluruh Buddha di mana bagi kaum Carvaka
menyatakan bahwa sumber kesenangan berbeda dengan sumber penderitaannya. Tetapi
Buddha dan dan banyak pemikir India lain akan menjawab bahwa hal
tersebut adalah pandangan rabun orang-orang. Sementara, kesedihan yang
dirasakan terhadap kehilangan dan ketakutan yang dirasakan kalau akan
kehilangan, dan akibat-akibat jahat lainnya akan membuat kesenangan kehilangan
daya tariknya dan merubahnya menjadi sumber ketakutan dan kecemasan yang
positif.
b.
Kebenaran Mulia Kedua Tentang Penyebab Penderitaan “Rantai
Bermata Dua Belas”
Konsepsi khusus tentang penyebab natural
dari sebuah kejahatan kehidupan oleh Buddha dikenal dengan pratityasamutpada
di mana keberadaan dari setiap peristiwa bergantung pada beberapa kondisi
yang menyebabkan timbulnya penderitaan. Bagi kaum Buddha dikenal istilah
Rantai Bermata Dua Belas yang merupakan rangkaian penyebab dari suatu
penderitaan di mana secara singkat dapat dapat dikatakan bahwa (1) penderitaan
dalam kehidupan ini disebabkan oleh, (2) kelahiran,yang disebabkan
oleh, (3) keinginan untuk lahir, yang disebabkan oleh, (4) keterikatan
mental kita pada obyek, keterikatan ini disebabkan oleh, (5) kehausan
atau keinginan pada obyek, hal ini disebabkan oleh, (6) pengalaman indra,
yang disebabkan oleh, (7) hubungan indra dan obyek, yang juga disebabkan
oleh, (8) enam organ pengenalan, organ-organ ini bergantung pada, (9) organisme
embryonic (yang menyusun pikiran dan badan), yang tak akan berkembang tanpa,
(10) Beberapa kesadaran awal, yang berasal dari, (11) kesan-kesan
pengalaman masa lalu, yang disebabkan oleh, (12) kebodohan akan
kebenaran (Maswinara,1999:83).
c.
Kebenaran Pelenyapan Penderitaan
Seperti yang sudah diungkapakan
sebelumnya bahwa penderitaan muncul karena beberapa kondisi. Namun, apabila
kondisi ini dapat dilepaskan maka kesengsaraan itupun akan lenyap. Dalam ajaran
Buddha pembebasan dari kesengsaraan dapat dicapai dalam kehidupan ini
juga apabila kondisi tertentu dapat terpenuhi. Bila pengendallian nafsu yang
sempurna dan kontemplasi berkesinambungan tentang kebenaran akan membawa
seseorang pada kebijaksanaan sempurna, ia tidak lagi terpengaruh oleh
keterikatan duniawi dan selanjutnya ia dikatatakan telah menjadi seorang Arhat
(orang mulia). Keadaan demikian sering disebut dengan nirvana, yaitu
pemusnahan nafsu dan kesengsaraan (Maswinara, 1999:85). Namun perlu diingat
bagi kaum Buddha pencapaian keadaan ini tidak harus dengan jalan keadaan
yang tidak aktif dalam artian orang harus menarik seluruh perhatiannya dari Dunia
luar. Dengan melihat ajaran dari contoh kehidupan Buddha sendiri dapat
dikatakan bahwa nirvana tidak memperkenalkan para asrhat untuk
menjauhkan diri dari kegiatan, sebaliknya, kasih sayang dan simpati pada semua
makhluk bertambah dengan pencerahan dan meyakinkan orang-orang sempurna untuk
membagi kebijaksanaannya dengan mereka dan bekerja guna meningkatkan moral
mereka.
d.
Kebenaran Tentang Jalan Pembebasan
Kebenaran
bahwa ada yang menghilangkan penderitaan (jalan mencapai kelepasan) dalam
ajaran Buddha diperoleh dari pengetahuan dari kondisi pokok yang
menyebabkan penderitaan tersebut yang terdiri dari 8 jalan utama, yaitu:
(1) Pandangan
yang benar (samyagdrsti).
Karena
kebodohan menyebabkan pandangan yang salah (mithyadrsti) tentang sang
diri di mana penyebabnya adalah Dunia ini sendiri dan hanya melalui pencarian
pandangan yang benar atau pengetahuan kebenaran yang dalam ajaran Buddha
disebut dengan empat kebenaran mulia yang dapat membantu reformasi moral dan
membawa kita pada tujuan- nirvana dan bukan spekulasi teoritis mengenai
sang diri itu sendiri.
(2) Determinasi
yang benar atau keputusan yang benar (samyaksamkalpa).
Pengetahuan yang benar tak akan ada
gunanya tanpa ada kemauan untuk merubah kehidupan dalam penerangan mereka.
Untuk itulah para Sadhaka diminta untuk melepaskan keduniawian (segala
keterikatan pada Dunia), melepaskan segala rasa sakit terhadap orang lain dan
berhenti dari perbuatan menyakiti mereka.
Ketiga hal ini yang membentuk penentuan yang benar.
(3) Perkataan
yang benar (samyalgwak).
Hasil
dari penentuan yang benar di atas yang nantinya akan menjadi dasar suatu
pembicaraan yang benar di mana di dalamnya mengandung penolakan dari
kebohongan, fitnah, kata-kata yang kasar, dan pembicaraan yang sembrono.
(4)
Prilaku
yang benar(samyak karmanta).
Penentuan yang baik atau benar sebagai
dasar kita dalam berbicara akan menjadi dasar juga di dalam kita melakukan kegiatan atau berprilaku di mana dalam ajaran
Buddha dikenal dengan istilah Panca Sala yaitu lima sumpah untuk
berhenti dari membunuh, mencuri, berbohong, sensualitas dan mabuk-mabukan.
(5)
Cara
hidup yang benar atau mata pencarian yang benar(samyagajiva).
Dengan meninggalkan perkataan dan kegiatan
yang buruk hendaknya seeorang mendapatkan mata pencaharian dengan cara yang
jujur. Pentingnya aturan ini dikarenakan demi menyelenggarakan kehidupannya
seseorang hendaknya tidak melakukan kegiatan terlarang tapi bekerja dalam
kemantapan dengan penentuan yang baik.
(6) Usaha
yang benar (samyagvyayama).
Sementara
seseorang mencoba untuk menjalani kehidupan yang diperbaiki melalui pandangan,
resolusi, perkataan, kegiatan, dan mata pencaharian yang benar bersamaan itu
pula ia akan terus menerus dihentikan oleh gagasan jahat yang sebelumnya telah
berakar dalam pikiran. Seseorang tak dapat maju secara mantap kecuali ia memelihara
usaha yang konstan untuk menjebol pemikiran-pemikiran yang jahat sebelumnya dan
mencegah munculnya pikiran jahat yang baru. Selain itu pikiran juga secara
konstan harus diisi dengan gagasan-gagasan baik dan mempertahankan gagasan
semacam itu dalam pikiran. keempat usaha konstan yang negative dan positif
semacam ini disebut dengan usaha yang benar.
(7) Perhatian
yang benar atau sikap pikiran yang benar(samyaksmrti).
Pentingnya
kewaspadaan ditekankan lebih jauh dalam aturan ini, yang menyatakan bahwa
Sadhaka harus senantiasa mematrikan dalam pikiran hal-hal yang telah
dipelajarinya. Ia harus senantiasa ingat dan merenungkan badan sebagai badan,
sensasi sebagai sensasi, pikiran sebagai pikiran dan keadaan mental sebagai
keadaan mental. Hendaknya jangan ia berfikir “Ini adalah aku” atau “Ini
adalah milikku” semuanya lebih sulit melaksanakannya bila gagasan-gagasan
palsu tentang badan, dsb. Telah demikian berakar dalam diri kita dan prilaku
kita yang didasarkan pada pernyataan palsu ini telah menjadi bersifat naluriah
dan bertingkah laku seakan-akan badan, pikiran, sensasi, keadaan mental adalah
permanen dan berharga sehingga menimbulkan keterikatan dan sedih atas
kehilangannya dan kita menjadi sasaran keterikatan dan kesengsaraan. Tetapi
perenungan pada sifat lemah, mudah rusak, sangat menjijikan dari hal-hal ini
akan membantu kita untuk tetap bebas dari keterikatan dan kesedihan.
Dalam
digha nikaya, sutta 22, Buddha memeberikan instruksi yang sangat rinci
tentang bagaimana kontemplasi itu harus dilakukan. Diumpamakan badan harus
selalu direnungkan hanyalah kombinasi dari empat unsur (tanah, air, api, dan
udara) yang dipenuhi oleh materi yang menjijikan seperti daging, tulang, kulit,
darah, nanah dsb. Kemudian orang harus melihat lebih lanjut bagaimana badan
yang mati menjadi busuk, hancur, dimangsa anjing dan burung-burung hering dan
setelah itu berangsur-angsur lenyap dan bercampur dengan unsure-unsur asal.
