Senin, 09 September 2013

kebudayaan yang patut dijaga

Alam material manusia dapat dikenali lewat pengalaman hidup sehari-hari, sejak manusia lahir sampai saat kematiannya. Alam material ini juga dapat dipahami dan di mengerti secara lebih mendalam lewat lembaga ilmu yang mempelajarinya (Sumardjo, 2000:7). Ketika manusia dalam mengembangkan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tuntutan terhadap alat penunjang kehidupan juga mengalami perkembangan untuk memenuhi perlengkapan kebutuhan tersebut.
Seiring kepercayaan, keyakinan, dan pola kehidupan yang dianutnya, fungsi alat tersebut tidak lagi sebagai pelengkap untuk berburu atau mengolah  tanah pertanian. Akan tetapi, untuk keperluan-keperluan yang bersifat keagamaan (religius). Bahkan pada masa berikutnya pembuatan benda-benda perlengkapan hidup sudah mulai menampakan aspek-aspek seni yang sangat indah untuk pemujaan terhadap segala sesuatu yang bersifat mistis (Effendhie, 1999:29). Keindahan dalam kehidupan manusia telah menjadi bagian yang pertama dan utama, keindahan pun telah menjadi kesadaran yang menyertai pernyataan-pernyataan tentang terciptanya kosmos dan perenungan mengenai yang Maha Kuasa (Sachari, 2002:vii).
Teknologi pembuatan alat-alat perlengkapan manusia mengalami kemajuan pesat apalagi ketika ditemukannya teknik peleburan, pencampuran, penempaan, dan pencetakan logam. Semula jenis-jenis logam seperti besi, tembaga, timah, dan emas dibuat dengan teknik peleburan sederhana, kemudian dengan teknik pencampuran menghasilkan perunggu yang lebih kuat (Effendhie, 1999:31).
Indonesia dari abad ke-5 sampai abad ke-18 telah dipengaruhi oleh  kebudayaan yang besar yaitu kebudayaan Hindu-Budha dan Islam yang memberikan warna serta corak tersendiri bagi perkembangan bangsa ini. Masa pengaruh India di Indonesia oleh para ahli sering disebut dengan istilah masa Indonesia kuna. Masa Indonesia kuna ini ditandai dengan masuknya pengaruh budaya India yang kemudian bertemu dengan kebudayaan asli Indonesia (Ibid, 1999:53).  
Van Peursen (dalam Sutrisno, 2009:31) menyatakan bahwa proses transformasi kebudayaan manusia melalui tiga tahap peradaban yaitu tahap mitis, tahap pengetahuan ontologis, dan tahap fungsional. Dalam tahap fase mitis pengaruh kebudayaan mempunyai ciri wataknya yang sekaligus menentukan perilaku manusia dan mampu merubahnya dalam transformasi pola prilaku kebudayaan yang berkembang. Kebudayaan baik pada tingkat jenis, aktivitas, komplek, serta unsur maupun bagian-bagian yang lebih kecil dan sederhana secara keseluruhan mensyaratkan suatu integrasi yang bersifat totalitas (Ratna, 2010:158).
Pengaruh agama dan budaya India telah menyumbangkan penyuburan kebudayaan Indonesia yang kemudian berkembang pesat terutama di Jawa. Pengaruh itu memberi corak tersendiri pada beberapa aspek budaya di Indonesia maupun bagi Agama Hindu itu sendiri. Misalnya, hasil-hasil kesenian serta arsitektur bangunan yang menjadi bagian kebudayaan Indonesia yang berkembang sampai saat ini.
Kebudayaan sering dikatakan sebagai suatu ketegangan antara imanensi dan transendensi yang dipandang sebagai ciri khas dari kehidupan manusia seluruhnya. Hidup manusia berlangsung di tengah-tengah arus proses kehidupan (imanensi), tetapi selalu juga muncul dari arus alam raya itu untuk menilai alamnya sendiri serta mengubahnya (Peursen, 199515).
Agama dan kebudayaan merupakan ritus yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia, hal ini dikarenakan kebudayaan tumbuh dan berkembang melalui cipta, rasa, dan karsa manusia. Sehingga, proses keyakinan masyarakat yang bermuara pada sebuah agama dapat diakulturasikan dengan kebudayaan masyarakat setempat. Para antropolog telah melakukan gerakan intelektual penting dengan menjauhkan studi tentang agama dari perdebatan skolastik abstrak dan teologi mengenai kepercayaan dan ketuhanan (Turner, 2012:691). Hal ini karena adanya ketimpangan masalah yang tidak dapat disatukan. Secara internal setiap pemeluk agama harus meyakini dengan sungguh-sungguh akan kebenaran agamanya yang paling benar. Sementara itu secara eksternal, terbentuk juga sikap menghargai bahwa pemeluk agama yang berbeda juga mempunyai hak yang sama (Kuswanjono, 2006:4).
Manusia memiliki kemampuan untuk memberikan ekspresi dan mengadakan obyektivasi dengan lingkungan, artinya ia memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain (Berger dan Luckmann, 2009:49). Kehidupan manusia tidak terlepas dengan keyakinan yang dianutnya. Keyakinan itu umumnya berbentuk agama (organized religion) (Titib, 2007b:48). Menurut Ngurah (1999:14) agama adalah kepercayaan kepada Tuhan serta segala sesuatu yang bersangkut paut dengan hal tersebut. Dengan definisi tersebut, maka sembahyang, beryajña, melakukan kebajikan kepada sesama manusia adalah simbol pelaksanaan ajaran agama. Ajaran tersebut akan memberikan pencerahan dan tuntunan hidup kepada semua penganutnya (Titib, 2007b:48). Sudah diakui secara umum oleh para ilmuwan bahwa semua masyarakat yang dikenal didunia ini, sampai batas tertentu bersifat relijius (Scharf, 2004:32)