Dengan kontemplasi yang intensif semacam itu “Ia akan melepaskan segala
emosi dan keterikatan palsu terhadap badannya sendir maupun yang lainnya” Dengan
kontemplasi intensif yang sama tentang sensasi, pikiran dan keadaan mental yang
menyakitkan ia akan bebas dari keterikatan dan kesedihan dan akibat dari empat serangkai kontemplasi
intensif ini adalah keterlepasan dari segala obyek yang mengikat manusia pada Dunia.
(8) Kosentrasi
yang benar (samyaksamadhi).
Orang
yang berhasil membawa hidupnya menurut tujuh aturan terakhir dan dengan itu
membebaskan dirinya dari segala nafsu dan pemikiran-pemikiran jahat, layak
untuk memasuki secara bertahap ke dalam empat tahapan yang lebih dalam.
Tahapan-tahapan tersebut terdiri atas:
(a)
Pengkonsentrasian pikiran yang murni dan tenang pada
penalaran (vitarka) dan
penyelidikan (vicara) yang berkenaan dengan kebenaran dan menikmati keadaan
ini, kegembiraan dan ketentraman, yang lahir dari keterlepasan dan pemikiran
murni (jhana atau dhyana).
(b)
Apabila pengkonsentrasian pikiran telah berhasil
dilakukan maka kepercayaan pada empat serangkai kebenaran akan muncul sehingga
tidak diperlukan lagi adanya penalaran dan penyelidikan. Dimana hasil yang akan
didapatkan dan juga merupakan tahapan kedua dari konsentrasi yaitu kegembiraan,
kedamaian, dan ketenangan internal yang melahirkan kontemplasi yang intensif
dan tenang. Kesadaran atas kegembiraan dan ketenangan juga akan didapat pada
tahapan ini.
(c)
Tahap selanjutnya akan ada usaha untuk memprakarsai
suatu sikap tidak berbedaan untuk dapat melepaskan dirinya dari kegembiraan
konsentrasi. Ini merupakan jenis konsentrasi yang ketiga dimana orang akan mengalami
ketenangan yang sempurna berpasangan dengan pengalaman ketenangan jasmani.
(d)
Akhirnya, ia akan mencoba untuk melepaskan bahkan
kesadaran akan ketenangan dan ketentraman dan segala rasa senang dan
kegembiraan yang sebelumnya dimilikinya. Dengan demikian, ia akan mencapai keadaan kontenplasi yang keempat, keadaan
ketenangan sempurna, netral dan ketentraman tanpa penderitaan. Jadi ia mencapai
tujuan yang diinginkan tentang penghentian dari segala penderitaaan, mencapai kearhatan
atau nirvana, yang kemudian menimbulkan kebijaksanaan sempurna (prajna)
dan kebajikan sempurna (sila) ( Maswinara,1999:89-92).
Untuk
meringkas masalah pokok dari delapan jalan, dapat dicatat bahwa jalan tersebut
mengandung tiga hal utama, yaitu prilaku (sila), kosentrasi (samadhi)
dan pengetahuan (prajna) yang diusahakan secara selaras. Dalam filosofi India,
pengetahuan dan moralitas dianggap tak terpisahkan-bukan hanya karena moralitas
bergantung pada pengetahuan tentang apa yang baik, tetapi juga karena
kesempurnaan pengetahuan dianggap tak mungkin tanpa moralitas. Pada delapan
macam jalan salah satu berawal dengan “pandangan yang benar” merupakan
pemahaman intelektual dari empat kebenaran. Namun pikiran masih belum
melenyapkan gagasan-gagasan salah dan nafsu sebelumnya atau emosi salah yang
muncul dari padanya, disamping kebiasaan berfikir, berbicara dan berbuat
sebelumnya masih juga berlanjut. Dalam satu kata kekuatan yang bertentangan,
yaitu kekuatan baru yang baik dan kekuatan jahat yang lama menciptakan
personalitas yang terbagi (terpisah). Kemudian pada tahapan penentuan yang
benar merupakan disiplin guna memecahkan pertentangan ini guna memperbaiki
personalitas yang lama. Kontemplasi yang berulang-ulang dengan melatih kehendak
dan emosi dan melalui penetapan yang mantap dan sikap yang tenang berangsur-angsur
mencapai personalitas yang yang selaras di mana pikiran dan kehendak serta
emosi semuanya halus dan termurnikan menurut kebenaran. Langkah terakhir dari
konsentrasi sempurna akan melepaskan segala rintangan dan hasilnya adalah
kebijaksanaan atau kemampuan pemahaman yang sempurna, dimana kebodohan dan
keinginan terpotong akarnya dan sumber kesengsaraan lenyap. Kebijaksanaan, kebajikan
dan ketenangan sempurna yang sepenuhnya sembuh dari penderitaan–merupakan
pencapaian simultan dalam nirvana (Maswinara, 1999:93).
2. Etika
Ajaran Buddha
Sang Buddha meminta para pengikutnya
agar menghindari kejahatan, melakukan kebaikan, dan memurnikan pikiran dengan
mengidentifikasi dan menyingkirkan pemikiran yang senonoh. Masuk dalam kosentrasi
dan meditasi, mempercayai Dharma dan setia terhadap etika yang merupakan
kunci-kunci ajaran sang Buddha. Sungguh penting menyediakan waktu setiap
hari untuk merenung dengan tenang. Untuk membawa harmoni dan keseimbagan bagi
kehidupan. Sungguh mudah untuk terpedaya oleh masukan-masukan indria sehingga
melupakan tidak adanya diri. Meditasi dan perenungan melatih umat Buddha
untuk membangun dan waspada terhadap kecenderungan ini. Melalui meditasi umat Buddha
seharusnya menggali:
1) Pengetahuan
mengenai Dharma yang megajarkan pengendalian terhadap diri sendiri dan yang
lain yang telah terjebak dalam penderitaan, sebagai akibat dari kelahiran yang
di penuhi oleh ketidaktahuan.
2)
Standar
etis yang tinggi di dalam pemikiran dan tindakan.
3)
Perenungan
yang mengambil jarak terhadap tubuh, pikiran, emosi, dan indra; mengambil jarak
terhadap muncul dan hilangnya semua itu (Stokes, 2001:74).
Sang Buddha
menyatakan bahwa aturan seharusnya tidak mengikat secara membabi buta. Kalau
ada jalan etis yang memberkan jalan yang lebih baik, aturan bisa diabaikan.
Kebijaksanaan untuk memilah-milah dan bertindak etis merupan suatu tanggung
jawab pribadi yang harus setiap saat dilihat kembali. Etika selalu menjadi
jantung dari ajaran Agama Buddha.
3. Nirwana
Penerangan sempurna, atau nirwana
dilukiskan sebagai keadaan ketika mencapai pengertian mengenai tak adanya diri
atau roh, dan tak ada satupun (seperti Dewa) yang menjadi tempat menyatu
setelah kematian tubuh fisik. (Stokes, 2001:76). Pendeta maupun dewa-dewa tidak
bisa menghadiahkan nirvana dan
pemberian sesajen bukanlah bagian dari prosesnya. Begitu kebenaran
disadari dan dipatuhi, maka menurut Sang Buddha akhir dari kehidupan
orang bersangkutan ibarat nyala api yang telah ditiup. Nirvana
menghasilkan suatu pengelakan yang selengkapnya dari kelahiran kembali, sebaba
tak ada keterikatan atau karma yang tersisa.
Dengan bijaksana Sang Buddha menghindari
pertanyaan menyangkut nirvana, karena beliau menyadari bahwa jawaban
yang mungkin deberikannya justru akan dianggap sebagai sesuatu yang definitif. Nirvana
tidak mungkin dilikiskan secara cukup karena konsepnya tak dapat tercakup atau
terekspresikan dengan bahasa. Nirvana harus dipahami, bukan dilukiskan.
Menyerahkan diri pada kehidupan nirvana akan memberikan kedamaian dan
lenyapnya kebencian, keserakahan, dan segala macam delusi tentang hakekat yang
abadi. Nirvana adalah satu-satunya harapan untuk keluar dari roda
kelahiran kembali yang mengikat kita melalui perbuatan kita, baik untuk tujuan
baik atau jahat. Kita membuat roda
berputar dan mempertanyakan mengapa kita tidak bisa berhenti sambil terus
mendorong putaran itu. Meninggalnya tubuh fisik Sang Buddha menandai
hidupnya yang terakhir, sebab hidupnya yang penuh pengertian dan keteladanan
itu membuat tak ada karma yang tersisa untuk menyebabkan kelahiran
kembali.
III Filsafat Jaina
A. Pemahaman
Pendiri dari aliran ini adalah Seorang
Mahauira yang namanya Wardkamana (abad 6 SM). Aliran filsafat ini bersifat
atheis. percaya bahwa seseorang dapat mencapai kebebasan rohani seperti gurunya.
Ada dua golongan Jaina yaitu: a) Digambara yakni golongan yang sangat
panatik dan bahkan telanjang bulat (berpakaian langit), b) Swetambara
yaitu golongan yang lebih modern menggunakan pakaian serba putih. Kedua
golongan ini menekankan ajaran ahimsa (tidak membunuh menyakiti mahkluk lain).
Pengikut aliran ini umumnya menggunakan masker (penutup mulut). jangan sampai
salah ucap atau mahkluk-mahkluk kecil masuk ke mulut atau hidung.
Bila bepergian selalu membawa sapu (Maswinara, 1999:42).
Pandangan filosofis dari Jainisme adalah
realisasi dan pluralisme dalam pengertian umum yaitu objek-objek yang diterima
adalah nyata. Dunia ini terdiri dari dua realitas yang hidup dan yang mati,
setiap mahkluk hidup memiliki roh atau jiwa oleh karena itu menghindari menyakiti
jiwa (ahimsa). Kata Jaina
berasal dari Jina yang secara
etimologi berarti pemenang atau penakluk. Kata ini erat-erat dihubungkan dengan
nama guru yang mengajarkan suatu paham atau filsafat yang mereka namakan Jaina atau Jainisme, sedangkan penganut paham ini disebut Jaina.
Dalam perjalanan sejarahnya,
para penganut Jainisme terpecah
menjadi dua aliran, yang kini terkenal dengan nama Svetambhara (berbusana putih-putih) dan Digambara (yang bugil). Perbedaan kedua ini sesungguhnya tidaklah
banyak, pada dasar prinsip doktrin filsafat mereka (dan pada umumnya mereka
sepakat dengan hal-hal foundamental), melainkan dalam beberapa hal kecil
mengenai pelaksanaan dan tafsiran kepercayaan mereka. Ajaran-ajaran para guru (Jina) dimasa lampau mereka terima bersama-sama.
Tetapi penganut aliran Digambara
lebih berdisiplin keras dan puritan, sedangkan kaum penganut aliran Svetambara menerima kenyataan-kenyataan
dalam hidup ini seperti misalnya kelemahan-kelemahan umum yang ada pada manusia
biasa dalam masyarakat (Pendit, 2005:73).
B. Metafisika
Jaina
Kaum Jaina
berpendapat bahwa tiap benda yang kita kenal memiliki sifat tak terhitung
banyaknya (anantadharmakam vastu). Mereka berpendapat pula bahwa
tiap benda adalah objek karena sifatnya yang positif dan negatif. Umpamanya,
sifat-sifat positif yang menentukan seorang manusia adalah ukuran badannya,
warna kulitnya, bentuknya, berat badannya, fungsinya, statusnya, keturunanya,
keluarganya, rasanya, kebangsaannya, pendidikannya, tempat dan tinggal
lahirnya, kebiasaannya, usianya dan sebagianya, serba hubungannya yang tak terhitung
jumlahnya. Sebaliknya, sifat-sifat negatif yang menyatakan orang tersebut
adalah segala sesuatu yang menyebabkan bahwa ia bukan itu sebenarya.
Untuk mengetahui dia sepenuhnya, kita
harus mengetahui bagaimana ia berbeda dari segala sesuatunya. Misalnya, kita
harus tahu bahwa ia bukan seorang Eropa, bukan seorang India, bukan seorang
Negro dan sebagainya. Ia bukan seorang Islam, bukan seorang Kristen, bukan
seorang Buddhis, bukan seorang Hindu dan sebagainya. Ia tidak palsu, ia tidak
gila, ia tidak serakah dan sebagainya.
Oleh karena sifat-sifat negatif manusia
terdiri dari keistimewaan perbedaanya dari semua objek lainnya di alam semesta
ini, maka jumlahnya adalah jauh lebih banyak daripada sifat-sifat positit
tersebut. Apabila kita renungkan suatu objek dalam sifat-sifatnya yang positif
dan juga dalam sifat-sifat semua objek lain yang tidak ada padanya (negatif),
maka objek tersebut tidak lagi kelihatan sebagai suatu benda yang sederhana
yang hanya memiliki sejumlah kualitas yang terbatas sebagai kita biasanya
menganggapnya. Objek tersebut lalu menjadi sebaliknya, yaitu suatu benda yang
memiliki sifat-sifat yang tak terbatas (Pendit, 2005:87).
Lagipula, apabila unsur waktu juga
dijadikan pertimbangan, dan kalau diingat bahwa suatu objek mengambil bentuk
baru dengan berubahnya waktu, maka dalam kenyataanya objek tersebut kiranya
semakin memiliki sifat-sifat yang sangat luas dan tak terbatas jumlahnya (anantadharma). Oleh karena itu, seorang
pemikir Jaina yang mengetahui satu
ojek sepenuhnya, sebetulnya mengetahui semua, segala sesuatunya. Hanya seorang
yang serba mengetahui begini inilah yang dapat memiliki pengetahuan serba
lengkap (kevalajnyana) tentang
sesuatu objek. Dan ia tersebut kevali.
Tetapi untuk tujuan-tujuan praktis (vyavahara) pengetahuan sepotong tentang suatu
apa benda itu dan tentang bukan apa
benda tersebut, kiranya telat memadai.
Tetapi hal ini tidaklah menyebabkan kita
harus berpikir (seperti biasanya kita berpikir) bahwa suatu benda tertentu yang
telah kita ketahui sesungguhnya memiliki sifat-sifat terbatas. Demikian pula,
kita harus jangan berpikir, bahwa pengetahuan kita yang biasa tentang benda
tersebut adalah lengkap dan sempurna. Sebab, realitas memiliki bentuk ganda dan
senantiasa berubah, dan tidak ada sesuatupun yang dapat dipandang bereksistensi
sepanjang waktu dalam berbagai cara dan kondisi serta di semua tempat (Pendit,
2005:88).
1. Konsep Tentang Substansi
Dalam
percakapan biasa demikian pula dalam ungkapan filsafat, perbedaan harus ada
antara sifat (dharma) dan yang
memiliki sifat tersebut (dharmi).
Yang memiliki sifat, oleh kaum Jaina
disebut substansi (dravya). Takada
sifat tanpa substansi, demikian pula takada substansi tanpa sifat. Kaum Jaina menerima pandangan filsafat biasa
tentang substansi, tetapi mereka mengemukakan bahwa ada dua macam sifat
terdapat dalam tiap substansi, yaitu yang hakiki dan yang eksidental.
Sifat hakiki suatu
substansi akan tinggal tetap pada substansi tersebut selama substansi itu tetap
ada. Tanpa semua ini, substansi itu akan berhenti ada. Kesadaran adalah sifat
hakiki dari jiwa, tetapi sifat eksidental suatu substansi datang dan pergi,
silih berganti. Keinginan, nikmat, muak, perih, berang dan sebagainya adalah
sifat-sifat eksidental inilah suatu substansi mengalami perubahan dan
pergantian. Ini juga bisa disebut temperamen, watak. Para pemikir Jaina menyebut sifat hakiki yang tak berubah
guna dan sifat eksidental yang berubah-ubah. Jadi, suatu substansi dirumuskan
sebagai sesuatu yang memiliki kualitas (guna)
dan watak atau temperamen (parjaya).
Dunia ini terjadi dari
berbagai macam substansi. Ditinjau dari segi sifat-sifatnya yang hakiki yang
dimiliki oleh substansi asasi maka Dunia ini adalah kekal, permanen. Namun bila
dilihat dari segi sifat-sifatnya yang eksidental yang mengalami perubahan dan
pergantian maka Dunia ini adalah tidak kekal. Berdasarkan pandangan tersebut di
atas, kaum Jaina beranggapan bahwa
pemikir Buddha yang mengatakan tidak
sesuatupun sebenarnya kekal atau permanen dalam alam semesta ini, segala sesuatunya berubah-ubah dari saat ke
saat atau sementara (kshanikavada)
adalah berat sebelah dan dogmatis. Demikian pula keliru dan salahnya pandangan
para pemikir Vedantin yang monistis
yang menyatakan bahwa perubahan itu tidak benar dan kenyataan itu adalah mutlak
tak berubah (nityavada) (Pendit,
2005:89).
Masing-masing hanya
melihatnya dari satu segi kebenaran belaka (ekanta) dan karenanya telah
melakukan pemalsuan kenyataan yang eksklusif. Perubahan dan kekekalan, kedua-duanya
adalah nyata dan benar. Segala sesuatunya ada dan tiada (sadasadatmakam). Hendakya jangan ditafsirkan bahwa adalah
bertentangan untuk menyatatakan suatu substansi tertentu (atau alam semesta ini
sebagai keseluruhannya) mengalami perubahan, dan juga tidak. Perubahan
substabsi adalah benar dalam satu hal, sedangkan kekal dalam hal lain.