Agama Hindu yang ada di Bali adalah akulturasi dan tradisi  dengan Agama Hindu yang datang dari India. Ketika kedua kebudayaan itu bertemu terjadi semacam peluluhan antara keduanya (Watra, 2005:32). Kehidupan beragama di Bali tidak bisa dipisahkan dengan kebudayaan setempat, hal ini tampak bersinergi dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam sebuah ritus keagamaan. Kedatangan Agama Hindu di Bali disambut dengan adaptasi budaya yang memunculkan kearifan lokal atau populer dikenal dengan local genius (Titib, 2007a:45).
Penelitian para ilmuan menyatakan; orang Bali merupakan keturunan Austronesia yang telah menyebar ke seluruh Bali. Mereka masih hidup berkelompok di bawah pimpinan kepala kelompoknya masing-masing. Kelompok-kelompok inilah menjadi cikal bakal desa yang ada di Bali sekaliligus disebut Bali Mula. Pada masa itu orang-orang Bali masih belum beragama, namun sudah menyembah roh leluhur yang mereka sebut Hyang. Jika dikaji dari pandangan spiritual, mereka masih hampa. Keadaan demikian berlangsung sampai pada abad ke-14 sesudah masehi, hal ini tertuang dalam berbagai Purana yang tersebar di seluruh Bali (Soebandi, 1981:14). Pengaruh Majapahit melalui Patih Gajah Mada sesudah abad ke-14 dengan agama Siwa Buda-nya yang berkepentingan memasukan agama tersebut berhasil mempengaruhi penduduk Bali dataran rendah. Namun, beberapa penduduk yang berkeyakinan berbeda melarikan diri ke daerah pegunungan yang kemudian mendirikan permukiman yang tidak terpengaruh oleh pengaruh Majapahit (Dwijendra, 2009:8).
Secara umum, konsep Tri Krangka Dasar Agama Hindu yang telah memberikan pedoman terhadap aspek beragama dalam Agama Hindu seperti konsep; Tattwa, Etika, dan Acara merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan di Bali, penekanan upacara pada aspek acara dalam konsep tersebut sangat dominan seperti pada pelaksanaan upacara yajña (Budhawati, 2008:21).
Upacara merupakan aspek yang paling dominan dalam kehidupan beragama di Bali (Goris, 2012:25). Dalam merealisasi pelaksanaan upacara tersebut selalu diiringi oleh panca gita. Panca Gita adalah lima jenis suara yang mengiringi pelaksanaan upacara yajña di antaranya: suara kekidungan (nyanyian suci), suara genta (lonceng pendeta), suara kul-kul (kentongan), puja mantra (doa) dari pandita yang memimpin (muput) upacara, dan suara gamelan (Donder, 2005:139).
Umat Hindu khususnya yang berada di Bali, dalam pelaksanaan upacara keagamaan tidak pernah terlepas dengan penggunaan bunyi gamelan sebagai sarana untuk mengiringi upacara tersebut (Donder, 2005:3). Gamelan di samping sebagai suatu kesenian tradisional, juga merupakan sarana pelengkap dalam berbagai aspek kegiatan yang bersifat ceremonial. Setiap kegiatan yang telah mengakar dalam masyarakat tertentu, pementasan seni dilaksanakan secara rutinitas sampai membentuk suatu keyakinan yang bersifat radikal dalam setiap pelaksanaan upacara keagamaan (Yudabakti dan Watra, 2007:37). 
Desa Pakraman Selat Pandaan Banten yang berada di Desa Dinas Selat, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng memiliki seperangkat gamelan yang diberi nama “Gong Raja Due”. Gamelan tersebut terdiri dari: Gangsa 2 buah,  Barangan 1 buah, dan kecek mini. Gamelan tersebut merupakan hasil penemuan masyarakat sekitar 200 tahun yang lalu. Gamelan tersebut diperoleh melalui hasil penggalian oleh masyarakat setempat. Gamelan tersebut dipercaya sebagai hasil kebudayaan nenek moyang mereka pada jaman dahulu kala.
Seiring perjalanan waktu keyakinan masyarat mengalami konversi keyakinan ke tahap mistis, hal ini dapat dilihat dalam beberapa aspek pelaksanaan ritus keagamaan. “Gong Raja Due” yang memiliki nilai estetika dalam pementasan tersebut yang menghasilkan suatu bunyi/getaran nada yang menggugah kalbu pendengarnya. Hal ini terjadi karena keyakinan dan kepercayaan masyarakat terhadap benda tersebut, bahkan oleh masyarakat setempat diyakini tanpa melakukan pementasan gemelan dalam suatu upacara yajña maka pelaksanaan upacara tersebut tidaklah jangkep (lengkap). Pada umumnya umat Hindu di Bali, dalam pelaksanaan upacara yajña yang sifatnya madya (menengah) dan utama (utama), pada akhir acara selalu diakhiri dengan pementasan Topeng Sidha Karya sebagai salah satu sarana pelengkap dan sahnya pelaksanaan upacara yajña (Kantun dan Yajña, 2003:21)

1 komentar:

  1. Nama : Ni Made Tripas Wulandari
    Nim : 13.1.5.1.6.079
    Jurusan Penerangan Agama
    Semester :II
    Menurut saya tulisan tulisan yang bapak buat sangat memberikan inspirasi kepada saya bahkan bukan hanya saya saja begitupula kepada orang lain. Dan memang hal tersebut terjadi di dunia nyata.

    BalasHapus