Kontradisi tersebut lenyap apabila kita ingat bahwa tiap kenyataan adalah
relatif dan tidak absolut seperti diajarkan oleh teori syadvada. Suatu substansi adalah nyata. Kenyataan ini terdiri dari
tiga faktor yaitu: Kekekalan, asal mula, keausan.
Dalam substansi terletak
esensi yang tak berubah dan oleh karenanya adalah kekal, permanen. Lain dari
itu, ada pula faktor asal mula dan keausan, sifat yang berubah-ubah (parjaya). Jadi ketiga faktor ini
menunjukkan adanya kenyataan dalam suatu substansi. Dengan jalan menerima teori
tentang kenyataan tersebut di atas, pemikir Jaina
menolak pandangan pemikir Buddha yang
mengatakan bahwa kenyataan terdiri dari efisiensi kausal, yaitu bahwa suatu
objek adalah nyata bila ia sanggup menimbulkan akibat. Kriteria ini adalah
salah, sebab menurut teori tersebut seperti misalnya seekor ular bayangan harus
dinyatakan nyata karena dapat menimbulkan efek seperti rasa takut, lari terbirit-birit,
berteriak dan sebagainya. Dari kesalahan ini, kriteria pemikir Buddha tentang
kenyataan menghapus teori kesementaraan benda-benda yang berubah-ubah menjadi
tak benar.
Terhadap teori kesementaraan yang
hanya sepihak ini, kaum Jaina memberi
argumentasi sebagai berikut:
a) Seadainya segala sesuatu itu bersifat sementara, maka jiwa juga adalah
sementara. Dan karenanya, kita tidak dapat menjelaskan tentang kenangan,
ingatan, perasaan, pengenalan segera identitas seseorang dan sebagainya.
b) Kelepasan (siddha) akan berarti
omong kosong, sebab tidak akan ada jiwa yang kekal yang harus dibebaskan.
c) Tidak suatu hidup pun yang bermoral dimungkinkan, sebab seorang manusia
yang sementara tidak dapat berusaha untuk mencapai tujuan akhir yang dimuliakan
dalam hidup ini, seperti misalnya seseorang mulai berusaha untuk menghasilkan
suatu buah karya karena ia didorong oleh suatu keinginan agar hasil karya
tersebut dapat dinikmati oleh seseorang yang bakal menggantikan ia kelak.
d) Akhirnya, tidak akan ada hukum moral, Konsekuensi tindakan seseorang akan
hilang dari padanya (kritapranasa),
dan konsekuensi perbuatan orang lain akan menimpa dirinya ( akritabhyupagama).
e) Keadaan sementara belaka tidak akan memiliki suatu rangkaian sendiri, sebab
tanpa sesuatu yang kekal yang mengalir melalui sifat yang berubah-ubah itu,
sebagai halnya keadaan yang berubah-ubah tersebut tidak bisa merangkul
sekaligus guna membentuk kesatuan yang berlangsung terus-menerus.
f) Baik persepsi maupun inferensi tidak akan dapat menjelaskan adanya sesuatu
apapun di Dunia ini, di mana hanya ada perubahan-perubahan belaka dan tidak ada
unsur kelanjutan dari padanya.
2. Klasifikasi Substansi
Menurut kaum Jaina klasifikasi substansi adalah Substansi yang diperluas (astikaya) substansi yang tak diperluas (anastikaya). Menurut pemikir Jaina, hanya ada satu substansi yang
tidak dapat diperluas, yaitu waktu (kala).
Semua substansi memiliki perluasan, dengan istilah umum dalam bahasa Sanskerta
disebut astikaya, sebab setiap substasi dalam jenis ini ‘ada’ (asti) seperti suatu ‘badan’ (kaya) memiliki perluasan.
Substansi yang memiliki
perluasan dibagi dalam dua macam: (1) Yang hidup (jiva) dan (2) Yang takhidup (ajiva).
Substansi yang hidup identik dengan jiwa atau roh. Jiwa dapat pula dibagi dalam
dua klasifikasi: (1) Jiwa beremansipasi sempurna (mukta) dan (2) Jiwa terbelenggu (baddha). Dan jiwa terbelenggu ini ada dua macam pula, yaitu (1)
Yang mampu bergerak (trasa) dan (2)
Yang takmampu bergerak (sthavara).
Substansi yang memiliki
hidup tak mampu bergerak memiliki jenis badan yang paling tidak sempurna.
Mereka ada dalam lima macam badan terbuat dari tanah, air, api, udara dan
tumbuh-tumbuhan. Mereka ini hanya memiliki indra sentuh, jadi, mereka hanya
memiliki kesadaran penyetuhan belaka. Substansi yang memiliki kemampuan hidup
bergerak memiliki badan dari berbagai tingkatan kesadaran dan memiliki beragam
indra, dari dua, tiga, empat sampai lima.
Jiwa atau substansi yang
hidup seperti cacing memiliki dua indra, terdiri dari indra sentuh dan idra
rasa. Seperti semut memiliki tiga indra terdiri dari indra sentuh, rasa dan
bau. Seperti kumbang memiliki empat indra terdiri dari indra sentuh, rasa, bau
dan lihat. Binatang yang lebih tinggi derajatnya, seeperti binatang buas,
burung dan manusia, memiliki lima indra terdiri dari indra sentuh, rasa, bau,
lihat dan dengar. Substansi yang tak hidup yang memiliki perluasan adalah dharma, adharma, akasa dan pudgala.
Tabel di bawah ini akan menjelaskan skema klasifikasi substansi yang dimaksud
oleh kaum Jaina (Pendit,
2005:90-93).
3. Jiwa
Jiwa adalah substansi yang
sadar. Kesadaran adalah intisari jiwa. Ia selalu ada dalam jiwa, walaupun sifat
dan tingkatannya dalam keadaan berubah-ubah. Jiwa, secara teori, dapat disusun
dalam suatu urutan terus menerus sampai pada tingkat kesadaran tertinggi. Pada
akhir tertinggi ini terdapat jiwa-jiwa sempurna (paramatman) yang dapat mengatasi semua karma dan telah mencapai
tingkatan serba-maha-tahu.
Sebaliknya, pada titik
terendah urutan ini akan terdapat jiwa paling tidak sempurna yang mendiami
wadang tanah, air, api, udara, dan tumbuh-tumbuhan. Pada diri mereka ini hidup
dan kesadaran seolah-olah tidak ada. Tetapi sebenarnya pada diri mereka pun
semacam kesadaran sentuh ada, hanya saja di sini kesadaran tersebut berada
dalam bentuk terlelap, disebabkan kuatnya pengaruh rintangan-rintangan yang
menghalang-halangi. Diantara urutan-urutan jiwa inilah terdapat jiwa yang
memiliki dua sampai lima indra, seperti cacing, semut, kumbang dan manusia
(Pendit, 2005:93-94).
Jiwa inilah yang
mengetahui segala sesuatunya, jiwalah yang melaksanakan tindakan kerja, jiwalah
yang menikmati kepuasan, menderita sakit dan jiwalah yang memanifestasikan
dirinya dan objek-objek lain. Jiwa ini kekal, tetapi juga mengalami perubahan-perubahan
keadaan. Ia adalah berbeda dengan wadag jasmani dan kehadirannya dapat
dibuktikan secara langsung atas kesadarannya sendiri.
Disebabkan oleh
kecenderungan-kencenderungan yang diturunkan oleh perbuatannya di masa lampau,
suatu jiwa dapat menghuni berbagai wadag jasmani berturut-turut. Ibarat suatu
nyala, jiwa menerangi atau memberi kesadaran kepada seluruh wadag jasmani di
mana ia berada. Walaupun jiwa tidak memiliki bentuk (murti), ibarat sinar cahaya, ia memperoleh ukuran dan bentuk
sebesar dan seluas wadag di mana ia berada. Dalam hal inilah jiwa, walaupun
tanpa bentuk, dikatakan melingkupi ruang (lokakasa)
atau memiliki perluasan (astikaya).
Jiwa tidak terbatas, tetapi meluas seluas wadag yang dihuninya, karena ia
secara langsung dapat mengetahui hanya objek-objek yang ada dalam wadag itu.
Jadi, kesadaran hanya ada dalam wadag saja tidak di mana-mana.
Pemikir Jaina merumuskan bahwa jiwa adalah
terutama ‘suatu makhluk hidup’. Kesadaran terdapat di tiap bagian wadag jasmani
hidup ini, dan apabila kesadaran memang sebagai sifat jiwa, maka jiwa harus
diakui ada dalam tiap bagian wadag ini, dan oleh karenanya meliputi ruang.
Kemampuan jiwa untuk meliputi ruang juga diakui oleh pemikir-pemikir Hindu
lainnya, juga oleh pemikir Yunani seperti Plato, demikian pula oleh pemikir
barat modern seperti Alexander.
Tetapi harus
pula diingat bahwa jiwa dapat meliputi ruang hanya dalam artian bahwa jiwa itu ada di berbagai bagian ruang, dan
bukan memenuhi ruang tersebut seperti benda materi. Benda materi suatu bagian
ruang sedemikian rupa sehingga selama ia ada di situ, tidak ada benda materi
yang meliputinya. Tetapi kehadiran jiwa disuatu ruang tertentu tidak akan
menghalang-halangi kehadiran jiwa lain dalam ruang yang sama tersebut. Jadi,
dua jiwa atau lebih mungkin saja dalam ruang yang sama, menurut para pemikir Jaina, seperti halnya dua atau tiga
cahaya lampu yang menerangi satu ruangan.
Kaum Jaina
merasa perlu untuk menanggapi pandangan kaum Carvaka mengenai jiwa ini. Gunaratna, seorang pemikir Jaina, memberi argumentasi terhadap
skeptisisme kaum Caarvaaka dan telah
membuktikan adanya jiwa, sebagai berikut: Adanya jiwa ini dapat dibuktikan
dengan pengalaman langsung tanpa ada kontradiksi pikiran “saya menikmati
kesenangan“. Apabilan kita mempersepsi sifat suatu substansi, kita akan mengetahui
bahwa kita mempersepsi substansi tersebut, umpamanya ketika kita melihat warna
kemawar-mawaran, kita mempersepsi substansi bunga mawar di mana sifat warna tersebut adalah miliknya. Dengan alasan yang sama, kita dapat
mengatakan bahwa jiwa itu dapat dipersepsi langsung, karena segera pula kita
mempersepsi sifat jiwa, seperti kenikmatan, duka, kenangan, muak, kebimbangan,
pengetahuan, dan sebagainya (Pendit, 2005:95-96).
Adanya jiwa dapat pula secara tak langsung
dibuktikan dengan inferensi sebagai berikut: wadag jasmani ini dapat
digerakkan, dipindahkan dan dikendalikan atas kemauan kita, ibarat sebuah
kereta, dan karenanya tentu ada sesuatu yang menggerakkan, memindahkan dan
mengendalikannya. Indra adalah untuk melihat, mendengar, mencium dan sebagainya.
Ia hanyalah alat dan tentulah ada sesuatu wali yang mengerjakannya,
memerintahkannya. Lagi pula pastilah ada suatu penyebab efisien karena objek-objek
materi yang memiliki asal mula membutuhkan suatu wali untuk menciptakan
penyebab material tersebut. Jadi dengan jalan begini adanya suatu substansi
seperti jiwa dapat diinferensi.
Kaum Carvaka
berpendapat bahwa kesadaran adalah produk unsur-unsur material. Tetapi kita
sesungguhnya tidak pernah mempersepsi di manapun dan bagaimana pun perkembangan
kesadaran unsur-unsur material yang tak sadar itu. Dan kaum Carvaka hanya percaya bahwa hanya
persepsilah yang merupakan sumber pengetahuan yang benar. Pertanyaan lalu
timbul, bagaimanakah mereka membuktikan. Bilamana dan apa-apa saja yang
tidak dapat diyakinkan oleh persepsi? Walaupun seandainya inferensi juga
diterima oleh kaum Carvaka, namun
tidaklah mungkin untuk membuktikan bahwa kesadaran itu adalah disebabkan oleh
benda materiil atau wadag jasmani. Sebab, seandainya wadag jasmani ini
merupakan sebab-sebab kesadaran, maka tidaklah aka nada kesadaran yang absen
selama wadag jasmani ini ada, dan oleh karenanya hilangnya atau absennya
kesadaran kesadaran waktu tidur, atau waktu pingsan, atau dalam tubuh yang
mati, tidaklah mungkin. Tambahan pula, kita tidak dapat membuktikan hubungan
yang seiring bergantian antara wadag jasmani dan kesadaran; dan perkembangan
serta kehancuran wadag jasmani ini tidak semestinya diikuti oleh perubahan-perubahan
yang berhubungan dengan kesadaran tersebut. Karenanya, tidak satupun hubungan
sebab-akibat antara benda material atau wadag jasmani dan kesadaran dapat
dibuktikan, sekalipun dengan inferensi (Pendit, 2005:97).
Mungkin kaum Carvaka
akan mengatakan bahwa walaupun tidak setiap benda material menciptakan kesadaran,
namun apabila benda-benda material itu diatur atau disusun sedemikian rupa
menjadi suatu wadag jasmani yang hidup, maka ia akan menciptakan kesadaran itu.
Sebagai jawaban atas argumentasi ini, kaum Jaina
menyatakan bahwa tanpa adanya pengatur atau organisator yang dimaksud, benda
material tidaklah mungkin dibentuk menjadi wadag jasmani. Dan pengatur atau
organisator tersebut adalah jiwa itu sendiri.
Ungkapan seperti ‘saya kuat’, ‘saya kurus’, ‘saya
lapar’, ‘saya cinta’ yang oleh kaum Carvaka
dicoba mempergunakannya untuk membuktikan bahwa jiwa itu sama dengan wadag
jasmani, hendaknya harus diartikan secara figurative dan bukanya secara benar
tepat. Sering jiwa menganggap dirinya seolah-olah wadag jasmani ini belaka,
sebab jiwa tersebut secara erat berkepentingan pada wadag jasmani (Pendit,
2005:98).
Dunia benda fisika, dimana jiwa-jiwa hidup,
tercipta dari benda-benda materiil yang dihuni oleh jiwa-jiwa dan objek-objek
materiil lain yang membentuk lingkunganya. Tetapi selain dari subtansi materiil ini, ada pula
ruang, waktu dan kondisi gerak serta kondisi diam (Dharma dan Adharma), yang tanpa denganya dunia
beserta segala isi dan kejadianya tidak bakal mungkin dapat dijelaskan. Maka kaum Jaina menerangkan hal tersebut satu persatu (Pendit, 2005: 98).
4. Benda Materiil (Pudgata)
Kaum Jaina
menyebut benda materiil pudgala, yang
dalam istilah etimologinya berarti “sesuatu yang dapat berintegrasi dan
berdisintegrasi” (purayanti galanti ca).
Substansi materiil dapat dikombinasikan bersama untuk membentuk kesatuan yang
besar dan lebih besar lagi, dan juga dapat dibagi-bagi lebih kecil dan lebih
kecil lagi, dan juga dapat diurai lebih kecil dan lebih kecil lagi. Uraian
terkecil benda materiil yang tidak dapat dipecah lagi adalah atom (anu), yang tidak mempunyai bagian lagi
dan langgeng. Formasi berbagai substansi dikarenakan oleh atau berbagai tingkah
kombinasi atom yang bersifat geometris, bulat atau kubik berkat tingkah susunan
dalam dan berkat berbagai tingkat ruang antar atom (ghanapratarabhedena). Beberapa kombinasi terjadi karena adanya
saling hubungan antara dua kutub (yugmapradesa),
sedangkan yang lainya disebabkan adanya daya tarik masing-masing kutub (ojahpradesa).
Dua atau lebih atom dapat disatukan bersama untuk
membentuk satuan yang disebut sanghata atau
skandha. Wadag jasmani kita dan
objek-objek alam adalah kesatuan-kesatuan yang dibentuk dari atom-atom
materiil. Menurut kaum Jaina, pikiran
(manas), ucapan dan pernapasan adalah
juga produk dari substansi materiil ini.
Pudgala
memiliki empat sifat,
yaitu sifat sentuh, rasa, cium, dan warna. Sifat-sifat ini dengan sendirinya
juga dimiliki oleh atom dan juga kesatuan-kesatuan yang terbentuk olehnya, yang
perbedaan pembentukanya disebabkan oleh perbedaan tingkah kombinasinya. Bunyi
suara bukanlah sifat asli seperti keempat sifat tersebut di atas. Kaum Jaina berpendirian bahwa bunyi (suara),
bersama cahaya, panas, bayang-bayang, gelap, integrasi, disintegrasi,
keindahan, kegedean, bentuk adalah sesuatu yang timbul kemudian secara
eksidental dari modifikasi benda materiil (Pendit, 2005:99).
5. Ruang (Akasa)
Tugas ruang adalah untuk menyediakan tempat bagi
kehadiran semua substansi yang diperluas. Jiwa, benda materiil, Dharma (kondisi gerak) dan Adharma (kondisi diam) semua ada dalam
ruang. Walaupun ruang tidak dapat dipersepsi, namun kehadiranya dapat diketahui
dengan jalan inferensi, sebagai berikut: Substansi yang diperluas dapat
memiliki perluasan hanya dalam suatu tempat, dan ini disebut ruang (akasastikaya). Walaupun dapat diperluas
adalah sifat wajar beberapa substansi, tidak ada substansi yang tidak memiliki
sifat tersebut dapat diperluas oleh ruang, namun adalah benar juga bahwa dalam
untuk bisa diperluas suatu substansi membutuhkan ruang sebagai kondisi yang
memang diperlukan. Substansi adalah sesuatu yang meliputi atau menduduki,
sedangkan ruang adalah sesuatu yang diliputi atau diduduki. Ruang bukanlah sama
dengan apa yang disebut perluasan, melainkan lokasi perluasan tersebut, atau
lokasi benda-benda materiil yang diperluas. Kaum Jaina membedakan dua macam ruang. Ruang yang berisi Dunia di mana
jiwa-jiwa dan substansi-substansi lain berada (lokakasa) dan ruang kosong di luar semua itu (alokakasa) (Pendit, 2005:100).
6. Waktu (Kala)
Waktu memungkinkan adanya
kelangsungan modifikasi gerak. Waktu diiferensi sebagai suatu kondisi yang
tanpa denganya substansi tidak dapat memiliki sifat-sifat tersebut diatas,
waaupun adalah benar bahwa, waktu belaka tidak dapat menyebabkan suatu
substansi memiliki sifat. Tetapi tanpa waktu sesuatu itu tak dapat bertahan
atau terus berlangsung: lamanya waktu menunjukan saat-saat yang menyebabkan
eksistensi ini berlangsung. Modifikasi atau perubahan keadaan juga tak dapat
dibayangkan dengan tanpa waktu. Demikian pula gerak, yang menyatakan adanya
keadaan yang berturut-turut suatu benda, hanya dapat dibayangkan dengan adanya
waktu.
Para pemikir Jaina membeda-bedakan antara waktu sejati (paramarthika) dan waktu empiris (vyavaharika) atau konvensional (samaya).
Lamanya waktu (vartana) adalah tanda
waktu sejati , sedangkan berbagai macam perubahan waktu tanda waktu
konvensional yang secara tradisional dibagi dalam saat-saat, detik, menit, jam,
hari dan seterusnya, dan terbatas oleh suatu permulaan dan akhir. Tetapi waktu
yang benar dan sejati adalah tanpa bentuk dan langgeng (Pendit, 2005:101).
7. Kondisi Gerak dan Kondisi
Diam
Seperti halnya dengan ruang dan
waktu, kedua substansi Dharma (kondisi
gerak) dan Adharma (kondisi diam) ini
dibuktikan eksistensinya dengan jalan inferensi. Mobilitas dan imobilitas,
bergerak dan berhenti adalah dasar inferensi tersebut. Kaum Jaina
menjelaskan persis ibaratnya gerakan seekor ikan dalam kolam. Walaupun gerakan itu dimulai oleh
ikan itu sendiri, namun tidaklah mungkin tanpa adanya media, yaitu air dalam
kolam tersebut, yang karenanya adalah merupakan suatu kondisi harus. Demikian
halnya dengan gerakan suatu jiwa atau suatu benda materiil, membutuhkan suatu
kondisi tambahan yang tanpa denganya gerakan tidak dimungkinkan. Keempat
substansi (ruang, waktu, dharma dan adharma) adalah kondisi kausal (karana) yang memiliki kedudukan
masing-masing tersendiri. Dalam hubungan ini ruang, waktu, dharma dan adharma
termasuk dalam kondisi kausal alat, tetapi ia harus dibedakan dari kondisi alat
biasa ia adalah lebih tidak langsung dan pasif, ibarat batu penyangkan tempat
membuat kendi bertumpu saat dibuat oleh si tukang kendi.
Baik dharma atau adharma,
walaupun bertentangan satu sama lain (kondisi gerak lawan diam) kedua-duanya
adalah sama tidak aktif, tanpa bentuk, tidak bergerak, langgeng dan
kedua-duanya meliputi seluruh ruang alam semesta ini (lokakasa), di luarnya adalah kosong, hampa belaka. Menurut
kosmografi Jaina, Dunia ini adalah
langgeng, tanpa permulaan dan akhir, di mana kebahagiaan dan kesengsaraan
dialami sebagai akibat dari kebajikan dan kejahatan, terdiri dari tiga bagian
yaitu urdhva (di mana para dewata
bersemayam), Madhya (Dunia kita ini) dan adho (di mana penghuni neraka berdiam). Jiwa-jiwa sempurna bangkit langsung melintasi urdhvaloka ke puncak lokakasa ini, di mana tiada gerak dan
langgeng (Pendit, 2005:103).
C. Etika Jaina
Bagian terpenting filsafat Jaina adalah etikanya. Metafisika atau
epistemology maupun pengetahuan lain mana pun berguna bagi kaum Jaina,
selama semua itu menolong mereka untuk berbuat kebajikan. Tujuan berbuat baik
adalah kelepasan (moksha), yang berarti terlepasnya belenggu jiwa dan
tercapainya kesempurnaan. Terbelenggu dalam pengertian filsafat pada umumnya
berarti terjerat dalam siklus kelahiran dan semua penderitaan yang menjadi
konsekuensi kelahiran tersebut. Namun demikian, konsep umum tentang
keterbelengguan ini ditafsirkan oleh berabagai aliran menurut tanggapan dan
cita-cita masing-masing pribadi dan dunianya.
Bagi
kaum Jaina, pribadi yang menderita
adalah suatu substansi yang hidup dan sadar yang dinamakan jiwa. Pada dasarnya,
jiwa adalah sempurna. Jiwa memiliki potensi tak terbatas, keyakinan tak terbatas,
kekuatan tak terbatas dan rahmat yang tak terbatas pula. Milik ini semua dapat
dicapainya kembali apabila jiwa dapat membebaskan dirinya sendiri dari semua
belenggu yang menghalanginya.
Apakah sesungguhnya rintangan dan belenggu
tersebut dan bagaimanakah ia bisa merampas jiwa hingga tercampak dari semua
kesempurnaan yang memang menjadi miliknya sendiri? Kaum Jaina menekankan bahwa rintangan, belenggu, ini terdiri dari
bagian-bagian benda materiil yang menghinggapi jiwadan menyelubungi, menaklukan
sifat-sifatya yang asal. Dengan kata lain, rintangan atau belenggu yang kita
jumpai pada tiap pribadi adalah disebabkan oleh benda materiil yang kemudian
diidentifikasi dengan dirinya sendiri. Wadag jasmani kita ini diperbuat oleh
partikel-partikel benda materil (pudgala). Untuk penbentukan suatu macam benda tertentu, jenis-jenis
partikel benda materiil harus diatur, disusun, dengan jalan tertentu pula.
Dalam pembentukan wadag jasmani ini kekuatan yang menuntun adalah nafsu jiwa
itu sendiri.
Jiwa dengan nafsu-nafsu keinginanya atau
dengan kekuatan-kekuatan karmanya di masa lampau, oleh kaum Jaina dipandang sebagai organisator
wadag jasmani ini, yang merupakan sebab efisiennya, sedangkan benda materiil
merupakan sebab materiilnya. Organisme yang diperoleh oleh jiwa, bukan saja
wadag besar yang kelihatan ini, melainkan juga indria, pikiran, kekuatan-kekuatan
vital dan semua unsur lainya yang membendung, menyelubungi dan membatasi
potensi-potensi utama jiwa tersebut.
1. Karma
Wadag jasmani yang kita warisi dari orang
tua kita bukanlah suatu pemberian yang kebetulan belaku. Karma kita di masa-masa lampau menentukan keluarga
di mana kita dilahirkan. Demikain pula sifat badan kita, warna kulit, bentuk
potongan/badan, panjangnya usia, jumlah dan sifat organ indra dan organ
penggerak yang dimilkinya, semuanya kalau diambil secara kolekrif, dapat
disebabkan oleh karma, yang secara kolektif merupakan karma sendiri (yaitu
semua jumlah tedensi yang diturunkan oleh kehidupan di masa lampau).
Kaum Jaina
menyebut banyak jenis karma dan memberi nama kepada masing-masing efek yang
ditimbulkan olehnya. Misalnya, Gotra adalah karma yang menentukan
keluarga di mana kita dilahirkan, Ayuska
adalah karma yang menentukan lamanya kita hidup, Nama adalah karma yang
menentukan watak pribadi seseorang. Antaraya adalah karma yang
menghalang-halangi jiwa untuk berbuat kebajikan. Demikian pula kita diberitahu
oleh kamu Jaina bahwa ada karma yang
menyelubungi pengetahuan (jnyanavaraniya),
yang menimbulkan ilusi (mohaniya),
dan yang menghasilkan rasa kenikmatan dan kedukaan (vedaniya).
Nafsu-nafsu yang menyebabkan belenggu jiwa adalah amarah, sombong, birahi dan loba (krodha, manah, maya, lobha). Semua ini
disebut kasaya yaitu substansi yang
lengket, karena kehadiranya dalam jiwa menyebabkan partikel-partikel benda
materiil lekat padanya. Menurut Jaina
terbelenggunya jiwa adalah mulai berpangkal dari pikiran.
Ada dua macam belenggu menurut para pemikiran Jaina, yaitu: (1) Belenggu mental yang
dalam-dalam mencekam jiwa pada hal-hal yang buruk (bhava bandha) dan, (2) Belenggu yang materiil, yaitu hubungan jiwa
dengan benda duniawi (dravya bandha).
Sesungguhnya, jiwa itu hampa perluasan tetapi pro perluasan dengan wadag
jasmani yang hidup. Jiwa adalah substansi yang hidup dam dalam tiap bagian
badan yang hidup dan dalam tiap bagian badan yang hidup kita jumpai benda
materiil maupun kesadaran (Pendit, 2005:105-106).
2. Kelepasan (Moksa)
Bila belenggu berarti jiwa berasosiasi
dengan benda materiil, maka kelepasan harus berarti terhentinya asosiasi ini
secara mutlak antara jiwa dan benda materiil. Ini dapat dilaksanakan dengan
jalan mehentikan arus masuk benda materiil baru ke dalam jiwa serta
menghilangkan secara total seluruh pencampurbauran yang telah terjadi antara
benda materiil dan jiwa. Tingkat
pertama menghentikan disebut (samvara)
dan tingkat kedua kikisnya karma dari jiwa disebut (nirjara). Kita telah
mengetahui nafsu jiwa menjurus kepada asosiasi jiwa degan benda materiil. Meneliti
sebab nafsu-nafsu tersebut, kita jumpai bahwa nafsu itu muncul karena
ketidaktahuan. Keidaktahuan kita tentang sifat sejati jiwa dan benda-benda
materiil menyebabkan timbulnya amarah, angkuh, birahi, dan lobha.
Hanya pengetahuanlah yang dapat menghapus
ketidaktahuan ini. Karenanya, kaum Jaina
selalu menekankan betapa pentingnya kita memiliki pengetahuan yang benar atau
pengetahuan tentang kebenaran. Pengetahuan benar dapat dicapai dengan hanya
mempelajari secara tekun dan hati-hati kepada ajran guru (tirtankara) yang serbamahatahu, yang telah mencapai kelepasan dan
yang selanjutnya tepat untuk memimpin yang lain-lain untuk membebaskan diri
dari belenggu.Tetapi sebelum kita merasa perlu untuk mempelajari
ajaran-ajaranya, kita harus mengetahui sebelumnya secara luas apa-apa yang
esensialdalam ajaran-ajaran tersebut, dan memiliki keyakinan akan hasil ajaran
ajaran guru-guru yang berwenang itu.
Keyakinan benar yang didasarkan atas
pengenalan pertama-tama secara umum disebut samyagdarsana,
yang akan meluruskan jalan menuju ke pengetahuan sejati disebut Samyagjnyana: hal ini selanjutnya harus
dipandang sebagai yang tidak bisa diabaikan, tetapi hanya berupa pengetahuan
belaka adalah tidak berguna apabila tidak dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari. Untuk pelaksanaan ini di butuhkan tingkah laku benar disebut samyagcarita, yang oleh kaum Jaina dipandang sebagai hal ketiga yang
tidak boleh diabaikan guna mencapai kelepasan. Keyakinan benar, pengetahuan
benar, dan tingkah laku yang benar merupakan etika moral yang oleh kaum Jaina disebut tiga mutiara (triatma)
yang menjadi inti hidup bijak. Umaspati menyatakan ajaran agung jainisme ini sebagai berikut: “jalan
menuju kelepasan terletak pada keyakinan benar, pengetahuan benar dan tingkah
laku benar”. Dan kelepasan ini adalah perpaduan dari ketiga-tiganya (Pendit,
2005:107-108).
3. Keyakinan Benar
Keyakinan benar dirumuskan oleh Umasvati sebagai
suatu sikap kebaktian terhadap kebenaran (sradha).
Keyakinan awalnya adalah sikap wajar, pertama karena ia di dasarkan atas suatu
perkenalan permulaan menurut proporsinya yang wajar pula, kedua karena tanpa
adanya keyakinan permulaan ini tiadalah mungkin daya rangsang untuk
mempelajarinya lebih jauh. Seorang pemikir skeptis sekalipun yang baru mulai
mempelajari sesuatu secara rasional, hendaknya memiliki sekedar keyakinan pada
keguanaan metode dan pada subjek yang ia sedang pelajari (Pendit, 2005:108-109).
4. Pengetahuan Benar
Pengetahuan benar harus menjadi dasar
keyakinan pada mulanya. Dan apabila keyakinan ini pada mulanya sudah didasarkan
atas pengetahuan benar tentang ajaran-ajaran yang esensial, maka pengetahuan benar
ini dapat dirumuskan menjadi pengetahuan yang benar adalah pengenalan
terperinci tentang sifat asli ego dan non ego serta bebas dari keragu-raguan,
kesalahan dan ketidakmenentuan kita mengetahui beberapa cara untuk memproleh
pengetahuan benar menurut epistemology Jaina.
Bila kita mengerti suatu benda, kita harus mengetahui dan menghubungkannya
dengan segala sesuatunya. Seperti halnya dengan keyakinan, demikian pula dengan
pengetahuan bahwa adanya tendensi dalam karma tertentu yang
menghalang-halangi jalannya pengetahuan benar. Karenanya, untuk mencapai
pengetahuan sempurna, menyingkirkan karma
tersebut adalah hal yang mutlak harus dilakukan. Kesempurnaan proses ini akan
menghapus segala karma yang berakhir pada titik kulminasi pencapaian serba maha
tahu (kevaladnyana) (Pendit, 2005:
109-110).
5. Tingkah Laku Benar
Nemicandra dalam bukunya Dravyasanggraha menjelaskan dengan tepat
bahwa tingkah laku benar adalah tindakan menahan perbuatan yang menyakiti dan
mengerjakan apa yang berguna dengan menguntungkan bagi masyarakat, dengan kata
lain, berbuat segala sesuatu yang menolong jiwa untuk membebaskan diri dari karma yang menyebabkan jiwa terbelenggu
dan menderita. Untuk memberhentikan arus masuk karma baru dan menghapus karma lama, orang harus melaksanakan
lima sumpah agung (pancamahavrata) sebagai pedoman kesempurnaan tingkah
laku (Pendit, 2005:110).
6. Lima Sumpah Agung
Banyak yang mengagung-agungkan nilai-nilai sumpah
agung ini, seperti dinyatakan dalam Upanisad
dan lain-lainnya. Tetapi kaum Jaina
mencoba melaksanakannya secara sungguh-sungguh dan penuh disiplin yang oleh
orang lain jarang mau dilaksanakan, sumpah itu terdiri dari:
(1)
Ahimsa
Tidak menyakiti semua
mahluk hidup. Kaum Jaina secara
sungguh-sungguh menghindari pembinasaan terhadap hidup. Tidak saja pada
binatang-binatang yang bergerak, tetapi juga yang tidak bergerak. Sikap ahimsa kaum Jaina ini merupakan hasil logis dari teori metafisika mereka tentang
persamaan potensial semua jiwa. Dan pengakuan mereka terhadap prinsip tibal
balik dari “ apa yang kita perbuat terhadap orang lain, orang lain akan berbuat
sama terhadap kita”. Karenanya, bagi kaum Jaina,
hormat pada hidup dimanapun ia berada, baik dalam manusia maupun binatang dan
sebagainya, adalah merupakan tugas hidup yang tidak dapat di
tangguh-tangguhkan. “dia yang Kaum Jainam
brusaha melaksanakan perinsip ahimsa, kaum Jainam bukan hanya tidak melakukan pembunuhan, melainkan juga
melakukan pikiran atau berkata dalam membunuh pun mereka tolak.
(2)
Satiyam
Tidak berbohong tanpa
kepalsuan. Bukan hanya berbicara kebenaran, melainkan juga berbicara yang baik
dan enak di dengar oleh telinga. Sebab, hanya berbicara apa yang benar mungkin
bisa berkata kasar, tidak sopan, dangkal, menyinggung, menghina dan lain
sebagainya. Kebenaran sebagai sumpah murni juga disebut sunrita, yang
berarti bahwa kebenaran itu tidak saja benar melainkan juga baik dan
menyenangkan. Untuk melakukan itu semu seseorang harus bisa menaklukan
kelobaan, ketakutan, amarah, serta menghapuskan bergurau dan keangkuhan.
(3) Asteyam.
Tidak mencuri.
Sumpah ini menandung arti tidak mengambil apapun yang tidak diberikan. Kesucian
milik orang lain, seperti hidupnya sendiri, adalah sangat di hormati bagi kaum Jaina. Dan kaum Jaina berangapan mengambil kekayaan seseorang adalah merampas
kondisi esensial bagi hidupnya sendiri.
(4)
Brahmacariam.
Tidak memanjakan keinginan diri sendiri. Sumpah ini biasa di artikan
sebagai sumpah seseorang silibasi, cantrik (tanpa kawin)
seseorang yang menolak antara hubungan antara pria dan wanita. Namun kaum Jaina mengambil pengertian lebih
mendalam lagi yaitu bukan saja penolakan kelamin saja lebih jauh kaum Jaina melancarkan keritik diri sendiri
dengan menyatakan, walaupun kenikmatan lahir dapat di hentikan, namun ia bisa
berlangsung dalam hal yang lebih halus yaitu ucapan, pikiran, harapan nanti
hidup di Dunia sana, dan lain sebagainya. Untuk itu orang yang ingin melakukan
sumpah ini sepenuhnya, orang harus menolak sepenuhnya segala bentuk memanjakan
keinginan diri sendiri, lahir maupun batin.
(5)
Aparigraha
Bebes dari segala
ikatan. Sumpah ini menyatakan lepasnya dari semua ikatan indria kita pada objek
seperti: suara/bunyi, raba, warna, rasa, dan bau nikmat. Karena ikatan duniawi berupa
belenggu pada dunia. Oleh karena itu Jaina
menekankan utama pada sumpah ahimsa, karena ahimsa merupakan akar dari
semua kebajikan. Pengetahuan, keyakinan, dan tingkah laku tidak bisa
dipisah-pisahkan. Dengan melaksanakan sumpah agung (pancamahavrata) penyempurnaan itu dapat tercapai. Apa bila
seseorang dengan jalan perkembangan harmonis diantara ketiga-tigenya berhasil
menaklukan semua nafsu dan kekuatan karma lama maupun baru, maka jiwa akan
bebas dari belenggu benda material dan jiwa akan mencapai kelepasan. Dan
mencapai empat kesempurnaan (ananta catushataya); (1) Pengetahuan tak terbatas
(2) Keyakinan tak terbatas, (3) Kekuatan tak terbatas dan (4) Rahmat tak terbatas.
7. Jainisme Sebagai Agama
Jainisme
bersama-sama dengan Buddhisme merupakan
agama tanpa menyinggung-nyinggung masalah ketuhanan. Atehisme kaum Jaina ini didasarkan atas faktor-faktor
bahwa:
(1) Tuhan tidak dapat di proses, karena harus di buktikan dengan empiris.
(2) Karena esensi Tuhan di sansikan, maka atribut-atribut, seperti mahakuasa,
mahapengasih dan sebagainya dijadikan sifat Tuhan, juga disangsikan dan di
ragukan kebenaranya.
(3) Bila benar Tuhan serba maha kuasa berati Tuhan juga menjadi penyebab segala
sesuatunya di Dunia dan alam semesta ini.
(4) Juga anggapan Tuhan dan berbagai penjelmannya mungkin bertindak dengan
rencanakan dan Tujuan beranekaragam warna menciptakan Dunia dan alam semesta
ini secara harmonis, patut di sangsikan kebenaranya.
(5)
Tuhan juga dikatakan
sebagai maha langgeng dan maha sempurna, tetapi istilah-istilah langgeng dan
sempurna adalah sifat-sifat yang tanpa mengandung arti yang sesungguhnya.
Kesempurnaan adalah kebalikan dari ketidak sempurnaan. Adalah omong kosong bila
seseorang mengatakan dirinya paling sempurna. Yang terbaik adalah menghapus semua
pengendalian ini.
Walaupun kaum Jaina menolak adanya Tuhan, namun mereka
perlu memandang dan merenungkan dan memuja jiwa-jiwa yang telah mencapai
kesempurnaan. Kaum Jaina menyakini lima macam jiwa suci
yaitu: (1) Tirthankara, (2) Artha, (3) Acarya, (4) Upadhyaya dan
(5) Sadhu.
Walaupun kaum Jaina tidak menyakini keberadaan Tuhan tetapi
semangat keagaman mereka tidak menguranggi Etika moral mereka dan kesungguhan
mereka melaksanakan persembahyanggan sebagai pernyataan mereka terhadap
kebaktian mereka terhadap jiwa-jiwa yang suci. Merupakan sumpah agung mereka
yang tulus. Kaum Jaina menyucikan
pikiranya dengan jalan merenungkan mereka yang suci. Persembahyangan bagi
mereka bukanya meminta belaskasihan hukum moral karma adalah keras, tidak
mengenal ampun dan belas kasihan.
Akibat dari
perbuatan buruk hanya dapat dilawan dengan perbuatan, pikiran yang gigih,
bicara benar, dan berbuat baik. Jiwa yang mencapai kelepasan adalah merupakan
mercusuar bagi yang lain-lainya. Sesungguhnya bagi kaum Jaina Tujuan terakhir mereka adalah mengutamakan kesempurnaan batin
dan bukannya mencoba memberikan inpirasi Dunia dan alam semesta ini. Dan agama Jaina adalah agama yang kuat dan
perkasa, berani dan tabah. Jiwa hanya bisa di selamatkan dengan jiwa sendiri
dan jiwa yang mencapai kelepasan adalah sebagai pemenang dan pahlawan. Jaina merupakan agama yang pararel
dengan Budhaisme, Samkya, dan Advaita Vedanta.
DAFTAR PUSTAKA
Adiputra, I Gede Rudia dkk, 1990, Tattwa Darsana untuk Kelas III P.G.A
Hindu, Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.
Adiputra,
I Gede Rudia dkk. 2004. Dasar-Dasar Agama Hindu. Jakarta: Direktoral
jendral Bimbingan masyarakat Hindu dan Budha Departeman Agama RI.
Bakhtiar, Amsal, 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Press.
Debroy, Dipavali & Dbroy Bibek. 2002. Maitri Upanisad. Surabaya: Paramita.
Debroy, Dipavali & Dbroy Bibek. 2002. Manduka Upanisad. Surabaya: Paramita.
Harun Hadiwijono, 1979, Sari Filsafat India Cetakan II, Jakarta Pusat, BPK
Gunung Mulia
Jaman, I Gede. 2006. Tri Hita Karana dalam
Konsep Hindu. Denpasar: Pustaka bali Post.
Madja, I Ketut. 2003. Darsana (Pandangan Filosofis Hindu). Untuk kepentingan sendiri.
Maswinara, I Wayan, 1999. Sistem Filsafat Hindu
(Sarwa DarsanaSangraha), Surabaya: Paramita.
Musna, I Wayan, Drs. 1986. Pengantar Filsafat Hindu Sad Dharsana,
Cetakan I, Denpasar: CV. Kayu Mas.
Oka, Sanjaya dkk, 2001. Svami
Vivekananda Vedanta Gema Kebebasan. Surabaya: parmita.
Sumawa, I Wayan. 1989. Swami Dayananda saraswati Vedanta Sebuah
pengantar memahami Masalah Fundamental. Denpasar: Upada Sastra
Sumawa, I
Wayan dkk. 1996. Materi Pokok Darsana Modul.
Jakarta: Direktoral jendral Bimbingan masyarakat Hindu dan Budha
Departeman Agama RI.
Subagia I Wayan, 2003, Model Siklus Belajar Berdasarkan Konsep Tri Pramana.
IKIP N Singaraja.
Pendit,
Nyoman. S. 2005. Filsafat Dharma Dari
India. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Pendit, Nyoman S. 2007. Filsafat hindu Dharma Sad-Darsana Enam Aliran
Astika (Ortodoks). Denpasar: Pustaka Bali Post.
Suryasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Sugiyono, 2010. Metode
Penelititian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan R&D. Bandung:
Alpabeta.
Susanto, Adi. 2011. Filsafat Ilmu Pandangan Ilmiah. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Stokes, Gillian. 2001. Seri Siapa
Dia? Buddha. Jakarta: Erlangga.
Takwin, 2001. Filsafat
ilmu. Bandung: Alpabeta.
Terjemahan lontar
“Ganapatitattva’ arsip gedong kertiya singaraja.
Terjemahan lontar
“Jnanatattva” arsip gedong kertiya singaraja.
Pudja, I Gede. 1999. Bhagawdgita.
Surabaya: Paramita
Pudja, G dan Sudharta, Tjokordo Rai.
2004. Manava Dharma Saastra. Surabaya: Paramita.
RIWAYAT PENULIS

Sedangkan prestasi yang pernah diraih
penulis juara I Lomba karya Tulis ilmiah tingkat mahasiswa IHDN Denpasar tahun
2010, juara III lomba Wushu tingkat se-Bali tahun 2010, juara III lomba karya
tulis ilmiah tingkat nasional di Jakarta tahun 2011. Saat ini sedang mengabdi sebagai Dosen Tenaga
Tidak Tetap di Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar.
Nama: Kade Rida Indrayani
BalasHapusNIM : 13.1.5.6.1.078
Jurusan : Penerangan Agama
menurut pendapat saya semua yang bapak tuliskan diblog ini sangat membantu memperjelas dan mengetahui apa yang orang lain sulit untuk mengerti dan juga menarik minat orang lain untuk membaca tulisan-tulisan yang bapak buat di blog ini
Suksma atas postinganya pak, sungguh dapat membantu untuk melengkapi refrensi tugas-tugas tiang pak,
BalasHapusTerimakasih pak,,tapi bg nya kurang cocok jadi tulisan nya rada kabur gitu
BalasHapusTentang implementasi ajaran nawadarsana di masyarakat pak🙏🏻
BalasHapus